Waspada, jumat 21 februari 2014

Page 32

Mimbar Jumat

C8

WASPADA Jumat 21 Februari 2014

Dakwah Melembaga Abdullah Thufail Dari mulai berdirinya di Surakarta pertama sampai pendirian cabang yang ke-430, tidak ada keterlibatan bantuan dana pemerintah. Semuanya dilakukan dengan swadaya sendiri. KENYATAANNYA umat Islam itu besar, tapi kenyataan lainnya, umat Islam tidak memiliki kekuatan. Gerakan dakwah yang dilakukan secara individual ternyata belum mampu mendorong persatuan umat. Sehingga sering muncul regulasi yang menegara, bahkan kebiasaan yang membudaya di kalangan umat yang jauh dari ajaran Islam. Adalah Al Ustadz Abdullah Thufail Saputra yang berkeliling Nusantara, dari satu provinsi ke provinsi, dari kabupaten, kecamatan, dan pedesaan. Bertahun-tahun dia berjalan tiada henti sambil berdagang batu permata, mengamati keberadaan umat Islam dari satu tempat ke tempat lain. Pengamatannya menghasilkan suatu kesimpulan bahwa umat Islam tidak bisa bersatu karena jauh dari Alquran. Kebanyakan menjalankan tradisi nenek moyang ketimbang menjalankan ajaran Islam. Kondisi ini diperparah oleh kurang teguhnya konsistensi lembaga-lembaga umat yang mengemban tugas dakwah. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menetap di satu daerah dan mendirikan sebuah lembaga yang bernama Majelis Tafsir Alquran yang melembagakan dakwah dan menebakan Islam ke seluruh penjuru negeri. Pada 19 September 1972 berdirilah majelis ini di Surakarta. Awalnya hanya sekelompok orang dalam satu pengajian kecil yang menyegarkan kembali ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Alhadis—Islam yang bersih dari syirik dan bersih dari bid’ah. Kelompok kecil ini lama kelamaan semakin banyak dan terus bertambah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa umat Is-

Suasana pengajian di Majelis Tafsir Alquran lam sebetulnya sangat haus akan Alquran. Dalam perjalanan majelis ini, kemudian Ustadz Abdullah Thufail mengutus kader-kader dakwahnya ke berbagai daerah di seluruh penjuru Indonesia. Mereka hanya berbekal doa dan ilmu Islam untuk mengembangkan dakwah yang melembaga ini. Dan satu per satu pun kemudian muncul-lah cabang majelis ini di berbagai daerah. Di samping itu, tak sedikit juga kader dakwahnya yang tersebar berdakwah ke kelompok-

kelompok pengajian dan masjid-masjid. Mereka semuanya hanya mengemban misi dakwah dan mengharapkan balasan dari Allah SWT semata. Karena para ustadz dari majelis ini tidak menerima pemberian apapun sebagai imbalan dari dakwah yang dilakukannya. Karena bagi anggota majelis ini, pemberian bagi pendakwah akan mengurangi keikhlasan. Setelah 20 tahun kepemimpinannya, kemudian diteruskan oleh Al Ustadz Drs Ahmad Sukina. “Sekarang sudah ada

430 cabang Majelis Tafsir Alquran di seluruh Indonesia,” kata Ustadz Ahmad Sukina. Menariknya, dari mulai berdirinya di Surakarta pertama sampai pendirian cabang yang ke-430, tidak ada keterlibatan bantuan dana pemerintah. Semuanya dilakukan dengan swadaya sendiri. Bahkan lembaga ini rajin membantuk saudara-saudaranya sesama umat Islam yang sedang tertimpa musibah di berbagai daerah. “Kami bukan tidak mau menerima dana bantuan dari pe-

merintah atau dari pihak manapun. Tapi majelis ini memang tidak pernah meminta sesuatu kepada siapapun. Kalau ada yang mau membantu, ya silahkan, tapi harus tanpa syarat. Tapi untungnya tidak pernah dibantu,” kata Ustadz Ahmad Sukina. Nyatanya majelis ini terus berkembang menghidupi dirinya sendiri. Mereka kini bahkan telah memiliki banyak aset di berbagai daerah. Di Surakarta sebagai pusat majelis ini telah berdiri bangunan megah ber-

lantai empat di atas tanah seluas 1.500 meter. Setiap Ahad pagi sekitar 7 ribu jamaahnya berkumpul untuk mendengarkan tausyiah—seperti halnya di seluruh cabangnya melakukan pengajian yang sama secara sporadis. Di bidang pendidikan, majelis ini juga telah membangun sekolah dari tingkat Raudhatul Anfhal sampai ke tingkat Aliyah. Tak terkcuali di Sumatera Utara yang telah mempersiapkan lahan seluas 3.000 meter untuk berdirinya sekolah nantinya. “Semuanya ini dibangun tanpa meminta bantuan dari siapapun, tetapi dari swadaya sendiri, digerakkan oleh Alquran,” katanya. Yang menarik, seringkali setiap pendirian cabang baru, termasuk keberadaan majelis di tingkat pusat, akan muncul permasalahan seperti penolakkan warga masyarakat. Alasannya bermacam-macam, dari mulai yang menuduh membawa ajaran baru, sampai yang beralasan karena majelis ini mengubah kebiasaan beragama masyarakat setempat. Padahal majelis ini adalah lembaga yang berbadan hukum memiliki struktur lembaga resmi yang mengaji Alquran dan Hadis dari kitab-kitab tafsir yang umum dipedomani umat Islam Indonesia. “Pada umumnya mereka yang menolak karena ketidaktahuan saja. Tetapi ada juga yang karena takut kehilangan pengaruh,” katanya. Tetapi kemudian, meski di awal terjadi penolakkan, di daerah-daerah tersebut majelis kemudian berkembang, dan terus berkembang. Non Partisan Karena sifatnya yang mandiri, lembaga dakwah ini tidak memiliki afiliasi politik ke mana

pun. Tapi bukan berarti mereka tidak ambil bagian dalam perhelatan demokrasi di negeri ini (Golput). “Dalam Pemilu legislatif, kita memilih orang yang bisa memegang amanah, jadi bukan memilih partai tertentu. Masing-masing daerah memilih orang yang dianggap amanah, jadi partainya bisa berbedabeda,” terang Ustadz Ahmad Sukina. Lain halnya kalau Pemilu Presiden. Karena memilih tokoh, maka majelis di tingkat pusat sendiri yang melakukan penelitian terhadap orang yang bakal dipilih, baik dari rekam jejaknya, kesalihannya, dan keberpihakannya dalam pengembangan dakwah Islam. Hasil penelitian dari majelis pusat inilah yang kemudian menjadi pilihan kader dakwah majelis di seluruh Nusantara. Bolehkah meminta dukungan kepada majelis? Tentu saja boleh. Tetapi majelis dari tingkat pusat sampai daerah akan meneliti orang yang meminta dukungan itu terlebih dahulu—untuk mengenalnya lebih jauh. Syarat selanjutnya adalah, bahwa orang yang meminta dukungan tersebut dilarang untuk memberikan apapun kepada majelis, karena hal tersebut merupakan perilaku suap yang dilarang. “Kalau ngasih sesuatu malah gak dipilih nanti,” kata Ustadz Ahmad Sukina. Hal-hal tersebut tidak lain dari beberapa dari pondasi dakwah yang dibangun oleh Ustadz Abdullah Thufail. Bahwa Islam itu jalan menuju Allah SWT yang sesungguhnya. Dan karenanya penganutnya mestinya adalah orang-orang besar yang menempuh jalan dakwah dengan kebesaran seperti kemandirian dan hanya mengharap ridha Allah SWT saja. (m07)

Islam Antara Liberal Dan Fundamental

Tafsir Humanis Al-Maa’uun

Oleh Watni Marpaung

Oleh Muhammad Qorib

Penulis Ketua Divisi Litbang Forum Kajian Islam Dan Masyarakat (FKIM)

Dosen FAI UMSU, Ketua MPI PDM Kota Medan dan Alumni Madrasah Tsanawiyah Aliyah Muhammadiyah Binjai

D

alam konteks keindonesiaan dewasa ini wacana dengan menyatakan bahwa semua agama benar, nikah tentang pemahaman terhadap Islam berbeda agama dibolehkan, penyamarataan seluruh mengalami polarisasi-polarisasi tertentu. hak laki-laki dan perempuan dalam ruang lingkup Namun, setidaknya terdapat dua pola yang terlihat publik, bahagian waris untuk anak laki-laki dan pedalam posisi berhadapan dan saling tarik menarik. Pola rempuan sama, serta penolakan-penolakan perdapertama, mengetengahkan akan sisi Islam yang plural perda syari’ah yang dibentuk diberbagai daerah tingkat dan hampir dapat dikatakan melihat berbagai dimensi kota dan kabupaten dalam konteks keindonesiaan tidak keagamaan dengan perspektif relatifitas atau dengan punya relevansi dalam memberikan solusi. istilah populer Islam liberal. Di Indonesia kedua gerakan ini sama-sama Sementara pola kedua, sangat terkungkung dengan menguat dengan melakukan berbagai cara dan modus teks-teks keagamaan dan mendakwakan bahwa yang bertujuan untuk tetap mengeksiskan gerakan yang semata-semata taat terhadap teks masih berada pada mereka bawa. Upaya lain yang digunakan untuk mejalan yang benar atau Islam fundamental. Kendati tidak ngembangkan sayap gerakannya dengan saling untuk terjebak dalam pendefinisian kedua poros melakukan truth claime terhadap kelompoknya tersebut, tapi setidaknya dari kecenderungan- masing-masing besertaan dengan menyalahkan kecenderungan realitas dalam pemahaman keduanya. kelompok yang berseberangan dengan mereka. Fenomena kedua Menurut hemat pemazhab di atas merupanulis, bahwa Islam bukan satu bentuk hasil dari kanlah agama yang terIslam pada hakikatnya tidak kerja olah pikir dalam lalu ketat sehingga mememahami dan membemengadakan dikotomi antara ngekang kebebasan berrikan makna terhadap fikir dan berkreasi untuk politik dan Islam sebagai teks-teks kitan suci mauumatnya dalam melapun maupun Hadis. Dan hirkan ide-ide yang baik aga-ma, bahkan malah dalam hal ini al-Qur’an dalam rangka menomemberikan apresiasi pang kukuhnya agama membe-rikan aturan-aturan yang cukup tinggi terhaitu sendiri. Sehingga nilai dalam berpolitik dap eksistensi akal sebadalam menafsirkan teks gai media untuk melakeagamaan harus disekukan eksplorasi pemileksi terlebih dahulu kiran secara serius dalam agama (ijtihad). Dalam supaya tidak terjadi kesalahan dan tidak boleh lari dari berabgai redaksi pengakuan dan motivasi supaya terus teks walau sedikitpun. berkreasi menggunakan daya fakir seperti afala Selain itu pula, Islam juga bukan agama yang terlalu tafakrun(apakah kamu tidak berfikir), afala tadabarrun bebas sehingga sampai di luar batas dalam memberikan (apakah kamu tidak memahami), dan lain-lain. interpretasi kepada nash-nash keagamaan baik dalam Satu hal yang tentu tidak bisa dihindarkan bahwa al-Qur’an maupun hadis. Pada akhirnya gerakan Islam keduanya tentu memiliki plus dan