Waspada, Minggu 1 Agustus 2010

Page 20

Budaya

B10

Arti Lambang Pangupa Di Pesta Haroan Boru Tapsel Oleh: H. Mukhtar Siregar Dalam kehidupan manusia di dunia ini ada tiga peristiwa penting yang tidak mudah terlupakan yaitu kelahiran, pernikahan dan kematian/meninggal dunia. Menurut ajaran nenek moyang masyarakat Tapanuli Selatan (Tapsel) yang mewariskan adat kepada turunannya, apabila terjadi salah satu peristiwa yang disebutkan di atas maka upacara adat harus dilaksanakan dan kalau memungkinkan dibesarkan. Misalnyadalamkelahiranada upacara adat Patandahon Anak Natubu (memperkenalkan anak yang baru lahir). Pada pernikahan/perkawinan ada upacara adat Haroan Boru (meresmikan perkawinananaklaki-laki).Dalam kematianadaupacaraMangadati Halak Namaninggal (melepas orang yang meninggal). Di samping ketiga jenis upacara adat yang disebutkan di atas, masih ada dijumpai upacara adat lainnya seperti, upacara Marbokkot Bagas (memasuki rumah baru), Pabuat Boru Marbagas (meresmikan perkawinan anak perempuan), pesta karena terhindar dari mara bahaya, pesta karena keberuntungan. Pangupa, secara garis besar dapatlah diartikan sebagai pesan ataukata-katanasehat darinenek moyang masyarakat Tapsel kepada generasi berikutnya. Pesan itu berupa petunjuk hidup yang diakui kebenarannya serta merasa bangga dan puas apabila pesan itu disampaikan pada saat upacara adat. Pangupa ini ada bermacammacam jenisnya dan biasanya besar kecilnya Pangupa berkaitan denganbanyaknyaundangandan pembicara dalam Pangupa tersebut. Adapun Pangupa ini bertujuanuntukmengembalikan tondikedalamtubuh(badannya). Sudahmenjadikebiasaanbagi orang-orang yang berasal dari Tapsel saat mengetahui anaknya yang baru lahir adalah seorang laki-laki maka dalam hatinya ia berjanji/berniat/bernazar jika anaknya nanti sudah besar dan tiba saatnya dinikahkan, akan

diadakan pesta dengan upacara adat yang disebut Mangupa karena merasa sangat gembira atas kelahiran anak laki-lakinya. Biasanya kegembiraan ini dijelaskan pada waktu Maralokalok (sidang adat) pada saat pesta perkawinan anak laki-laki. Penjelasan ini dimaksudkan agar janji/niat/nazar sudah dilunasi dan disaksikan oleh Harajaon (peserta sidang adat yang hadir). Jika tidak maka akan tetap merasa berutang dan janji/niat/nazar belum terbayar. Sampaisaatinibelumditemukan secara tertulis hitam di atas putih mengenai arti dari bendabendayangdilambangkandalam Pangupa. Oleh karena itu, sering terjadi terjemahan yang dibuat sesuai dengan keinginan dari si pembicara. Salah satu jenis Pangupa adalah dengan kepala kambing, ada juga dengan kepala kerbau. Pangupa dengan kepala kerbau adalah jenis yang terbesar menurut adat di Tapsel. Dalam bentuk lain, masih dijumpai pangupa yang hanya terdiri dari nasi putih, telur ayam, dan garam. Ada lagi bentuk pangupa ayam, di mana pangupa ditambah seekor ayam di atas nasi putih itu. Arti Lambang Pangupa Dalam pesta Haroan Boru, benda/materi pangupa yang sudah dipersiapkan disajikan dihadapankeduapengantinbaru. Puluhan tahun yang lalu pada waktu penulis sebagai pengantin dalam pesta Haroan Boru, salah satupembicaramenjelaskanbahwa setiap benda yang dijadikan pangupa sebenarnya mempu-

nyai arti. Adapun arti yang terkandung di dalamnya adalah: Anduri/Tampi/Tampah Dengan anduri ini kita dapat membedakan yang mana beras dan yang mana antah, apa yang dapat dimakan dan yang mana akan dibuang. Agar badan selamat, haruslah mengetahui mana yang benar dan salah. Anduri ini melambangkan dalam hidup manusia harus dapat membedakan yang benar dan yang salah. Di atas anduri inilah diletakkan benda - benda pangupa lainnya. Bulung Ujung (Daun Pisang Muda) Bulungujunginimelambangkan sikap yang fleksibel, sifat yang lemah gemulai. Seperti batang pisang, daunnya selalu berada di atas, sifat lemah gemulainya lah yang menyebabkan daunnya tidak roboh diterpa angin. Sifat inilah yang diharapkan kepada pengantin dalam kehidupan dan penghidupan berikutnya, tidak boleh kaku dan harus bijaksana. Bulung ujung ini dapat juga diartikan sebagai tanda dengan perkawinan tersebut maka telah ‘marujung haposoon’ (telah berakhir masa muda). Indahan Nabottar (Nasi Putih) Nasi putih ini disebut juga Indahan Sibonang Manalu (nasi putih yang belum lagi dimakan tetapi sudah diketahui rasanya). Nasi putih melambangkan ketulusan dan keikhlasan. Sifat ini diharapkan dari kedua pengantin yang diberi upah-upah, agar hatinya putih dan bersih seperti nasi, bening seperti air. Dapat juga diartikan bahwa dengan memakan nasi putih dan meminum air akan menambah kekuatan untuk beramal ibadah. Ihan Adat (Ikan Adat) Ikan yang dijadikan Pangupa adalahIkanJurungyangpanjangya tidak lebih dari satu jengkal. Ikan ini hidupnya selalu di air deras, sanggupmelewatidanmemanjat air terjun. Ikan adat ini melambangkan dinamika. Artinya agar pengantinyangdiberiupah-upah dan anak keturunannya menjadi manusia-manusia yang dinamis dan giat. Ikan adat ini juga meng-

gambarkan begitu lelahnya ikan mencari makan di sungai yang berenang ke hilir dan ke hulu. Begitu juga diharapkan kepada pengantin agar tidak bosan mencari makan di bumi Tuhan ini.MengingatsaatiniIkanJurung sulitditemukan,sudahdigantikan dengan Ikan Mas. Udang Udang ini melambangkan gerak hidup. Artinya diharapkan kepada pengantin agar jangan bersifat maju terus atau mau menang sendiri. Sifat seperti ini tidak mendatangkan keharmonisan dalam rumah tangga dan akan terjadi kepincangan dalam hidup bermasyarakat. Ikutilah gerakan seperti udang, jika masanya maju maka majulah, pada waktunya mundur maka mundurlah. Gerak maju mundurnya udang ini sama artinya bergantung pada situasi yang paling menguntungkan. Pira Manuk Nani Hobolan (Telur Ayam) Telur ayam yang direbus, dibuang kulitnya sehingga kelihatan bulatnya telur dan tidak boleh terkelupas sedikit pun. Dengan memakan telur ini diartikansupayabersatunyatondi dengan badan. Kalau tondi ini telah bersatu bulat seperti bulatnya telur, mudah- mudahan semua cobaan hidup dapat diatasi, pira manuk nani hobolan dapat juga diartikan sebagai lambang kebulatan persatuan tondi dengan badan. Banyaknya telur dalam pangupa ini terdiri dari 2 (dua) butir, satu untuk lakilaki dan satu untuk perempuan. Sira (Garam) Sira atau garam rasanya asin, dan menurut pendapat nenek moyang masyarakat di Tapsel dikatakan seseorang itu kuat, kalau setiap kata- katanya didengardanmenjadiperhatianorang banyak/masyarakat. Garam inilah yang dijadikan nenek moyang masyarakat Tapsel sebagai lambang kekuatan. Ikan asin, telur asin, dll dapat bertahan lama karena kekuatan garam, gulai tanpa garam hambar rasanya. Kepala Kambing

Mengingattempatdanwaktu yang tersedia penulis membatasi kepada pangupa dengan menggunakan kepala kambing. Pangupa dengan menggunakan kepala kerbau, jika masih memungkinkanakandilanjutkan dalam tulisan yang akan datang. Kepala kambing ini melambangkan sifat sosial, menjadi seorangpekerjayanggiatmencari nafkah selama hayat di kandung badan rajin dan ringan tangan mengerjakan pekerjaan kaum family tanpa pamrih, baik pekerjaan bersifat silulutan (berita duka cita) maupun siriaon (berita suka cita) dan tidak boleh pelit/ kikir membagi rezeki juga membantu fakir miskin. Dan kepala kambinginiberfungsijugasebagai pemersatu keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan. Pangupa dengan kepala kambing tempatnya di atas anduri, di atasnya bulung ujung, kemudian indahan nabottar, di atasnya diletakkan ihan adat, udang, kepala kambing, dibelakangnya manuk, di depannya telur nani hobolan dan sira. Semuadalamkeadaansudah dimasakdansiapuntukdimakan. Ditutuplagidenganbulungujung dan di atasnya dari semua pangupaulosBataktenunanSipirok. Ulos ini seakan menyelimuti semua materi pangupa yang diperlambangkan itu dan memberi kehangatan kepada maksud yang terkandung di dalamnya yaitu pedoman hidup yang dilambangkanolehmateripangupa yang telah dijelaskan di atas. Di sampingnya ada gelas yang berisi air putih, cuci tangan dan gulaigulai lainnya. Mengenai komposisi dan materi pangupa ada juga perbedaandarisatudaerahkedaerah lainnya, tetapi tidak sampai merusak adatnya. Setelah habis memberikan nasehat -nasehat secara bergantian, yang dimulai dari ibunya dan ibu- ibu lain, kemudian diteruskan bapaknya dan bapak- bapak lainnya disambung lagi oleh Kahanggi, Anak Boru dan Mora diakhiri Harajaon. Semoga tulisan ini ada manfaatnya. *Penulis adalah mantan Ka.Humas IKIP Medan

Sastra Lisan Bagian Penting Sastra Nusantara Oleh: Asli br. Sembiring SASTRA lisan puisi lama merupakan bagian dari sastra daerah yang berkembang sesuai dengan zamannya.Sastralisanberbentuk puisi di Sumut sangat banyak, sastra ini berkembang pesat hingga kini, seperti pantun. Menurut Sutan Takdir Alisyahbana (1954:4) puisi lama merupakan pancaran kehidupan masyarakat lama karena melalui bentuk-bentukpuisi,dramadapat dilihat kehidupan, adat istiadat, kebiasaan masyarakat lama. Puisi lama Sumut terdapat mantra yang merupakan sastra lisan yang berkembang sampai kini. Mantra adalah gubahan bahasa yang diresapi oleh kepercayaan kepada dunia gaib dan sakti. Mantratimbuldarisuatuimajinasi dalam kepercayaan animisme. Mereka percaya kepada roh-roh halus seperti hantu, serta bendabenda keramat dan sakti. Keadaan seperti ini masih juga terdapat pada masyarakat modern. Mantra merupakan sarana berkomunikasi dengan yang gaib, maka tidak semua orang mampu berhubungan dengan yang gaib dan biasanya hanya pawang atau dukun. Kemu-

diansastralisanyanglainnyayang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sumut yakni peribahasa. Peribahasa adalah salah satu bentuk puisi asli Indonesia yang masih digunakan sampai sekarang. Peribahasa ini merupakan mutiara bahasa, bunga bahasa yang mengandung makna luas dansaranayangdigunakandalam pribahasa adalah sesuatu yang berada dalam lingkungan kehidupan masyarakat. Sedangkan puisi lama yang masih hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Sumut yakni pantun. Pantun adalah salah satu bentuk pusi lama Indonesia yang memperlihatkan bentuk yang khusus. Ikatan pantun terjadi dari empat baris yang bersajak ab, ab. Tiap-tiap baris terdiri dari empat kata. Isi pantun terdapat pada baris ketiga dan keempat. Sedangkan pada baris pertama dan kedua merupakan sampiran atau pengantar ke arah isi. Bentuk puisi lama yang masih hidup dan berkembang di tengah-tengahmasyarakatadalah syair. Syair adalah bentuk puisi

