Tribunjogja 27-02-2018

Page 11

TRIBUN BUFFER 11

SELASA PON 27 FEBRUARI 2018

Haryadi Berharap Kembali Kelola Terminal Alihkelola Terminal Giwangan Bermasalah YOGYA, TRIBUN Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti berharap persoalan yang membelit Pemerintah Kota (Pemkot) dengan pihak ketiga atas terminal Giwangan segera selesai agar pengelolaan terminal lebih optimal. Ia pun berharap Pemkot Yogyakarta bisa kembali mengelola terminal tersebut. “Kami berharap persoalan segera selesai dan diharapkan bisa kembali ke pangkuan Pemkot, “ kata Haryadi Suyuti. Hanya saja, Haryadi tidak menjelaskan secara rinci langkah penyelesaian aset tersebut. Termasuk, dia juga enggan berkomentar mengenai ganti rugi Rp56 miliar yang seharusnya dibayarkan Pemkot kepada pihak ketiga ini. “(Soal pembayaran Rp56 miliar) Silakan tanyakan pada tim peralihan. Yang pasti kami berharap terminal tetap bisa digunakan optimal,“ ulasnya. Setali tiga uang, Kepala Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Wirawan Haryo Yudho juga mengaku tidak mengetahui rencana pembayaran ganti rugi senilai Rp56 miliar pada pihak ketiga. Pihaknya menegaskan jika tugas pokok dan fungsinya hanya sebatas menjalankan teknis operasional terminal Giwangan tersebut. “Soal (sengketa) bukan

TERBENGKALAI

(Soal pembayaran Rp56 miliar) Silakan tanyakan pada tim peralihan. Yang pasti kami berharap terminal tetap bisa digunakan optimal. ranah kami. Kami sebatas melakukan koordinasi dalam rangka penyelenggaraan angkutan yang selamat dan teknis operasional terminal ini, “ kata Yudho. Proses peralihan Sementara mengenai kondisi terminal yang kian memprihatinkan, pihaknya pun sudah melakukan koordinasi dengan Balai Pengelola Transportasi Darat Kementrian Perhubungan (BPTD) untuk kebersihan dan juga operasional terminal. Wirawan menyebut, kebersihan di terminal pun tetap menjadi perhatian pihaknya. Sebagai pelaksana teknis, pihaknya menurut pada kebijakan yang nantinya akan dikeluarkan oleh Pemkot setempat. Di antaranya, opsi pinjam pakai hingga Kementrian Perhubungan membangun terminal tipe A di Yogya lagi. “Kebijakan ada di tangan pak Wali Kota. Kami

TRIBUN JOGJA/HENING WASISTO

- Sejumlah fasilitas di Terminal Giwangan yang kondisinya tak terawat, Selasa (20/2).

Orangtua Harus Membiasakan zz Sambungan Hal 1

Jawa, unggah ungguh juga diingatkan kembali sebagai orang Jawa. Itu baru soal bahasa Jawa ngoko, kalau kromo hinggil pelan-pelan juga bisa dibiasakan. Bicara soal peran sekolah melalui kurikulum yang ada saat ini, saya kurang percaya bisa memberikan efek maksimal, sebab kurang aplikatif. Bahan ajar tidak praktis karena tidak digunakan untuk sehari-hari.

Wakil Rektor Degdegan Perankan zz Sambungan Hal 1

“Rasanya deg-degan sekali,” kata Waryono kepada Tribun Jogja. Saat pentas, ia mengenakan baju biru tua, celana hitam yang dibalut kain batik, serta blangkon warna hitam. Waryono mengaku baru pertama kali ikut dalam pentas Ketoprak dan sekaligus belajar memainkan peran tokoh Sunan Kalijaga. Waryono menuturkan, peran tersebut seharusnya dilakonkan oleh Yudian Wahyudi, Rektor UIN Sunan Kalijaga. Namun karena rektor berhalangan hadir, akhirnya dirinya yang ketiban sampur dan harus memerankan Sunan Kalijaga di pementasan tersebut. Pada pentas tersebut, awalnya ia memerankan sosok Lokajaya yang merupakan berandalan. Namun Lokajaya adalah berandal yang punya kesadaran etika, yakni tidak boleh merampok orang miskin, perempuan, dan anak-anak.

