cerpen
Terompet Oleh PITRI MARIANA
"TERIMA kasih ya. Allah ..." kutatap lembaran lusiih itu. Satu bulan aku beijuang imtuk mendapatkan yang disebut
rupiah ini, tiga minggu proses pembuatan, dan seminggu untuk menjajakannya ke pembeli. "Tferompetnya, Pak, Bang, Mas, Dik, terompetnya?" ku-
sodorkan kertas berwama emas itu ke orang yang berlalulalang. Had ini terompetku belum satu pun laku teijual. Matahan telah mulai terbenam. Oh ya. Ini had ketiga aku
jualan. Itu artinya, sisa empat had lagi waktuku, hingga tanggal 1 Januad 2008. "Duh, Gusti. Piye ikil" aku mengelap kedngatku yang bercucuran. Terompet yang beijumlah 150 ini bam berku-
rang 10%-nya. Kalau tidak laku, boro-boro untung, nombok modal saja ddak.
Aku menghela napas dalam. Sementara itu, kawasan bimderan kampus mulai sepi. Mungkin karena magdb te lah datang. Azan dad masjid kampus pun menggema, me-
nyerukan panggilan untuk menimaikan pedntah-Nya kepa-
na, Pak?" tanyaku ramah. Dua gadis kecil menghampid ba
da semua umat muslim.
pak itu. "Esha mau yang itu,Pak!" ia menunjuk terompet berbentuk naga.
"Pak, aku titip terompetku ya, mau shalat dulu," aku menghampid pak Tomang, penjual terompet yang ada di
dekatku. Bapak yang berasal dad Solo itu sama dengan aku. ia telah jualan terompet di kawasan bunderan kam pus ini selama tiga had. Ia mengangguk."Terima kasih ya,
Pak," ucapku seraya meninggalkan pak Tomang. Aku percaya saja menitipkan jualanku ke pak Tomang
karena kami sudah biasa bergantian saling menjaga terompet-terompet simbol tahun bam itu kalau salah satu ada keperluan. •••
Kutatap bintang-bintang yang bertaburan. Malam ini alam lebih bersahabat, tidak hujan seperti biasanya. Bulan
pim bersinar terang. Sayangnya, hatiku tak sebenderang malam itu, 12 September 2007 lalu, ketika gempa meng-
62
"Icha mau yang itu juga, Pak!" rengek gadis kecil satunya. Secercah harapan menghampid hatiku.
"Yang ini. Dik?" tanyaku lembut. Bocah itu mengang guk. Aku membedkan dua terompet berbentuk naga kepada mereka.
"Berapa, Mbak?" tanya bapak itu tanpa sempat membe dkan saran kepada anak-anaknya karena bocah-bocah kedl itu telah asyik meniup terompet bam mereka. "Satunya sepuluh dbu, Pak,"jawabku. Bapak itu menyodorkan uang dua puluh dbuan."Terima kasih ya, Pak," ucapku. Had ini sumdngah karena mendapat rezeki.
"Thank you, Allah," syukurku. Semangatku kembali berkobar, setidaknya Allah masih membedkan rezeki untukku. Meskipun rumah impian masa kecilku sudah tiada. Aku ter
guncang kota kelahiranku, Bengkulu. Akibatnya, mmahku ambruk. Hingga saat ini bapak, emak. adikku masih tinggal di tenda. Rumah impian penghias masa kecilku itu seka-
senyum.
rang tinggal kenangan. Puing-puingnya pun masih berserakan ketika aku pulang lebaran Idul Fitd lalu. "Ya Allah,,„ terkadang aku tak percaya dengan apa
Tomang sambil melihatku. "Ya, Pak."jawabku bahagia."Had ini sudah berapa te rompet yang teijual, Pak?" tanyaku kepada pak Tomang.
yang telah teijadi," embun menetes mengalir perlahan di wajahku. "Mbak ...!" suara itu mengagetkanku. Aku tersenyum
Laki-laki yang logat Jawanya medhok itu mencoba menghitung-hitung."Baru sepuluh. Mbak." ucapnya merendah. "Wah,lumayan tuh, Pak. Kalau yang laku harga 10 dbu
melihat bapak-bapak yang menghampidku."Pilih yang ma-
an kan sudah 100 dbu!" semku. Aku tak pemah merasa ta--
r L vv
KA JANUARI-FEBRUARI 2008
"Senangnya, Mbak. dapat rezeki. Lads nih," guyon pak