lama yang berasal dari kesusastraan Arab. Syair terdiri atas baitbait yang berisi cerita atau kisah. Tiap bait berpola irama (aa. aa). Sedangkan bentuk gurindam bagian dari sastra lisan Sumut memang perlu penelitian yang mendalam. Namun di Sumut hidup dan berkembang gurindam tapi tidak seperti gurindam 12. Gurindam adalah bentuk puisi yang terdiri dua baris, baris yang pertama, berupa syarat dan yang kedua berupa jawab. SastralisanSumutsepertipuisi berkembang sangat pesat sekali. Sebabsastralisandaerahmemiliki perkembangan yang maju dan dinamis. Puisi adalah karya seni, sifat seni ini merupakan ciri khas puisi. Puisi adalah sebuah karya yangfungsiestetikanyaataufungsi keseniannya dominan. Puisi bagian dari sastra lisan daerah bagian dari puisi lama. Bentuk-bentuk formal puisi lama itu sesungguhnya merupakan sarana-sarana kepuitisan untuk membuat puisi menjadi indah. Bentuk-bentuk formal itu masih juga dipergunakan oleh puisimodern,tetapibukanmerupakan ikatan, bukan pola yang tetap. Namun istilah puisi zaman dahulu dikenal istilah sajak. Sastralisandaerahbagiandari

puisi lama. Pusi lama menurut STA adalah sebagian kebudayaan lama yang dipancarkan oleh masyarakatlama.Apayangdipancarkan itu sesuai dengan jiwa dan adat kebiasaan masyarakat lama. Pantun, syair dan pusi lama yang lainadalahalatuntukmemancarkan pikiran, gagasan dan adat kebiasaanmasyarakatlamatersebut. Karena itu sastra lisan daerah merupakan sastra yang berkembang dan bagian dari sastra nusantara. Sebab di dalamnya terdapatunsuryangmenghidupkan nilai-nilai adat. Di dalamnya terdapat bagian terpenting untuk menciptakansuasanayangindah dan menawan. Kareanaitusastralisandaerah memang harus dipelihara dan dilestarikan,jangansampaihilang ditelan masyarakat. Bila sastra lisan dibiarkan dan ditelan masa maka sastra lisan akan tenggelam dimakan waktu itu sendiri. Dengan adanya sastra lisan daerah berarti aktivitas sastra daerah merupakan wujud dari berbagai sastra lisan yang cikal bakalsastranusantara.Sastralisan tidak bisa berkembang apabila tidak diukung oleh masyarakatnya. Sebab masyarakatlah yang menghidupkan dan mengembangkan sastra daerah itu sendiri.

Oleh karena itu sastra lisan daerah bagian terpenting dalam perjalan sastra nusantara. Memang sastra lisan daerah tidak melahirkan tokoh-tokoh dan pencipta sahingga tidak dikenal pengarang sastra lisan. Dengan tidak melahirkan tokoh bukan berarti masyarakat tidak menikmati sastra lisan daerah. Bahkan sastra lisan Sumut memberikan kontribusi pada masyarakatnya bahkanmasyarakatinternasional. Sastra lisan daerah bagian budaya daerah memang hidup dan berkembang tanpa adanya penataan, pembinaan, dan bimbingan. Sastra lisan hadir memang dibutuhkan dalam masyarakat karena masyarakat membutuhkan cerita-cerita dan puisi. Mereka senang bersenandung dan bercerita sehingga cerita yang sampai kini ada tidak satupun pengarang aslinya. Karena itu sastra lisan daerah dibutuhkan sampai akhir hayat manusia hidup. Bahkan di masa yang akan datang sastra lisan sudah merupakan cerita harian yang dijadikan cerita kehidupan sehari-hari. Penulis adalah Kepala Sekolah SMK-1 Medan Area, Alumni Unimed Jurusan BP

