Waspada, Jumat 10 Mei 2013

Page 28

Mimbar Jumat

C6

WASPADA Jumat 10 Mei 2013

Menggugat Kezaliman Tips Shalat Khusuk Ingat Mati (2)

Oleh H.M. Nasir, Lc, MA Pimpinan Pondok Pesantren Tahfiz Alquran Al Mukhlisin Batubara, Wakil Sekretaris Dewan Fatwa Pengurus Besar Alwashliyah.

Z

alim berasal dari bahasa Arab “al-zhulmu” yang berarti “gelap” dan telah di Indonesiakan menjadi “lalim” yang berarti tindakan sewenangwenang, dan menganiaya orang lain. Di dalam terminologi Islam, zalim diartikan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, atau dengan arti yang lebih luas lagi, mengurangi, menggeser, baik berhubungan dengan waktu atau tempat, dan bersentuhan dengan diri pelaku atau pada orang lain bahkan pada Sang Pencipta alam ini yaitu Allah Swt. Berdasarkan definisi di atas, para ahli hikmah membagi kezaliman atas tiga bentuk, Pertama, kezaliman manusia terhadap Tuhan Sang Pencipta alam ini, yaitu dengan melakukan kekufuran, kemunafikan atau menyekutukan Allah Swt. sebagaimana firman Allah Swt: Sesungguhnya syirik (menyekutukan Allah) adalah bentuk kezaliman yang paling besar (QS. Lukman: 13). Kedua, kezaliman manusia terhadap sesama manusia, yaitu dengan melakukan pelanggaran hakhaknya baik berupa harta, kehormatan, nama baik dan lain sebagainya. Sebagaimana disebutkan di dalam Alquran: Sesungguhnya dosa itu ialah berbuat kezaliman kepada manusia dan melampauai batas di atas permukaan bumi ini tanpa hak (tanpa alasan yang membenarkan) (QS. Asy-Syura: 42). Ketiga, perbuatan zalin terhadap diri sendiri. Hal tersebut dapat terjadi dengan tidak melakukan atau memberikan hak-hak pada diri sendiri, seperti tidak memberikan hak pada jiwa kita untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan menjaga kesuciannya, dan lain sebagainya. Demikian juga pada tubuh seperti istirahat, tidur, makan, mendapatkan perawatan layak sebagai manusia makhluk yang

dimuliakan Allah Swt. Allah Swt berfirman: Kemudian kitab itu diwariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri (QS. Fathir: 32). Kezaliman yang dimaksud di da-

Fir’aun memper-kuat pengaruhnya kepada kaum-nya lalu mereka patuh kepadanya. Sesungguhnya mereka adalah kaun yang fasik (QS. Qz-Zukhruf: 54). Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa kefasikan tidak hanya dalam bentuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam bentuk per-

Seorang muslim yang benar-benar beriman wajib menggugat kezaliman dan kemungkaran yang terjadi pada dirinya, keluarganya dan masyarakatnya bahkan pemimpinnya. lam tulisan ini adalah kezaliman terhadap sesama manusia, atau kezaliman yang bersifat kemasyarakatan, yaitu sikap atau tingkah laku yang bisa mengancam ketentraman dan keselamatan masyarakat, baik yang tertuju pada harta benda mereka atau pada diri sendiri, bahkan pada masa depan kehidupan berinteraksi sosial kemasyarakatan. Ancaman tersebut dapat ter-jadi karena aturan perundangan-undangan atau norma-norma yang berlaku dilanggar secara leluasa secara aniaya tanpa ada pihak yang merasa keberatan terhadap tindakan kezaliman, karena kezaliman tersebut telah tersistem dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, maka terjadilah kesepakatan antara pelaku kezaliman dengan yang dizalimi. Alquran mencontohkan kehidupan masyarakat seperti itu berlaku pada pemerintahan Fir’aun yang mengintimidasi rakyatnya agar patuh kepada aturan-aturan yang diundangkan olehnya tanpa ada protes sedikitpun dari masyarakatnya, maka masyarakat yang berada di bawah intimidasi Fir’aun dikategorikan sebagai masyarakat yang fasik dan rajanya adalah raja yang zalim. Allah Swt berfirman: Maka

