Minggu 1 juni 2014

Page 11

Budaya

WASPADA Minggu 1 Juni 2014

B3

Sastra Hijau Dan Kebangkitan Seni Bangsa-bangsa Oleh: Jones Gultom

D

ALAM sejarahnya, gerakan sastra hijau pernah berkembang di beberapa negara, antara lain Brazil, Amerika Serikat, Australia, dan Jepang. Gerakan sastra hijau menjadi bagian tak terpisahkan dari revolusi hijau yang menandai datangnya abad ke-20. Abad yang dalam tulisan-tulisan kuno bangsabangsa di berbagai belahan dunia dilukiskan sebagai gerbang akhir zaman. Menyadari itu, para ahli di penjuru dunia pun menggelar kampanye hijau. Termasuk oleh paraseniman.IdeAuflkarungdan Renesains yang pernah sukses diEropaabad-14,dihidupkanlagi. Buku-buku sastra bercorak “eco critisim” dan revitalisasi heritage terus bermunculan. Forum-forum sastra diarahkan kepada sejumlah persoalan global. Termasuk menyangkut humanitas. Darisitulahirlahismeisme seni yang sebetulnya adalah perulangan dari abad-abad sebelumnya. Di Australia kita mengenal “bush poetry” yang digagas penyair Henry Lawson, Banjo PatersondanDorotheaMackellar.Ketiga penyairinimenjelajah“geografis” Australia, melalui sajaksajaknya. Australia yang di abad ke-19 didominasi sabana dan

stepa dilukiskan ketiga penyair sebagai “small paradise”. Semangat itu turut membidani prinsip-prinsip konservatif yangsegeradiaturdalamundangundang konservasi dan heritage Australia. Hasilnya, Negeri Kangguru itu kini menjadi salah satu negara yang paling ketat menjaga keragaman hayati dan kebudayaannya. Sekaligus pula menjadi negara yang paling banyak memiliki ikon. Demikian juga para penyair Amerika Serikat. Kita mengenal Emily Dickinson yang menginspirasi “Penyair Folks”, William Faulkner. Sajak Emily dan Faulkner, hidup dalam hati masyarakat yang menolak kesewenang-wenangan atas nama kesejahteraan. Emily dan Faulkner mewakili kelompok-kelompok masyarakat yang di Indonesia kita sebut

sebagai masyarakat adat. Keduanya menolak penyeragaman.Bahwakelompokmasyarakat adat adalah basis terakhir dalampenyelamatanlingkungan. Karena itu eksistensinya mesti dipertahankan serta diakui sebagai bagian dari warga dunia dengan kekhasannya sendiri. Suara-suara Emily dan Faulkner turut memengaruhi lahirnya konsep human right yang mengakomodir perbedaan kelompok-kelompok masyarakat di penjuru dunia. Di Indonesia, apa yang dilakukan Emily dan Faulkner diiikuti sejumlah seniman lintas genre. Di antaranya, Franky and Jane Sahilatua, Ebiet G Ade, Leo Kristi,Gombloh,UllySigar,Sapardi Djoko Damono, Leon Agusta, Yudishtira N Masardi, Sardono. Melalui karya seniman inilah, kita jadi lebih mengenal keragaman Indonesia. Boleh disebut, berkat mereka kita dapat menikmati kekayaan Indonesia. Sayangnya, regenerasi tak muncul.Globalismeyangdiusung paham kapitalis, seakan tak terbendung. Arah kesenian dan ideologi keindonesiaan semakin cair. Hingga ketika gerakan sastra hijau dikerucutkan menjadi kearifan lokal, seniman kita kembali menggeliat. Namun terlanjur ada jarak dan sejarah yang kabur. Alhasil para seniman, sesudah

tahun 1980-an, seperti kembali di awal. Mereka menggali sesuatu yang tak mereka pahami, walau sebenarnya masih begitu dekat dalam dirinya. Perjalanan Seni Suatu Bangsa Pelajaran paling penting sebenarnya adalah bagaimana menjadikan karya sastra sebagai bagian dari sejarah yang tak boleh diabaikan. Seperti apa yang pernah dilakukan bangsa-bangsa Eropa di abad ke 14. Khususnya yang diperlihatkan bangsa Italia. Para ahli di eks Kekaisaran Romawi ini, menulis ulang, merevitalisasi, dan menyusun kembali puing-puing karya seni yang hancur akibat perang berkepanjangan. Gerakan renesain ini dimotori sejumlah seniman, filsuf, saudagar, ilmuwan, senat, dan pemimpingereja.Merekabersatu padu membangun kembali zaman keemasaan Italia pada masa Romawi Kuno. Hasilnya, Italiatumbuhmenjadinegarayang banyak melahirkan seniman, filsuf, dan ilmuwan besar yang memengaruhi dunia. Leonardo Da Vinci, Michelangelo, Donatello, Ghiberti, Bramante, Massacio, Medici adalah sejumlah nama yang berjasa merekonstruksi-revitalisasi kebudayaan Romawi Kuno menjadi Italia sekarang.

Demikianjuganegara-negara Eropa lainnya. Tokoh-tokoh di luar Italia terus bermunculan. Seperti Erasmus (Belanda) Thomas More dan Shakespeare (Inggris) Durer (Jerman).Tidak heran, jika Raja Henry IV dari Perancis segera memboyong seniman-seniman Italia ke Perancis. Hasilnya, saatini,Parispuntumbuhmenjadi pusat seni, mode, arsitektur. Pada negara-negara Asia, kulminasi karya seni, sebenarnya masih cukup kentara. Bahkan sebagian besar masih hidup dalam masyarakatnya. Ia menjadi ritus yang sebagian di antaranya bertransformasi menjadi sistem sosial. Di Jepang, contohnya.Tradisi menulis sajak-sajak pendek (haiku) adalah bagian yang tak terpisahkan dari karakter mereka. Haiku sendiri merupakan tradisi tulis orang Jepang. Secara umum, haiku merupakan ungkapan syukur,pemujaanalamsertadoadoa yang mereka tulis dengan konsep puisi. Kini haiku merambahwilayahkreatifyanglebihluas. Tak lagi permisif. Ia menjadi milik publik. Ia hadir di post card, undangan, maupun perangko. Bagaimana dengan Indonesia?Kitamengenalberagamkarya seni, khususnya sastra yang tersebar di penjuru nusantara. Dalam bentuk lisan maupun tulisan. Naskah-naskah sastra

kuno berupa babad, sampai folklore merupakan bagian tak terpisahkandaribangsaini.Jumlah danragamnyatakterbilang.Mulai dari pantun, gurindam, syair, mantra, pantun, petuah, ramalan-ramalan. Sayangnya, potensi ini tak mampudiformulasikan.Padahal, di dalam karya sastra itu, banyak tersimpan pengetahuan lokal nenekmoyang.Mulaidaripengobatan, perbintangan, sampai peramalan. Kita berharap pemerintahan yang akan datang juga menyadari potensiini.Dibutuhkansinerjisitas untukmenggalidanmerevitalisasi kembali pengetahuan kebudayaan kita yang hilang. Kerja-kerja kebudayaan harus didekatkan dengan pola-pola sains. Sehingga menghasilkan rekomendasi yang diwujudkan dalam bentuk karyakarya kreatif. Dengan begitu semakin tumbuh rasa bangga terhadap lokalitas yang dimiliki bangsa ini. Terlebih sesudah trend revolusi hijau, abad-21 ini, tampaknya bangsa-bangsa semakin menyadari, betapa pentingnya kebudayaan dalam kehidupan berbangsa. Tidak sekedar menjadikannya wilayah kreatif, tetapi penegasan kemanusiaan pada masing-masing orang di penjuru dunia. ***

Klaim Tortor, Gordang Sembilan Tak Serius Oleh: H Sofyan Harahap DUA tahun lalu, masyarakat Sumut khususnya etnis Batak dan Mandailing marah besar atas klaim Malaysia mendaftarkan tari tortor dan alat tradisional musik gordang sembilan di dalam Akta Warisan Kebangsaan Malayswia. Bahkan,Malaysiadisebut-sebutmemintapengakuandariUNESCO atas seni budaya yang sudah tumbuh sejak ratusan tahun lalu itu diTapanuli dan Mandailing Natal.Warga Sumut khususnya pengetua adat Batak dan Mandailing berikut pengikutnya melakukan protes dan menghujat Malaysia habis-habisan atas klaim tersebut. Konjen Malaysia di Medan dibuat repot atas munculnya aksi unjuk rasa berhari-hari atas sikap sebagian warga Malaysia yang dulunya memang berasal dari Indonesia (nenek moyangnya) namun kini sudah menjadi WN Malaysia. Nenek moyang suku Batak danTapanuli itu di masa lalu merantau memasukiwilayahMalaysiajauhsebelumkemerdekaannya31Agustus 1957. Pada masa-masa sulit di awal kemerdekaannya, pemerintah Malaysia tidak begitu mempersoalkan masuknya pendatang dari Indonesia, khususnya dari Sumut sebagai negara jiran terdekat. Sehingga banyak warga Sumut terutama dari suku Mandailing memasuki wilayah kerajaan itu berprofesi sebagai petani, nelayan, pedagang, maupun pekerja bangunan di tahun 1970-an hingga 1980an.Tak sulit mencari pekerjaan di masa itu, bahkan mendapat identitas resmi pun masih bisa berupa IC merah dari pemerintah setempat. Masa itu belum gencar razia pendatang haram. Kalau disebut mayoritas bangunan fenomenal di Malaysia, termasuk menara kembar (twin tower) dikerjakan pekerja dari Indonesia –sebagian besar pekerja ilegal— hal itu merupakan fakta yang sulit terbantahkan. Memang sejak 1990-an pemerintah Malaysia memperketat masuknya pekerja ilegal namun secara sembunyi-sembunyi tampak masih sengaja dilonggarkan karena negeri itu membutuhkan tenaga kerja yang banyak di berbagai bidang pembangunan, terutama di sektor infrastruktur jalan, pekerja bangunan, perkebunan, industri maupun rumah tangga. Investigasi: Tidak Serius Pada saat ini masyarakat Malaysia yang nenek moyangnya dari Sumut, khususnya suku Batak dan Mandailing, sudah memasuki generasi keempat dan kelima. Namun positifnya, sebagian dari mereka masih memiliki kesadaran dan kepedulian akan pentingnya mempertahankan identitas budaya asalnya, sehingga mereka membuat perkumpulan, dan lewat komunitas Batak, Mandailing, Minang, Aceh, berupaya mati-matian mempertahankan segala seni budaya etnisnya, seperti tortor dan gordang sembilan, bahasa daerah, pakaian, makanan dll. Penelusuran saya terhadap sejumlah anggota komunitas Batak dan Mandailing di Malaysia dan sejumlah daerah, seperti Perak, Sekinchan, Selangor, dan Kuala Lumpur selama empat hari mendapatkan banyak informasi terkait berbagai hal yang terkait budaya serumpun (Indonesia – Malaysia). Tak banyak yang berbeda di antara kedua negara serumpun. Mereka kompak, bersatu menghadapi era globalisasi dan ancaman masuknya budaya asing

Catatan Budaya

Sumarsih Oleh: S Satya Dharma Kasih Ibu Dipenggal Peluru Wawan…, maafkanlah Ibu Ibu tidak mampu menjaga dan melindungimu dari kekejaman penguasa negeri ini Ibu bangga atas buah-buah peziarahan semasa hidupmu di dunia Tetapi sebagai manusia, batin Ibu terluka Wawan…berbahagialah di surga Ibu mencintaimu dengan segenap hati dengan segala keterbatasan dan kekurangan Ibu hendak melanjutkan perjuanganmu dan… Kau kuserahkan kepada Tuhan yang lebih mencintaimu SEPENGGAL puisi yang diberi judul “Tabah Dalam Pendakian” itu ditulis Maria Catarina Sumarsih, tak lama setelah putra kesayangannya tewas tertembus peluru. Curahan hati Sumarsih itu bisa dibaca dalam buku “Payung Hitam Keadilan,” sebuah buku yang berisi kisah-kisah sejumlah perempuan Indonesia yang gigih berjuang menuntut keadilan, tegar melawan penindasan dan setulus hati mengabdikan diri untuk kemanusiaan. Maria Catarina Sumarsih, perempuan kelahiran Semarang 1952 ini adalah ibu dari Bernardius Realino Norma Irmawan atauWawan, salah seorang korban penembakan di Semanggi saat berlangsung aksi unjukrasa mahasiswa pada 13 November 1998. Hari itu Wawan, mahasiswa Fak Ekonomi Unika Atma Jaya memang sedang menjadi relawan bagian logistik dalam aksi damai mahasiswa menolak digelarnya Sidang Istimewa MPR. Aksi itu berlangsung di sekitar jembatan Semanggi, tak jauh dari Kampus Unika Atma Jaya di mana ia menuntut ilmu. Naas, pada saat melakukan aksi itulahWawan dan sejumlah rekannya, tiba-tiba tersungkur. Entah dari mana datangnya, sebutir peluru tajam tiba-tiba menghantam tubuhnya.Wawan jatuh bersimbah darah. Sebuah lubang peluru kecil menembus dada kirinya. Ia dan sejumlah korban lain segera dibawa ke rumah sakit Jakarta yang tak jauh dari lokasi kejadian. Namun nyawanya tak tertolong. Wawan tewas. Peristiwa itulah yang kemudian dicatat dalam sejarah reformasi Indonesia sebagai “Tragedi Semanggi I”. Sumarsih,sangibu,perempuanyangdiusianyakiniseharusnya sudah hidup tenang menjalani hari-hari tuanya, pun meradang. Setelahcukuplamamembisu,iapunbangkitmenuntutkeadilan. Selama enambelas tahun ia kemudian bergerilya di rimba raya republik, ke luar masuk kantor pemerintah. Ia seakan ingin membutikan janjinya untuk meneruskan perjuanganWawan,sangputrayangtewassebagaitumbalreformasi. Tewasuntuksatuperubahanyangkinimalahdinikmatiolehsegelintir orang.Segelintirorangyangdulu,ketikareformasisedangmenggeliat, justru tak kelihatan batang hidungnya. Hingga tahun 2014 ini, sudah 16 tahun Sumarsih, perempuan berambut putih keperakan ini, tanpa merasa lelah, berjuang menyuarakan tuntutan keadilan bagi anaknya dan juga bagi para korban pelanggaran HAM lain yang terjadi di awal jatuhnya rezim Orde Baru.

Meski perjuangannya hingga kini belum terwujud, Sumarsih tak menyerah. Ia perjuangkan keadilan itu tidak hanya melalui jalur hukum formal, tapi juga dengan berunjukrasa. Di depan Istana Negara, setiap minggu ia bahkan rela berpanas berhujan, berdiri tegak tanpa suara demi mendapat keadilan. Waspada/ist

Atraksi kesenian yang ditampilkan sejumlah peseni dari Malaysia yang dulunya (nenek) moyang) berasal dari Jawa, Batak/ Mandailing, Banjar, beserta makanan khas Malaysia, semuanya nyaris sama dengan di Indonesia sebagai negara serumpun. dari negara-negara maju, seperti Amerika dan Eropa. Kalau sebagian dari mereka –warga Malaysia cinta leluhur— menginginkan pemerintah kerajaan mengakui eksistensi seni budaya komunitasnya agar disamakan dengan budaya Malaysia, menurut hemat saya sah-sah saja. Sebab, seni budaya Batak dan Mandailing sangat berbeda dengan seni budaya warga lokal di Malaysia. Beda dengan budaya Banjar, Padang, dan Jawa, cenderung sudah berevolusi. Tidak utuh lagi. Hanya sebagian kecil saja yang masih bisa disebut 80 persen sama dengan aslinya. Itu sebabnya mereka yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun bermukim di Malaysia itu sejak lama menginginkan seni budaya Batak dan Mandailing yang mereka bawadariSumutdiakuisebagaimanasenibudayaasliMalaysialainnya. Mereka –pata tokoh Mandailing—menginginkan budaya tortor, gordang sembilan dll dari daerah asal (Sumut) bisa dipertahankan sesuai aslinya. Apalagi jarak Malaysia dengan Sumut bisa ditempuh tak sampai 1 jam saja dengan pesawat terbang. Adapun tujuan mendaftarkan tortor dan gordang sembilan dalam daftar kumpulan seni budaya Malaysia agar resmi diakui kerajaan dan bisa mendapatkan anggaran dari kerajaan untuk pengembangan seni budaya itu sendiri agar generasi muda mereka di Malaysia dapat berlatih dan belajar seni budaya nenek moyangnya meski sudah lahir (lama) menetap di Malaysia. Selainitu,pengetuaadatBatakdanMandailingyanglamabermukim di Malaysia (turun temurun) merasa bangga kalau tortor dan gordang sembilan maupun seni budaya lainnya diakui menjadi bagian dari seni budayaMalaysia.Inimemudahkankamiuntukbangkitdanberkembang secara optimal bila tortor dan gordang sembilan dapat ditampilkan dalam setiap acara-acara resmi pemerintahan dan kerajaan. Dengan demikian, seni budaya Batak, Mandailing, juga budaya lain dari Indonesia, seperti Banjar, Aceh, Jawa cepat terangkat dan tersosialisasi ke seluruh Malaysia. Mudah-mudahan saja bisa membuahkan

hasilandaieksistensisenibudayayangkamipertahankandinegeriMalaysia cepatterealisasi.Jadi,bukanklaimnyayangpenting,tapigolnyabagaimana bisa mempertahankan seni budaya lelulur di Malaysia. DaripenelusurandikalanganorangtuaetnisBatakdanMandailing, begitu pula etnis Jawa dan Banjar, termasuk Aceh, mereka selama ini sulit mempertahankan seni budayanya di daratan Malaysia, karena sangat banyak tantangan dan rintangan. Kami sudah berupaya mengupayakan berbicara dalam bahasa leluhur etnis kami dalam komunitas, namun banyak anak-anak kami kurang tertarik, apalagi kalau sudah bersekolah ke luar kota. Biasanya mereka lebih senang berbicara logat Malaysia, pakai bahasa Inggris, atau campuran, sementara bahasa daerah asalnya tidak lagi dimengerti. “Itu sebabnya kami mengupayakan membuka kelas belajar untuk generasimudaMandailingdiMalaysiauntukbelajarbahasadankebudayaan kembali sehingga mereka tertarik dan mencintai seni budaya asalnya agar tidak hilang begitu saja ditelan zaman,” ujar tokoh masyarakat Mandailing di Kuala Lumpur dan Selangor saat dikonfirmasi. Kesimpulan yang dapat ditarik dari perkembangan seni budaya asal Indonesia dari kalangan Batak, Mandailing maupun dari Jawa, Banjar, Padang, dan Aceh, mereka merasa prihatin melihat kurangnya perhatian generasi muda atau anak dan cucunya untuk belajar dan mempertahankan tradisi seni budaya maupun kesenian asal nenek moyangnya dari Indonesia. Karena itu, klaim tortor dan gordang sembilan bisa disebutnya tak serius. Untuk mendapatkan legalitas dari kerajaan saja. Sayang reaksi dari Indonesia begitu keras seakan Malaysia ingin mencaplok akar budaya asal Indonesia. Tegasnya, baik tortor maupun gordang sembilan merupakan warisan budaya asli dari Mandailing, sedangkan di Malaysia menjadi bagian dari seni budaya lokal yang wajib dipertahankan.

Hingga kini bahkan sudah hampir 400 kali Sumarsih melakukan aksi “Kamisan” di depan Istana Negara. Menuntut janji Presiden SBY untuk menuntaskan kasus penembakan yang merenggut nyawa anaknya. Aksi Kamisan itu adalah bentuk kekecewaan para keluarga korban pelanggaran HAM atas mandeknya kelanjutan proses hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Aksi Kamisan itu sendiri, menurut Karyudi Sutajah Putra, barangkali bisa diibaratkan sebagai “ngemisi” (berasal dari kata Kemis atau Kamis) yang pada zaman kerajaan dulu dilakukan rakyat jelata untuk meminta sedekah kepada keluarga raja yang dilakukan pada setiap hari Kamis. Bedanya, bila dulu rakyat jelata meminta sedekah berupa uang atau makanan, kini para keluarga korban pelanggaran HAM meminta sedekah berupa dilaksanakannya segera Pengadilan HAM Ad Hoc. Tapi kita memang bangsa yang pelupa. Tak banyak orang yang hinggahariinimasihingatdenganperistiwaSemanggiyang menjadi salah satu “tumbal” lahirnya rezim reformasi ini. Maka, untuk tidak menjadi lupa itulah Ibu Sumarsih berjuang. Tidak hanya demi dirinya, tapi juga demi ratusan bahkan ribuan anak bangsa yang telah menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa. “Kami sudah diperlakukan tidak baik oleh negara ini,” ujar Sumarsihsuatuhari.Tapiiataklantasberputusasa.Iatetapyakin, selama ada keinginan kuat untuk membersihkan masa lalu dari dosa-dosa sejarah dan negara bertekad menegakkan hukum yangseadil-adilnya,makasuatusaatkelakparapelakupelanggaran HAM akan segera bisa dimintai pertanggungjawabannya. Atas kegigihannya itulah Sumarsih, pada 10 Desember 2004, dianugerahi penghargaanYapThiam Hien Award karena dinilai menjadi figur yang berhasil mengatasi kesedihannya menjadi kesadaran akan nilai kemanusiaan. Tapi saudara, bukan itu sesungguhnya yang ia harapkan. Sebagai seorang ibu, sejak semula ia hanya membutuhkan satu kepastian. Satu jawaban saja. Yakni, siapa sesungguhnya yang paling bertanggungjawab terhadap kematianWawan dan sejumlah mahasiswa lain di awal-awal bangkitnya rezim reformasi ini. Hanya itu. Ya, hanya itu………..!

Budaya Mandailing Dari Waktu Ke Waktu Oleh: Fadmin Prihatin Malau TIDAK mudah untuk melestarikan sebuah budaya karena budaya. Buktinya banyak budaya di dunia dan khususnya di Indonesia yang punah seiring dengan perjalanan waktu. Hilang ditelan dengan budaya baru atau punah atau hilang atau diambil pihak lain sehingga identitas budaya itu berubah. Hilang atau punahnya sebuah budaya sering terjadi, minimal acapkali terjadi pergeseran budaya. Misalnya, pernah terjadi beberapa klaim budaya daerah yang ada di Indonesia oleh negara serumpun Malaysia. Reog Ponogoro, Jawa Timur. Sebelumnya pernah juga mengklaim lagu Rasa Sayange. Malaysia pernah juga mencoba mengklaim kesenianWayang Kulit dan yang terakhir Gordang Sambilan dari kabupaten Mandailing Natal (Madina) Sumatera Utara. Klaim budaya negara serumpun Malaysia sulit dihindari dan disalahkan sebab namanya saja negara serumpun. Ibarat pohon bambu selalu tumbuh dan berkembang secara berumpun atau serumpun sehingga banyak persamaan dan kesamaan akan tetapi tidak persis sama. Beranjak dari tidak persis sama ini maka perlu ada penegasan tentang kesenian dan budaya satu daerah, satu bangsa. Penegasan itu perlu didaftarkan pada badan dunia. Kelemahan Pemerintah Indonesia dari dahulu sampai hari ini terletak pada bidang ini sehingga banyak kebudayaan daerah yang belum didaftar pada badan dunia. Beranjak dari kondisi ini Pusat Informasi dan Dokumentasi

Mandailing (PIDM) di Desa Hutapungkut Jae, Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandaling Natal, memiliki dokumentasi tentang Budaya Mandaling dengan memiliki museum dan perpustakaan di Sopo Sio Parsarimpunan Ni Tondi Mandailing Saba Garabak mengoleksi alatkesenianMandailingEnsambelGordangSambilan,Etek,Gondang Dua dan lainnya seperti alat-alat tradisional, foto-foto bersejarah, audiovisual, penerbitan buku serta lainnya. Pendiri PID Mandailing, dr Rizali H Nasution, kepada penulis belum lama ini mengatakan PIDM didirikan 17 Agustus 2010 sebagai satu program Kelompok Humaniora – Pokmas Mandiri dengan misi revitalisasi sejarah, kesenian dan kebudayaan Mandailing dengan menghadirkan museum dan perpustakaan mengenai Mandailing. Menurutnya,museummenghadirkantentangkondisiMandailing dari segi sosial dan ekonomi masyarakat Mandailing dan budaya Mandailing serta perpustakaan mengoleksi 638 judul buku dan 108 di antaranya tentang Mandailing. “PID Mandailing, melestarikan budaya tidak mengenal waktu,” kata dr Rizali. SedangkanGordangSambilanmerupakanbudayadariMandailing bisa saja terjadi difusi. Hal ini karena kebudayaan menurutnya bukan seperti air di dalam cangkir yang tetap di dalam cangkir. Kebudayaan itu seperti air di dalam bungkusan kain, pasti merembes, berdifusi sehingga kebudayaan itu menembus ruang dan waktu. Ketika kebudayaan berdifusi. Artinya budaya itu berkembang di mana kebudayaan itu sedang berada. Hal ini karena budaya tidak dapat lepas dari manusia itu sendiri maka budaya Mandailing juga tidak bisa lepas dari masyarakat Mandailing di mana pun masyarakat Mandailing itu berada, termasuk ketika masyarakat Mandailing

berada di Malaysia. Masyarakat Mandailing yang berada di Malaysia sudah tentu membawa kebudayaannya. Apakah secara per orangan, secara berkelompok di mana orang itu berada pada satu daerah pasti akan mengekspresikan budaya yang dimilikinya. Berawal dari sifat budaya itu maka ketika masyarakat Mandailing yang berada di Malaysia dan di mana saja pasti mengekspresikan kebudayaannya. Agar nilai-nilai yang ada dalam budaya itu tidak mengalami difusi maka perlu didaftarkan dan harus terdaftar sejak awal. Dikatakan Rizali, sesungguhnya kebudayaan itu tidak mengenal ruang, tidak mengenal lokasi sehingga di manapun berada, kapan pun waktunya tetap kebudayaan Mandailing. Hal yang penting mendaftarkan atau terdaftar sebagai milik bangsa Indonesia sebagai warisanbudayabangsaIndonesia.Bilasudahterdaftarataudidaftarkan maka kekhawatiran, ketakutan masyarakat Indonesia akan hilang atau diklaim bangsa lain tidak akan terjadi. Adat Budaya Harus Dilestarikan Melihat kehadiran PID Mandailing satu upaya nyata untuk mempertegas eksistensi semua unsur kebudayaan Mandaling yang ada. Memberikan informasi karena perkembangan zaman dengan populasi manusia yang begitu cepat berkembang maka banyak yang tidak (kurang) mengenal sesungguhnya budaya yang dimilikinya. Untuk itulah tujuan adanya pusat informasi Mandailing untuk memberikan jawaban akan kebudayaan Mandailing agar tetap orisinil

sampai kapan pun juga secara utuh. Mulai dari penyebutannya, seperti sekarang ini banyak yang kurang tepat atau salah menyebutkannya yakni banyak yang menyebut Gondang Sambilan, pada hal yang benar adalah Gordang Sambilan. Di samping itu kini banyak yang kurang paham bahwa Gordang Sambilan merupakan ensambel yang terdiri atas sembilan buah gendang besar dan panjang (drum chime) yang dibuat dari kayu Ingul dan dimainkan oleh empat orang. Ukuran dan panjang gendang itu bertingkat, mulai dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar. Tabung resonator dibuat dengan cara melubangi kayu dan salah satu dari ujung lubangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membrane yang terbuat dari kulit lembu kering (disebut jangat) yang diregangkan dengan rotan sekaligus sebagai alat pengikatnya. Bila didaftarkan atau terdaftar maka semuanya menjadi jelas karena budaya yang ingin diwariskan kepada generasi mendatang memang harus yang orisinil. Kehadiran PID Mandailing berupaya untuk itu dan ingin memberikan jawaban yang tepat. Tidak mudah untuk melestarikan budaya leluhur bangsa. Hal ini karena melestarikan budaya merupakan kerja mulia yang luhur oleh semua komponen anak bangsa. Bukan saja anak bangsa akan tetapi yang lebih penting lagi peran serta pemerintah harus berada pada barisan paling depan dalam mengawal asset budaya bangsa. Hal ini penting karena budaya bangsa sebagai jati diri bangsa yang mandiri. PID Mandailing sudah memulainya dan ingin mewujudkannya dalam dunia nyata untuk melestarikan budaya yang ada di Mandaling, Sumatera Utara, Indonesia.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.