9 minute read

OPINI

Next Article
DARI PEMBACA

DARI PEMBACA

SAATNYA MENUMBUHKAN JIWA ENTREPRENEUR KIDS

Oleh ENDANG ARTIATI SUHESTI, S.Pd.

Advertisement

Kemajuan suatu bangsa tidak mungkin tanpa pengusaha (Jusuf Kalla). Angka pengangguran di negara Indonesia masih cukup tinggi. Dalam situs Kompas.com dituliskan bahwa tingkat pengangguran Indonesia mencapai 9% dan tingkat kemiskinan mencapai angka 13%. Sebuah angka yang cukup memprihatinkan, karena bangsa ini telah memproklamirkan kemerdekaannya sejak 65 tahun.

Begawan properti, Dr. Ir. Ciputra pada ulang tahunnya yang ke-79 lalu merasa betul-betul gelisah dan prihatin dengan tingginya tingkat pengangguran di negara Indonesia ini. Kegelisahannya juga dirasakan saat mengetahui bahwa sarjana pengangguran yang ada di Indonesia mencapai kisaran 20%. Kondisi tersebut diamini pula oleh Sunarsip, ekonom The Indonesia Economic Intellegence (IEI). Menurutnya pada sebuah acara Montothly Economic Reulem di Jakarta tahun 2010 angka pengangguran masih tinggi berkisar antara 8–10% karena pertumbuhan ekonominya tidak cukup menampung jumlah pencari kerja di Indonesia.

Oleh karenanya permasalahan ini harus segera diselesaikan, jika situasi ini tidak segera ditangani, maka dalam 25 tahun ke depan kondisi masyarakat Indonesia tidak akan berubah. Menciptakan lapangan pekerjaaan dengan berwirausaha adalah satu cara ampuh untuk mengatasi angka pengangguran. Hal ini diyakini pula oleh Ciputra yang sudah berpengalaman mengabdi di Ciputra Group selama 29 tahun, serta kiprahnya di dunia properti selama berpuluhpuluh tahun. Ia sangat yakin bahwa Indonesia membutuhkan senjata pamungkas untuk memerangi pengangguran dan kemiskinan melalui kewirausahaan.

Wirausaha dan Manfaatnya

Coba kita tengok definisi wirausaha menurut Ciputra, “Wirausaha adalah ilmu tentang bagaimana menjadikan kehidupan lebih makmur. Dengan wirausaha, kita bisa mengubah lingkungan yang tidak sehat menjadi sehat, barang yang tidak bernilai menjadi emas (22/9/10). Dari definisi itu tegas bahwa wirausaha dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi lebih sejahtera. Misal, Sutrisno telah 11 tahun menjadi karyawan di Jakarta, namun ia mengambil keputusan untuk pulang ke tanah kelahirannya di Karanganyar dan bermetarmorfosis menjadi penyuling daun cengkih. Ia mengubah nasibnya menjadi pengusaha sukses yang sejahtera dengan berbekal, “sampah” daun cengkih yang berguguran setiap hari di kebun (Trubus, 2008). Rahmat Susetyo juga mengikuti jejak Sutrisno, setelah diangkat 6 tahun menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Rahmat keluar dari pegawai. Selang 11 tahun kemudian, ia menjelma menjadi “raja” serehwangi yang beromzet Rp 51 juta per tahun dan berhasil meraup Rp 21 juta per bulan (Trubus, 2008 ).

Rahmat Susetyo dan Sutrisno adalah contoh nyata pribadi yang begitu memahami manfaat wirausaha dan berani mengambil resiko. Mereka berhasil meningkatkan kesejahteraan hidupnya dan secara tidak langsung ikut menyelamatkan masyarakat di lingkungan sekitarnya yang menjadi pegawainya.

Mindsite Sebagai Akar Permasalahan

Jika masyarakat luas lebih memahami tentang manfaat wirausaha dan mereka menerapkannya, lambat laun pasti pertumbuhan ekonomi bangsa ini semakin meningkat. Akan tetapi ada mindsite yang perlu diluruskan kembali kepada generasi penerus bangsa ini karena menghambat laju penciptaan lapangan pekerjaan. Sudah bertahun-tahun mindsite yang terbangun di sekitar kita adalah sekolah untuk mencari pekerjaan bukan sekolah untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Perlu dicermati, bahwa

Menciptakan lapangan pekerjaaan dengan berwirausaha adalah satu cara ampuh untuk mengatasi angka pengangguran.

mindsite sekolah adalah untuk mencari pekerjaan, salah satu berdampak pada urbanisasi yang cukup pesat, yaitu berbondong-bondong orang datang ke kota-kota besar mencari lapangan pekerjaan. Sebagian dari mereka justru mencoba mendapatkan pekerjaan dengan merantau sampai ke negeri tetangga.

Hal ini memperlihatkan juga bahwa keberanian mereka untuk berwirausaha secara mandiri belum ada. Memang untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri tidaklah mudah. Apalagi menciptakan lapangan pekerjaan itu penuh resiko, penuh tantangan, sehingga masyarakat cenderung mencari lapangan pekerjaan yang tidak perlu memikirkan resiko yang ada. Bagi karyawan atau pegawai, mereka tinggal masuk bekerja dan menunggu awal bulan untuk menerima gaji.

Jusuf Kallla saat membuka acara Silahturohmi Saudagar Minang di Padang, Sumatera Barat mengatakan, “Jika dilakukan survei kepada 100 anak di Indonesia, tentang cita-cita mereka kelak dewasa, justru lebih banyak menjawab ingin menjadi dokter, guru, tentara atau pilot dan tidak ingin menjadi saudagar atau pengusaha” (Kompas 16 -9-2010).

Pernyataan Kalla ini meneguhkan bahwa jiwa dan semangat entrepreneur perlu dibangun dan ditanamkan pada setiap anak-anak bangsa Indonesia, Kedepan harapannya mereka akan tumbuh menjadi pribadi mandiri yang kreatif dan siap tempur untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Jika penciptaan lapangan pekerjaan tumbuh subur, maka dapat menampung jumlah angka pencari pekerjaan. Ketika angka pengangguran ini menurun akan berdampak pada kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri.

Lantas bagaimana cara untuk menumbuhkan jiwa entrepreneur pada anak sejak dini?

Peran orang tualah yang mesti lebih intens dan peka pada pertumbuhan anak. Usia 2–5 tahun adalah usia-usia dimana rasa keingintahuan mereka sangat tinggi. Pada masa ini, orangtua bisa mengenalkan dunia kewirausahaan secara bertahap pada mereka. Konsep jual beli dapat dikenalkan pada anak sejak usia 2 tahun. Hal ini bisa dilakukan dengan cara permainan jual beli. Anak bisa berperan sebagai penjualnya lalu orangtua bisa berperan sebagai pembeli, atau bisa sebaliknya.

Pertama, pertegas kalimat-kalimat yang digunakan ketika proses permainan jual beli itu berlangsung, misalnya, “Saya mau beli gula, harganya berapa ya?, “Ini uangnya”, “Kembaliannya belum lho”, Saya bisa tidak ya menawar harganya?”. Awalnya anak tentu tidak mengerti, tetapi jika hal ini dilakukan berulang-ulang, anak menjadi paham aturan mainnya. Kedua, jika anak sudah beranjak lebih besar, sekitar umur 3–4 tahun, perkenalkan anak dengan proses jual beli yang nyata. Anak bisa diajak ke pasar tradisional atau ke supermarket untuk ikut terlibat dalam transaksi jual beli. Beri anak penjelasan tentang pengetahuan tentang konsep perdagangan secara sederhana dan dengan kalimat-kalimat yang mudah dipahami oleh anak. Ketiga, saat anak bertambah usianya, misalnya ketika memasuki usia sekolah dasar, libatkan anak dengan usaha kecil-kecilan. Misalnya anak diikutsertakan untuk membantu berjualan layang-layang saat musim layang-layang. Ketika sedang musim buah, ajak anak untuk berdagang buah-buahan, atau usaha dagang lainnya yang bermacam-macam. Keempat, bertambahnya usia anak, coba latih pikiran kreatif dan ketertarikan mereka tentang usaha-usaha yang sekiranya bisa dikembangkan. Dorong anak anda memulai usahanya dari yang kecil terlebih dahulu, dan jadikan dia pelaku utamanya, sementara orangtua sebagai pembimbing dan pemberi dukungan. Kelima, jika anak sudah berani mencoba untuk memulai usahanya, terus dorong semangat entrepreneur anak dan rangsang ide-ide kreatifnya. Bisa jadi usaha pertamanya gagal, tetapi karena dorongan dari orangtua yang begitu tinggi, anak akan bangun lagi dan mencoba usaha di bidang lainnya. Justru pengalaman kegagalan ini diperlukan agar anak mempunyai mental yang kuat. Selalu beri dia motivasi agar mau bangkit kembali saat gagal, agar kelak tak gamang dalam berwirausaha. Semoga.

