Pewara Dinamika Desember 2011

Page 44

cerpen

Bulan Kebabian Ol e h Eko T riono SESAAT LAGI, suaminya akan jadi babi. Bulan di langit, seper­ ti menjerit tertusuk nyiur yang nampak tenang menja­hit keheningan. Dan di seberang sungai, ada kandang babi yang sesungguhnya. Pemiliknya konon seorang yang pelit. “Ini ikan kathing paling nikmat dunia-akhirat!” Ia berteriak girang dalam tubuh berbau asap sangit, mulut belepot sisa arang yang melekat di kulit ikan kecil yang meriut mengering, dan lidahnya yang tak henti mencecap-cecap. Ia paling tua di antara tiga temannya. Usianya baru sebelas tahun ketika itu. Dituruninya tepian sungai yang sedikit berlumpur. Ia yang tadi menciduki ikan-ikan kecil yang terkejut dalam pestanya. Teman yang seorang, yang agak kurus, mencari daun pisang yang masih kering, sementara yang gemuk dan rumahnya dekat, pulang mengambil korek api, mencuri garam di dapur ibu, dan memetik daun waru yang tumbuh condong di tepi sungai. Seandainya hujan jatuh menebal tentu mereka akan gagal membuat perapian, untungnya, ia paham lembah ini. Di setiap sudut kebun, pasti ada semacam dangau. Lebih tepatnya gubuk ronda yang digunakan setiap musim panen tiba dan para pencuri dari desa seberang sungai mulai beraksi menjelajahi harta karun kebun. Di dangau itu, ada tapas kulit kelapa yang kering, yang memang disediakan untuk membuat perapian di kala dingin atau perut lapar, dan singkong bakar adalah pilihan paling tepat bagi­ para penjaga, yang biasanya si pemilik kebun itu sendiri. Keputusannya untuk membawa sisa ikan ke rumah, agar nanti dititipkan pada ibu saat menggoreng tempe, membawa hal yang tak terduga. Ayahnya sangat suka. “Ini enak sekali, besok kamu cari lagi ya?” “Dia perempuan, tak baik main di sungai,” tegas ibu. “Apa salahnya kalau dia perempuan?” Ayahnya membela sambil terus mengunyah ikan yang aneh­nya lupa ditanyakan bagaimana cara mendapatkan seba­ nyak ini. Mungkinkah dengan memancing? “Lagi pula,” kata ayah selanjutnya, “sepuluh tahun kelak dia akan tinggal jauh dari kita, dia akan kerja di luar negeri dan membantu hidup kita, mengirim uang buat membeli kebun, dan membangun rumah, seperti tetangga-tetangga yang lain.” Kalimat ayah menarik senyum ibunya yang seharian letih menyiangi tanaman cabai. “Ya, dia memang harus latihan rajin sejak remaja. Calon pem­bantu itu harus rajin. Dengar, mulai sekarang jangan lagi suka menolak perintah ibu. Ya, kalau majikanmu nanti benar-benar baik, kalau galak? Bisa disetrika kamu!” Sesaat kemudian, “Tapi ibu tetap tidak setuju kamu main di sungai.” “Ini pertanda baik, Bu. Dia dapat ikan yang enak. Pasti ma­ jikannya nanti orang yang baik.” 42

P ewa ra Din a mik a de s e m b e r 2 0 1 1

“Amin.” Ibu menadah ke langit. Ia diam mendengarkan dan ikut pula mengucap amin setelah ibu. “Kamu besok cari lagi. Kalau tiga kali seenak dan sebanyak­ ini,” ayahnya menatap matanya dengan kesungguhan yang menyala, “Majikanmu pasti orang baik. Rejekimu pasti ba­ nyak. Ini pertanda, Nak. Pertanda dari Yang Kuasa.” Ia polos dan bahagia, “Iya, Ayah, semoga besok ada bangkai babi yang terapung lagi. Amin.” Kedua orang tuanya terkejut seketika muntah-muntah. Sesaat setelah itu, malapetaka datang dari tangan dan mulut­ mereka secara bersamaan! Ia menangis. Bulan melihatnya di loteng, ketika ia menangis, darah mengalir ke lantai, perutnya menyusut. “Bunuh saja aku!” Ia menangis. Kebencian dan dendam adalah cinta yang tersakiti, dan, cintanya adalah cinta yang sakit juga tertipu. “Aku tak bisa. Aku mencintaimu.” Seorang tua itu menggombal lagi. “Kau cuma ingin daging tubuhku. Itu bisa kupotong buatmu, ini, kau bahkan bisa memotongnya sekarang.” Setelahnya adalah kepulangan yang menyedihkan. Ia, yang menjadi sedemikian dewasa pada usia muda, pulang membawa kehancuran rahim, luka bakar di sana-sini, dan payudara separuh, sebab istri majikannya segera mengerat­ sambil mencekik dan menjambaknya. Ia pasrah. Ia ceritakan segalanya. Tak ada cara lain untuk pergi dari situ. Dengan ini, pastilah ia akan dipulangkan, dan bisa sujud mencium kaki ibu. Ayahnya diam. Lelaki tua itu tunduk melihat bayangan sendiri dalam lantai keramik yang dibeli dengan kesedihan dan penderitaan anaknya. Sepanjang hari, tak ada suara. Selain pagi harinya ketika ia terbangun dan mendapati rumah­nya terbakar. Lebih tepatnya dibakar. Ayahnya membakar rumah, barang, dan semua yang dibeli dengan kiriman darinya.­ Tetangga-tetangga kaget! Ibunya mendekap erat. Adiknya berlari ketakutan membawa tas kesayangan yang kemudian direbut ayahnya dan dilemparkan ke mulut api. Ia mencegah. Ayah memeluknya. “Harusnya ayah dibakar,” dekapan semakin erat. Ia terisak. “Aku bukan pencuri ayah. Aku bukan maling. Bukan koruptor. Darah kalian bersih, ayah, bersih.” Ibunya lemas. Orang diam. Api marah. Di depan api, segalanya terbakar basah oleh air mata yang janggal. Para tetangga bungkam. Mereka mengingat anak


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.