Novel Medan Awal Kebangkitan Sastra Indonesia Oleh: Farizal Nasution PERJALANAN prosa di Indonesia dimulai dari Medan yang dikenal dengan sebutan novel Medan atau istilah extrimnya roman picisan. Kaitannya di dalambukuringkasandanulasan novel Indonesia karya Maman S. Mahayana, Oyon Sofyan dan AchmadDian(1992)dalamulasan bahwa Azab dan Sengsara karya Merari Siregar disebutkan, bahwa novel itu sebagai novel pertama Indonesia dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Ini didasari oleh pemakaian bahasaMelayudisekolahansebab novel ini yang mengawalinya. Siapa saja boleh mendefenisikan demikian, tetapi harus diingat novel/roman yang pertama berbahasa Melayu bukanlah AzabdanSengsara,tetapiroman/ novel Medan telah lebih dahulu memakai bahasa Melayu sebelum 1920. Sebelum lahirnya novelMedandidahuluioleh karya prosayangditulisolehmasyarakat China di Medan.

Sebelum terkenalmya novel/ roman Medan telah ada novel/ roman atau karya prosa yang lahir diMedanyangdibukukan melalui bahasa Melayu. Bahkan lahirnya sastra modern dengan dasar bahasa Melayu telah ada sejak zaman kerajaan Melayu di pesisir timur termasuk di daerah Natal dan kerajaan Aru. Novel Azab dan Sengsara diterbitkan pertama kali tahun 1920, namun jelasnya lahir kesusastraan modern dapat dibaca melalui lahirnya novel Medan di antaranya Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) oleh penerbit Pustaka Islam. Demikian juga Merantau ke Deli danTenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1939) oleh penerbit yang sama. Ketiga karya Hamka tadi sebagai contoh kecil bahwa novel berbahasa Melayu dimulai dari Medan. Kehadiran novel Medan dimulai dengan lahirnya cerita bersambung di koran/majalah seperti Tenggelamnya KapalVan

Der Wijk dimuat di majalah Pedoman Masyarakat 1938. Lahirnya buku-buku roman MedanditerbitkandiMedansejak 1938 hingga merdeka. Roman Medan dikenal dengan istilah roman picisan menurut Arif Husin Siregar yang pertama kali memberi penamaan yang demikian itu adalah Armin Pane berdasarkan satu tulisannya yang mengecam keras buku-buku roman yang diterbitkan di Medan. Yang berjasa dalam menerbitkan novel Medan antara lain penerbit Pustaka Islam 1934. Pustaka Islam pada mulanya menerbitkan majalah keagamaan yang bernama Panji Islam. Pada 1935 di Medan terbit lagi majalah keagamaan dengan nama Pedoman Masyarakat. Lalu majalah ini pada mulanya menerbitkan tulisan keagamaan lama kelamaan memuat karya sastra berupa puisi, cerita pendek dan cerita bersambung. 1936 Hamka tampil sebagai pimpinan redaksi majalah Pedoman Masyarakat bersama

M. Yunan Nasution. Majalah ini memuat cerita-cerita bersambung karya Hamka yang sangat populer di nusantara seperti telah disebutkan di atas tadi. Pada 1939 muncul penerbit roman bulanan dengan nama Loekisan Pudjangga yang dilakukan oleh penerbit Tjerdas. Penerbit ini setiap bulan mencetak 25.000 eksemplar, sesuatu yang fantastis. Ini merupakan rekor yang tak terpecahkan sebab sebulan mampu mencetak 25.000 eksemplar. Kemudian tampil penerbit Indische Drukkrij dan N.V. SjarikatTapannuli di Medan. Larisnya buku-buku roman Medan tentu banyak kritik dengan alasan klise seperti tak mendidik bahkan penulisnya dikecam sebagai pujangga surau. Sebab roman Medan pada waktu itu isinya bercerita detektif, kejahatan, pencurian dan pembunuhan seperti karya Joesoef Sou’yb. Wajah pengarang Sumut sangat mempengaruhi khasanah karya tanah air yang berbentuk prosa.SehinggapengarangSumut tidak bisa disepelekan. Sebab itu

pengarang dari Sumut sangat mempengaruhi perjalanan karya prosa di tanah air. Peranannya tidak bisa diabaikan tetapi telah menjadi sejarah dan pelaku utama dalam perkembangan prosa di Indonesia ini. Masih banyak pengarang dari Sumut yang belum terdokumentasikan melalui artikel ini, tetapimerekajugamemilikiperan yang sangat strategis dalam kemajuan prosa di tanah air langsung maupun tidak langsung. Bahkandimasayangakandatang lahir lagi penulis atau pengarang daribumiSumutuntukmengukir prestasi karyanya di tanah air sebagai perjalanan sejarah yang terus berjalan sesuai perjalanan waktu yang tidak bisa diundur. Dalamperjalananpengarang Sumut mayoritas pernah bekerja di dunia jurnalistik. Media Sumut sangat berperan strategis untuk membina dan membebaskan pengarang-pengarang Sumut di kanca nasional dan internasional. Penulis adalah pengarang cerita rakyat dan Guru SMA Negeri 1 Tanjungmorawa.

WASPADA Minggu 1 Agustus 2010

Rumah Adat Bungo

RUMAH ADAT BUNGO: Rumah adat pada hakikatnya adalah lambang dari adat lamo pusako usang, oleh karena itu, setiap unsur dari bangunan rumah adat itu mempunyai arti yang terkait pada adat lamo pusako usang, dengan demikian jelaslah bahwa sebuah rumah adat berbeda dengan rumah rakyat biasa. Seperti halnya rumah adat Bungo di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi yang mempunyai ciri sendi/pondasi terdiri dari batu sungai. Ini melambangkan melompat tempat tumpuan, menyincan tempat landasan.Tiang rumah bulat bersegi delapan, menunjukkan pucuk undang nan delapan. Banyak tiang 20, kaki tiang biasa dan panjang bersudut empat bertarah licak, seimbang sama satiap sudut. Di atas bersending segi delapan. Lantai Segalo nan ditanai di lantai nan sebilah.