menurut saja, “ imbuhnya. Adapun proses peralihan kewenangan yang masih belum tuntas mengenai terminal ini pun tergantung dari pemerintah pusat. Ada banyak terminal tipe A lainnya yang mengalami hal serupa karena persoalan tanah kas desa dan hal teknis lainnya. “Sekarang bolanya ada di pemerintah pusat karena dari sisi pengambilalihan tidak hanya Kementraian Perhubungan namun melibatkan kementrian lain. Jadi di pemerintah pusat ada koordinasi lagi, “ paparnya. Sekretaris Tim Pengalihan Aset Terminal Tipe A Giwangan, Zenni Lingga mengatakan, proses peralihan kewenangan terminal Giwangan ini masih terkendala sengketa aset antara Pemkot dengan pihak ketiga. Sehingga, kata dia, hal ini membuat proses peralihan tersendat dan belum tuntas. “Kebersihan dan juga kondisi terminal yang menurun menjadi salah satu dampak dari peralihan ini. Namun, informasinya sudah ada DIPA untuk pembersihan terminal tahun ini, “ ujar Zenni saat ditemui Tribun Jogja, pekan lalu. Pengalihan aset Menurut Zenni yang juga menjabat Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Kota Yogyakarta, proses peralihan belum tuntas ini dikarenakan sengketa aset yang masih belum selesai. Pihaknya pun sudah melayangkan surat agar pengalihan aset juga termasuk penyelesaian sengketa aset pada pemerintah pusat. “Namun, hingga kini belum ada jawaban atas itu. Jadi, peralihan ini mencakup pembiayaan, personel prasaran dan dokumen. Namun belum selesai, “ ulasnya. Hingga kini, pemerintah pusat masih menunggu dokumen-dokumen yang sah ada saat peralihan aset tersebut. Namun demikian, dokumen ini pun belum bisa diberikan jika kasus sengketa ini tak kunjung selesai. (ais/sis)

Perlu dibuat yang lebih inovatif. Bila metode pembelajaran didikte maka siswa kurang aktif. Siswa bisa diajak lebih aktif tak harus disampaikan secara formal. Bahkan bisa diajarkan melalui sebuah gim yang menarik. Usaha penggunaan bahasa Jawa di area publik perlu terus didorong, misalnya sekarang pemandu pengumuman di bandara sudah menggunakan bahasa Jawa, selain bahasa Indonesia dan Inggris. Dulu sebelum diberlakukan, saya bilang di Palembang sudah menggunakan bahasa daerah, kenapa

di Yogyakarta tidak. Kami mengamati fenomena krisis penggunaan bahasa Jawa ini sudah cukup lama. Usaha kami melalui Dewan Kebudayaan salah satunya melalui SK Pergub No 1 Tahun 2009 yang menyebutkan penggunaan bahasa Jawa di lingkungan pemerintah daerah. Cara ini juga bisa di lakukan di lingkungan sekolah. Bisa diberlakukan kebijakan menggunakan bahasa Jawa setiap berapa hari sekali. Ini akan lebih efektif karena frekuensi membiasakan penggunaan bahasa Jawa jadi lebih sering. (yud)

“Sasarannya orang-orang kaya yang tidak berzakat,” kata Waryono tertawa. Selanjutnya, ketika menjadi Sunan Kalijaga, ia berperan untuk mengadaptasikan antara agama dan budaya, Sunan Kalijaga merupakan tokoh wali yang menyampaikan Islam sesuai budaya lokal masyarakat. “Itu juga menjadi penting untuk da’i sekarang, bukannya mendekati orang yang jahat tetapi malah menjauhi, akhirnya mereka tidak menjadi bagian dari Islam,” tuturnya. Media dakwah Selain itu, Pentas Ketoprak Dakwah Sunan Kalijaga ini juga sebagai alternatif cara menyampaikan agama melalui budaya, yang tidak hanya oral dan monolog. Ia juga berharap kepada para mahasiswa di Indonesia agar dapat menjadikan budaya sebagai media dakwah Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin. Pentas Ketoprak Dakwah Sunan Kalijaga ini merupakan kerja sama antara Dompet Dhuafa dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Imam Rulyawan, Direktur Utama Dompet Dhuafa Fi-

