4 minute read

Telisik Jargon “Kampus Merdeka”

Nadiem Anwar Makarim meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar di kantor Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Jumat (24/1/2020). dok. www.kemdikbud.go.id

Awal tahun ini, tatanan dalam dunia pendidikan dikejutkan dengan adanya kebijakan baru yang digadang oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Anwar Makarim. Terdapat 4 kebijakan yang dibawa yaitu sistem akreditasi perguruan tinggi; hak belajar tiga semester di luar prodi; pembukaan prodi baru dan; kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Kebijakan ini sontak mendapatkan dukungan dan tak jarang mendapat catatan dari berbagai pihak.

Advertisement

Guna menelisik lebih dalam mengenai Kampus Merdeka, kali ini Warta PTM telah mewawancarai beberapa narasumber di antaranya Dr Ir Gunawan Budianto MP selaku Rektor UMY, Prof Dr Ir Ali Agus, DAA DEA sebagai Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof Dr Sofyan Anif, MSi selaku Rektor UM Surakarta, Fathul Wahid, PhD selaku Rektor Universitas Islam Indonesia, dan Prof Dr Saiful Deni SAg MSi selaku Rektor UM Maluku Utara.

Apa Itu Kampus Merdeka?

“Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mestinya sebagai acuan dasar kebijakan Pendidikan Tinggi di Indonesia, tidak ditemukan istilah Kampus Merdeka,” papar Ali menjawab arti dari Kampus Merdeka. Berangkat dari UU tentang pendidikan tersebut, ia menyimpulkan Kampus Merdeka merupakan spirit merdeka dalam penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi. Melalui Kampus Merdeka, PT yang selama ini sarat beban administrasi akan disederhanakan atau bahkan dibebaskan dalam beberapa hal terkait beban adminstrasi agar para birokrat kampus tidak terbelenggu berbagai aturan, serta mahasiswa pun memiliki kebebasan dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang diminatinya.

Kampus Merdeka adalah suatu jargon kebijakan dan program ‘debirokatisasi kampus’ agar perguruan tinggi lebih leluasa dan fleksibel mengembangkan IPTEKS bahkan mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain agar bisa bersaing dan memenangkan persaingan melalui peningkatan kualitas SDM dan IPTEKS. Sependapat dengan hal tersebut, Sofyan menambahkan Kampus Merdeka adalah pemberian otonomi yang lebih kepada perguruan tinggi (mahasiswa dan dosen) dalam proses pembelajaran dengan meggunakan kultur yang lebih inovatif, sehingga diharapkan mampu menghasilkan SDM yang unggul, mandiri, serta memiliki karakter Pancasilais.

Bagaimana relevansi Kampus Merdeka di era 4.0 sekarang ini?

Salah satu ciri dari era 4.0 adalah merebaknya penggunaan sistem digital atau kerap dikenal dengan sebutan kemajuan Information Communication Technology (ICT). Secara sadar, Kampus Merdeka mencoba menggiring PT untuk terkoneksi dengan ICT secara utuh. Adanya Kampus Merdeka menjadi benang merah untuk merubah suasana belajar mengajar yang lebih efisien dan memudahkan mahasiswa untuk mengembangkan diri dan potensi. “Kebijakan sangat relevan dengan era saat ini, bahkan telah mengantisipasi era akan datang. Penguasaan teknologi menjadi wajib, terutama bagi dosen dalam mengembangan model-model pembelajaran, demikian pula mahasiswa diberi kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat dan kompetensi yang dia miliki,” papar Saiful menegaskan.

Namun hal ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi PT yang masih beradaptasi dengan sistem daring tersebut. “Kultur kita bukan IT (Information Technology),” begitu paparan Gunawan saat ditanya bagaimana konsepsi kebijakan ini jika diterapkan. Penyesuaian kultur baik bagi dosen dan mahasiswa perlu menjadi strategi. Pasalnya, banyak PT besar dan didukung dengan sarana prasarana IT yang mumpuni masih beradaptasi dengan hal ini. “Ini menjadi kendala bukan hanya PT besar karena tidak serta merta sebuah kampus dengan IT bagus langsung merubah kultur dosen,” lanjutnya.

Sebagai pakar Teknologi Informasi Fathul angkat bicara. Dia berpendapat selama ini era industri yang digadang-gadangkan belum pernah dikonseptualisasi. Sebagai contoh banyak orang yang mengkoar-koarkan hal itu dengan teknologi namun kampus tersebut masih belum memiliki fasilitas internet. “Ada yang tidak sinkron. Karena di Indonesia ini variatif, yang cocok di Jakarta belum tentu cocok di tempat lain,” lanjutnya. Fathul lebih memilih untuk menerjemahkan secara umum bahwa masa depan memberikan tantangan yang berbeda, sehingga kita menjadi lebih fleksibel, adaptif, dan cepat merespon. Dunia yang terus berubah, selera zaman berubah, PT pun perlu mengangkat antenanya tinggi-tinggi untuk menangkap sinyal-sinyal perubahan.

Kelebihan dan Kekurangan

Ali menyatakan, bahwasanya setiap kebijakan pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Seperti diungkapkan sebelumnya, debirokratisasi menjadi salah satu kelebihan kebijakan ini. Menurutnya, itu sangat diperlukan untuk percepatan kemajuan dan peningkatan kualitas SDM bangsa. Lebih lanjut, ia menilai kebebasan bagi mahasiswa untuk menggunakan hak belajar tiga semester di luar prodi merupakan langkah yang bagus. Terutama jika dapat dilakukan dengan baik, terarah, dan targeted.

Hal senada pun dipaparkan oleh Sofyan. Kebebasan yang diberikan kepada mahasiswa, diharapkan berimbas pada kemandirian mahasiswa. Dengan begitu, mahasiswa memiliki kompetensi yang lebih baik sesuai dengan bidang minatnya dan lebih memiliki kreativitas serta inovatif.

Namun, Ali juga menggarisbawahi permasalahan kesiapan dari PT akan kebijakan tersebut. “Penyelenggaraan model tiga semester belajar di luar prodi memerlukan infrastruktur, mitra industri/ swasta, sistem pengawasan, cara kerja yang detail. Siapkah kita?” tanya Ali. Ia menambahkan kesiapan dan daya dukung menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan program ini. Begitu pun dengan kesepahaman akan konsep dan implementasi di lapangan yang bisa jadi sangat berbeda tergantung banyak hal.

Hambatan dan Tantangan

“Sebuah kebijakan akan dapat terlaksana dengan baik apabila kebijakan tersebut secara komprehensif dipahami dengan baik oleh jajaran di bawahnya hingga level paling bawah sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan tersebut,” papar Ali ketika ditanyakan mengenai hambatan. Ia beranggapan, seharusnya tidak ada bias makna dan lingkup kebijakan yang diterjemahkan di level birokrasi di bawahnya. Selain itu sosialiasasi secara masif dan terusmenerus harus digalakkan karena bisa saja di level birokrat kampus, pihak rektorat dan dekanat belum secara komprehensif memahami konsep dan metode implementasi di lapangan.

Gunawan sependapat dengan hal tersebut. Ia menekankan teknologi bukan hanya dikenalkan namun ada konsep sosial yang harus diperhatikan. Ia pun mencontohkan bagaimana pemerintah butuh waktu 9 tahun untuk mewajibakan imunisasi. “Karena itu kan mengubah image, jadi bukan sekedar teknologi pengobatannya namun ada faktor sosial yang masuk.”

Untuk itu, diperlukan banyak diskusi terkait petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis agar mudah dilaksanakan. Sebagai contoh bagaimana petunjuk pelaksanaan bagi mahasiswa yang akan melaksanakan kegiatan belajar selama tiga semester di luar program studinya. “Ini salah satu contoh pertanyaan, dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya. Saya kira saat ini para Dirjen dan Direktur yang membantu Menteri sedang intensif merumuskan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis Kampus Merdeka,” tutup Ali. []APR/GTA

This article is from: