C5
Mimbar Jumat
WASPADA Jumat 26 April 2013
Al-Idrisi Pembuat Peta Bola Dunia Selama berabad-abad, peta yang dibuatnya telah digunakan peradaban Barat karena pada masa itu belum ada sarjana Barat yang mampu membuat peta dunia yang akurat. NAMANYA aslinya Abu Abdallah Mohammed Ibnu AsSyarif Al-Idrisi. Namun, dia lebih dikenal dengan panggilan Al-Idrisi sebagaimana nama ayahnya. Tokoh yang lahir di Ceuta, Spanyol ini terkenal sebagai pembuat peta bola dunia (globe) perak seberat 400 pon (18,2 kilogram) yang dipersembahkan untuk Raja Roger II. Yang membuat namanya diperhitungkan di kalangan ilmuwan adalah peta bola dunia ciptaannya itu dilengkapi dengan pembagian dunia ke dalam 7 iklim, peta perdagangan, juga ditambah keterangan tentang pelabuhan teluk, danau, sungai, serta pelabuhan-pelabuhan besar, bukit dan lembah serta pegunungan. Al-Idrisi yang kemudian tinggal di Sicilia, Italia, merupakan seorang ilmuwan ternama di abad ke 12. Selain menciptakan peta bola dunia, dia juga menghasilkan buku Nuzhah al Musytaq fi Ishtiraq al Afaq (Kenikmatan pada Keinginan Untuk Menjelajah NegeriNegeri) atau Roger’s Book yakni sebuah ensiklopedia geografi yang berisi peta dan informasi tentang negara Eropa, Afrika dan Asia. Buku ini mencatatkan perihal masyarakat, budaya, kerajaan dan cuaca negara-negara yang terdapat di dalam petanya. Beliau juga menggunakan garis lintang dan garis bujur yang diperkenalkan sebelumnya dalam peta yang dihasilkan ilmuwan lain. Beberapa abad lamanya, Eropa menggunakan peta Al Idrisi dan turut menggunakan hasil kerja ilmuwan ini ialah Christopher Columbus. Riwayat Hidup Al Idrisi membuat peta dengan cara menggabungkan pengetahuan dari Afrika, Samudera Hindia, dan Timur Jauh
Al-Idrisi
yang dikumpulkan para penjelajah dan pedagang Islam dalam bentuk peta Islam, dan juga dari informasi yang dibawa oleh pelayar-pelayar Normandia. Karyanya banyak menyajikan data komprehensif dari setiap wilayah di dunia sehingga Al-Idrisi menjadi sangat dikenal dan mulai dilirik oleh kalangan navigator laut Eropa serta kalangan militer. Kepopuleran Al-Idrisi ketika itu terdengar hingga ke Raja Roger II, raja Normandia dari Sicilia, Italia. Al-Idrisi kemudian diundang ke istana oleh Raja Roger II, ia diminta oleh Raja Roger II untuk membuat sebuah peta dunia. Al-Idris menyanggupi, namun ia mengajukan syarat bahwa dalam peta itu ia ingin memasukkan data bahwa Sicilia pernah berada dalam kekuasaan kaum muslim sebelum Raja Roger berkuasa. Proyek pembuatan peta tersebut melibatkan 12 sarjana, 10 diantaranya adalah ilmuwan muslim. Pengerjaan tersebut dikerjakan di kota Palermo, dimana para navigator dari berbagai wilayah seperti Mediterania, Atlantik dan perairan utara kerap bertemu. Al-Idrisi menggali informasi dari setiap navigator yang tengah beristirahat di Palermo. Dia bersama timnya mewawancarai dan menggali pengalaman para navigator. Penjelasan dari seorang navigator akan dikonfrontir kepada navigator lainnya, lalu hasil kajian tersebut dirumuskan. Fakta-fakta tersebut dikumpulkan lalu disaring, dan hanya keterangan yang paling jelas yang ia jadikan acuan dalam membuat peta. Al Idrisi melakukannya hingga bertahun-tahun, hingga peta tersebut selesai pada tahun 1154 M. ‘’Saat raja tak lagi ambil bagian secara aktif, saya selesaikan peta ini,” papar Al-Idrisi dalam pengantar kitab Nuzhat Al- Mustaq fi Ikhtirak Al-Afaq yang ditulisnya. Al Idrisi kemudian membuat peta bola dunia alias globe dari perak murni. Globe tersebut memiliki berat sekitar 400 pon.
Dalam globe itu, Al-Idrisi menggambarkan enam benua dengan dilengkapi jalur perdagangan, danau, sungai, kota-kota utama, daratan serta gununggunung. Globe tersebut juga memuat informasi mengenai jarak, panjang dan tinggi secara tepat. Sebagai pelengkap Al-Idrisi menulis buku berjudul Al- Kitab alRujari atau Roger’s Book yang didedikasikan untuk sang raja, dimana dalam buku tersebut, AlIdrisi menjelaskan tentang batasbatas wilayah masing-masing negara mulai dari Al-Yabis sampai laut Atlantik. Selama berabad-abad, peta yang dibuatnya telah digunakan peradaban Barat karena pada masa itu belum ada sarjana Barat yang mampu membuat peta dunia yang akurat. Sehingga sosok Al-Idrisi menjadi sangat fenomenal di benua Eropa. Peta yang diciptakan Al-Idrisi tersebut digunakan para penjelajah Barat untuk berkeliling dunia. Dua abad sebelum Marco Polo menjelajahi samudera, Al Idrisi sudah memasukkan seluruh benua seperti Eropa, Asia, Afrika, dan utara Equador ke dalam peta yang diciptakannya. Dan tanpa peta Al-Idrisi pula, mungkin saja Chistopher Columbus tak bisa menginjakkan kakinya di benua Amerika. Menurut Dr A Zahoor dalam biografi berjudul Al-Idrisi, saat melakukan ekspedisi mengelilingi dunia, Columbus menggunakan peta yang dibuat Al-Idrisi. Inilah merupakan salah satu fakta lainnya yang dapat mematahkan klaim Barat bahwa Columbus merupakan penemu benua Amerika yang pertama. Ilmuwan barat bernama Scott mengakui kehebatan dan kepiawaian Al-Idrisi dalam merancang dan membuat peta dunia yang begitu akurat. Menurut Scott, selama tiga abad lamanya peta yang dibuat Al-Idris dijiplak para geografer tanpa mengubahnya sedikit pun. Itu membuktikan betapa para geografer Barat begitu mengagumi dan mengakui kapasitas keilmuwan Al-Idrisi. “Kompilasi yang disusun AlIdrisi menjadi sebuah era dalam sejarah sains. Tak hanya infor-
masi historisnya saja yang sangat bernilai dan memikat, namun penjelasannya tentang beberapa bagian dunia masih berlaku,’‘ papar Scott mengakui karya yang telah disumbangkan Al-Idrisi. Sebagai tambahan, AlIdrisi selain dikenal sebagai ahli dalam bidang geografer dan kartografer, ia juga berperan dalam pengembangan studi zoologi dan botani. Kontribusinya terbilang penting bagi pengembangan ilmu hayat itu dituliskannya dalam beberapa buku. Ia begitu intens mengkaji ilmu pengobatan dengan tumbuh-tumbuhan. Tak heran, jika ilmu Botani berkembang pesat di Cordoba, Spanyol - tempat Al-Idrisi menimba ilmu. Karya Gemilang 1. Nuzhah al Musytaq fi Ishtiraq al Afaq (Kesenangan untuk Orang-orang yang Ingin Mengadakan Perjalanan Menembus Berbagai Iklim. Buku ini kemudian menjadi rujukan penting bagi para ilmuwan di Eropa selama kurun waktu 300 tahun, yakni sampai abad ke 16 M. 2. Rawd-Unnas wa-Nuzhat al-Nafs (Kenikmatan Lelaki dan Kesenangan Jiwa). Pengetahuannya tentang kaum negro dari Timbuktu, di Sudan dan asal sumber air sungai Nil di Mesir adalah salah satu bukti keakuratannya yang menakjubkan. 3. Al Jamili Sifat Ashtat al Nabatat. Dalam bukunya itu Idris membuat pandangan dan memadukan semua literatur dari berbagai subjek ilmu kedokteran serta menggabungkannya dengan metode pengobatan ilmuwan Islam ditambah dengan beberapa risetnya. Riset yang dikumpulkan Idris ketika ia melakukan perjalanan-perjalanan. 4. Shifatul Arab (Karakter Bangsa Arab). 5. Kharitatul ‘alaamil Ma’mur minal Ard (peta dunia), yang mencakup wilayah Asia, Afrika dan Eropa tempo dulu. Syafri/blpdia
Ciri Manusia Modern Mendamba Tuhan Ikhtilâf Matla’ Korelasi Antara Oleh Muhammad Syukri Albani Nasution Fikih Syafi’i Dan Ilmu Falak Mahasiswa S3 PPs IAIN SU, Dosen Fak Syariah IAIN SU dan Sekretaris Eksekutif eLBeTe
A
da beberapa indikasi mengapa manusia mo- kemungkinan diberikan Allah ke-Irfani-anNya. dern mulai kehilangan jati diri keimanannya. Kedamaian hati, menjadi simbol dasar bagi orang yang Ini bisa dilihat dari hilangnya kebiasaan gemar membaca Alquran. manusia terhadap nilai kebaikan. Semua orang yang Ketiga, orang yang bahagia dengan keimananya mengaku beriman meyakini Alquran sebagai tuntunan, adalah orang yang di tengah kesibukannya memiliki Rasulullah sebagai teladan, namun kehidupannya jauh waktu untuk ber i’tikaf di masjid. Mampukah kita dari hal tersebut. Karenanya, pantaslah kita kategorikan, menyisihkan waktu untuk sekedar berdiam diri setelah di tengah kehidupan modern ini, ada beberapa orang shalat, introspeksi diri, menyusun kekuatan kembali, yang beruntung dan bahagia karena keimanannya. Ia bermunajat kepada Allah, mengembalikan semua tidak luput dari nilai dan norma yang mendekatkan potensi kepada Allah, berdoa dan memohon ampun dirinya pada kepatuhannya. Inilah nantinya yang atas kekhilafan yang dilakukan. menjadi cara manusia modern kembali menikmati I’tikaf adalah terapi hati melahirkan sugesti hidup. hidupnya yang gersang. Orang yang berhasil mengevaluasinya dalam i’tikaf Beberapa ciri manusia modern bahagia, yakni; biasanya akan memiliki optimisme, ketenangan dalam Pertama, orang yang bahagia dengan keimanannya menjalani kehidupan. Kebanyakan kita masih “tergesaadalah orang yang di tengah kesibukan duniawinya ia gesa” dalam shalat. Orang yang tergesa-gesa ini cenmemiliki waktu untuk shalat berjamaah. Kita faham derung menempatkan shalat pada ritualitas dan bahwa shalat berjamaah tidak membutuhkan modal formalitas saja. Ini menjadi jawaban, mengapa juga Almaterialis, tidak mengorbankan etika sosial. Namun, lah terkadang memperlakukan kita formalitas belaka. anehnya, tidak semua orang yang mengaku beriman I’tikaf akan melatih keikhlasan kita dan menjawab mendapatkan “undangan” Allah untuk melaksanakan kerinduan kita kepada Allah SWT. shalat berjamaah di masjid. Keempat, orang yang bahagia dengan keimanannya Konsistensi shalat adalah orang yang berjamaah di masjid dengan rezekinya ia menjadi simbol awal Apakah kita sebagai manusia mod- memiliki kelapangan konsistensi keseriuasan untuk bersedakah. ern yang sudah biasa menghadapi Pegiat ekonomi memenapaki keimanan kepada Allah SWT. Mesinvestasi masalah yang besar mampu mena- nyarankan ki belum tentu orang sebagai kehidupan yang tidak shalat berjapaki pelatihan kecil dalam diri kita. masa depan. Dalam maah itu bukan orang Islam, investasi terberiman, namun, indibesar manusia di kasi konsistensi keber-imanan bisa dimulai dari ketaatan dunia dan akhirat adalah sedekah. Sedekah bukan hanya shalat berjamaah di masjid. Sebab shalat berjamaah di diberikan pahala oleh Allah sebagai investasi akhirat, tapi masjid menjadi simbol duniawi tentang ketaatan manusia memiliki efek besar terhadap rezeki duniawi. kepada Allah sebagai Tuhannya.Orang modern sulit Jika manusia mampu mengikhlaskan hartanya membagi waktunya untuk shalat berjamaah di masjid. di jalan kebaikan atas nama Allah, maka apa yang Di satu sisi, kesibukan dan aktivitas duniawi yang kita tak diberikan Allah kepadanya? Jika untuk kehidupan jalani melahirkan rasa syukur atas rezeki yang Allah du-niawi ini kita masih bisa pelit, maka di jalan Alberikan. Tapi perlu kita pahami, bahwa cobaan terhadap lah hal tersebut harus dihilangkan. Lahirnya keberrezeki yang kita dapatkan adalah menjauhnya kita dari kahan rezeki, salah satunya dari keikhlasan bersekonsistensi beriman kepada Allah. dekah. Teori rezeki bisa dilihat dari dua hal; apa yang Kedua, orang yang bahagia dengan keimanannya didapat, dan apa yang dikeluarkan. Jika kita masih adalah orang yang di tengah kesibukannya diberi sulit memercayainya, maka lakukanlah, dan hidayah oleh Allah untuk tertarik dan membiasakan diri rasakanlah. Betapa maha kaya-Nya Allah atas apa membaca dan memahami Alquran. Indikator dasar yang dimiliki-Nya. manusia jauh dari keimanannya adalah menjauhnya Kelima, orang yang bahagia dengan keimananya manusia yang mengaku beriman dengan Kitab sucinya adalah orang yang dalam kehidupan konsumerisme ini, (Alquran). Alquran sudah mulai diposisikan sebagai ia mampu berpuasa. Indikator lainnya keba-hagiaan itu “kitab pintar” untuk mencari nilai, pemahaman dan adalah gemar berpuasa. Berpuasa tidak hanya memkeilmuan. Kebutuhannya sangat kasuistik, dan lama ber-efek akhirat saja (pahala), namun puasa juga menkelamaan Alquran akan diposisikan sebagai kitab sakral jadi pelatihan dasar tentang kesabaran, tentang yang ketika ditanyakan tentang identitas keagamaan, menahan amarah. Orang yang berpuasa biasanya subarulah kita menyebut Alquran sebagai pedoman. dah terlatih sabar. Sehingga berpuasa menjadi pelatihan Masih lebih hebat lagi orang yang dianugerahi Allah kolektif bagi manusia di kehidupan modern ini. waktu yang digunakan untuk sekedar membaca Alquran, Akhirnya, nilai kita akan terukur dengan meski ia tak faham. Dibanding orang yang memiliki ilmu sendirinya. Apakah kita sebagai manusia modern memahami Alquran tapi jauh dari Alquran. Coba saja yang sudah biasa menghadapi masalah yang besar rasakan, ketika kita melihat orang yang sedang membaca mampu menapaki pelatihan kecil dalam diri kita Alquran, apakah ada rasa iri, dan menyesal, mengapa kita tentang komitmen keimanan kita kepada Allah. tak banyak kesempatan membaca Alquran. Padahal kita Semoga tulisan ini menjadi evaluasi kita bersama dianugerahi Allah kesempatan yang sama tentang waktu. untuk secara sederhana menyadari tentang Ini sesungguhnya menjadi penyesalan terdalam. kesalahan yang kita buat, kelalaian yang kita jalani Jangan sampai kepintaran kita, justru menjauhkan dan berkomitmen mengisi sisa waktu untuk nilai kita pada Alquran. Orang yang menjadikan Alquran yang baik di sisi Allah. Mohon ampun kita kepada sebagai temannya dan penghibur bathinnya—memiliki Allah atas semua kealpaan kita. Wallahu ‘a’lam.
Oleh Imamul Muttaqin Pegiat Kajian Hukum Islam Dan Falakiah, Staf Pengajar Darul Ilmi Murni
S
ecara bahasa dalam kamus al-Muhîþ, matla’ merupakan isim makân dari kalimat Þala’a-Yaþlu’u yang berarti tempat terbit yaitu tempat terbitnya benda-benda langit. Dalam bahasa Inggris disebut dengan Rising Place. Sedangkan dalam istilah ilmu falak sebagaimana disebutkan Susiknan Azhari dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat yaitu batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya hilal atau dengan kata lain maþla’ adalah batas geografis keberlakuan rukyat. Jika dikaitkan dengan kalimat Ikhtilâf, maka Ikhtilâf maþla’ itu adalah perbedaan tempat terbitnya bulan. Kajian tentang Ikhtilâf matla’ dalam kitab-kitab fikih hanya terdapat dalam bab Siyâm (puasa) yaitu dalam pembahasan terbitnya hilal (bulan sabit) untuk menentukan awal dan akhir penanggalan ibadah di berbagai wilalayah Islam. Pembahasan ini muncul khususnya dalam penentuan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah setiap tahunnya. Ulama fikih menyatakan tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya hilal pada setiap wilayah di dunia waktunya berbeda apalagi jika daerah tersebut saling berjauhan. Yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqahâ mengenai Ikh-tilâf matla’ adalah apakah terbitnya hilal dalam penentuan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah di suatu wilyah harus diikuti oleh wilayah lainnya yang belum tampak hilal. Dalam permasalahan ini para ulama fikih berbeda pendapat, kalangan hanafiah sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Abidin dalam Radd al-Mukhtâr “Ikhtilâf maþla’ Wa ru’yat al-Hilal Nahâran Qabla al-Zawâl Wa ba’dahu Ghairu Mu’tabar A’lâ Zâhir alMazhab (Perbedaan matla’ dan rukyat hilal pada siang hari sebelum matahari tergelincir dan sesudahnya tidak dapat dijadikan pedoman menurut pendapat yang zahir dalam mazhab Hanafi). Kalangan Malikiah berpendapat “Izâ Rui’ya al-Hilâl A’mma al-Saumu Sâi’ru al-Bilâd Qarîban
aw Bai’îdan (Apabila hilal telah dapat dilihat maka berlakulah puasa itu bagi seluruh negeri baik yang dekat maupun yang jauh). Kalangan Hanabilah berpendapat “Izâ Sabatat ru’yat alHilâl Bi Makânin Qarîban aw Bai’îdan Lazima al-Nâs Kulluhum al-saumu” (Apabila telah ditetapkan/tampak rukyat hilal maka wajib bagi seluruh manusia untuk berpuasa baik mereka berada di tempat yang dekat maupun yang jauh). Kalangan Syafi’iyah sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Nawawi “Izâ Ra’aw al-Hilâl Fî Ramadân Fî Baladin Walam Yarawhu Fî Ghairihi Fain Taqâraba al-Bala-dâni Fahukmuhâ Hukmun Wâ-hid Wayalzamu Ahlu al-Balad al-Âkhar al-Saumu Bilâ Khilâf Wain Tabâa’da Lâ Yajibu al-Saumu A’lâ Ahli al-Balad al-Âkhar (Apabila mereka melihat hilal di suatu daerah dan yang lain belum melihatnya, jika kedua daerah tersebut saling berdekatan maka ke-duanya ditetapkan satu tempat yaitu wajib berpuasa, namun jika kedua daerah tersebut saling berjauhan maka tidak wajib berpuasa bagi daerah yang belum tampak hilal). Berdasarkan pendapat jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah) di atas bahwa penetapan penanggalan iba-dah yaitu Ramadan, Syawal dan Zulhijjah tidak berdasarkan sistem perbedaan maþla’, melainkan penyatuan maþla’ untuk seluruh wilayah Islam. Berbeda dengan pendapat jumhur di atas, Imam Nawawi dan kalangan syafi’iyah memiliki pendapat yang garîb (tersendiri) dari jumhur ulama dalam rukyat hilal, di mana mereka menetapkan adanya sistem perbedaan maþla’ dalam rukyat hilal. Perbedaan matla’ dalam rukyat hilal yang berasal dari kalangan Syafi’iyah ini tidak hanya berdasarkan pendapat mereka semata melainkan bersumber dari hadis Rasul Saw riwayat Imam Muslim menge-
Pendapat jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah) di atas bahwa penetapan penanggalan ibadah yaitu Ramadan, Syawal dan Zulhijjah tidak berdasarkan sistem perbedaan matla’, melainkan penyatuan matla’. nai Kuraib yang di utus ke Syam untuk menemui Muawiyah. Hadis tersebut yaitu: Saya diutus Ummu Fadal menemui Muawiyah di Syam. Ketika aku datang di Syam ku selesaikan urusannya, namun ketika aku berada di Syam muncullah hilal Ramadan, dan saya saksikan sendiri hilal pada malam Jumat. Kemudian pada akhir bulan saya datang kembali ke Madinah dan ditanyai oleh Ibnu Abbas kemudian teringat olehnya hilal katanya : kapan kalian melihat hilal ? maka aku jawab: kami melihatnya pada malam jumat, apakah anda sendiri melihatnya? Benar, orang lain juga banyak melihatnya hingga mereka berpuasa termasuk diantaranya Muawiyah. Tetapi kami melihatnya malam sabtu kata Ibnu Abbas, hingga kami terus berpuasa sampai cukup 30 hari melihat hilal. Saya tanya apakah tidak cukup bagi anda penglihatan dan puasa Muawiyah?Ibnu Abbas berkata: tidak beginilah sebagaimana yang diperintahkan Rasul. Pendapat Syafi’iyah di atas jika ditinjau dari ilmu astronomi, ternyata memiliki korelasi yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang ada. Sebagaimana yang diungkap oleh Pak Cecep selaku planetarium dan anggota hisab rukyat Kemenag bahwa setiap tempat memiliki arah zenith dan horizon (ufuk) yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat melalui gambar berikut : Dengan memperhatikan gambar di atas dapat dipahami, kondisi bumi yang bulat bukan hamparan luas yang terbentang menyebabkan hilal itu dapat muncul di suatu tempat tetapi
tidak muncul di tempat lain. Hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang Indonesia melakukan rukyat hilal tersendiri tidak mengikuti rukyat Negara lain seperti Arab Saudi, Mesir, Malaysia dan sebagainya. Akan tetapi sistem yang digunakan oleh Indonesia bukan berdasarkan sistem matla’ melainkan sistem yang disebut dengan Wilayatul hukmi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Chairul Zen, S. al-Falaki selaku guru penulis dalam Ensiklopedia Ilmu Falak yaitu bahwa hilal terlihat di manapun dalam wilayah wawasan nusantara, maka telah dianggap berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Meskipun wilayah Indonesia dilewati oleh garis penanggalan Islam Internasional yang secara tekhnis berarti bahwa wilayah Indonesia terbagi atas dua bahagian yang mempunyai tanggal hijrah berbeda, maka seluruh umat Islam di Indonesia melaksanakan ibadah puasa dan berhari raya secara serentak. Dengan berpedoman kepada sistem matla’ bersifat wilayatul hukmi serta intervensi pemerintah insya allah dapat meredam perbedaan di kalangan umat Islam dalam menentukan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah. Wa allahu a’alam Bi al-Sawâb.