minus. Dalam kaitan liberal di Indonesia dianggap merupakan antek-antek ini, bahwa pada Islam fundamental setidaknya terdapat Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam. empat pandangan yang melekat yakni: Oleh sebab itu, umat Islam tidak perlu terjebak Pertama, dari segi keyakinan keagamaanya, mereka kepada dua kelompok tersebut, sebab keduanya bersikap sangat kaku dan literalis terhadap teks-teks mempunyai plus dan minus pada saat memberikan keagamaan. Mereka sangat menekankan simbol-simbol tekanan-tekanan tertentu dalam memahami dan kegamaan daripada substansinya serta mengangap Is- menginterpretasi teks-teks keagamaan. lam sebagai doktrin yang telah mengatur segala-galanya Tetapi yang dibutuhkan dalam konteks keislaman tanpa terkecuali. di Indonesia yang cukup plural tidak hanya agama, suku Kedua, sikap dan pandangannya yang eksklusif, tetapi paham dalam agamanya masing-masing adalah mereka selalu mengklaim dengan menekankan bahwa pemahaman keislaman yang moderat. Dalam artian keyakinan mereka yang benar, sehingga orang yang tidak terlalu rigid dan literal atau sebaliknya terlalu over berseberangan atau berbeda dengan mereka dianggap dalam menginterpretasi al-Qur’an maupun hadis salah dan harus dikutuk. Oleh sebab itu gerakan ini sehingga menghilangkan identitas ayat itu sendiri. Palsangat cepat untuk memvonis seseorang sesat, kafir, ing tidak kedua aliran ini terjebak dalam penekanan bid’ah dan lain sebagainya. pemahamannya masing-masing dan berupaya untuk Ketiga, dari segi budaya dan sosial, terkesan kolot, mengembangakannya. kuno. Hal ini disebabkan sikap mereka terhadap produk Kita tidak mengharapkan umat ini menjadi kolot budaya modern kendatipun sifatnya kultural bukan dalam beragama sehingga semua oirang harus memakai masuk pada wilayah keyakinan. jenggot, berpakaian gantung, memakai jubah, dan lain Keempat,dari segi bentuk dan sifat gerakannya, sebagainya. Demikian juga sebaliknya, umat tidak dihamereka cendrung memaksakan kehendak dengan rapkan berpaham serba membolehkan dalam beragama menggunakan berbagai cara termasuk dengan cara-cara sehingga menikah dengan orang non-muslim boleh, kekerasan, seperti hasutan, pemukulan, pengrusakan, semua agama benar, dan lain sebagainya, yang mengbahkan pengeboman atau dengan kata lain selalu akibatkan kerancuan dan kebingungan terhadap umat. menggunakan penghakiam sendiri. Penutup Pada sisi lain, islam liberal memberikan penekanan Islam liberal dan Islam fundamental merupakan yang berbeda dengan kaum fundamentalis yang menitik gerakan keagamaan yang masing-masing mempunyai beratkan pada kebebasan berfikir tanpa harus terikat doktrin tertentu dalam memahami teks-teks Islam baik dengan teks-teks keagamaan. Tetapi harus menaf- dalam Alqur’an dan sunah. Di mana keduanya mempusirkannya sesuai dengan konteks kekinian dan kesinian nyai plus dan minus dalam persintuhannya dengan sekalipun suatu pemahaman tersebut sudah cukup umat. Namun yang diharapkan adalah terciptanya mapan di terima masyarakat. masyarakat Islam yang cara berfikir dan pemahamannya Persoalan-persoalan yang mereka kemukakan moderat tidak terjebak pada kedua aliran di atas.

P

ara santri akhirnya berkumpul kembali setelah beberapa saat sebelumnya menerima tugas dari sang Kiyai. “Sudah mengerti pesan dalam surat itu?” tanya Kiyai, membuka pertemuan. “Sudah Kiyai, alhamdulillah,” sahut salah seorang santri. “Bagaimana isi pesan itu?” Santri itu memperdengarkan bacaannya yang bagus atas surat al-Maa’uun. “Aroaital la-dzii yukaddzibu biddiin...,” merdu suaranya. Dan ia pun meneruskan pembacaan dan terjemahannya, sampai selesai. “Kamu!” kata sang Kiyai kepada santri yang lain. Santri itu pun mengulangi hal yang sama. Ia membaca ayat-ayat suci itu, disertai terjemahannya. Setelah para santri lain memberi jawaban yang sama, sang Kiyai tak lagi meneruskan bertanya pada santri berikutnya. Ia berkesimpulan, semua santri pasti akan berbuat serupa. “Kalian belum mengerti kalau begitu. Kalian cuma hapal. Mengerti dan hapal itu beda,” katanya lagi dengan intonasi lembut seperti semula. Kiyai kita ini ialah pendiri perserikatan Muhammadiyah yang terkenal itu, KH. Ahmad Dahlan. Dialog ini terkenal di kalangan keluarga Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah menganggap “peristiwa” ini pen-ting karena dalam dialog itu terselip sebuah pesan jelas, bahwa agama tak cuma harus dipahami, melainkan diamalkan. Ketika agama berhenti pada titik pemahaman, saat itu mungkin agama diturunkan derajatnya menjadi “cuma” sejenis filsafat. Agama, dengan kata lain, dipreteli fungsi-fungsi sosialnya yang begitu penting dan yang paling relevan dengan hidup kemasyarakatan kita. Syahdan, sejak dialog antara kiyai dan santri itu lalu didirikan sebuah panti asuhan, tempat menampung anakanak yatim-piatu. Langkah ini diambil KH. Ahmad Dahlan untuk memenuhi perintah yang dikandung di dalam surat alMaa’uun tersebut. Ini merupakan contoh kongkrit bagi para santrinya, mengenai bagaimana mereka harus memahami kandungan isi kitab suci Alquran. (Dialog ini dikutip dari tulisan Muhammad Sobar y, Doa Yang Tak Membebaskan). Bagi sebagian aktivis Islam,

menegakkan agama identik dengan peperangan melawan orang-orang kafir. Sehingga kita sering menemukan beragam konflik, permusuhan, dan pertumpahan darah. Padahal menegakkan agama dapat dimulai dari penerapan agama Islam dari diri sendiri, keluarga, dan memperhatikan masyarakat sekitar. Shalat, puasa, haji, dan mengentaskan umat Islam dari kemiskinan dan kebodohan merupakan ajang dalam penegakan agama. Salah satu upaya menegakkan agama dalam hidup bermasyarakat adalah dengan membumikan pesan surat alMaa’uun itu. Islam memberikan perhatian yang mendalam terhadap orangorang lemah, yaitu mereka yang miskin dan tertindas. Menurut Islam, beriman dan berislam tidak sempurna jika tidak diikuti oleh pemberian dan bantuan terhadap orang yang membutuhkan pertolongan. Dalam surat al-Maa’uun dengan tegas Allah menyatakan bahwa orang yang mempunyai kelebihan harta tapi tidak membantu orang yang membutuhkan pertolongan disebut sebagai pendusta agama. Di sini, pendusta agama bukanlah orang-orang yang menolak kebenaran Islam itu. Orang-orang yang tekun menjalankan ritual Islam, namun meninggalkan pesan moralnya dianggap sebagai orang yang berdusta. Tidak hanya mendustai manusia, Allah dan Rasul-Nya juga mereka dustai lewat tindakan. Isi surat al-Maa’uun ini membicarakan beberapa sifat manusia yang dipandang sebagai mendustakan agama juga ancaman terhadap orang-orang yang melakukan shalat dengan lalai dan riya. Pesan utama dalam surat al-Maa’uun ini berbeda secara diametral dengan surat setelahnya, yaitu surat al-Kautsar. Surat al-Kautsar membicarakan sifat-sifat yang mulia dan perintah untuk mengerjakannya. Surat al-Maa’uun secara tegas menyatakan bahwa mereka yang menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang-orang miskin, dan enggan mengeluarkan barang berguna untuk membantu mereka yang membutuhkan, termasuk orang yang mendustakan agama. Termasuk juga orang mendustakan agama adalah orang yang melalaikan