ENDANG ARTIATI SUHESTI, S.Pd. Guru SMP Negeri 2 Cilongok Banyumas

opini

KALAM/PEWARA

opini

PENDIDIKAN MENABUR NILAI LUHUR PANEN KARAKTER “MIKUL DUHUR MENDEM JERO”

Oleh Dr. PUTU SUDIRA, MP.

Pendidikan tidak terbatas hanya pada proses imitasi, replikasi dan transmisi pengetahuan serta keterampilan dengan angka-angka raport dan berbagai sertifikat melalui pola asuh guru/dosen di sekolah/kampus dan tempat les dalam ruangruang terbatas. Pendidikan merupakan proses aktif kreatif memproduksi kebudayaan, memproduksi pengetahuan, membangun karakter diri, proses inkulturasi dan akulturasi memperadabkan generasi manusia yang berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yaitu keluarga, masyarakat, dan sekolah yang semakin terbuka tanpa batas-batas yang pasti.

Pendidikan seharusnya sampai kepada membangun kesadaran “sapa ingsun, who am I“. Semua manusia memiliki modal kebahagiaan yang sama berupa jiwa, raga, dan daya hidup. Melalui pendidikan, peserta didik membangun makna bagi dirinya sendiri dan memberi manfaat besar bagi orang lain dan lingkungannya. Dengan demikian, semua proses dalam pendidikan membutuhkan lingkungan terkondisi tempat menabur berbagai nilai-nilai luhur.

Nilai-nilai luhur yang sesuai dengan peradaban baru bangsa Indonesia antara lain: menjadi pendengar yang baik, sopan, santun, berani mengambil dan mengatasi resiko, berpandangan luas ke depan, aktif, dapat beradaptasi dengan perubahan, bercita-cita tinggi, tegas, peduli, seimbang, berkomitmen tinggi, kompetitif, konseptual, tetap stabil, bersungguh-sungguh, berhati-hati, kreatif, jujur, rasa ingin tahu tinggi, dapat mempertahankan diri, disiplin, empati, energik, antusias, akrab, fleksibel, berorientasi pada tujuan, senang, kerja keras, penuh harapan, sederhana, rendah hati, humoris, cerdas, loyal, dewasa, moderat, terbuka, optimistik, bergairah, sabar, sehat dan bugar, menyenangkan, positif, pragmatis, produktif, ajeg, hormat, bertanggung jawab, percaya diri, bijaksana, berpikir sehat, simpel, tertib, spiritual, kuat bertahan, dapat dipercaya, suka belajar, suka berkarya, melayani orang, kasih sayang, menghargai orang lain.

Selain itu, juga: tidak menyakiti orang lain, tidak mencuri milik orang lain, hormat pada guru, tekun, tenang, taat aturan, bijaksana, setia, mempunyai batin yang tenang dan sabar, bertindak cepat, tepat dan tangkas, tidak egois, suka mengampuni dan tahan uji, setia kepada ucapan, dapat menasehati diri sendiri, jujur dalam mempertahankan kebenaran; cinta terhadap sesama makhluk, berpikir dan berhati suci, ramah, lemah lembut dan rendah hati, tidak sombong dan berfikir halus, suka berderma, tekun memusatkan pikiran terhadap Tuhan.

Nilai-nilai luhur lainnya: dapat mengendalikan hawa nafsu, taat akan sumpah, berpantang terhadap sesuatu makanan atau minuman yang dilarang oleh agama, membatasi perkataan, dan tekun melakukan penyucian diri, tahu dengan rasa malu, kuat mengendalikan pikiran, tidak melakukan kecurangan, bercita-cita dan bertujuan terhadap kebaikan, kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup, belas kasihan terhadap tumbuh-tumbuhan, dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk, selalu berusaha untuk dapat menyenangkan hati orang lain, suka mencari persahabatan atas dasar saling hormat menghormati.

Karakter (character) atau watak merupakan bentukan dari kebiasaan-kebiasaan (habits) seseorang berdasarkan nilai-nilai yang diyakini dan dipilih dalam hidupnya. Karakter merupakan refleksi perpaduan dari keseluruhan pikiran (manacika), perkataan (wacika), dan tindakan (kayika). Setiap orang memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih dan memadukan berbagai nilai luhur dalam membentuk karak-

Pendidikan seharusnya sampai kepada membangun kesadaran “sapa ingsun, who am I“.

ter diri pribadinya. Setiap orang bebas memilih berbagai jenis nilai dan mengurutkan berdasarkan tingkat ketertarikan dan keyakinan diri terhadap nilai-nilai itu. Seperti menjadi seorang koki, setiap orang bisa memilih nilai-nilai lalu mengkomposisi, memasak, kemudian menghidangkan atau menyajikan sebagai karakter dirinya di tengah-tengah masyarakat manusia berkarakter lainnya.

Di sinilah makna keunikan pendidikan yang bersifat individualis, demokratis, dan mahardika. Pendidikan bukan sekedar suatu turunan bentuk dari seseorang karena melakukan pengambilan makna (taking meaning) melainkan pembentukan makna (making meaning) karena dunia ini selalu mengalami perubahan.

Seperti apa karakter seorang guru Indonesia di era global platinum? Hal ini dapat didiskusikan berdasarkan nilai-nilai dasar dan nilai-nilai khusus sesuai bidang dan kompetensi keahliannya. Hal ini penting sebagai basis pengembangan kurikulum pendidikan guru di Indonesia.

Karakter dasar seorang guru paling tidak memiliki kemampuan memberi pencerahan dengan nilai-nilai dasar menjadi pendengar yang baik, sopan, santun, berani mengambil dan mengatasi resiko, berpandangan luas ke depan, aktif, dapat beradaptasi dengan perubahan, bercita-cita tinggi, tegas, peduli, seimbang, riang gembira, berkomitmen tinggi, kompetitif, konseptual, tetap stabil, bersungguh-sungguh, berhati-hati, kreatif, jujur dapat dipercaya, rasa ingin tahu tinggi, keberanian diri, dapat mempertahankan diri, disiplin, empati, energik, antusias, akrab, fleksibel, berorientasi pada tujuan, senang, kerja keras, penuh harapan, sederhana, rendah hati, humoris, cerdas, loyal, dewasa, moderat, terbuka, optimistik, bergairah, sabar, sehat dan bugar, menyenangkan, positif, pragmatis, produktif, ajeg, hormat, bertanggung jawab, percaya diri, bijaksana, berpikir sehat, simpel, tertib, spiritual, kuat bertahan, dapat dipercaya, suka belajar, suka berkarya, melayani orang, kasih sayang, menghargai orang lain, tidak menyakiti orang lain. Proses pendidikan memerlukan lingkungan terkondisi tumbuhnya stimulus berbagai nilai melalui berbagai media dan berbagai rangsangan kegiatan di ketiga pilar pendidikan.

Ki Supriyoko dalam Kedaulatan Rakyat, Senin Kliwon, 19 November 2007 menyatakan, “watch your thought they become word, watch your word they become action, watch your action they become habits, watch your habits they become character, watch your character they become destiny” menunjukkan betapa pentingnya keselarasan antara pikiran, perkataan, dan perbuatan dalam membangun pendidikan berkarakter. Pendidikan yang tidak membentuk selarasan antara pikiran, perkataan, dan perbuatan selain berbahaya akan membuat manusia menjadi munafik dan tidak membahagiakan.

Pendidikan yang membuat lingkungan terkondisi tumbuhnya nilai-nilai luhur akan dapat membangun manusia berkarakter mikul duhur mendem jero dalam menanggapi perubahan-perubahan di berbagai sector, baik ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun seni dengan selalu mengadopsi strategi jangka panjang, dan membumikan budaya masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.

Setiap individu akan memiliki ketertarikan terhadap sejumlah nilai yang berbeda satu sama lain. Pembentukan karakter memerlukan kebiasaan-kebiasaan, dalam bentuk tindakan nyata yang berakar pada ucapan dan pikiran. Pikiran adalah inti kemanusiaan dari mahluk hidup yang bernama manusia. Gelap pikiran manusia gelap rasanya dunia ini, terang pikiran manusia terang rasanya dunia.

Oleh karena itu, pola pikir harus ditegakkan terlebih dahulu agar karakter diri terbentuk secara harmonis. Harmonis berarti melakukan hal-hal yang mengandung kebaikan, kesucian yang dimulai dari pikiran, terucap dalam perkataan dan terlihat dalam tindakan/perbuatan seperti dinyatakan Raka Santeri dalam Kompas, edisi 5 Desember 2007. Keharmonisan pikiran, perkataan, dan perbuatan menurut Gede Prama dalam Bali Pos, edisi 3 Oktober 2008, adalah keindahan hidup.

Dr. PUTU SUDIRA, MP. Dosen Pendidikan Teknik Elektronika UNY

opini

KALAM/PEWARA

This article is from: