Warta Jemaat GKI Samanhudi 14 Oktober 2012_________________________________
hati atau pikiranmu. Hanya kamu, seperti ulat ini, yang mengetahui kamu mampu menjadi seperti apa.” Kata-kata sang kakek tentang ulat itu rupanya meyakinkan seorang Michael Michalko tentang pentingnya transformasi dan bagaimana hal itu dapat berlangsung. Tranformasi merupakan suatu keniscayaan bagi diri yang kreatif. Mengikuti kata-kata kakeknya, Michalko menegaskan bahwa seseorang dapat berubah (dan mengubah sesuatu) berdasarkan apa yang ada di dalam hati dan pikiran orang itu. (Michalko 2012, xix) Ketika hati dan pikiran seseorang (atau sekelompok orang) terjerat oleh “kemapanan” atau keadaan stabil yang memuaskan diri sendiri, maka transformasi menjadi “barang” yang menggelisahkan bahkan menakutkan. Bagaimanapun transformasi berkaitan erat dengan perubahan. Namun, tidak semua perubahan adalah transformasi. Seperti dikemukakan oleh dua pakar manajemen perubahan, Maria Daszko dan Sheila Sheinberg (2005), “However, while all transformation is change, not all change is transformation.” Transformasi bersifat utuh dan menyeluruh, bukan hanya mengubah perilaku organisasi tetapi juga pelaku-pelaku (orang) di dalam organisasi itu. Jika di dalam organisasi, seseorang cukup lama mengecap “nikmat lebih” (surplus jouissance), maka orang itu condong akan merasa enggan untuk berubah, apalagi untuk mengubah. “Another world is possible!” – “Dunia lain (yang lebih baik) adalah mungkin!” Demikian slogan para aktivis kreatif menggelorakan semangat perubahan dan pembaruan dunia. Semangat melakukan transformasi bagi masa depan dunia sedang membara di era globalisasi ini. Semangat itu menghidupkan kembali arti penting dari “nilai lebih” (surplus value) dalam setiap kegiatan manusia. Itu berarti, apa yang dikerjakan oleh setiap kita, baik di lingkup kecil (keluarga) maupun di lingkup besar (masyarakat) seharusnya mengandung nilai-nilai yang baik, bukan hanya untuk “nikmat lebih” diri sendiri, tetapi untuk kebaikan bersama. Pdt. Hendri M. Sendjaja
3