Agama tak cuma harus dipahami, melainkan diamalkan. Ketika agama berhenti pada titik pemahaman, saat itu mungkin agama diturunkan derajatnya menjadi “cuma” sejenis filsafat. shalat atau shalat karena riya’. Meskipun ulama berbeda pendapat seputar makna alMaa’uun, yang harus diinsyafi adalah kategorisasi tentang sifat-sifat orang yang mendustakan agama yang terdapat dalam surat ini. Cukuplah kiranya surat alMaa’uun ini menyadarkan kita bahwa beriman dan berislam tidak sempurna jika kita tidak mempedulikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin di sekitar kita. Kita harus membuang jauh-jauh anggapan bahwa ke-imanan terpisah dengan realitas sosial. Alquranadalah kitab petunjuk untuk meraih kebaha-gian di dunia dan akhirat. Karena itu, petunjuk Alquran harus diamalkan, tidak hanya dipahami dan dimengerti saja. Hanya itulah jalan satu-satunya meraih kebahagian dunia dan akhirat. Sayangnya, banyak umat Islam hanya membaca Alquran, tapi tidak memahami maknanya, apalagi mengamalkan pesannya. Alqurandibaca sekedar untuk meraih pahala disisi-Nya tanpa diiringi usaha memahami maknanya untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan seharihari. Menurut KH. Ahmad Dahlan, dalam mempelajari Alquran, umat Islam tidak boleh be-ranjak kepada ayat berikutnya sampai ia benar-benar paham arti dan tafsirnya serta dapat mengimplementasikan pesan ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari. KH. Ahmad Dahlan lalu menjelaskan bahwa maksud mengamalkan surat al-Maa’uun bukan menghapal atau membaca, tapi lebih penting dari itu semua, adalah melaksanakan pesan surat al-Maa’uun dalam bentuk amalan nyata. Oleh karena itu, KH. Dahlan menegaskan bahwa setiap orang harus keliling kota mencari anak-anak yatim, membawa mereka pulang ke rumah, memberikan sabun untuk man-

di, pakaian yang pantas, mencukupi makan dan minum, serta memberikan mereka tempat tinggal yang layak. Jika itu dilaksanakan, maka surat alMaa’uun sudah dihapal sekaligus dilaksanakan. Cerita KH. Ahmad Dahlan di atas menggambarkan bagaimana seharusnya ayat-ayat Alquran dipelajari, yakni tidak beranjak ke ayat lain sebelum memahami dan mengamalkan isi pesan ayat tersebut. Saat ini, negeri kita belum bisa terbebas dari jeratan kemiskinan. Maka membumikan pesan al-Maa’uun, yaitu mencurahkan perhatian pada anakanak yatim dan orang-orang miskin dan membantu mereka adalah sebuah keniscayaan. Ini penting bagi kita bukan hanya agar kita tidak menjadi kaum pendusta agama tapi juga sebagai langkah awal untuk mengakhiri penderitaan mereka yang tidur dalam keadaan perut lapar, kedinginan di bawah kolong-kolong jembatan, dan anak-anak balita yang menderita busung lapar. Karena itu, marilah kita tegakkan agama dengan membumikan pesan al-Maa’uun dalam keseharian kita. Hal itu amat berguna dalam meringankan penderitaan orang-orang miskin di sekitar kita. Tindakan itu juga berguna bagi mereka, agar mereka merasa ada yang memperhatikan serta peduli terhadap mereka. Bantuan dan perhatian yang kita berikan sedikit banyak pasti akan membantu mengentaskan kemiskinan di negeri ini. Selain itu, orang-orang yang sudah mengimani Islam sebagai agama yang menjadi satusatunya pilihan tidak akan berpindah ke lain keyakinan karena himpitan ekonomi. Mereka akan hidup tenang sampai saat-saat di mana mereka harus menghadap Allah.Wa Allahu a’lam.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.