Waspada, Jumat 17 Desember 2010

Page 10

Mimbar Jumat

WASPADA Jumat 17 Desember 2010

Urgensi Tafsir Yang Berkepribadian Indonesia

Pasca Haji Dan Pemberdayaan Ukhuwah Oleh: Sugeng Wanto, MA

S

ejatinya, ibadah haji mampu mengeratkan jaringan ukhuwah umat Islam di dunia. Dalam pelaksanaan ibadah haji terkandung nilai hakiki kebersamaan, saling membantu dan saling menguatkan antara satu dengan lainnya. Kebersamaan itu tidak lagi dibingkai dengan kepentingan kelompok tertentu. Tidak ada perbedaan antara kulit putih dan hitam, orang kaya atau pun susah; semuanya sama di hadapan Ilahi. Ini menunjukkan bahwa nilai ukhuwah dari ibadah haji sangat besar. Maka, sudah menjadi tugas para tamu Allah untuk mensosialisasikan nilai ukhuwah ini. Sakralitas dalam ritual ibadah haji tidak hanya membentuk kesalehan secara individu atau kelompok tertentu. Namun, pelaksanaan ibadah haji seyogianya membentuk kesalehan secara universal. Hal yang terpenting dari pelaksanaan ibadah haji, sebenarnya adalah bagaimana mengaktualkan nilainilai (values) substansial dalam kehidupan secara kaaffah (integral). Salah satunya adalah nilai ukhuwah sebagai salah satu piranti penting membangun kekuatan umat Islam. Sejujurnya, harus diakui selama ini kita masih terjebak dengan ritualitas formal an sich dan mengabaikan nilai substansialnya. Saatnya, kita harus beralih dari pemahaman eksoteris menuju penghayatan dan pengamalan esoteris (meminjam istilah Syahrin Harahap dalam Manasik Falsafinya). Dengan demikian, ibadah haji yang dilakukan akan lebih memiliki daya (power) dan mampu memberdayakan (empowerment) kemaslahatan di tengah umat manusia. Menjalankan ibadah hanya melalui ritus formal tanpa makna hakiki hanya akan membentuk keshalehan pribadi yang justru akan memunculkan kesombongan diri dan menghancurkan peradaban ukhuwah. Hakikat Ukhuwah Persaudaraan (ukhuwah) pada mulanya berarti “persamaan dan keserasian dalam banyak hal”. Paling tidak, ada beberapa macam model persaudaraan. Pertama, ukhuwwah fil ‘ubudiyah: yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara dalam artian sama-sama ciptaan Allah SWT dan perihal ketundukan kepadaNya. Kedua, ukhuwwah fil insaniyah: yaitu bahwa manusia sama di hadapan Tuhannya. Tidak ada bedanya antara pejabat dengan rakyat jelata, antara konglomerat dengan orang melarat, antara anggota dewan dengan tukang sampah. Semuanya sama di hadapan Allah SWT, yang membedakannya hanyalah taqwa. (QS. Al-Hujurat:13) Ketiga, ukhuwwah fi al-wathaniyah: yaitu bahwa ikatan kebangsaan (di bawah panji NKRI). Keempat, ukhuwwah fi al-nasab: yaitu saudara seketurunan. Kelima, ukhuwwah fi al-din al-Islam: yaitu persaudaraan antar sesama muslim. Dalam ibadah haji, paling tidak kita diikat dengan ukhuwwah fil ‘ubudiyah, fil insaniyah, dan ikatan yang paling suci yakni ukhuwwah fil din al-Islam (ukhuwwah Islamiyah). Menarik untuk dianalisis, ketika Alquran berbicara tentang ukhuwwah imaniyah/islamiyah itu dengan menggunakan kata ikhwah yang selalu digunakan dalam arti saudara seketurunan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara (ikhwah), maka damaikanlah di antara saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat-Nya”. (QS. Al-Hujurat:10) Mengapa Alquran tidak menggunakan kata ikhwan (persaudaraan tidak seketurunan). Bukankah kata ini yang lebih tepat, melihat kenyataan bahwa saaudara-saudara seiman dan seislam terdiri dari banyak suku bangsa, yang tentunya

tidak seketurunan. Akan tetapi, hal ini bertujuan bahwa saudara seiman itu layaknya saudara seketurunan. Sehingga tidak ada satu alasanpun untuk meretakkan hubungan antara mereka. Persoalan besar umat Islam hari ini adalah rapuhnya persatuan dan kesatuan (ukhuwah) sehingga mudah tercabik-cabik oleh umat lain. Mengapa ini bisa terjadi? Menurut Syahrin Harahap dalam Islam dan Modernitas, paling tidak, ada empat faktor penyebab umat Islam sering gagal mengaktualisasikan ukhuwah islâmiyah. Pertama, kecenderungan mengartikan ukhuwah terbatas pada silaturrahmi fisik, saling mengunjungi, membantu yang terkena musibah, menjenguk mereka yang sedang sakit, menghibur mereka yang “kemalangan”, dan mendamaikan mereka yang bersengketa. Pengertian ukhuwah di sini, koridornya tidak pernah diperluas menjadi universal dan holistik. Akibatnya, menjadi banyak sekali wilayah-wilayah yang tak terpikirkan (unthinkable) saat mengamalkan ukhuwah islamiyah. Kedua, ketidakmampuan sebagian besar umat dalam melihat persoalan yang prinsipil dan dasar dengan persoalan yang elementer dan teknis, sehingga persoalan yang elementer, teknis, dan furû’iyah sering menyebabkan konflik horizontal antar umat dan memisahkan sebagiannya dari arus perjalanan dan perjuangan global Muslim. Ketiga, pragmatisme membuat sebagian umat tergoda dengan kepentingan sesaat, guna memenuhi keperluan pragmatis dan domestik, sehingga seringkali merugikan, menyudutkan, dan mengkhianati kepentingan Islam yang lebih universal. Keempat, politisasi agama; saat umat beragama dijadikan komoditi politik, dan kesatuan mereka dicabik-cabik demi kepentingan sesaat. Hal ini connected dengan memudarnya sifat istiqâmah dan idealisme religius sebagian tokoh agama. Ibadah haji, seperti reuni akbar internasional umat Islam (muktamar internasional). Selain beribadah, di sana terjalin ta’aruf (saling mengenal), merajut ukhuwah (persaudaraan) dan menjalin kasih sayang dengan berjuta umat Islam. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (Q.S. al-Hujurat: 13) Semua atribut primordial, status sosial, dan pandangan melebur menjadi satu. Untuk itu, sebagaimana menurut Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an, mereka harus: (1) bersatu dan menyisihkan perbedaan-perbedaan kecil, (2) niat di hati harus tetap lurus, (3) tidak boleh dirusak oleh kese-rakahan harta dan kepentingan-kepentingan duniawi untuk mencari keuntungan. Mudah-mudahan melalui ibadah haji kesadaran ukhuwah umat Islam akan semakin teraktual sehingga umat Islam mampu membangun jaringan kerja (net working) yang kuat di berbagai bidang. Dengan demikian, kita mampu membumihanguskan kezaliman dan ketidakadilan di muka bumi dan menebar kedamaian universal (rahmatan lil’alamin). Pasca pelaksanaan ibadah haji, terutama jamaah haji asal Indonesia sangat diharapkan menjadi duta ukhuwah. Ditambah lagi, banyaknya musibah di negeri ini akibat merajalelanya ketidakjujuran dan menjamurnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), maka para dhuyufurrahman seyogyanya menjadi garda terdepan merajut kembali ukhuwah yang telah semakin memudar di negeri ini. Wallahu a’lamu. ● Penulis adalah: Dosen Fakultas Ushuluddin IAINSumatera Utara dan Dosen STAIS Tebing Tinggi Deli.

P

ada umumnya penafsiran seseorang terhadap ayat-ayat Alquran tidak terlepas dari konteks sosio cultural (budaya masyarakat) dimana mufassir bersangkutan hidup. Hampir dapat dipastikan ketika ayat Alquran memerintahkan untuk taat kepada pemimpin maka yang tergambar di dalam pemikiran mufassir adalah pemimpin yang ada di tempatnya pada masa itu. Sama halnya ketika ayat Alquran mewajibkan untuk mengeluarkan zakat dari sebagian harta yang dimiliki maka yang terkonsep di dalam pemikiran mufassir adalah harta yang ada di tempatnya. Demikian juga halnya ketika Alquran menyebut kata “khamar” maka yang terpola di dalam pemikiran adalah semua jenis minuman yang dapat memabukkan. Oleh karena itu, penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran belum memadai jika hanya menggunakan penafsiran orang lain yang budaya dan pola kehidupannya berbeda, terlebih lagi jika interval waktunya terlalu jauh. Dalam tataran ini diperlukan penafsiran ayat-ayat Alquran yang berkepribadian Indonesia supaya tidak muncul kesan bahwa makna ayat-ayat Alquran hanya cocok dikonsumsi pada waktu dan tempat tertentu. Urgensi melakukan penafsiran yang berkepribadian Indonesia karena ayat-ayat Alquran selalu berbicara dalam konteks umum. Sebagai contoh, Alquran menyebut “musyawarah” maka tehnis dan pola musyawarah dapat dikembalikan ke dalam budaya lokal masing-masing. Demikian juga halnya ketika Alquran menyuruh menutup aurat maka batas-batas yang harus ditutup sebaiknya dikembalikan kepada budaya lokal. Tanpa ada upaya untuk mengembalikan pesan-pesan Alquran ke dalam budaya lokal maka petunjuk Alquran sulit terbumikan di dalam kehidupan. Inilah dugaan sementara tentang banyaknya praktekpraktek ibadah yang muncul di masyarakat yang nota benenya tidak terdapat acuannya di dalam Alquran. Demikian juga halnya dengan kemunduran zakat

Mungkinkah Allah SWT Telah Murka? F Oleh Watni Marpaung, MA

B

enarkah Allah SWT telah murka? Pertanyaan ini sangat wajar kita ungkapkan melihat berbagai peristiwa bencana alam yang sedang dialami negara tercinta ini. Mengapa tidak? Berbagai cobaan datang silih berganti, mulai dari gempa tektonik yang melanda Aceh dan sebagian Sumatera yang diiringi tsunami. Belum lagi selesai, longsor dan banjir bandang melanda berbagai daerah di Indonesia. Belum cukup dengan itu, Yogyakarta diterpa gempa bumi yang memakan korban tidak sedikit. Gunung Merapi tidak ketinggalan menyempurnakan bencana alam di negera tercinta ini. Seluruh kejadian bencana alam di atas merupakan fenomena yang selalu menjadi pertanyaan besar. Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim tidak pernah absen dengan berbagai bencana. Apakah Allah tidak sayang lagi sehingga menurunkan cobaan yang tidak henti-hentinya. Atau memang umat ini yang sudah jauh dari petunjuk yang diberikannya sehingga keluar dari ketaatan dan kepatuhan. Allah SWT menjadikan manusia ke permukaan bumi ini untuk mengabdi dan tunduk hanya kepada Allah. Tidak ada satu pun kegiatan dan aktivitas manusia terkecuali hanya diperuntukkan untuk mengagungkan dan membesarkan asma Allah. Ini tercermin dari pernyataan Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan tidaklah kuciptakan jin dan manusia hanyalah untuk mengabdi kepada-Ku.” Dari itu fitrah manusia pada hakikatnya adalah hamba, pelayan, budak, Allah di permukaan bumi. Maka keingkaran dan pembangkangan merupakan tindakan yang berada di luar koridor fitrah manusia itu sendiri. Selain itu, Allah SWT memerintahkan manusia untuk taat dan patuh bukan tidak diberikan fasilitas oleh Allah dalam kehidupannya. Seluruh kebutuhan zahir dan batin diberikan kepada manusia untuk memudahkan mereka melaksanakan perintah dan menjauhi segala laranagan Allah. Bahkan, jaminan yang diberikan kepada manusia selama nyawa masih di kandung badan, Allah akan tetap memberikan rezeki kepadanya. Dalam kaitannya dengan peristiwa di atas, seharusnya manusia bertanya dan mengevaluasi kembali, apakah kita masih berada dalam jalan fitrah atau ketaatan. Atau malah sudah keluar dan melakukan pelanggaran-pelanggaran perintah Allah sehingga mengakibatkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Sebagai ilustrasi, seorang tuan yang telah membiayai hidup para pelayannya secara keseluruhan, yang kemudian menuntut agar mereka dapat bekerja dengan baik dan selalu patuh kepada aturan yang ditetapkan. Ketika para pelayan sesuai dengan tuntutan sang tuan maka tidak mustahil sang tuan akan memberikan penghargaan yang lebih besar dari gaji yang diterima mereka. Namun sebaliknya, pelayan yang membangkang dan selalu ingkar, kemungkinan besar akan mendapatkan sanksi dan hukuman dari tuannya. Indonesia yang tercinta ini, mungkin sudah lelah dengan segala kenistaan dan kejahilan para penduduknya. Kebohongan dan kejahilan semakin hari semakin menjadi, berkembang, yang sudah menjadi budaya sebagian pejabat, pengusaha dan tidak menutup kemungkinan rakyatnya. Korupsi yang merajalela dan semakin terstrukur,

ditambah lagi akhlak bangsa yang sudah jauh dari tuntunan agama, pergaulan bebas, free sex, dan sebagainya menyempurnakan kebobrokan bangsa ini. Mungkin beragam bencana alam merupakan salah satu cara Allah untuk memberikan peringatan kepada hamba-hamba-Nya. Cobaan atau Azab Paling tidak menanggapi kejadian yang dialami saudara kita di berbagai daerah setidaknya ada dua pendapat. Pertama, mengatakan bahwa apapun bentuk bencana yang terjadi semua itu cobaan dari Allah kepada hambahamba-Nya. Bagi mereka Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang tidak mungkin mengazab hamba-Nya sehingga mereka sengsara dan menderita. Tetapi semua itu adalah cobaan yang diberikan Allah agar manusia dapat melakukan introsfeksi diri lebih jauh terhadap perbuatan mereka yang telah lalu yang mungkin menjadi penyebab terjadinya bencana alam. Kedua, mereka yang melihat bahwa bencana alam yang dialami oleh saudarasaudara kita merupakan bahagian azab yang sifatnya duniawi, yang diberikan tempatnnya di dunia ini. Apabila kita analisis lebih jauh dari kedua pendapat di atas, pada dasarnya Allah tidak pernah menimpakan bala atau musibah kepada hamba-Nya dengan semenamena sekalipun Allah SWT sanggup untuk melakukannya. Namun musibah itu datang bahkan silih berganti disebabkan oleh manusia itu sendiri. hal ini dijelaskan dalam Alquran surat Al-Rum ayat 41 “Telah nyata kerusakan di darat dan di bumi disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” Sangat jelas kiranya bagi kita tidak secara langsung ayat di atas menginformasikan adanya hukum timbal balik atau sebab akibat “ kerusakan-kerusakan di muka bumi karena kejahilan dan kezhaliman manusia itu sendiri”. Terjadinya bencana alam yang telah melanda daerah Indonesia tidak terlepas dari keikutsertaan manusia di dalamnya. Banjir dan longsor tidak dapat dipisahkan dari kegiatan manusia yang selalu menebang hutan secara liar. Pada akhirnya tingginya curah hujan tidak sebanding dengan penyerapnya di gunung dan hutan. Banjir, longsor dan semacamnya pun tidak terelakkan lagi. Karena tangan-tangan manusia yang jahil yang memperjuangkan kepentingan pribadi di atas penderitaan orang lain. Hal ini terkait perbuatan manusia yang selalu ingkar dan durhaka kepada Tuhan, perzinaan yang semakin merajalela seolah-olah bukan hal yang tabu lagi. Semakin menjamurnya tempat-tempat yang menyediakan fasilitas maksiat. Paling tidak bencana yang telah melanda saudara-saudara kita di berbagai daerah sebagai pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh sekaligus hukuman dan sanksi terhadap orang-orang yang melakukan maksiat dan kenistaan. Penutup Kejadian beragam bencana alam yang melanda saudara-saudara kita di berbagai daerah agar kita selalu berada dalam ketaantan kepada Allah. Karena semua kejadian tersebut bagian zikir yang dapat mengingatkan kita kepada kekuasaan dan kebesaran Allah yang dapat melakukan segala sesuatu di luar kemampuan manusia. ●Penulis adalah: Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN-SU.

C5

alaqtahòama Al’aqabah.Wa mâ Adarâka ma Al’aqabah? Itulah satu pertanyaan Allah SWT. kepada kita. Soal itu terdapat dalam Alquran surah Al-Balad, surah ke-90 ayat 11 dan 12. Biasanya, ayat tersebut diterjemahkan, “Akan tetapi, ia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apa jalan yang mendaki lagi sukar itu?” Pada mulanya, kata ‘aqabah’ menurut M. Quraish Shihab, berarti “jalan yang sulit di pegunungan”, atau “batu besar yang runcing dalam sumur, yang sering merusak timba”. Saya menduga ujung ayat itu, kata ‘aqabah’ telah diserap ke dalam bahasa Indonesia, menjadi kata akibat. Perhatikanlah huruf ‘aqabah’, terdiri dari abjad Arab: ain-qafba-dan ta marbutah, sepadan dengan kata akibat. [Berdasarkan Transliterasi Arab-Latin SKB Menteri Agama dan Menteri P&K RI Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987. Huruf qaf transliterasinya adalah q, tetapi dalam praktik penulisannya sering dibuat menjadi huruf k, seperti koran (Indonesia), berasal dari qoran/qora’a (Arab), sidik (Indonesia) berasal dari sidiq (Arab), dan sedekah (Indonesia) berasal dari ºadaqah (Arab). Ada pun, ta marbuþah, transliterasi Arab-Indonesia menjadi huruf h, tetapi dalam praktik penulisannya sering menjadi huruf t, seperti rahmat, mestinya rahmah]. Jika demikian, ayat tersebut saya terjemahkan, “Ia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi berakibat. Tahukah kamu apa jalan yang berakibat itu?” Sambungan ayat tersebut sekaligus jawabannya, yang dimaksud jalan berakibat adalah “Melepaskan budak dari perbuda-kan. Atau memberi makan pada hari kelaparan. (Kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Kemudian dia (yang bersangkutan) termasuk orang beriman dan saling berpesan untuk tabah dan berkasih sayang”. (QS. Al-Balad/90: 13-17). Dari ayat tersebut, jelas, di antara misi dakwah Islam membebaskan perbudakan, contoh kasusnya, Bilal bin Rabah, seorang budak Umayah, dibebaskan Islam. Walhasil, Bilal mendapat tempat terhormat sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW, dan Muslim yang terkemuka. Bilal pengumandang azan pertama dalam Islam. Dari namanya itu pulalah, sehingga populer di kalangan kaum Muslim sebutan Bilal masjid. Demikian halnya, Islam membela hak orang kelaparan, anak yatim, dan orang miskin. Dan karena sikap Islam, sering pro (memihak) kaum lemah dan kaum tertindas, kaum elite Makkah gusar terhadap Nabi Muhammad SAW

Oleh Dr Achyar Zein, MAg

karena ketidakberanian melakukan penafsiran yang berkepribadian Indonesia. Tafsir yang Berkepribadian sebagai Tawaran Alternatif Aturan-aturan yang terdapat di dalam Alquran sudah pasti memperhatikan perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, aturan-aturan dimaksud tidak hanya terbatas kepada komponen masyarakat tertentu demikian juga waktu dan generasi. Untuk menyahuti hal ini maka penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran tidak boleh terhenti kepada satu interpretasi. Ketika Nabi Muhammad menafsirkan ayat tentang kewajiban zakat dan menunjuk hartaharta yang wajib dizakati tentu saja harta dimaksud sesuai dengan keberadaan masyarakat setempat. Perbuatan Nabi ini bukan merupakan penafsiran tunggal akan tetapi sebagai metodologi dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran yang disesuaikan dengan perkembangan kehidupan dan peradaban masyarakat ketika itu. Perbuatan Nabi ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran harus dilakukan dengan membawa segala atribut-atribut yang ada untuk dijadikan alat bantu dalam memahami keumuman ayat-ayat Alquran. Jika penafsiran Nabi ini dipandang sebagai satu-satunya tafsir, berarti pesan-pesan Alquran hanya dirasakan oleh kelompok tertentu dan tidak untuk kelompok lain. Bila Alquran diperuntukkan bagi semua manusia maka setiap pesannya sudah pasti sejalan de-

ngan peradaban manusia secara totalitas. Sebaliknya, bila ayatayat Alquran hanya dibatasi oleh penafsiran tertentu dengan membawa sosio-kultural pada tempat tertentu pula maka kehadiran ayat-ayat Alquran tidak akan memberikan kontribusi bagi masyarakat yang ada di tempat lain. Berdasarkan hal ini maka tidak ada otoritas tunggal dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran terlebih lagi ketika Alquran menyatakan kehadirannya sebagai petunjuk kepada semua manusia tanpa terbatas ruang dan waktu. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ayat-ayat Alquran selalu berbicara pada tataran filosopis. Oleh karena itu, ayatayat Alquran lebih tepat dipandang sebagai dalil dan bukan sebagai sumber. Melalui kenyataan ini, perlu terobosan baru untuk memperkenalkan tafsir yang berkepribadian Indonesia supaya norma-norma dan adat istiadat yang berlaku di Negara ini dapat dijadikan kontribusi dalam penafsiran. Urgensi melakukan terobosan ini disebabkan bahwa bangsa Indonesia adalah bagian dari komunitas umat Islam yang memiliki sosio kultural yang berbeda dengan masyarakat Islam lainnya. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kaya dengan norma-norma, adat istiadat dan kaedah-kaedah yang menuntun masyarakat selama ini. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sudah lama mengenal normanorma, adat istiadat dan kaedah-kaedah yang bahkan sampai sekarang gaungnya masih terlihat. Kekayaan yang seperti ini dapat diakomodir sebagai ciri khas penafsiran terhadap ayatayat Alquran yang berkepribadian Indonesia dan sekaligus merupakan cerminan dari kekayaan masyarakat Indonesia itu sendiri. Sebagai contoh, mulai dari dulu masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat hukum meskipun hukum yang berlaku belum terkodifikasi. Oleh karena

Akibat Hijrah Oleh Abdul Hakim Siregar, MSI dan pengikutnya. Pasalnya, tokoh Makkah merasa terusik dengan keadilan dan kesetaraan yang didakwahkan Islam. Alhasil, tokoh-tokoh Makkah bereaksi untuk menyogok, meneror, mengintimidasi, dan memboikot kaum Muslim. Tidak hanya itu, beberapa orang beriman sempat disiksa, terutama mereka yang berasal dari kaum lemah/miskin/budak yang tidak memiliki pelindung kuat. Oleh karena itu, kalangan lemah itu diperintahkan Rasulullah SAW hijrah, awalnya migrasi ke Abbasenia, dua kali/gelombang. Pada puncaknya, semua Muslim Makkah hijrah ke Madinah, termasuk Nabi Muhammad SAW hijrah setelah lolos dari makar dan persekongkolan kaum Quraisy Makkah yang berencana membunuh Nabi SAW. Hijrah pada dasarnya sebuah loncatan besar kemanusiaan untuk perubahan dan pembebasan. Jadi, hijrah bukanlah sebuah pelarian hidup karena tidak sanggup lagi berhadapan dengan situasi yang menghimpit, melainkan hijrah berarti peluang dan tantangan baru yang lebih berisiko dan kompleks. Hijrah menjadi pemisah kaum beriman dan tidak beriman, itu juga menjadi batu ujian kian terujinya kesempurnaan Islam di lapangan praktik. Semangat tantangan itu sendiri merupakan semangat Qurani. Sebab, AlQuran menantang orang yang ragu terhadap kebenaran Al-Quran, untuk membuat semisal Al-Quran. Jadi, hijrah juga sebuah konsekuensi dan akibat (risiko) pilihan. Hal itu dapat diperhatikan misalnya dalam Alquran, surah Al-Baqarah/2 ayat 218.Yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah/2: 218). Dari ayat tersebut, jelas, orang yang beriman disejajarkan dengan orang yang berhijrah dan orang yang berjihad. Bahkan pada ayat tersebut, tampak orang berhijrah (muhajirin) mendahului kata orang berjihad (mujahid). Dengan demikian, kasih dan ampunan Tuhan dapat dicapai dengan menjadi mukminin, muhajirin (imigran), dan mujahidin. Ini tugas suci dan tugas kemanusiaan yang berakibat (berisiko) tinggi. Akibat (risiko) hijrah dapat saja terjadi sewaktu-waktu, seperti kelaparan karena perbekalan habis dan belum mendapatkan pekerjaan dan

terserang penyakit saat musafir (dalam perjalanan) yang berujung kematian. Sama halnya, dengan jihad di peperangan bisa jadi terbunuh. Namun, orang yang berani mengambil risiko, pastilah memeroleh hasil dan upah dari kerjanya. Allah SWT. berfirman. “Maka orang-orang yang berhijrah,yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pasti akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”. (QS. Ali-Imrân/3: 195). Pada ayat lain, ditegaskan: “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui”. (QS. An-Nahl/16: 41). Hijrah, dalam dua ayat di atas, secara tegas disebutkan terhapusnya kesalahan-kesalahan, dan kelak dimasukkan ke dalam surga. Pada ayat selanjutnya, dijelaskan Tuhan menjamin orang yang hijrah memperoleh tempat yang bagus. Ini reali-tas kehidupan, banyak orang yang awalnya biasa-biasa atau tertindas di daerahnya, setelah hijrah hidupnya berubah, bahkan menjadi pembaharu dan pemimpin masyarakat/negaranya. Kendatipun demikian, sebagian orang menolak hijrah dengan berbagai kilah. Di antaranya, alasan ketertindasan, sebagaimana dikemukakan dalam Al-Quran. Yang artinya, ”Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya:”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi”. Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orangorang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Barangsiapa berhijrah di jalan Allah,

yang berkepribadian Indonesia ini dapat ditangkap melalui pernyataan Alquran yang artinya “taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin-pemimpin kamu”. Kata “pemimpin” di dalam ayat ini adalah pemimpin kita sendiri yaitu sosok yang kita pilih dan yang kita tunjuk dan tidak mungkin pemimpin-pemimpin dari negara lain. Urgensi melakukan penafsiran yang berkepribadian Indonesia ini pada prinsipnya sudah dinapaktilasi oleh ulama-ulama Indonesia terdahulu. Ketika muncul praktek-praktek ibadah yang dipelopori oleh orang-orang yang mengaku dirinya sebagai kaum sufi (thariqat) maka para mufassir Nusantara memberikan reaksi mereka dengan menafsirkan ayat-ayat Alquran yang berkepribadian Indonesia. Para mufassir Nusantara ini adalah orang-orang yang menjadi referensi di beberapa negara dan bahkan penafsiran mereka tidak sedikit yang memberikan kontribusi di dalam kajian keislaman meskipun di dalam negeri mereka kurang diperhatikan. Tokoh-tokoh mufassir Nusantara dimaksud adalah Prof. Dr. H. Mahmud Yunus (1899 M-1983 M), Prof. Dr. Hasbi ash-Shiddieqy (1904 - 1975 M), Tuan Syaikh H. A. Halim Hasan Binjai (1901-1969 M), Prof. Dr. Hamka (1908 M- 1981 M) dan Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA (l. 1944 M). Karya-karya mereka ini sudah sewajarnya dijadikan referensi dalam kajian tafsir yang berkepribadian Indonesia. Kesimpulan Pada prinsipnya, ayat-ayat Alquran senantiasa berbicara pada tataran filosopis. Hal ini mengindikasikan bahwa pesan dari ayat-ayat dimaksud seharusnya dapat teraplikasi sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Berdasarkan hal ini maka ide untuk memperkenalkan Tafsir yang Berkepribadian Indonesia sudah merupakan tuntutan yang mendesak karena pemahaman tentang tunjukan ayat-ayat Alquran yang berlaku di Tanah Air selama ini masih menga-dopsi penafsiranpenafsiran yang datang dari luar. ● Penulis adalah: Dosen Fak. Tarbiyah IAIN-Sumatera Utara niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan RasulNya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa/4: 97-100). Mestinya kita insyaf dan peka terhadap adanya penindasan teologis (kebebasan beragama dihalang-halangi), pedagogis (pendidikan rendah), ekonomis (kesejahteraan dan kesehatan buruk), dan politis (pemerintah berkuasa mengintimidasi dan meneror) yang menimpa kita, sehingga kita segera hijrah. Namun, bila kita menduga penindasan dan rasa tidak berdaya sebagai kilah menolak dan menunda hijrah. Itulah awal ketidaksanggupan kita berhadapan dengan akibat/risiko, walhasil kita bergeming dan menetap di daerah tempat tinggal atau tempat kerja dengan kukungan yang membelenggu pemikiran. Bukankah bumi ini luas ? Ali Syariati mengatakan Islam mendorong umatnya meninggalkan tanah tumpah darahnya, keluarga, negeri, dan masyarakatnya, hijrah demi: 1.Menyelamatkan kemerdekaan dan kehormatan individu dengan jalan meyakini kisah Aºhòâb al-Kahf (para penghuni gua) yang mengesankan. 2. Tercapainya kemungkinan dan lingkungan baru yang mendukung perjuangan, di luar wilayah sosialpolitik yang zalim, guna melakukan perjuangan menentang kezaliman. 3. Menyebarkan dan mengembangkanluaskan pemikiran dan akidah di wilayah dan lingkungan lain, sebagai wujud dan tanggung jawab kemanusiaan yang universal untuk menyampaikan risalah kebenaran Islam sebagaimana Nabi SAW mengirimkan para pengajar Islam ke luar kota Madinah dan wilayah-wilayah Islam. 4.Mempelajari alam secara ilmiah, khususnya geografi, fisika, biologi, ekonomi, humaniora, tumbuh-tumbuhan, air, dan udara. Demikian pula halnya, dengan selukbeluk manusia: antropologi dan etnologi, sosiologi dan cara-cara hidup masyarakat, politik, ekonomi, adati-istiadat, tradisi, dan agama. Demikianlah, beberapa akibat (konsekuensi baik) yang kita peroleh dengan berhijrah. Mudòarat (derita) dan akibat (risiko) hijrah banyak, tetapi maºlahat (untung) dan rizki berhijrah lebih banyak dan lebih luas lagi, apalagi dibarengi dengan niat tulus hijrah karena Allah SWT. ● Penulis adalah guru PAI pada MTs Swasta YPKS, SMA Swasta NI, MTs N 2, dosen PERTINU & AKBID Darmais Padangsidimpuan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Waspada, Jumat 17 Desember 2010 by Harian Waspada - Issuu