lantropi mengatakan, melalui Pentas Ketoprak Dakwah Sunan Kalijaga pihaknya ingin mensyiarkan, bahwa pesan utama dari para wali adalah untuk mengangkat derajat kaum duafa. “Dalam rangka untuk pendekatan budaya bahwa Dompet Dhuafa jati dirinya lembaga filantropi Islam. Yang berkhidmat kepada pemberdayaan kaum duafa, melalui pendekatan budaya, dengan model welas asih,” kata Imam. Dikatakannya, Ketoprak sebagai budaya Jawa, budaya lokal menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan para wali khususnya di dunia kampus. Meski persiapan dirasa singkat, tetapi menurutnya, penonton tampak menikmati dan antusias menyaksikan sampai pementasan selesai. “Persiapannya singkat sekali karena lahir dari sebuah komitmen. Saya juga apresiasi para pejabat kampus bersedia tampil, yang persiapannya tidak lebih dari satu bulan hanya 2-3 kali, itu merupakan apresiasi yang luar biasa,” paparnya.(tantowi alwi)

Mengajar Bahasa Jawa zz Sambungan Hal 1

Mau tak mau harus diakui, eksistensi bahasa Jawa akan terkikis melihat fenomena semakin terpinggirkannya bahasa Jawa. Hartoyo, guru di SMPN 4 Depok, Sleman, contohnya. Bahasa Jawa adalah mata pelajaran (mapel) yang diampunya. Saat mengajar di depan kelas, dia harus menyisipkan bahasa Indonesia agar ilmu yang disampaikan dipahami para murid. “Kalau saya menggunakan bahasa Jawa saja, muridmurid juga banyak yang tidak mengerti. Untuk memudahkan pemahaman, saya juga menggunakan bahasa Indonesia agar membantu anak paham dengan apa yang saya ajarkan,” tuturnya. Hartoyo mengajar sejak tanun 1983. Pernah suatu kali mapel bahasa Jawa hanya diajarkan satu jam dalam seminggu. Hal itu menggundang protes bagi kalangan guruguru, sehingga dikembalikan lagi menjadi dua jam dalam semingggu. Guru lainnya, Sulistianto pernah mengalami pengalaman yang lebih pedih. Pengajar kelas 4 di SD Babarsari suatu kali pernah mendengar argumen muridnya. “Pak, bahasa Jawa kan enggak digunakan saat ngelamar kerja, sekarang yang dibutuhkan bahasa Inggris.” Begitu muridnya mengkritisi, yang juga bermaksud menggambarkan bagaimana mapel ini dianggap tak penting. Diakui, mapel bahasa Jawa kini yang membuat Sulistianto kesulitan mengampu siswasiswinya. Rata-rata teman sejawatnya merasakan serupa, kepayahan mengajarkan bahasa Jawa kepada peserta didik. Kebiasaan di lingkungan rumah membuat anak-anak tidak menguasai bahkan tidak mengerti saat diajak berbicara bahasa Jawa. “Ini bukan hanya fenomena di kota saja, lo. Di desa, bahkan nenek-nenek ketika ngobrol dengan cucunya juga menggunakan bahasa Indonesia. Kebiasaan inilah yang kemudian lama-kelamaan mengikis perbendaharaan bahasa Jawa,” kata Sulistianto. Waktu memberikan ilmu bahasa Jawa yang minim, membuatnya tak bisa ber-

TRIBUN JOGJA/BRAMASTO ADHY

buat banyak. Ketika saat memberikan materi mapel di kelas, sekuat tenaga dia memberikan pemahaman yang komplet. Namun, ketika para siswa kembali di rumah, sedangkan di lingkungan keluarganya menggunakan bahasa Indonesia untuk sehari-hari, jelas sudah, waktu Sulistianto sudah kalah intensif. Alhasil, perbendaharaan kata-kata bahasa Jawa pun menguap. “Kami di sini hanya memberikan contoh saat berada di lingkungan sekolah. Anak, kan, lebih intens waktunya saat di rumah. Biasanya saat sehari-hari pasti kembali ke (menggunakan) bahasa Indonesia,” ungkapnya, lalu menghela napas. Menggunakan dwi bahasa (Jawa dan Indonesia) saat mengajar mapel bahasa Jawa di kelas menjadi pilihan terbaik, ketika murid-murid tak paham materi mapel itu. Almast Izati Zulfah pun mempraktikkan cara-cara ini. Guru kelas 3 SDIT Salsabila Al-Muthi’in, Banguntapan, ini mengatakan, untuk menyampaikan intisari ilmu mapel bahasa Jawa, harus dibarengi dengan pengantar menggunakan bahasa Indonesia. Sebabnya, beberapa muridnya lebih intensif menggunakan bahasa nasional untuk percakapan sehari-hari, baik di rumah dengan keluarga atau dengan temannya di sekolah, mau pun percakapan nonformal di lingkup sosial lainnya. Apalagi, dalam sepekan mapel bahasa Jawa hanya diajarkan selama 70 menit. Waktu yang minim. Kondisi ini membuatnya kesulitan memberikan pemahaman

Tak Mustahil Punah zz Sambungan Hal 1

“Ada kekhawatiran itu, bahasa Jawa bisa jadi cepat punah. Sekarang kita lihat, anak-anak kita, generasi di bawah kita, cenderung berbahasa Indonesia, tidak lagi pedulikan bahasa Jawa. Ini kan bahaya,” ucapnya, Senin (26/2). Menurutnya, banyak sekali faktor yang membuat bahasa Jawa semakin ditinggalkan oleh kaum muda. Namun jika ditelisik, salah satu faktor utamanya adalah munculnya anggapan, kalau bahasa Jawa ketinggalan zaman. “Bahasa Jawa dianggap tidak gaul. Makanya, saya salut, waktu dengar di Jawa Timur ada komunitas anak muda yang menginisiasi pelestarian bahasa Jawa. Kalau di Yogyakarta, sepertinya belum ada itu,” katanya. Jika hanya mengandalkan pemerintah saja, lanjut upaya mempertahankan eksistensi bahasa Jawa itu akan terasa sangat berat. Terlebih, pendidikan bahasa Jawa di sekolah, baik di tingkat SD, sampai SMA, bisa dibilang belum cukup memenuhi. “Muatan lokal di sekolah itu kecil sekali. Undang-undang kita tidak memungkinkan, sangat berat. Sekarang, muatan lokal di sekolah itu, hanya beberapa persen saja,” cetusnya. Karena sulit untuk mendapat pengetahuan dan praktik yang cukup di sekolah, Umar berharap, supaya ada gerakan-gerakan di tengah masyarakat untuk melestarikan bahasa Jawa. Tidak perlu muluk-muluk, upaya itu bisa ditempuh oleh orangtua kepada anak. “Membiasakan anak, agar seharihari menggunakan bahasa Jawa, terutama saat di rumah, itu jauh lebih penting daripada pembelajaran di sekolah. Ingat, bahasa itu skill, bukan knowledge. Kalau tidak digunakan untuk bicara, ya percuma,” urainya. Namun, lanjut Umar, situasi saat ini memang bisa dikatakan kurang mendukung hal tersebut. Bagaimana tidak, menurutnya, anak-anak kurang mendapat paksaan dari orangtua untuk menerapkan bahasa Jawa dalam pergaulan

perbendaharaan bahasa Jawa ke siswa-siswinya. Belum dengan bahasa Jawa memiliki tingkatan yang membutuhkan pemahaman lebih dalam. Yakni bahasa ngoko, kromo, kromo hinggil, dan lainnya. Mudah matematika Dengan nafas terengahengah seusai mengikuti mapel olahraga, Missaella Milan Angelika memulai perbincangannya dengan Tribun Jogja, saat ditemui di sekolahnya, SD Babarsari, kemarin. Masih menggenggam tali untuk skipping dia bercerita bagaimana sulitnya memahami mapel bahasa Jawa. Bahkan pernah suatu kali dia mendapat nilai 30 untuk ujian mapel bahasa Jawa. Meski sang ayah berasal dari Solo, percakapan sehari-harinya di rumah adalah menggunakan bahasa Indonesia. “Bahasa Jawa itu paling sulit, lebih sulit dari matematika dan bahasa Inggris,” tutur siswi kelas lima ini sembari mengelap keringat di kening. Bahkan, pilihan bahasa tutur kedua di keluarga bocah berambut sebahu ini adalah bahasa Inggris. Bahasa Jawa? Jangan harap digunakan sebagai alat tutur. Tak paham dengan materi atau kosa kata bahasa Jawa, mesin pencari internet adalah solusinya. “Kalau papa ngobrol sama teman-temannya pakai bahasa Jawa, tapi kalau sama aku enggak. Nenekku di Solo juga biasanya pakai bahasa Indonesia saat komunikasi sama aku,” ungkap anak berkulit putih tersebut. Apa yang dialami Missaella tidak berbeda jauh dengan Ikhsan Uddin Amjat serta Akhsan Uddin Amjat, bocah kembar yang baru duduk di tahun

