Waspada, Jumat 8 Juni 2012

Page 29

Mimbar Jumat

WASPADA Jumat 8 Juni 2012

C7

Membangun Masyarakat Sadar Syari’ah Tolak Pemimpin Model Ini (3)

Azhari Akmal Tarigan

Kelima, berlindung kepada Allah ketika marah. Nabi SAW bersabda, “Jika seseorang yang marah mengucapkan; ‘A’uudzu billah (aku berlindung kepada Allah SWT, niscaya akan reda kemarahannya.” (HR Ibu ‘Adi dalam al-Kaamil.)

Sekretaris Umum HISSI Sumatera Utara 2012-2016.

D

Keenam, diam. Rasulullah SAW bersabda, “Ajarilah, permudahlah, dan jangan menyusahkan. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam.” (HR Ahmad). Terkadang orang yang sedang marah mengatakan sesuatu yang dapat merusak agamanya, menyalakan api perselisihan dan menambah kedengkian. Ketujuh, mengubah posisi ketika marah. Mengubah posisi ketika marah merupakan petunjuk dan perintah Nabi SAW. Nabi SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka hen-daklah ia berbaring.” (HR Ahmad). Kedelapan, berwudhu atau mandi. Menurut Syekh Sayyid Nada, marah adalah api setan yang dapat mengakibatkan mendidihnya darah dan terbakarnya urat syaraf. “Maka dari itu, wudhu, mandi atau semisalnya, apalagi mengunakan air dingin dapat menghilangkan amarah serta gejolak darah,” tuturnya. Kesembilan, memberi maaf dan bersabar. Orang yang marah sudah selayaknya memberikan ampunan kepada orang yang membuatnya marah. Allah SWT memuji para hamba-Nya “... dan jika mereka marah mereka memberi maaf.” (QS Asy-Syuura:37). Sesungguhnya Nabi SAW adalah orang yang paling lembut, santun, dan pemaaf kepada orang yang bersalah. “... dan ia tak membalas kejahatan dengan kejahatan, namun ia memaafkan dan memberikan ampunan... “ begitu sifat Rasulullah SAW yang tertuang dalam Taurat, kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa AS. (Sumber: Hadis Shahih, Dunia Islam, Rep.)

Aktualisasi Nilai Isra’ Miraj Dalam Kehidupan Oleh Prof Dr H. Ramli Abdul Wahid, MA Pembantu Rektor IV IAIN SU. Ketua Bidang Pendidikan dan Kaderisasi MUI SU, Ketua Umum Majelis Taklim Al Ijtihad

I

srak berarti keadaan Nabi Muhammad SAW diperjalankan Allah pada waktu malam dari Masjidilharam di Makkah ke Masjidilaqsa di Palestina. (QS. Al-Isra, : 1). Miraj berarti keadaan Nabi SAW dinaikkan Allah ke langit yang ke tujuh dan sampai ke Sidratul Muntaha. (QS. An-Najm : 13-15) Pada malam yang sama juga Nabi SAW turun dan kembali ke Makkah. Kejadian ini sungguh luar biasa sehingga orang Arab Kuraisy waktu itu menjadi bingung, dan bahkan tidak sedikit yang tidak percaya serta membuatnya bahan ejekan. Memang sampai sekarang pun masih banyak orang yang tidak bisa menerimanya karena tidak dapat memikirkannya. Dalam kajian tauhid, peristiwa luar biasa yang tidak dapat dipikirkan oleh akal memang dipercayai adanya. Hal luar biasa yang terjadi pada diri seorang nabi disebut mukjizat. Hal luar biasa yang terjadi pada diri calon nabi disebut irhash, pada seorang wali Allah disebut keramat, pada orang biasa disebut ma‘unah, pada orang fasik jika sesuai dengan keinginannya disebut istidraj dan jika tidak sesuai dengan keinginannya disebut ihanah. Tukang sihir Firaun memiliki kemampuan sihir yang luar biasa dengan menunjukkan ular-ular galak di depan Nabi Musa. Tuhan menyuruh Nabi Musa as. melemparkan tongkatnya menjadi ular dan mengalahkan semua ular sihir itu. Beda mukjizat dengan sihir adalah bahwa mukjizat tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun dan tidak dapat dipelajari, sedang sihir bisa dikalahkan dan dapat dipelajari. Israk Mikraj adalah salah satu mukjiat sebagai tanda kenabian Muhammad SAW. Sehubungan dengan peristiwa Israk Mikraj, timbul berbagai pertanyaan rasional. Bagaimana Nabi melewati atmosfir, bagaimana dia tidak terbakar, bagaimana dia terbang, dan lain-lain? Pertanyaan-pertanyaan itu akan hilang ketika kita menyadari keterbatasan akal manusia. Peribahasa Arab berkata, al-‘Aqlu syai’ wa laisa kulla syai’ (Akal bisa mengetahui sesuatu, tetapi tidak segala sesuatu.) Allah berfirman, “Dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit.” (QS, al-Isra’ : 85) Direktur Neurodegerative Disorder Centre (Pusat Penaggulangan Penyakit Saraf) di RS Vancouver dan Professor neurology di University of British Columbia, Donald B. Calne telah melakukan penelitian multidisiplin ilmu pengetahuan dan menuliskan hasil penelitiannya dengan judul, Within Reason: Rationality and Human Behavior yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Batas Nalar : Rasionalitas & Perilaku Manusia. Dalam buku setebal 458 halaman ini Calne menjelaskan bahwa nalar hanyalah alat untuk berpikir dan kemampuannya sangat terbatas. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kemampuan nalar terbatas. Ada tiga istilah menyangkut rasional atau tidak suatu kejadian. Rasional berarti masuk akal. Irrasional berarti tidak masuk akal. Suprarasional berarti di atas jangkauan akal. Mukjizat seperti Israk Mikraj termasuk suprarasional. Kita mengetahuinya berdasarkan wahyu. Kita menerimanya berdasarkan iman. Kita tidak bisa melakukan observasi dan eksperimen terhadap Israk Mikraj. Tetapi, kejadiannya dijelaskan melalui wahyu. Sementara peristiwa itu tidak bertentangan dengan akal. Israk Mikraj sebagai hadiah luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Hadiah ini wajar diberikan kepada seorang Nabi yang sudah mengalami cobaan demi cobaan dalam mengembangkan Agama Allah. Latar belakang peristiwa Israk Mikraj adalah meningalnya isteri Nabi SAW, Khadijah yang merupakan tangan kanannya dan meninggal pamannya Abu Thalib yang selalu melindunginya dari gangguan Kuffar Kuraisy. Nabi SAW mencoba mengadu nasib ke Taif dengan harapan semoga ada orang yang menerima dakwahnya. Setelah sepuluh hari di sana, tidak ada orang yang mendengarkan dakwahnya. Sebaliknya, mereka menolaknya dan melemparinya sampai kepala dan kakinya luka. Beruntunnya musibah ini betul-betul pukulan batin kepada Nabi SAW sehingga tahun itu disebut dengan ‘Amul Huzni (Tahun Dukacita). Begitu

Menyambut Pelantikan HISSI Wilayah Sumut, 9 Juni 2012.

kritisnya situasi sehingga dalam doanya, Nabi berkata, “Sekiranya tidak ada murka-MU kepadaku tidak mengapa.” Sebagai manusia, Nabi juga kadang-kadang cemas kalau Tuhan meninggalkannya atau marah kepadanya. Seolah-olah Nabi berkata, “Begini pun besar derita yang harus kupikul tidak mengapa asalkan Engkau Tuhan menimpakan cobaan ini bukan karena marah-Mu.” Tuhan hendak membuktikan bahwa Ia tidak marah dan tidak meninggalkan Nabi. Nabi pun wajar diberi hiburan. Itulah perjalanan Israk Mikraj. Perjalanan yang luar biasa ini adalah hiburan bagi Nabi untuk me-nguatkan semangat dakwahnya. Dengan peristiwa Israk Mikraj, Tuhan hendak menegaskan bahwa Ia tidak murka dan tidak meninggalkannya. Bahkan, Tuhan tetap sayang kepadanya dengan menganugerahkan hiburan luar biasa. Tuhan hendak mengatakan bahwa musibah-musibah itu hanyalah sunnah dakwah. Tidak ada dakwah tanpa cobaan dan tantangan. Tidak ada Nabi yang tidak dicoba dan mendapat tantangan dari kaumnya. Ada yang disalib, digergaji dalam batang kayu, dilemparkan ke perut ikan, dan Nabi Muhammad sendiri sudah direncanakan Kuffar Kuraisy untuk di-bunuh. Nabi dan para dai yang benarbenar memperjuangkan kebenaran pasti akan mendapat tantangan. Tapi dai yang semata-mata mencari kesenangan dunia tentunya bersikap akomodatif sehingga Agamanya men-jadi samar atau bahkan dia rela Agamanya diper-samakan dengan agama lain. Orang yang saleh menghadapi banyak tantangan dalam memelihara Agamanya, memelihara Agama anaknya, memelihara pergaulannya, dan memelihara matanya , dan sebagainya. UU PKDRT dan UU PA meruntuhkan kepemimpinan rumah tangga. Paham liberal dan pluralisme agama sangat berbahaya terutama kepada generasi mendatang. Masjidil Aqsa menjadi tujuan Israk dan menjadi titik tolak Mikraj memperteguh hubungan Islam dengan agama-agama samawi sebelumnya dan persaudaraan semua Nabi. Di sana Nabi SAW bertemu dengan saudarasaudaranya para Nabi yang diutus sebelumnya. Di sana ia salat menjadi imam dari para Nabi itu. Ada persamaan antar agama samawi, tetapi tidak sama. Umat Islam harus toleran dengan pemeluk agama lain dalam hal kemasyarakatan, bukan dalam akidah dan ibadah. Suatu tantangan besar sekarang adalah kecenderungan sebagian intelektual mempersamakan semua agama, dan Muslim tidak boleh mengklaim bahwa agamanya paling benar. Jibril menawarkan susu dan khamar kepada Nabi, tetapi Nabi memilih susu. Ini berarti bahwa Islam Agama yang sesuai dengan fitrah. Perbuatan baik adalah fitrah manusia. Perbuatan yang baik dan halal membawa kelegaan dan kebahagiaan dunia dan akhirat, seperti mengerjakan yang wajib, makan dan minum yang halal, menutup aurat, dan bersedekah. Perbuatan yang haram membawa kecemasan dan resiko dunia dan akhirat, seperti minum khamar, judi, zina, mencuri, korupsi, bohong, dan zalim kepada orang.Kepada Nabi diperlihatkan orang yang memotong-motong lidahnya karena menyesali perbuatannya yang banyak berbohong. Diperlihatkan orang yang menanam dan panen sebagai gambaran orang yang suka berinfak. Oleh-oleh dari Mikraj adalah shalat lima kali sehari semalam. Shalat tiang Agama. Barangsiapa yang mendirikannya berarti mendirikan Agama pada dirinya. Barangsiapa meninggalkannya berarti meruntuhkan Agama pada dirinya. Perbedaan antara hamba Allah dengan orang kafir adalah shalat. Meninggalkan shalat dosa besar. Orang yang meninggalkan shalat fardu adalah fasik. Orang fasik tidak sah menikahkan anaknya dan tidak sah menjadi saksi dalam pernikahan.Ini merupakan sebagian dari sederetan pelajaran yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan. Keimanan menghadapi tantangan yang sangat besar dan luas. Semakin hari tantangan iman semakin berat, terutama bagi generasi mendatang.

Shalat tiang Agama. Barangsiapa yang mendirikannya berarti mendirikan Agama pada dirinya. Barangsiapa meninggalkannya berarti meruntuhkan agama pada dirinya.