buatan, akan tetapi ada kefasikan terselubung atau dalam istilah lain adalah kepasikan pasif, yaitu perselingkuhan, persekongkolan terhadap tindakan-tindakan kezaliman yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dalam konteks kehidupan kita, berinteraksi dengan birokrasi kepemimpinan kita nampak jelas, dimana sekelompok masyarakat tidak merasa bersalah dan tidak merasa dizalimi jika sistem birokrasi kita penuh dengan carut marut, seperti untuk mendapatkan jabatan strategis atau menjadi PNS harus membayar setoran, uang suap kepada pihak tertentu. Ironisnya, tidak heran kita sebagai seorang pemimpin misalnya, menjadikan kadis-kadisnya, bawahannya sebagai sapi perahan untuk mendapatkan setoran, sehingga untuk mempertanggung jawabkan kezaliman sang pemimpin tersebut, bawahannya harus puas meringkuk menjalani hukuman di dalam penjara; dengan tuntutan hukum memperkaya orang lain, padahal sejujurnya adalah untuk memenuhi setoran kepada atasan. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad Saw berpesan kepada umat

agar tidak bersekongkol dengan kemungkaran, kezaliman yang pada gilirannya akan merugikan diri sendiri dan mengancam kehidupan bermasyarakat. Nabi Saw bersabda: Siapa-siapa yang melihat kemungkaran hendaklah ia merobahnya dengan tangannya, dan jika tidak sanggup robahlah dengan lisannya, dan jika tidak sanggup robahlah dengan hatinya. Hal demikian adalah selemah-lemah iman.( Al-Hadist). Penulis memahami hadis ini bahwa, seorang muslim yang benarbenar beriman wajib menggugat kezaliman dan kemungkaran yang terjadi pada dirinya, keluarganya dan masyarakatnya bahkan pemimpinnya. Gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan kapasitasnya. Jika dia sebagai penegak hukum, gugatlah dengan kekuasaannya, jika seorang ilmuan, ulama dan ustaz-ustaz gugatlah kezaliman tersebut dengan lisannya dan tulisan, sedangkan bagi masyarakat banyak dapat melakukan gugatan minimal tidak memberikan dukungan kepada pemimpinnya yang fasik dan zalim. Dengan kata lain, beroposisilah dengan kezaliman dan kemungkaran, mulai dari batas minimal yaitu tidak bermitra dengan kemungkaran, hingga ke batas maksimal melenyapkan kemungkaran dan menggantinya dengan keadilan dan kesejahteraan. Pada akhirnya, setiap elemen masyarakat bertanggung jawab untuk mencegah kemungkaran yang terjadi di sekitarnya, karena mala petaka yang dilakukan oleh seorang pelaku zalim akan diterima imbasnya oleh semua masyarakat sekitarnya meskipun tidak melakukan kezhaliman, sebagaimana firman Allah Swt: Takutlah kamu terhadap fitnah (malapetaka) yang tidak hanya menimpa pelakunya saja (tetapi menyeluruh kepada semua orang yang tidak melakukan kezaliman) (QS. Al-Anfal: 126). Wasallamualaikum wr.wb.

“Kalahlah Khilafiyah Dan Furu’iyah Penyebab Perpecahan” Oleh dr Arifin S. Siregar Dr. Spesialis Penyakit Kulit dan Kelamin, dan Pemerhati Agama

S

ering diutarakan oleh ulama atau pendakwah: “Jangan menonjol-nonjolkan atau membesarkan masaalah khilafiyah yang dikategorikan hal furu’iyah demi menegakkan persatuan umat atau demi menghindari perpecahan”. Hal ini beberapa hari yang lalu diucapkan oleh Haji Oma Irama ketika beliau memberi tausiah melalui TV One dalam kesempatan yang diberikan padanya, pada tahlilan kematian ustad Uje, diantara isinya jangan karena qunut kita berpecah-pecah, berkotak-kotak bahwa itu adalah masaalah khilafiyah atau furu’iyah, tidak prinsip, maka jangan ditonjol-tonjolkan atau dibicarakan. Begitu juga terbaca di Hr. Waspada 18-3-2013 oleh H. Nasir Lc MA bahwa ini dibenarkannya karena bukan masaalah aqidah. Sungguh mulia dan manis ajakan ulama atau penceramah ini dengan menghadapkan ajakan demi persatuan atau ukhuwah Islamiyah yang ditantangkan pada umat. Untuk ajakan ini kita juga setuju 100%. Cuma kita harapkan, agar ajakan atau ucapan ini jangan sekedar penyedap ucapan, tapi ki-

ta mohonkan keikhlasan dan kejujuran dari ulama dan penceramah kita, untuk mewujudkan harapan itu bersama-sama. Kalau benar hal masaalah “syaidina” atau “tahlilan dikematian” itu adalah masaalah khilafiyah atau furu’iyah (tidak prinsipil), maka kalau begitu demi mewujudkan ukhuwah Islamiyah, marilah kita gunakan kaidah: “Meninggalkan yang tidak ada lebih baik dari pada mengadakan yang tidak ada”. Meninggalkan yang tidak ada adalah tidak berdosa, tapi mengadakan yang tidak ada, adalah ancamannya berdosa. Atau dengan kata lain: meninggalkan yang tidak ada petunjuknya, adalah tidak berdosa, tapi mengadakan yang tidak ada petunjuknya, akan berdosa. Misalnya: meninggalkan “shalat qabliyah Jum’at” (yang tidak ada Sunnahnya) tidak berdosa. Tapi mengadakan (mengerjakan) shalat qabliyah Jum’at (yang tidak ada Sunnahnya) diancam berdosa. Sesuai H.R Muslim: Rasulullah SAW bersabda: “..... Seburukburuknya perbuatan adalah yang mengada-ada (membuat yang tidak ada menjadi ada) dan yang

Konsultasi Alquran Ikatan Persaudaraan Qari-Qariah & Hafizh Hafizah (IPQAH Kota Medan) KONSULTASI AL-QURAN adalah tanya jawab sekitar Alquran, yang meliputi: tajwid, fashohah, menghafal Alquran, Ghina (lagu) Alquran, Hukum dan ulumul Alquran. Kontak person. 08126387967 (Drs. Abdul Wahid), 081396217956 (H.Yusdarli Amar), 08126395413 (H. Ismail Hasyim, MA) 0819860172 (Mustafa Kamal Rokan).

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Al-Ustadz, saya mau bertanya, sebenarnya adakah perintah untuk membaca surat setelah al-Fatihah dalam surat yang diam seperti shalat zuhur dan Asar? Mohon penjelasan. Dari Ridwan. Jawab : Terima Kasih atas pertanyaannya. Dalam buku Ahkam alfiqhiyyah khossoh Alqur’an , DR. Salim Ahmad menyatakan, sesungguhnya disunnahkan untuk membaca surat setelah alfatihah dalam shalat yang diam semisal zuhur dan Asar, baik ketika rakaat pertama dan kedua maupun rakaat yang ketiga dan keempat.Tentang bacaan ayat dalam shalat sirr (diam), ulama berbeda pendapat tentang surat apa yang dibaca: 1. Surat mufasssal yang panjang, ini adalah pendapat Jumhur ulama, Hanafi. Malikiah dan Syafi’iyah. Dalil yang mereka gunakan adalah: diriwayatkan Abu Sa’id al-khudri bahwa Rasul membaca sekitar 30 ayat dalam shalat zuhur pada dua rakaat pertama disetiap rakaatnya sedang pada dua rakaat terakhir beliau membaca sekitar 15 ayat. Dalam shalat Asar beliau mem-baca sekitar 15 ayat pada dua rakaat pertama disetiap rakaatnya dan membaca setengah dari itu pada dua rakaat terakhir” (HR Muslim). Berarti dari riwayat ini Nabi biasa membaca sekitar 30 ayat pada dua rakaat pertama menunjukkan bahwa yang dibaca beliau adalah surat mufassal yang panjang. 2. Surat mufassal yang pertengahan. Ini adalah pendapat pengikut Hanbali. Dalil dari pendapat ini riwayat Jabir bin Samurah bahwa Rasulullah dalam shalat zuhur dan asar biasa membaca surat at-thariq dan surat Al-buruj” (HR Abu Daud). Jadi dari dalil ini berati Nabi selalu membaca surat al-Mufassal yang pertengahan. Wallahu A’lam. Al-ustadz H. Ismail Hasyim. MA.

Bila memang kita jujur dan tulus ikhlas demi mewujudkan ukhuwah Islamiyah, maka marilah kita hindari yang tidak disepakati (yang berbeda pendapat), tapi diambil yang disepakati. mengada-ada itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap sesat di neraka”. Dan H.R Muslim yang lain la-gi: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengerjakan yang tidak ada petunjuk kami (Nabi SAW) maka pekerjaan (ibadah) itu tertolak”. Yang tidak ada, dibuat menjadi ada dalam ibadah, itu sifatnya subhat. Setiap yang subhat, meninggalkannya pekerjaan yang mulia. Tentunya kerelaan meninggalkan yang tidak ada Sunnahnya (misalnya shalat qabliyah Jum’at), adalah demi takut dosa, atau menghindari dosa, dan demi mewujudkan ukhuwah Islamiyah umat (demi umat tidak berkotak-kotak). Barangkali ada yang berkomentar : Ajakan itu kita balik yaitu : bagaimana kalau kita pilih/kita amalkan seperti ini: mengadakan yang tidak ada, demi ukhuwah ? Misalnya: mengadakan (menerima) “tahlilan dikematian” atau “mengazankan mayat” ketika memasukkan ke liang lahat (meskipun hal ini tidak ada Sunnah). Karena hal ini banyak umat mengamalkannya. Jadi yang tidak mengamalkannya kita ajak/rela mengamalkannya, demi umat tidak berkotak-kotak atau demi ukhuwah. Jawabnya: terlalu mahal ukhuwah itu, kalau harus dibayar dengan dosa atau sesat. Tentu anda berkomentar: Apakah sudah pasti akan berdosa atau sesat bila diamalkan? Jawabnya : Tidak dikerjakan atau tidak dibuat amalan tahlilan dikematian itu, jamin tidak berdosa atau tidak mengurangi kebenarannya upacara pelaksanaan fardhu kifayah kematian itu. Atau tanpa shalat qabliyah Jum’at tidak membatalkan shalat Jum’at, atau tanpa syalawat pakai “syaidina” tidak akan membatalkan syalawat. Tapi bila diamalkan, dikerjakan yang tidak ada Sunnahnya itu, mungkin berdosa, mungkin tidak. Alangkah bodohnya kita mengambil resiko seandainya berdosa !!!. Maka lebih bijaksana atau lebih tepat memilih meninggalkan yang tidak ada Sunnahnya (tidak ada petunjuk Nabi SAW). Selain seruan atau ajakan dari ulama/pendakwah seperti yang tersebut diatas, ada lagi seruan dari ulama atau pendakwah yang menghimbau dengan manisnya: “marilah

kita hindari membicarakan atau mengamalkan hal-hal yang berbeda pendapat, tapi marilah kita kemukakan atau munculkan atau dibicarakan hal-hal yang kita sepakati, demi memelihara atau mewujudkan ukhuwah Islamiyah”. Untuk ajakan ini kita tanggapi: seruan ini juga sangat mulia. Bila memang kita jujur dan tulus ikhlas demi mewujudkan ukhuwah Islamiyah, maka marilah kita hindari yang tidak disepakati (yang berbeda pendapat). Tapi diambil yang disepakati yaitu misalnya shalat Taraweh (shalat malam dibulan Ramadhan) adalah 11 rakaat adalah Sunnah (H.R Muslim) dan ini yang disepakati seluruh ulama, maka inilah yang diamalkan. Dan yang 23 rakaat sebaiknya ditinggalkan demi ukhuwah Islamiyah (karena tidak disepakati kebenarannya atau menimbulkan perbedaan pendapat). Kesimpulan : Tentu keikhlasan rela meninggalkan yang tidak ada (tidak ada Sunnahnya) adalah demi jujur dengan ucapan mau mewujudkan ukhuwah Islamiyah, tidak hanya sekedar lips service. Sebenarnya masaalah khilafiyah ini dapat diselesaikan mencari mana yang benar. Cuma seperti apa yang dikemukakan oleh Prof.T.M Usman el. Muhammadiyah M.Sc. Th menyatakan sebagai berikut: “Sering orang menggunakan kata khilafiyah sebagai alasan untuk membentengi amalannya (Ibadahnya) dan menolak pengkajian penelitian sebagai koreksi yang dilakukan untuk mengetahui apakah posisi amalannya (ibadahnya) itu masih hak (Sunnah) atau batil (bid’ah)”. Penolakan itu dengan menyatakan: pengkajian masaalah khilafiyah akan menimbulkan perpecahan, keresahan, dsb. (lihat kitab: “MEMBAHAS KHILAFIYAH” oleh: K.H Umar Hasyim). Maka sebenarnya dengan keikhlasan membahasnya adalah satu cara atau resep untuk menghilangkan khilafiyah demi mewujudkan ukhuwah Islamiyah. Apalagi kalau yang menyebabkan perbedaan pendapat itu adalah masaalah furu’iyah (bukan amalan prinsip), tentu mudah untuk meninggalkannya demi tercapai ukhuwah Islamiyah.

Sesungguhnya shalat atau wasiat benar-benar berat (dijalankan) kecuali atas orang-orang khusyuk yang yakin mereka akan berjumpa dengan Allah; maksudnya: mereka tahu akan dikumpulkan kepada-Nya pada hari kiamat, dihadapkan kepadaNya dan mereka akan kembali kepada-Nya. Maksudnya: Urusan mereka akan kembali kepada kehendak Allah; Allah menghakimi sekehendak-Nya terhadap urusan itu dengan keadilan-Nya. Oleh karenanya, saat mereka meyakini hari yang dijanjikan dan jaza’ (balasan) menjadi mudahlah atas mereka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemungkaran.” Hal ini juga dikuatkan oleh sabda Nabi Muhamamd SAW, “Ingatlah kematian dalam shalatmu, karena sesungguhnya seseorang itu apabila ingat kematian dalam shalatnya niscaya akan lebih memacunya untuk memperbagus shalatnya; dan shalatlah kamu sebagaimana shalatnya seseorang yang tak yakin ia bisa shalat sesudahnya.” (HR. Al-Baihaqi dalam kitab Al-Zuhud al-Kabi). Dalam hadis lain, Nabi SAW berpesan, “Apabila kamu berdiri dalam shalatmu maka shalatlah seperti shalat perpisahan.” (HR. Ahmad) yakni seperti shalat orang yang mengira bahwa ia tak akan shalat lagi sesudahnya. Apabila orang yang shalat yakin dirinya akan mati dan di sana masih ada satu shalat sebagai shalat yang terakhir, hendaknya ia khusyuk dalam shalat yang dikerjakannya itu karena ia tidak tahu bahwa bisa jadi shalat ini adalah shalat yang terakhir.” Mengingat perkara kematian dan apa yang akan ia temui sesudahnya berupa alam kubur, kebangkitan, perhimpunan, hisab, dan jaza’ di akhirat adalah cara jitu untuk membantu menggapai kekhusyukan dalam shalat. Maka orang yang shalat hendaklah berusaha mewujudkan sebab-sebab tersebut dan menjauhi perkara-perkara yang menghalangi kekhusyukan. (Sumber: Badrul Taman/voalOslam dan sumber lain).

Bahaya Iri Hati Oleh Fachrurrozy Pulungan Ketua Forum Komunikasi Lembaga Dakwah (FKLD) Sumut

“A

taukah mereka dengki kepada manusia (MuIri hati membuat diri sendiri lupa terhadap hammad) lantaran kabanyaknya nikmat yang diperoleh dan kelerunia yang Allah telah berikan kepada-nya…” Qur’an surah an bihan yang dimiliki. Hanya saja bentuk dan Nisa’ ayat 54. Secara umum penyakit yang proporsinya berbeda dari orang lain. Ia lebih menimpa manusia ada dua macam, fokus pada kekurangannya bukan potensinya. yaitu penyakit lahir dan penyakit batin atau penyakt fisik dan penyakit hati/fisikis. Mana penyakit yang lebih berbahaya di lain, maka ada dua sikap yang muncul pada dirimu antara keduanya, tergantung dari sundut pandang si dalam menghadapi keadaan ini. Pertama, engkau penderita. Namun dalam ajaran Islam penyakit hati membenci nikmat itu ada padanya dan merasa senang jauh lebih berbahaya daripada penyakit fisik. Hal ini jika nikmat itu lenyap darinya, maka yang demikian apabila dilihat dari dampak dan pengaruhnya pada itu disebut hasad (iri hati). Kedua, engkau tidak memmanusia di dunia dan akhirat sebagaimana banyaknya benci saudaramu memperoleh nikmat/karunia yang ayat Alquran dan hadis Rasullullah yang berbicara ten- diberikan Allah kepadanya, tetapi engkau mengintang bahaya penyakit hati. Kalau penyakit fisik mak- ginkan nikmat serupa dengan yang dimiliki saudara simal berujung pada kematian, namun dampak dari mu/orang lain, tanpa mengharap nikmat/karunia yang penyakit hati kalau tidak sembuh di dunia bisa terus dimiliki nya hilang. Dan hal ini disebut sebagai ‘ghibberlanjut hingga akhirat dan mendapat siksa. Fi qulu thah’. Dalam konteks ini Rasulullah SAW bersabda bihim maradhun, faza da hum al maradha walahum sebagaimana diriwayatkan dalam shahihain dari Ibnu ‘adzabun alimun bima kanu yakdzibun/ di hati mereka Mas’ud, “Tidak dibenarkan hasad kecuali dalam dua ada penyakit, maka Allah menambah penyakit hati hal: orang yang diberi Alqur’an oleh Allah lalu ia memmereka. Bagi mereka siksa yang pedih karena mereka bacanya menjelang malam dan menjelang siang, dan berdusta. Itu sebabnya, penyakit hati lebih berbahaya seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu ia medan merusak ketimbang penyakit fisik. nafkahkannya dalam kebeDi antara jenis penyakit hati yang sangat bernaran menjelang malam dan bahaya adalah ‘tamak, iri hati/dengki menjelang siang”. Maksud (hasad), sombong (al kibr), ‘ujub (narsis), dari hadis ini adalah, seria (menunjukkan amal perbuatan seorang boleh iri hati kepada pada orang lain) dan sum’ah (memorang yang berilmu mengaperdengarkan sesuatu perbuatan malkan ilmunya, sehingga ia atau yang dimilikinya pada ortermotivasi untuk beramal. Sama ang lain). Iri hati/dengki atau juga boleh iri hati terhadap orang bahasa Islamnya ‘hasad’ meyang memiliki harta yang dengan hartanya rupakan salah satu penykit itu ia bersedekah, sehingga ia juga termotivasi hati yang paling susah dihinuntuk melakukan yang sama. dari oleh manusia. Iri hati daSebagaimana hadis dari Ibnu Mas’ud yang lam bahasa Indonesia sering diriwayatkan Ibnu Asakir, Rasulullah SAW diterjemahkan sebagai ‘merabersabda, “ Tiga hal yang merupakan sumber sa tidak senang melihat kesegala dosa, hindarilah dan berhati-hatilah lebihan orang lain, baik dalam terhadap ketiganya. Hati-hati terhadap kesomhal harta, maupun kedudukan dll. bongan, karena kesombongan menjadikan iblis Akan tetapi dalam kenyataan enggan sujud/hormat kepada nabi Adam, dan hidup ini, iri hati tidaklah seberhati-hatilah terhadap tamak, karena tamak singkat keterangan linguistik mengantar nabi Adam memakan buah pohon yang tersebut. Karena, bisa jadi iri dilarang untuk didekati, dan berhati-hatilah hati memiliki kekayaan dalam terhadap iri hati, karena anak nabi Adam (Qbil dan bentuk praktis tak terhingga. Habil) salah seorang di antaranya membunuh sauDan iri hati juga memiliki damdaranya akibat iri hati”. pak yang luar biasa, secara fisik Menurut para sufi, penyebab timbulnya iri hati maupun fisikis. Tidak hanya terdisebabkan beberapa hal yang berhubungan dengan: batas dalam ranah kehidupan sak1. Kesombongan, sehingga merasa bahwa apa yang ral (agama), tetapi juga dalam realita kedimiliki seseorang tidak wajar untuk yang bersanghidupan yang profane. Dalam kata lain, iri hati bagai- kutan, dan itu hanya wajar untuk dirinya sendiri (sekan setitik nila yang dapat menyebabkan rusaknya su- perti kaum Yahudi). 2. Persaingan dalam bisnis, dan su sebelanga. Demikian gambaran kecilnya iri hati yang politik. Dari sini iri hati muncul akibat ketidak mammemiliki akibat yang sangat besar bagi kehi-dupan. Iri puan menyamai atau melebihi orang lain yang disaingi. hati dapat merusak berbagai pahala amal kebaikan, 3. Rasa takut yang berlebihan tersaingi oleh orang lain. seperti api yang memakan kayu bakar. Demikian yang 4. Sangat cinta akan kekuasaan/kedudukan. 5. Kebendigambarkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis nya. cian pada satu etnis, agama, atau pada seseorang. Pahala mengaji, shalat, puasa, zakat, sedekah, haji, juga Iri hati membuat diri sendiri lupa terhadap bapahala umrah, semuanya terbakar ludes oleh dosa or- nyaknya nikmat yang diperoleh dan kelebihan yang ang yang iri hati. Demikianlah cara kerja iri hati yang dimiliki. Hanya saja bentuk dan proporsinya berbeda merusak segala macam amal kebaikan. dari orang lain. Ia lebih fokus pada kekurangannya bukan Menurut Al Maraghi dalam tafsirnya, ayat di atas potensinya. Ia merasa kurang dan lemah, padahal bisa menerangkan iri hati nya kaum Yahudi kepada Nabi jadi orang yang didengki merasa tak lebih beruntung dari Muhammad SAW atas karunia/nikmat yang diberikan orang yang mendengki. Seperti itulah godaan setan, Allah SWT kepadanya dan kepada kaum muslimin. membisikkan bahwa ‘rumput tetangga lebih hijau dari Mereka hendak mempersempit karunia/nikmat Allah rumput yang ditanam sendiri’. Selain itu, tidak ada terhadap hamba-hamba Nya, dan tidak suka bila ada jaminan bahwa tuntunan nafsu akan terhenti saat yang umat lain memiliki karunia yang lebih atau sama diinginkan dapat diperoleh. Sebab, tabiat nafsu selalu dengan karunia/nikmat yang mereka dapatkan. merasa kurang. Karena itu, Rasulullah SAW memeIri hati dapat juga tertuju kepada orang yang se- rintahkan kita selalu melihat ke ‘bawah’. Agar kita benarnya tidak mendapat nikmat, baik harta atau selalu sadar bahwa ada banyak orang yang lebih sulit kedudukan, namun diduga oleh orang yang iri hati me- keadaannya. Sehingga kita mensyukuri apa yang miliki harta dan kedudukan. Para ulama kemudian telah dimiliki. “Jika salah seorang di antara kalian memperluas arti iri hati tidak hanya mencakup ke- melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan dengkian terhadap orang lain yang diduga memiliki rupa, maka lihatlah kepada orang yang berada di nikmat, tetapi juga yang tidak mendapat nikmat apa- bawahnya”. HR. Bukhari dan Muslim. apa, akan tetapi kedengkian kepadanya mengantar si Batin akan merasa tenang bila dapat menyeimpendengki menginginkan agar orang yang didengki te- bangkan antara keinginan dan kenyataan. Dengan rus menerus berada dalam kekurangan dan keseng- bersabar dan bersyukur penyakit iri hati dapat disemsaraan. Ibnu Qudamah dalam kitab Minhajul Qasidin buhkan. Selalu berusaha meningkatkan kualitaske mengatakan, jika Allah SWT menganugerahkan suatu iman kepada Allah SWT untuk menjadikan diri berkarunia atau kenikmatan kepada saudara mu/orang taqwa kepada Nya. Wallahu a’lam


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Waspada, Jumat 10 Mei 2013 by Harian Waspada - Issuu