“Dua Kutub” Tonggak Kepengarangan Idris Pasaribu Oleh: S. Satya Dharma BILA ada pengarang Sumut yang cerdas dalam memilih tema dan piawai memainkan kata, maka Idris Pasaribu adalah salah satunya. Sastrawan dan wartawan kelahiran Medan, 5 Oktober 1960 ini bahkan melengkapi kepiawaiannya itu dengan pemahaman yang cukup baik terhadap latar belakang budaya dan adat istiadat para tokoh yang menjadi pelaku ceritanya. Tak berhenti di situ, sebagai pengarang Idris juga punya daya humor yang cukup kuat dalam pengucapan dan gaya bertuturnya. Melalui cerita pendek berjudul “Dua Kutub”, kepekaan, kepiawaian, kecerdasan dan daya humor Idris Pasaribu itu tumpah menyatu. Cerpen “Dua Kutub” bercerita tentang rencana perkawinan dua sejoli beda suku, yakni dr. Dinda Maharani Chaniago,Sp.OG, perempuan suku Minang dengan Ir. Marolop Tua Ronggur So Hasaongan Silalahi, M.Sc, Ph.D. yang bersuku Batak. Tapi bukan hubungan dua sejoli ini yang diangkat Idris dalam membangun konflik dalam cerpennya sehingga bisa membuat “Dua Kutub” jatuh pada cerita cinta remaja picisan. Idris justru membangun konflik dari adanya perbedaan budaya yang melatarbelakangi keduanya. Sebab rencana perkawinan kedua sejoli itu pastilah tak akan membuat heboh orangtua masing-masing kalau saja kedua calon mempelai tidak berasal dari latar belakang budaya dan adat istiadat yang berbeda. Yang satu menganut matriarchat sedang yang lain berpegang teguh pada garis keturunan sang ayah (patriarchat). Di sinilah letak kecerdasan Idris dalam memilih tema. Sebab, kalau saja perkawinan itu terjadi antara perempuan Minang dengan lelaki Jawa misalnya, atau antara lelaki Batak dengan perempuan Jawa, maka tak akan ada konflik budaya dan istiadat yang cukup menarik untuk diangkat sebagai setting cerita. Terutama karena perempuan atau lelaki Jawa cenderung lebih bisa beradaptasi dengan lingkungan budaya yang berbeda. Tapi dengan memilih setting Minang dan Batak, Idris bukan hanya berhasil membangun konflik, tapi bahkan merangkai daya humor yang membuat “geli” pembaca. Sejak awal Idris bahkan sudah mengarahkan pembacanya pada situasi yang bakal penuh dengan konflik budaya dan istiadat itu. Misalnya saat Idris mulai berkisah; Sitanggang dan Simbolon sebentar-sebentar melirik tangan mereka. Keduanya utusan dari keluarga Silalahi. Keduanya kelihatan gelisah menantikan orang yang belum mereka kenal di restoran itu. Kegelisahan itu tiba-tiba sirna saat telepon selular yang biasa disebut HP milik Sitanggang, berbunyi. “Hallo? Ya, kami duduk di sudut ini. Ya, keduanya menyandang ulos Batak,” begitu Sitanggang menyahut melalui HP-nya. Dia bangkit diikuti oleh Simbolon. Ada dua orang laki-laki mendekati mereka. Keempatnya saling berjabat tangan dan melempar senyum. “Maaf, jalan sedang macet,” ujar Sutan Batuah dan diiyakan oleh temannya Datuk Majoindo. Mereka duduk. Keempatnya adalah utusan. Dua orang utusan Silalahi dan dua lagi utusan Sutan Rajo Dilela. Selanjutnya, simaklah bagaimana pula Idris membangun suasana konflik dalam Cerpennya ini. “Pembicaraan kelihatan sangat alot. Sulit untuk mengalah. Sebentar-sebentar Simbolon menghubungi pak Silalahi melalui HP. Demikian halnya dengan Datuk Majoindo, menghubungi Sutan Rajo Dilela. “Menurut adat Batak, kami yang akan datang meminang putri bapak ke kediaman bapak. Kami akan memberikan mahar. Kami sudah siapkan juru bicara mewakili pihak keluarga bapak. Semua ini karena kami menganut Patriarchat,” kata Sitanggang dengan diplomasi tembak langsungnya. “Wah… kami senang sekali mendengarnya, pak. Sudah barang tentu kami akan menerimanya dengan senang hati. Itu jika yang kami kawinkan adalah laki-laki. Sayangnya kami akan mengawinkan seorang putri, bunga yang terindah dan terharum dari keluarga kami. Putri kami dr. Dinda Maharani Chaniago, Sp.OG, seorang dokter yang lulus cumlaude masih muda dan cantik. Menurut adat kami yang Matriarchat, kamilah yang sepantasnya datang meminang putra bapak, Ir. Marolop Tua Ronggur So Hasaongan Silalahi, M.Sc., Ph.D. Manjapuik namanya,” ujar Sutan Batuah. Perbedaan kultur dan adat istiadat inilah

yang kemudian menjadi warna kental dari cerpen “Dua Kutub” tersebut. Bahkan, tak berhenti di situ, Idris dengan kepiawaian dan pengenalannya yang cukup baik terhadap budaya dua suku ini, mengeksploitir perbedaan itu sampai akhir cerita dan menimbulkan “rasa geli” kita yang membacanya. Tidak hanya ketika kemudian perkawinan akhirnya berlangsung dan resepsi pernikahan digelar, tapi hingga kemudian kedua pasangan itu hamil dan melahirkan anak, Idris benar-benar mengeksploitir “kelucuan” akibat perbedaan budaya dan adat istiadat itu sampai titik darah penghabisan. Dalam cerpen yang dibagi Idris menjadi tiga bagian ini, yakni proses pinangan, proses pernikahan dan proses kelahiran, kepiawaian pengarang dalam memilih kata dan pengenalannya terhadap setting cerita, membuat perbedaan budaya dan daya humor yang dieksplotasiya menjadi tidak melelahkan untuk dibaca. Bahkan banyaknya penggunaan bahasa daerah, pernak-pernik adat dan perumpamaan atau petuah suku yang digunakan, membuat Cerpen “Dua Kutub”, semakin menarik sebagai sebuah cerita. Pesan Persaudaraan Di bagian tiga, Idris menutup cerpennya dengan pesan yang sangat kuat tentang hakekat dan arti penting persaudaraan sebangsa senegara. Karenanya tak menjadi soal perbedaan budaya, suku dan adat istiadat yang melatarbelakangi hubungan setiap orang. Yang utama adalah membangun dan memelihara persaudaraan itu. Dengan gaya bahasa yang kocak, Idris menyampaikan pesan persaudaraan itu di bagian tiga cerpen ini ketika ia menuturkan; “Ini cucu pertama saya. Sudah lama aku menunggunya. Menurut adat Batak, saya yang harus memberikan namanya. Nama cucu ini adalah pengganti namaku. Pahompu Pangoaran,” Silalahi menyatakan itu kepada Sutan Rajo Dilale. “Maaf pak. Ini juga adalah cucuku dari anak pertama, walau dua anak saya sudah menikah sebelumnya. Tapi Dinda adalah anak sulung saya. Saya juga wajib memberi nama buat cucu kita ini,” Sutan Rajo Dilale tak mau kalah. Ketegangan menanti sebuah kelahiran, menjadi semakin tegang. Jantung terasa seperti dipacu.“Saya sudah mempersiapkan namanya, pak,” Silalahi berusaha bertahan. “Saya sudah memilih nama yang paling bagus buat cucu kita ini,” Sutan Rajo Dilela tetap ngotot. Ketika kemudian terdegar suara tangisan bayi yang menembus sela-sela pintu kamar bersalin, Silalahi melompat dari duduknya. “Itu pasti suara tangis cucuku. Itu suara anak Batak. Keras dan to the point, tidak berlenggang-lenggok,” katanya. “Itulah tanda anak Minangkabau, suaranya melengking membahana menembus awan,” Sutan Rajo Dilale juga bangkit dari kursinya. Berdua mereka menuju pintu yang masih tertutup. Dan ketika kemudian dokter memberitahu kelahiran cucu mereka yang sehat dan montok, Silalahi segera berujar; “Namanya Anting Ni Bulan boru Silalahi.” “Tidak pak. Namanya Anjuang Bulan Chaniago!” “Apa? Anting Ni Bulan?” “Apa? Anjuang Bulan?” Keduanya saling menatap. Tapi akhirnya mereka sepekat. Nama yang hampir bersamaan itu disatukan hingga menjadi Anjuang Anting Ni Bulan Chaniago Silalahi. Idris mengakhiri konflik budaya dan isitiadat ini dengan happy ending. Pembaca pun lega. Sungguh cerita yang menyenangkan. Mengapa Idris bisa begitu cerdas memilih tema dan menyelesaikan konflik kultural para tokoh dalam cerpennya ini, kita tak perlu heran. Sebab, selain pegarang, Idris juga wartawan yang sudah berpuluh tahun menggeluti dunia sastra dan dikenal sebagai penggiat seni yang sangat aktif di kota Medan. Iapun tak hanya menulis cerpen, tapi juga novel, puisi dan pekerja teater yang serius. Alumni SMA Katolik Sibolga dan Fak. Hukum Universitas Sumatera Utara ini, sekarang bahkan memimpin Teater Anak Negeri dan mengetuai Komunitas Sastra (KSI) Medan. Jadi, wajarlah jika Idris punya pemahaman mendalam atas budaya dan adat istiadat masyarakat yang hidup di sekitarnya. Selamat bung! (*) Penulis adalah Sastrawan dan Koordinator Gerakan Relawan Medan Hijau (Gerilya-Mu)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Waspada, Minggu 1 Agustus 2010 by Harian Waspada - Issuu