cerpen
Menolong Kakek O l e h ika fe ni s etiya nin grum Pagi ini cerah. Burung-burung berkicau. Terdengar suaranya merdu sekali. Langit juga biru. Indah sekali. Setelah mandi, Rizal bersiap-siap untuk berangkat ke seko lah. Ia siapkan buku-buku pelajaran sesuai jadwal yang ada, lalu sarapan pagi. “Bu, Rizal sudah selesai siap-siap ni. Sekarang Rizal mau makan,” ucap Rizal yang masih duduk di bangku kelas 2 Se kolah Dasar. “Wah, anak Ibu hebat. Itu nasinya sudah Ibu siapin,” ja wab Ibu dengan sunggingan senyumnya. “Lauknya apa, Bu?” “Ya, biasa, Nak. Tempe goreng sama sayur sop.” “Yah, tempe lagi, tempe lagi, kapan lauknya pakai ayam goreng, Bu?” “Kan kata Bu guru, lauk tempe itu banyak gizinya. Ya su dah dimakan dulu, besok kalau ada rejeki Ibu beliin deh,” ja wab ibunya dengan bijak. Rizal mengambil piring berisi nasi yang sudah disiapkan oleh ibunya. Ia mengambil satu tempe goreng dan sayur sedikit. Rizal terlihat tidak bersemangat untuk makan. Ibu nya melihat itu. Ibu itu mendekati Rizal dan duduk di sam pingnya. “Nak, bersyukur ya kita masih bisa makan. Coba lihat anakanak jalanan di luar sana. Sudah nggak bisa sekolah karena tidak punya uang, terus sehari saja belum tentu mereka ma kan. Kalau mereka mau makan, mereka harus nyari uang du lu. Coba deh, sekarang bandingkan dengan Rizal. Rizal bisa makan, bisa sekolah, dapat uang saku. Yah, walaupun uang sakunya nggak banyak juga. Bener ‘kan?” “O, gitu ya. Bu, anak jalanan itu punya ayah dan ibu nggak?” “Ya macem-macem. Ada yang masih punya ayah dan ibu. Ada juga yang sudah nggak punya ayah atau ibu.” “Terus, mereka tinggalnya di mana, Bu?” “Biasanya sih di kolong jembatan, Nak. Kadang juga ting gal di rumah-rumah kardus.” “Maksudnya rumah kardus, Bu?” “Maksudnya, rumah yang dibuat dari kardus.” “Kasihan mereka ya.” “He-em, kasihan. Nah, makanya Rizal harus bersyukur masih bisa sekolah, bisa makan, punya ayah dan ibu, masih dapat uang saku pula.” “Betul, betul, betul,” jawab Rizal. “Makanya, nanti kalau kamu ketemu sama anak-anak jalan an atau pengemis itu, alangkah mulianya kalau Rizal mau ber 46
Pewara Dinam i ka M a r e t 2 0 1 0
bagi dengan mereka. Pengemis juga perlu ditolong, Nak.” “Iya, Bu. Ibu guru juga sudah mengatakan, kalau ada pe ngemis alangkah baiknya kita membantunya dan mau ber bagi.” “Wah, anak Ibu memang cerdas ya.” “Iya dong, Bu.” “Ya sudah, buruan makannya dihabisin. Habis itu, Ibu antar Rizal ke sekolah.” Setelah Rizal selesai makan, Ibu langsung bergegas men gambil sepeda onthel-nya untuk mengantar Rizal ke seko lah. *** Bel tanda sekolah usai pun berbunyi. Rizal dan kawan-ka wan keluar kelas. Rizal dan Andi sudah janjian untuk pulang sama-sama. Kebetulan rumah mereka bersebelahan. “Andi, Ibu Guru tadi bilang kalau kita menolong orang dapat pahala kan?” “Iya, Zal.” “Berarti, kalau kita dapat pahala, kita bisa masuk surga dong.” “Iya, Zal.” “Wah, Rizal pingin menolong orang ni biar dapat masuk surga.” “Iya, ya, pasti enak kalau masuk surga, Zal.” Tak lama kemudian Rizal melihat kakek-kakek di pinggir jalan. Sepertinya kakek itu sedang membutuhkan pertolong an. Rizal dan Andi bergegas menghampiri kakek itu. “Kek, kakek kenapa?” Kakek itu menyahut, ”Cu, dari kemarin kakek belum ma kan. Tak ada uang untuk membeli nasi. Kakek juga sudah tidak punya rumah dan sanak saudara. Kasihanilah kakek ini, Cu.” Rizal merogoh uang yang ada di sakunya. Uang 1000 ru piah pemberian ibunya tadi pagi. “Kek, ini ada uang dari Rizal. Tapi, hanya 1000 rupiah.” “Wah, makasih ya, Cu. Cucu memang anak yang baik. Se moga jadi anak yang pintar.” “Amin,” sahut Rizal dan Andi. Tanpa disangka, Andi pun memberikan uang yang masih ia punya. “Kek, maaf ya, hanya ada 500 rupiah. Ini buat kakek. Se moga cukup buat beli nasi.” “Wah, terima kasih ya, Cu. Kalian berdua memang anak yang baik. Semoga besok kalian berdua masuk surga.” ”Amin,” serempak Rizal dan Andi.