Waspada, Jumat 4 Maret 2011_ok

Page 28

Mimbar Jumat

C10

Pergolakan Di Timur Tengah, Sejarah Yang Berulang!

A

ngin revolusi yang berhembus di Tunisia yang akhirnya melengserkan Zine alAbidine Ben Ali, tampaknya terus bergerak dan menggoyang kekuasaan para diktator yang bersemayam di Timur Tengah. Mesirpun bergolak. Demonstran yang “urat takutnya” telah putus sepertinya tak mengenal lelah terus menerus meneriakkan revolusi. Hosni Mubarak harus mundur. Kendati memakan korban jiwa, perjuangan rakyat tak sia-sia. Mubarok yang telah memimpin Mesir 30 tahun lamanya, akhirnya lengser. Kini angin revolusi bergerak menuju Libiya,Yaman, Bahrain, Al-Jazair dan daerah-daerah di Timur Tengah lainnya. Tidak berlebihan jika disebut, gerakan rakyat pro demokrasi di Tunisia telah menginspirasi banyak orang untuk turun ke jalan meneriakkan revolusi atau reformasi. Jauh sebelum munculnya negara modern di Timur Tengah, kehidupan politik mereka sesungguhnya dihiasi dengan pertarungan dan intrik politik yang cukup tajam. Perpecahan atau skisma politik merupakan hal biasa. Tegasnya, Timur Tengah punya sejarah politik kelam yang berdarah-darah. Di mulai sejak masa Umar ibn Al-Khattab, khalifah II dan terus berlanjut sampai hari ini, darah bercucuran sebagai harga yang harus dibayar untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Bedanya, pada era khulafaurrasyidin, khususnya sejak masa Umar Ibn Al-Khattab, Usman bin Affan dan Ali Ibn Abi Thalib, pertumpahan darah lebih disebabkan tindak pidana personal. Bukan didasari protes terhadap ketidakadilan para khalifah kala itu. Setelah Ali Ibn Abi Thalib terbunuh pada tahun 661 oleh Ibn Muljam, kekhalifahan Islam dilanjutkan oleh Mu’awwiyah (41-61 H-661-680 M). Mu’awwiyah malah kembali membalik jarum jam sejarah. Mu’awwiyah menghidup kan tradisi kerajaan pra Islam di Timur Tengah. Dinasti Mu’awwiyah dipimpin oleh 14 orangkhalifah dari dua keluarga keturunan Umayyah Harb dan Abu Al-As. Lebih kurang 90 tahun lamanya dinasti Umayyah memimpin pemerintahan Islam, sampai akhirnya takluk pada tahun 750 M. Dinasti ini memiliki era kegemi-

A

khir-akhir ini kita diributkan oleh adanya Ah-madiyah. Kadang-kadang sampai terjadi gerakan-gerakan anarkis, membakar, merusak, melukai, bahkan membunuh. Tentu hal itu kita tidak inginkan. Adapun kejadian belakangan ini merupakan puncak atau maksimal atau letupan dari perpecahan. Padahal Tuhannya sama, Nabinya sama, Kitabnya sama. Tetapi terjadi tidak sama didalam pengamalan, akibat adanya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat wajar. Perbedaan pendapat ada yang harus segera diselesaikan ada yang boleh dibiarkan sampai satu waktu mendapat jawaban penyelesaian. Juga beda pendapat ini ada yang sampai membentuk jemaah yang beda faham tak dapat disatukan seperti air dengan minyak. Misal haram tidaknya rokok atau kapan bolehnya wanita janda boleh dikawini setelah selesai 3 masa quru’ (haidkah atau sucikah), ini tidak akan sampai menimbulkan kotak-kotak umat atau jamaah-

Oleh Azhari Akmal Tarigan

langan pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al-Aziz (717-720 M). Ia diberi gelar Umar ke II setelah Umar Ibn Al-Khattab. Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Umayyah hancur.Pertama, bagi Abbasiyah, yang berhak menggantikan Nabi adalah keturunan nabi sendiri. Dinasti Abbasiyah yang dimulai oleh Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim Abdullah bin Abbas Ali bin Abdullah Muhammad bin Ali berjuang untuk merebut status sebagai pelanjut Nabi. Kedua, gerakan oposisi oleh mereka yang tersingkir dari pusat kekuasaan. Ketiga, penyimpangan yang dilakukan dinasti Mu’awwiyah terhadap ajaran-ajaran dan nilainilai Islam. Selanjutnya, Dinasti Abbasiyah memimpin lebih kurang 5 abad lamanya sejak tahun 750-1258 M. Para pakar sejarah membagi periodesasi dinasti Abbasiyah ini kepada , priode awal (750-847), priode lanjutan (847-945), priode Buwaihi (9451055) dan priode Saljuk (1055-1258). Khalifah Ababsiyah generasi awal dikenal dengan sosok pemimpin yang adil dan peduli terhadap rakyatnya. Pada era ini, terdapat khalifah yang dikenal tegas dan sangat membenci apa yang disebut dengan nepotisme, korupsi dan kolusi. Tokoh itu adalah Khalifah Harun Al-Rasyid. Pada eranyalah Baghdad mencapai puncak kejayaannya. Lima abad lamanya Dinasti Abbasiyah berkuasa dengan khaliah yang datang silih berganti, akhirnya harus hancur diterjang oleh perang saudara. Nur A Fadhil Lubis mencatat, kebangkrutan ekonomi

pada akhirnya memporak-porandakan kekuasaan Abbasiyah. Permasalahan besar Abbasiyah pada masa akhir adalah menurunnya sumber pendapatan penguasa. Perang saudara yang tiada henti dan penghancuran yang dilakukan gerakan Qaramitah membuat da-erahdaerah kantong pertanian menjadi terbengkalai. Akhirnya pada tahun 1258, keganasan Hulagu Khan cucunya Jengis Khan, di kota Baghdad, meluluhlantakkan semua apa yang pernah dimiliki dinasti Abbasiyah. Berakhirnya era Abbasiyah – berakhir pula fenomena internasionalsiasi Islam. Sebaliknya yang muncul adalah dinasti-dinasti kecil yang kendati tidak terlalu signifikan dalam sejarah peradaban Islam, namun setidaknya keberadaan mereka dapat meneguhkan eksistensi politik Islam. Pada sisi lain, fakta tersebut malah menunjukkan bahwa di dunia Islam sedang terjadi perpecahan yang hebat. Muncullah dinasti-dinasti kecil seperti Dinasti Saffariyah, Dinasti Tahiri, Dinasti Samaniyah, Dinasti Tuluniah, Dinasti Hamdani, Dinasti Buwaihi, Dinasti Gaznawi, Dinasti Fatimiah, Dinasti Ayubiyah, Dinasti Salahiyyah, Dinasti Bani Rasul dan lainnya. Penting dicatat, dinasti tersebut bukanlah muncul dalam waktu yang berurutan. Mundur satu baru muncul dinasti yang baru. Pada saat itu, ada dinasti Islam yang berada di bagian Timur dan ada pula dinasti yang berada di bagian Barat. Kendati dinasti itu muncul pada wilayah dan masa yang berbeda, namun ada persamaan antara satu dinasti dengan dinasti lainnya. Me-reka hancur karena faktor-faktor yang relatif sama. Setiap pemimpin atau sultan di berbagai dinasti tetap menginginkan anaknya sebagai penggantinya. Ironisnya kendati mereka melabeli pemerintahannya dengan Islam, namun peraktiknya jauh dari nilainilai Islam. Pada saat kondisi dinasti Islam lemah, saat itulah penjajah asing menaklukkan kekuasaan Islam. Tidak ada gunanya mengutuk dinasti Mu’awwiyah yang telah membalikkan arah jarum jam politik Islam dari sebuah model Qur’ani yang

Pintu Ijtihad Oleh dr. Arifin S.Siregar

jamaah yang sulit disa-tukan seperti air dengan minyak. Perbedaan pendapat seperti ini boleh ditolerir.

Konsultasi Al-Quran Ikatan Persaudaraan Qari-Qariah & Hafizh Hafizah (IPQAH Kota Medan) KONSULTASI AL-QURAN adalah tanya jawab sekitar Al-Quran, yang meliputi: tajwid, fashohah, menghafal Al-Quran, Ghina (lagu) Al-Quran, Hukum dan ulumul Al-Quran. Kontak person. 08126387967 (Drs. Abdul Wahid), 081396217956 (H.Yusdarli Amar), 08126395413 (H. Ismail Hasyim, MA) 0819860172 (Mustafa Kamal Rokan).

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Al-Ustaz, Saya pernah membaca pendapat bahwa mushaf AlQur’an itu sama saja dengan Koran, artinya tidaklah perlu bagi kita untuk memuliakan mushaf, karena mushaf dan Koran sama-sama dicetak mesin. Maka katanya, kalau Koran boleh diinjak-injak, begitu juga mushaf Al-qur’an boleh diinjak-injak. Bagaimana Pendapat Ustadz?. Dari Muhammad Efendi Nasution di Medan. Jawab : Terimakasih atas pertanyaanya. Memang kami pernah membaca ada seorang yang menamakan dirinya cendikiawan muslim mendengungkan pendapat seperti itu. Kami tidak sependapat dengan pendapat semacam itu. Mushaf Al-qur’an jelas tidak sama dengan Koran. Untuk memegang mushaf saja perlu untuk suci dari hadas kecil apalagi besar, artinya harus suci. Demikian salah satu pendapat ulama dalam menafsirkan surat Waqiah ayat 79 yaitu: “ tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang suci”. Pendapat ini didasarkan hadis bahwa Rasulullah telah melarang bepergian membawa Al-Qur’an ke negeri musuh karena dikhawatrikan Al-qur’an dirampas oleh musuh” (HR Muslim), Dikuatkan pula oleh Imam Malik dalam Muwatta’-nya yang menyatakan bahwa tidak boleh menyentuh Al-qur’an kecuali orang suci. (Lihat Tafir Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat waqiah). Benar bahwa Al-qur’an dicetak dengan mesin cetak, tetapi mushaf Al-qur’an itu adalah “wasilah”(yang menghubungkan) kita untuk membaca firman Allah itu. Kita sangat memuliakan firman Allah, maka dengan demikian kita juga memuliakan “wasilah” yang menjadikan kita bisa membaca firman Allah itu. Jadi, kertas Koran yang tidak menjadi “wasilah” berbeda dengan kertas mushaf yang menjadi “wasilah”. Bagini, setiap manusia berasal dari tanah termasuk orang tua kita, kita sangat menghormati orang tua kita dan ini berbeda dengan unsur tanah yang lain misalnya monyet, kita tidak perlu memuliakan monyet, padahal sama-sama unsur tanah. Anda boleh saja memijak kepala monyet dan itu dilarang sama sekali memijak kepala orang tua kita. Jadi sudah berbeda unsur tanah yang ada pada orang tua dan unsur tanah yang ada pada monyet. Menurut kami, siapa-siapa yang mengatakan bahwa mushaf Al-qur’an sama dengan Koran, berarti sudah menyamakan orang tuanya dengan monyet, kalau boleh menghinakan monyet dengan memijak kepala monyet maka suruh saja dia memijak kepala orangtuanya karena orangtuanya dan monyet sama-sama terjadi dari unsur tanah. Wallahu A’lam. Al-Ustadz H. Ismail Hasyim, MA

Perbedaan pendapat yang tidak boleh ditolerir atau dibenarkan bila disatu pihak tidak ada argumentasinya atau melanggar Sunnah, apalagi sampai membentuk jemaah. Ini sangat berbahanya kalau--kalau kelompok jemaahnya sampai muncul dipermukaan, apalagi saling tidak bisa ditemukan seperti air dengan minyak. Kenapa Ada Ahmadiyah ? Kenapa ada Ahmadiyah ? Karena mereka berijtihad bahwa ada Nabi lagi sesudah Nabi Muhammad Saw. Menurut saya Nabi Saw telah menyatakan melalui Hadis- hadis atau melalui kejadian-kejadian menunjukkan dimana pencipta atau penetap Aqidah dan Ibadah adalah hak paten pada Nabi Saw. Contoh: melalui H.R Muslim: sabda Nabi Saw: “Shallu kama roaitumuni ushalli = Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat”. Atau adanya H.R Muslim lain berbunyi: “Barang siapa mengerjakan sesuatu amalan (Aqidah, Ibadah) yang tidak ada petunjuk kami (Nabi Saw) maka amalan itu tertolak”.Dengan kata lain, pintu ijtihad pada aqidah, Ibadah telah tertutup setelah wafatnya Nabi Saw. Setelah Nabi Saw wafat, ijtihad pada Aqidah. Ibadah hanya boleh pada masalah teknis saja. Misalnya zakat dimana hukumnya: hasil pertanian 10%, hasil peternakan 5%, hasil emas 2½ %. Berarti Nabi Saw dan sahabat berzakat hasil pertaniannya (gandum 10%). Kita berzakat dengan beras itu adalah tek-nis dari pelaksanaan zakat hasil pertanian 10 % itu. Atau ukuf di Arafah tanggal 9 Zulhijjah (Ibadah). Perluasan areal Arafah untuk ukuf seperti yang sekarang ini soal tehnis. (Lihat Kitab “Pembahasan Khilafiyah” oleh: Kiyai H.Usman Hasyim dan Kitab “Kriteria Sunnah dan Bid’ah” oleh: Prof.Dr. H. Hasbi Ash Syiddiqi). Tapi menyatakan ada Nabi lagi sesudah Nabi Muhammad SAW, ini sesuatu ijtihad dalam Aqidah. Atau kalau menyatakan perlu ada tepung tawar sebagai pelengkap do’a restu pemberangkatan jamaah Haji, ini merupakan ijtihad pada Ibadah. Atau menambah do’a lagi segera setelah salam shalat jenazah, itu tentu hasil ijtihad ulama. Atau seperti yang diutarakan ustad H.M Nasir Lc MA (Waspada 28-1-2011 Mimbar Jum’at) perlu azan pada penanaman mayat, atau pada banjir atau pada pemberankatan

diperkenalkan nabi Muhammad SAW menjunjung prinsip syura, al-‘adalah, al-musawah- menjadi sistem pemerintahan yang monarki absolut. Cukup banyak data sejarah yang bisa diungkap bagaimana kekejaman para khalifah terhadap mereka yang memiliki suara berbeda. Akibatnya sejarah politik Islam adalah sejarah yang berdarah-darah. Ini ber-beda dan bertolak belakang dengan sejarah peradaban, sejarah ilmu da-lam Islam yang semua orang meng-akui sangat cemerlang. Menatap sejarah politik Islam, baik yang klasik terlebih lagi yang kontemporer, kita sebenarnya diajarkan banyak hal. Pertama, pemerintah yang menjalankan kekuasaannya tanpa berpegang kepada nilai-nilai Islam, cepat atau lambat akan hancur. Bagi seorang pemimpin ada adagium yang sangat penting. Kesalehan sosial lebih berharga dari kesalehan pribadi. Kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok diposisikan di bawah kepentingan rakyatnya. Kedua, perubahan radikal yang dilakukan Rasul dengan menolak pemerintahan model kerajaan sejatinya harus dibaca dalam makna antropologi. Bangsa Arab tidak bisa bertahan dan tidak bisa menjadi lokomotif peradaban jika sistem pemerintahannya menutup ruang untuk tegaknya syura.Syura jika dilakukan sesuai Al-Qur’an, tetap menghasilkan pemimpin yang terbaik. Sebaliknya, sistem kerajaan, menghasilkan yang berpunya. Ketiga, kezaliman tidak akan pernah bisa bertahan lama. Cepat atau lambat akan terbongkar. Keadilan dan kebenaran sesungguhnya memiliki hukumnya tersendiri. Fenomena di Timur Tengah menunjukkan kepada kita, kepemimpinan yang jauh dari tuntunan Nabi. Rasul memimpin 23 tahun, masa yang cukup lama terlebih jika dibaca dari kacamata politik modern. Nyatanya Nabi bisa bertahan dan sukses. Oleh sebab itu, syura tidak diukur se-berapa lama ia menjabat. Itu tidak pen-ting sepanjang ia menjunjung nilai-nilai Islam. Sebaliknya, kendati seseorang menjabat hanya 1 tahun, jika jauh dari nilai Islam, yang terjadi adalah kehancuran. Wallahu a’lam bi al-shawab. � Penulis adalah Koordinator Tim Penulis Tafsir Al-Qur’an dan Staf Pengajar Fak. Syari’ah IAIN-SU. jemaah calon Haji, ini juga ijtihad ulama. Ijtihad dalam Ibadah menurut saya telah dilakukan oleh ustad Kiyai Muhammad Roy dari pesantren I’tikaf Ngadi Lelaku, desa Sumber Waras, Malang, dimana beliau menterjemahkan fatihah yang dibacanya sebagai imam, katanya agar makmum mengerti apa yang didengarnya (tidak buta), tentu lebih bagus, lebih baik katanya. Tegoran yang dilakukan padanya, dijawabnya : “Tidak ada syarat dan rukun shalat yang dilanggar. Untuk itu saya berijtihad demi yang bagus dan baik”. Akibat dari kebolehan adanya ijtihad pada Aqidah dan Ibadah oleh ulama setelah Nabi wafat, maka terjadilah model-model Aqidah atau Ibadah yang baru, maka berakibat terjadi perbedaan-perbedaan pendapat apakah itu benar atau salah. Sehingga berwujud penyebab ukhuwah Islamiyah mengalami perbedaan. Ada tharikat ini, tharikat itu, ada ormas M, ada ormas N, ada ormas A, dan sebagainya. Mengatasi Beda Pendapat. Pedoman pertama mengatasi beda pendapat dimana Allah SWT telah memberi petunjuk melalui: QS An-Nisa’ 59: “(Hai orang-orang yang beriman),... Apabila kamu berbeda pen-dapat mengenai sesuatu maka rujuklah kepada Allah (Al-Qur-’an) dan Rasul-Nya (Sunnah), bila kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat”. Pedoman yang kedua adalah melalui H.R. Muslim: “Barang siapa melakukan amalan (Aqidah, Ibadah) yang tidak ada petunjuk agama (Nabi Saw) maka amalan itu tertolak”. Pedoman yang ketiga yaitu melalui H.R Muslim: “Seburuk- buruknya perbuatan adalah mengada-ada (menambah-nambah pada Aqidah/Ibadah) setiap yang mengada-ada adalah Bid’ah dan setiap Bidah adalah sesat dan setiap yang sesat di neraka”. Dengan menggunakan pedoman ini, maka beda pendapat dapat dihilangkan. Misalnya dua orang abang beradik dimana terjadi perbedaan pendapat antara abang dengan adik, dimana si Abang bertahan mau mentahlilkan dan kenduri hari ke-3, ke-40, ke-100 dan ke-1000 atas kematian ayah mereka pada hal itu tidak dikerjakan Nabi Saw, ti-dak sahabat dan tidak oleh Imam Syafii RA. Berarti tidak ada Sunnahnya. Tetapi setelah si abang mendapat penjelasan yang berpedoman pada QS An-Nisa’ 59 dan kedua H.R. Muslim diatas bahwa pendapat si abang tidak sunnahnya, maka si abang sadar dan membatalkan pendapatnya, maka berpeluk-pelukanlah si abang dengan si adik yang tadinya berdebat merah mata, suara keras dan disaksikan 2 kelompok pro abang dan pro adik, hampir terjadi anarkis. � Penulis adalah: dr. Spesialis penyakit Kulit dan Kelamin, dan pemerhati agama Islam.

WASPADA Jumat 4 Maret 2011

Jangan Sampai Bangkrut Semua umat Islam ingin senang di dunia dan di ahirat, seperti doa kita: ‘’Rabbana Atina Fitdunnia Khasanah Wafil Akhirati Hasanah Wakinna Ajabannar’’ Mari kita kejar kehidupan dunia, menjadi orang kaya yang beriman dan beramal baik kepada sesama, namun jangan lupakan amalan untuk bekal kita di akhirat. Di akhirat kita kekal selamanya. Bangkrut di dunia mungkin tidak seberapa, dibandingkan bangkrut di akhirat. Oleh karena itu, berusahalah untuk tidak bangkrut di akhirat. Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat: “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab: “Orang yang bangkrut di kalangan kami ada-lah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta.” Rasulullah SAW bersabda: ‘’Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa. Ia pernah mencerca orang, menuduh tanpa bukti terhadap orang lain, memakan harta orang, menumpahkan darah orang dan memukul orang. Maka sebagai tebusan atas kedzalimannya itu diberikanlah di antara kebaikannya kepada orang-orang yang didzaliminya. Apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan/ kesalahan yang dimiliki orang yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka karena bangkrut.” (HR. Muslim). Masyaallah. (Sumber Hadits of the Day, dan sumber lain).

Malu “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga... Qur’an surah al-A’raf : 22)

Oleh Fachrurrozy Pulungan

A

yat di atas menunjukkan bahwa secara fitrah manusia merasa malu jika tidak berpakaian. Menurut bahasa kata malu berarti perubahan, kehancuran perasaan atau duka cita yang terjadi pada jiwa manusia karena takut di cela. Adapun kata malu yang dalam bahasa Arab nya adalah al-hayaa u berasal dari kata alhayaatu (hidup), juga berasal dari kata al-hayaa (air hujan). Sedangkan menurut istilah malu adalah akhlaq yang sesuai dengan sunnah yang membangkitkan fikiran untuk meninggalkan perkara yang buruk sehingga akan menjauhkan manusia dari kemaksiatan dan menghilangkan kemalasan untuk menjalankan hak Allah. Makna tersebut dijelaskan dalam hadits Nabi shollallahu’alaihi wassallam, “Sesungguhnya termasuk yang didapati manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu maka lakukanlah sekehendakmu”. Ketahuilah, Allah memberikan sifat malu agar manusia menahan diri dari keinginan-keinginannya sehingga tidak berprilaku seperti binatang. Ingatlah ketika Adam dan Hawa memakan buah yang terlarang lalu nampaklah aurat keduanya, seperti ayat di atas. Adapun orang yang berupaya menelanjangi badan dari pakaiannya, sama ada ia melucuti jiwa dari pakaian keberimanannya dan menghilangkan sifat malu kepada Allah dan manusia. Mereka itulah yang menginginkan dirinnya lepas dari fitrahnya dan sifat-sifat kemanusiaannya. Padahal dengan fitrah dan sifat kemusiaannya itulah ia di sebut sebagai manusia. Sesungguhnya telanjang adalah sifat asli dari hewan, sedang manusia tidak punya kecenderungan kepadanya, jika sampai ada tentulah akan terjerumus dalam kehidupan hewaniyah. Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara, sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya. Secara kodrati, kaum wanita sangat beruntung, dianugrahi fitrah penciptaannya dengan rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun, ironisnya, kini banyak sekali wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia dan terpuji itu. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai saat ini kaum wanita yang lebih tidak tahu malu daripada laki-laki. Lunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi (kemerosotan) iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasululloh Saw, “ Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang “.HR al Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan al Dzahabi menyepakatinya. Hadis lain dari Ibnu Umar,Rasulullah Saw pernah melewati seorang laki-laki Anshar yang sedang menasehati sifat malu saudaranya. Maka Rasululloh Sw bersabda, “Tinggalkan dia. Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman”. Dan hadis dari Abu Hurairah ra Rasululloh SAW bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh bagian.Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan,dan malu adalah bagian dari iman.” HR Bukhari. Malu merupakan penghalang seseorang untuk melakukan perbuatan dosa. Hasrat (hawa nafsu) seseorang untuk berbuat dosa berbanding terbalik dengan rasa malu yang dimilikinya. Abu Hatim berkata: “Bila manusia terbiasa malu, maka pada dirinya terdapat faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan. Sebaliknya orang yang tidak tahu malu dan terbiasa berbicara kotor, dan berbuat sesukanya, maka pada dirinya tidak akan ada faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan, yang ada hanya kejahatan.” Muhammad Ibnu Abdullah Al-Baghdadi melantunkan syair nya, “Bila cahaya wajah berkurang, maka berkurang pula rasa malunya. Tidak ada keindahan pada wajah, bila cahaya nya berkurang. Rasa malumu peliharalah selalu. Sesungguhnya sesuatu yang menandakan kemuliaan seseorang adalah rasa malunya “. Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, nggak gaul, atau nggak pede. Apalagi gara-gara ketidak pedean itu kita jadi batal melakukan kebaikan, amal shalih (produktif), dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita introspeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Allah SWT atau karena manusia. Misalnya saja kita malu tidak bekerja (nganggur), atau malu karena tidak shalat, atau malu karena kita korupsi uang negara, atau korupsi jam kerja. Atau rasa malu kita hanya terhadap manusia. Jika rasa malu kita hanya terhadap manusia, kita bisa menghindar. Akan tetapi

jika rasa malu kita kepada Allah, maka kita tidak akan pernah bisa menghindar dari penglihatan Nya. Dimana pun kita bersembunyi, Allah mengetahui apa yang kita kerjakan, bahkan apa yang tersembunyi di dalam hati sekali pun, “wallahu ya’lamu khainata al a’yuni wa ma tukhfish-shudur”/Allah menghetahui mata yang khianat dan apa yang yang disembunyikan dalam hati. Rasa malu kepada Allah sepertinya telah hilang dari kebanyakan anak bangsa ini. Lihatlah orang tidak merasa malu lagi melakukan korupsi. Dari pelaksana pemerintahan terendah sampai yang paling tinggi, penuntut umum, hakim, aparat keamanan, mapun mereka yang duduk sebagai wakil-wakil rakyat, sepertinya korupsi itu harus dilakukan secara jama’i. Bahkan secara terang-terangan dengan tanpa rasa malu, mereka menolak untuk membongkar kasus yang nyata-nyata merugikan rakyat akibat pengemplangan pajak, dan mengembangnya kasus Bank Century, BLBI dan lain-lain. Al-Qurthubi berkata, “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan sesuai dengan firman Allah SWT, “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar “. Qur’an surah al Ahdzab ayat 53. Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata: “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan, saya tidak tahu”. Imam Bukhari berkata, “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah ra Ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu pada diri mereka tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama.” (Fathul Bari juz 1 hal 229). Rasululloh Saw pernah bersabda kepada Asyaj dari bani Anshar, “Pada dirimu ada dua sifat yang Allah SWT sukai.” Maka ia bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah “ Nabi Saw menjawab; “Sabar dan malu”. Asyaj bertanya lagi, “Apakah kedua sifat itu sudah ada sejak dulu atau baru ada?”. Rasululloh SAW menjawab,“Sejak dulu.” Asyaj berkata, “Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberiku dua sifat yang Allah sukai”. (HR: Ibnu Abi ‘Ashim). Al haya’ atau rasa malu adalah potensi batin yang dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal yang tercela, baik yang bersifat a moral seperti, menipu, menyalahi janji, memaksakan kehendak, meminta jabatan, memeras orang lain untuk suatu jabatan, menyuap untuk mendapatkan suatu jabatan, menerima suap, korupsi. Dan al haya’ juga ampuh dalam membendung perbuatan a susila seperti, berzina, membuka aurat, menyebarkan foto-foto porno dan lainnya. Rasulullah Saw pernah mengingatkan kita dengan hal itu dalam sabdanya sebagaimana diriwayatkan al Hakim dari Ibnu Abbas, “ Suatu saat dirimu akan meniru pembawaan umat yang terdahulu dari kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga jika ada diantara mereka masuk kedalam lobanglobang hewan, kamu akan mengikutinya, dan bahkan jika mereka bercumbuan dengan perempuan ditengah jalan, itupun dengan tiada rasa malu akan ditiru”. Dari keterangan hadis Nabi Saw ini, jelas menunjukkan bahwa diantara manusia, banyak yang cenderung meniru sifat-sifat atau perbuatan yang negatif, tidak bermoral tanpa rasa malu melakukannya. Tentunya kita semua berharap, yang kita wariskan kepada generasi kita yang akan datang adalah segala sesuatu yang baik-baik, sedang yang buruk-buruk kita harus menolaknya. Akan tetapi mungkinkah cita-cita itu dapat terlaksana, apabila kenyataan yang sedang berlangsung dalam masyarakat kita berbicara sebaliknya. Patut kita renungkan Maulidun Nabi yang sedang kita peringati ini, hendaknya tidak sekedar memperingati kelahiran beliau, tetapi harus kita enjawantahkan setiap segi kehidupan Rasulullah SAW dalam kehidupan nyata kita. Dan hal itu harus dimulai dari panitia pelaksana, pembicara yang berbicara tentang kehidupan Rasulullah, serta semua yang mendengarnya. Mengharapkan mewariskan sesuatu yang baik dan bermoral kepada genarasi mendatang yang memiliki rasa malu, harus dimulai dari kita.“Apabila engkau sudah tidak punya rasa malu lagi, perbuatlah apa saja yang engkau kehendaki”. HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah. Wallahu a’lam. � Penulis adalah pemerhati ASPENDEK.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.