i antara ilmu-ilmu keislaman, agaknya ilmu Syari’ah khususnya ilmu fikih atau hukum Islam - adalah Ilmu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat Islam. Sebabnya sederhana saja, seluruh aspek kehidupan kita sebagai manusia di atur oleh syari’ah. Hampir tidak ada satu aktivitas kehidupan kita sebagai manusia yang dapat dipisahkan dari syari’ah, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Dari urusan masuk WC sampai urusan Negara. Karena itulah, ilmu-ilmu syari’ah tetap akan dibutuhkan umat sepanjang masa. Implikasi lebih jauh adalah, Fakultas Syari’ah sebagai fakultas yang di dalamnya ilmu-ilmu syari’ah dikaji dan didalami tidak akan pernah sepi dari peminat. Contoh yang paling dekat adalah fakultas Syari’ah IAIN.SU yang sampai saat ini terus dicari dan dipilih calon mahasiswa baru setiap tahun ajaran baru dimulai. Kendatipun ilmu-ilmu syari’ah akan dibutuhkan sepanjang masa, tetap saja ilmu syari’ah sebagai produk pemikiran perlu untuk terus dikembangkan. Ilmu syari’ah –sekali lagi ilmunya bukannya syari’ahsejatinya harus terus menerus ditinjau ulang (i’adatun nazhar) dan dikontekstualisasikan dengan kehidupan kekinian agar tetap relevan. Dalam kitab-kitab ushul fikih selalu ditemukan kalimat, nash-nash syar’i terbatas dan persoalan-persoalan (alwaqa’i) kontemporer tidak terbatas. Yang harus diwaspadai adalah jangan sampai masyarakat meninggalkan ilmu-ilmu syari’ah karena dianggap tidak adaptif dan akomodatif dengan perkembangan zaman. Masyarakat merasa tidak dinaungi oleh syari’ah Islam (hukum Islam). Dalam upaya pengembangan ilmu-ilmu syari’ah khususnya ilmu fikih agar tetap relevan dengan perkembangan zaman, maka diperlukan sebuah lembaga profesi dan keahlian yang bertanggungjawab terhadap perkembangan ilmu tersebut. Memang kita memiliki lembaga pendidikan tinggi seperti Fakultas Syari’ah baik di UIN, IAIN, STAIN ataupun di STAIS. Namun disebabkan kesibukan persoalan adimistrasi dan program akademik, lembaga pendidikan

tinggi kerap lupa untuk pengembangan keilmuan syari’ah. Pendidikan Tinggi(PT) hari ini lebih disibukkan oleh persoalan-persoalan rutinitas akademik. Mulai dari kegiatan belajar-mengajar, pengabdian masyarakat sampai acara seremonial, PT terlupa dengan pengembangan ilmu. Jadilah perguruan tinggi sebagai menara gading yang terpisah dari realitas masyarakat. Kritik seperti ini tentu sering kita dengar. Untuk memecahkan kebuntuan keilmuan inilah dipandang perlu untuk membentuk satu lembaga yang disebut dengan HISSI (Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syari’ah Indonesia). Sebagai lembaga yang baru lahir, HISSI tentu belum menunjukkan kiprahnya. HISSI baru menata kelembagaannya dan melakukan beberapa kegiatan-kegiatan yang lebih bernuansa sosialisasi dan menjalin kerjasama dengan lembagalembaga terkait. Salah satu program penting HISSI adalah membentuk kepengurusan di tingkat propinsi. Dalam hal ini, Sumatera Utara termasuk daerah yang diprioritaskan agar secepat mungkin memiliki pengurus di tingkat wilayah. Hasilnya, pada tanggal 23 Maret 2012, SK Pengurus Wilayah HISSI Sumut No. 2 Tahun 2012 yang ditandatangai oleh Prof. Dr. H. Amin Summa, SH, MH, resmi dikeluarkan dengan menetapkan Dr.H. M. Jamil sebagai Ketua Umum. Dengan lahirnya SK pengurus wilayah HISSI Sumut, diharapkan dinamika pemikiran hukum Islam di Sumut semakin berkembang. Lebih dari itu, persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat umum, lebih cepat direspon dan dicarikan solusinya. Dalam upaya itulah, HISSI Sumut akan melakukan beragam kegiatan seperti: Pertama, Melakukan pengkajian, penelitian, dan pengembangan ilmu-ilmu syari’ah dalam konteks ke-Indonesiaan. Penekanan konteks keindonesiaan ini menegaskan betapa pentingnya membangun Ilmu hukum Islam Indonesia. Sebenarnya gagasan ini telah dicetuskan oleh pakar-pakar hukum Islam, Hazairin, Hasbi Ash-Shiddiqy, Bustanul Arifin dan belakangan almarhum Qadry Azizi. Beberapa contoh produk hukum Islam yang warna keindonesiaannya semakin jelas dapat

Syari’ah- sejatinya harus terus menerus ditinjau ulang (i’adatun nazhar) dan dikontekstualisasikan dengan kehidupan kekinian agar tetap relevan. dilihat pada UU perkawinan No 1 Tahun 1974, Undang-undang Pengelolaan zakat, Undang-undang Wakaf dan lain-lain. Kedua, Meningkatkan kualitas sumber daya manusia/insani (SDM/ SDI) yang kompeten di bindang syari’ah. Belakangan disadari, PT ternyata tidak cukup mampu melahirkan SDM/SDI yang benar-benar berkualitas khususnya pada sisi teknikal atau keterampilan (skil). Ada kesan PT lebih fokus pada peningkatan kualitas akademik atau intelektual. Padatnya jumlah SKS membuat PT tidak sepenuhnya mampu mengembangkan kemampuan skill mahasiswa. Sampai di sini diperlukan bentuk lain dalam rangka peningkatan SDM tersebut. Misalnya, merumuskan bentuk-bentuk peraktikum mahasiswa yang lebih sesuai dengan kebutuhan pasar. Oleh karena itu, di dalam kepengurusan HISSI terdapat unsur-unsur hakim dan peraktisis ekonomi syari’ah. Keberadaan mereka diharapkan dapat menopang program PT terutama dalam konteks perumusan bentukbentuk praktikum. Ketiga, Memberikan landasan nilai-nilai kesyariahan dalam pembentukan dan pengembangan perundang-undangan di Indonesia. Bagi pengurus HISSI di pusat, upaya ini berkaitan dengan produk undangundang yang akan digodok di lembaga legislative. HISSI harus dapat memastikan bahwa produk undangundang yang lahir di Indonesia tidak saja tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai syari’ah, tetapi lebih dari itu, UU tersebut harus mencerminkan nilai-nilai Syari’ah. Sedangkan bagi pengurus HISSI daerah perannya lebih ditekankan pada perdaperda syari’ah dan aturan terkait lainnya. Dalam hal ini, HISSI memainkan perannya sebagai penjaga syari’ah itu sendiri. Keempat, Membina dan me-

ngembangkan kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi syari’ah. Bagian ini adalah usaha yang sangat berat. HISSI punya kewajiban untuk mendorong terwujudnya masyarakat yang sadar syari’ah. Kendatipun masyarakat Indonesia mayoritas muslim dan harus tunduk pada syari’ah, namun pada implementasinya di masyarakat, terkesan masih jauh dari nilai-nilai syari’ah. Harus jujur diakui, hampir diseluruh bidang kehidupan bangsa, hukum, ekonomi, budaya dan politik, masih jauh dari nilai-nilai syari’ah. Implikasinya kehidupan yang penuh dengan ‘adalah (keadilan), damai dan maslahat sulit untuk diwujudkan. Masyarakat sadar syari’ah adalah visi besar HISSI Sumatera Utara. Islam sebagai rahmatan li al‘alamin hanya akan terwujud sepanjang nilai-nilai syari’ah diterjemahkan dalam kehidupan ril masyarakat. Jika dalam bidang ibadah, kesadaran syari’ah masyarakat kita sudah tinggi. Lihatlah bagaimana kuota haji kita tidak pernah cukup disebabkan tingginya minat umat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Demikian juga puasa dan zakat. Namun masalah kita sekarang yang cukup pelik adalah bagaimana membangun masyarakat sadar syari’ah dalam bidang mu’amalah. Lembaga-lembaga keuangan syari’ah kita merasa tidak terdukung oleh umatnya. Demikian juga lembaga filantropi Islam seperti zakat dan wakaf, partisipasi masyarakat masih belum memadai. Tidak kalah seriusnya adalah dalam masalah budaya dan politik. Ketiga bidang ini kerap menimbulkan kegaduhan di masyarakat disebabkan kita jauh dari nilai syari’ah. Sebagai umat Islam, kita harus yakin, syari’ah akan mampu membawa kehidupan umat ini menjadi lebih baik lagi. Semoga pengurus yang dilantik, menyadari tugas kekhalifahan ini sangat berat namun bukan mustahil untuk diwujudkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Salah Paham Terhadap Nabi Budi Juliandi, MA Dosen STAIN Langsa/Alumni Ponpes Darularafah

T

ulisan ini merupakan catatan penulis selama dua hari saat menjadi peserta kursus reguler paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam bahasa Arab dengan instruktur seorang ulama dan intelektual asal Libanon, Dr. Muhammad Utsman— dilaksanakan di Badan Pengembangan Pendidikan Non-Formal dan In-Formal (BPPNI) Medan 15-16 Mei 2012. Setidaknya ada dua permasalahan utama yang disampaikan pada acara bertemakan Menangkal Paham Sesat dan Paham Ahlussunnah Palsu tersebut. Pertama, masalah penyimpangan pemahaman keagamaan secara umum, dan kedua, masalah kesalahpahaman terhadap para Nabi. Salah Paham Terhadap Yusuf a.s Dipahami bahwaYusuf sem-pat tergoda dan ingin berzina. Alquran menyebut: “Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya…” QS Yusuf [12:24]. Pemahaman seperti ini harus diluruskan. Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Yusuf mempunyai keinginan yang buruk terhadap perempuan tersebut. Yusuf tidak mungkin ingin me-lakukan tindakan asusila karena dia adalah seorang Nabi. Kata hamma biha pada ayat di atas tidaklah diartikan bahwa Yusuf berkehendak secara seksual yang menjadi pintu masuk perbuatan zina. Kata hamma biha artinya bahwa pada saat perempuan itu berkehendak kepada Yusuf, maka Yusuf pun berniat mendorong tubuh perempuan itu (hamma bi daf ’iha). Namun jika itu ia lakukan, maka konsekuensinya adalah akan mempersulit dirinya sendiri jika perempuan tersebut bermaksud menuduhnya telah berusaha melakukan kekerasan seksual. Seorang perempuan yang dalam situasi seperti ini biasanya spontanitas menarik baju laki-laki yang akan melakukan per-buatan tidak senonoh terhadap dirinya. Allah berfirman: “…seki-ranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian…” QS Yusuf [12:24]. Oleh karena itu, Yusuf pun tidak mewujudkan niatnya untuk mendorong tubuh wanita itu setelah beliau melihat petunjuk dari Allah SWT. Kenyataannya dapat dilihat bahwa baju yang dikenakan

Yusuf tidak koyak di bagian depan, tapi di bagian belakang. Dengan robeknya baju Yusuf di bagian belakang terbantahkanlah anggapan bahwa Yusuf berkehendak secara seksual dan tergoda melakukan perbuatan asusila. Sebaliknya, ini memperkuat bukti bahwa perempuan itulah yang benar-benar ingin berusaha menggoda Yusuf agar dapat melakukan perbuatan zina. Alquran menceritakan bahwa Yusuf berada pada posisi yang benar dan perempuan tersebutlah yang nyata-nyata salah. …Wahai Yusuf! “Lupakanlah ini,

teisme sejati, Ibrahim tentu tidak pernah mempertuhankan bintang, bulan dan matahari sebagaimana yang dilakukan kaum Shabi’ah di masanya, karena beliau selalu dibimbing dan diberi petunjuk oleh Allah SWT. “Dan sungguh, sebelum dia (Musa dan Harun) telah Kami berikan kepada Ibrahim petunjuk, dan Kami telah mengetahui dia.” QS Al-Anbiya’ [21:51] Ayat di atas menolak pemahaman bahwa Ibrahim sempat mengalami fase skeptis/ragu tentang siapa sebenarnya Tuhan yang harus ia sembah. Hanifan adalah

Salah paham terhadap para Nabi sering kita temukan pada tulisantulisan baik dari luar Islam maupun dari orang Islam sendiri. dan (istriku) mohonlah ampunan atas dosamu, karena engkau termasuk orang yang bersalah.” QS Yusuf [12:29] Salah Paham Terhadap Ibrahim a.s Nabi Ibrahim dikatakan mengalami keragu-raguan (skeptic) terhadap Tuhannya. Alquran menyebut: “Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Hadza Rabbi?”. Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Hadza Rabbi?” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian ketika dia melihat ma-tahari terbit, dia berkata,“Hadza Rabbi, ini lebih besar?” tetapi ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” QS Al-An’am [6:76-78]. Pernyataan Ibrahim hadza rabbi haruslah dipahami sebagai istifhamun inkariyyun (sebuah pertanyaan untuk menolak) yang kalau diartikan menjadi, “inikah Tuhanku?” Ungkapan, “inikah Tuhanku?” mengandung arti bahwa ‘sebenarnya ini bukan Tuhanku’. Sangat jelas berbeda jika ungkapan hadza rabbi diartikan, “ini Tuhanku!” atau “ini pasti Tuhanku!” Sebagai seorang bapak mono-

sebutan bagi Ibrahim yang tidak mungkin jatuh dalam kesyirikan, skeptisisme, konon lagi menjadi sesat. Ibrahim tidaklah memperoleh pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa melalui suatu proses perjuangan berpikir sejak muda dengan cara observasi dan penarikan kesimpulan dari pengamatannya tentang gejala alam dan kehidupan yang dilihatnya sebagaimana yang dipahami orang. Ibrahim berbeda dengan manusia lainnya yang dalam spiritualitasnya melakukan upaya pencarian hingga sampai kepada titik terang tentang siapa Tuhannya. Ibrahim adalah seorang pilihan Tuhan yang terbimbing dan tidak mengalami fase skeptisisme dalam hal bertuhan. “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus (hanif ), muslim, dan dia tidaklah termasuk orang-orang yang musyrik (politeis). QS Ali ‘Imran [2:67]. Salah Paham Terhadap Muhammad SAW Salah paham terhadap Nabi juga terjadi pada Nabi SAW. Perkawinan Nabi dengan lebih dari empat orang perempuan dan ketidakmampuannya dalam membaca dan menulis (ummiyyat annabiyyi) terus dipertanyakan. Nabi SAW dihujat sebagai orang yang menggandrungi banyak perempuan (walu’u al-qalbi bi an-nisa’). Padahal salah satu tujuan utama

perkawinan beliau adalah dalam rangka asistensi dakwah kaum perempuan di mana istri-istri beliau menjelaskan kepada perempuan-perempuan lain tentang Islam. Ini berbeda dengan yang dibayangkan oleh orang di luar Islam bahwa perkawinan Nabi SAW tersebut untuk bersenang-senang dalam gairah seksual (to imagine the Prophet basking decadently in sexual delight). Menurut Karen Amstrong, dalam Islam: A Short History: 13, di Barat, seorang yang memiliki banyak istri dianggap melakukan sebuah kecabulan. Oleh karena itulah maka orang-orang di sana menghujat Muhammad karena memiliki lebih dari satu istri. (Muhammad’s numerous wives have occasioned a good deal of prurient interest in the West). Hujatan lainnya yang dialamatkan kepada Nabi SAW adalah pada masalah ummiyyat annabiyyi (ketidakmampuan Nabi SAW dalam baca-tulis). Sebenarnya, label Nabi yang ummiy bukanlah sesuatu yang menghinakan dirinya, menjatuhkan kedudukannya sebagai seorang Nabi. Ummiyyat an-nabiyyi bukanlah sebuah kelemahan, tapi justru merupakan kekuatan untuk menjawab tuduhan bahwa Muhammad membuat Alquran. Allah SWT berfirman: “Engkau tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya (Alquran), tidak juga menulis satu tulisan dengan tanganmu. (Andai kata kamu pernah membaca dan menulis) pasti akan benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari(mu).” QS Al-‘Ankabut [29:48] Penutup Salah paham terhadap para Nabi sering kita temukan pada tulisan-tulisan baik dari luar Islam maupun dari orang Islam sendiri. Sebagai manusia-manusia pilihan, para Nabi adalah orang-orang yang terbimbing langsung oleh Allah SWT QS Al-Baqarah [2:130, 247], Al-A’raf [7:144], AdDhuha [93:7]. Sekalipun mereka melakukan kesalahan, tentu karena mereka juga manusia, namun tidaklah seperti kesalahan yang kita lakukan. Akan lebih tepat kita menyebutnya suatu kekhilafan, kealpaan atau lupa (nasiya) yang tidak dilakukan dengan sengaja. “Dan sungguh telah Kami pesankan kepada Adam dahulu, tetapi dia lupa… QS Taha [20:115]. Wallahu a’lam bi as-shawab.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.