dan kehidupannya sehari-hari. “Tidak ada paksaan, itu salah satu faktor yang menjadi hambatan untuk menumbuhkan minat anak muda dalam berbahasa Jawa. Paksaan dari mana? Ya, dari orangtua. Kesadaran anak itu sangat kecil, loh,” cetusnya. Sebagai upaya pelestarian bahasa Jawa, Dinas Kebudayaan DIY sendiri telah menempuh berbagai upaya. Salah satunya, dengan menggelar kongres bahasa Jawa beberapa waktu lalu, yang dijadikan sebagai titik mula upaya tersebut. “Bahwa keseriusan melestarikan bahasa daerah itu menjadi hal yang krusial, sehingga jangan sampai kita nanti kehilangan kearifan lokal, khususnya yang berwujud bahasa,” ungkapnya. Tapi, lanjutnya itu adalah skema besar. Di balik itu, harus ada aktivitas yang sifatnya harian, mingguan, dan bulanan. Selaii itu, beberapa waktu lalu, pihaknya juga sudah melakukan langkah riil, dengan menggelar sayembara novel Jawa, di mana pesertanya merupakan anak-anak muda yang memiliki kepedulian terhadap bahasa daerah ini. Peran orangtua Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Edy Heri Suasana menjelaskan bahwa peran orangtua sangat besar dalam penggunaan Bahasa Jawa dalam keseharian. Hal tersebut semakin diperkuat mengingat saat ini telah diberlakukan lima hari sekolah. “Kami punya program lima hari sekolah, yang dua hari di rumah. Itu bagian dari pembentukan karakter yang dilakukan orangtua. Termasuk agar bagaimana anak dibiasakan menggunakan Bahasa Jawa,” jelasnya, Senin (26/2). Namun ia tak menampik, bahwa tak semua orang tua zaman sekarang mengerti dan menggunakan Bahasa Jawa untuk kesehariannya. Hal tersebut ikut memberikan kontribusi terhadap anak yang tidak biasa bahkan tidak bisa bertutur dalam Bahasa Jawa. “Kalau dari kami juga ada yang namanya Kamis Pahing untuk mengenakan baju tradisional. Dulu kan ageman saja, lalu kemudian sekarang mereka mengenal filosofi ageman, unggah-ung-

pertama SD Babarsari. Pernah suatu kali saat ujian dia mendapatkan nilai 30. Padahal orangtua Ikhsan dan Akhsan warga asli Yogyakarta. “Ikhsan dapat (nilai) 30, sedangkan Akhsan paling pernah dapat 40 saat ujian. Lebih sulit dari matematika pokoknya,” ungkap Akhsan sambil memandang saudaranya, Ikhsan. Satu tingkat di atas ketiga bocah itu, Hanomi Raidiana Saputri adalah siswi kelas 7 SMPN 4 Depok. Kendala yang dialami sama, dia tak paham bahasa Jawa. Selama enam tahun di belajar di SD dan di keluarganya, bahasa Indonesia adalah pengantar utama untuk berkomunikasi. “Baru (di) SMP ini temanteman pakai (berkomunikasi pakai) bahasa Jawa, itu juga Jawa ngoko. Kalau kawa kromo malah lebih sulit lagi,” ungkapnya, seraya tersenyum. Callixta Videlia Cahya Ningrum, kakak kelas Hanomi, menjalani pengalaman yang lebih kurang sama. Di rumah dia terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Padahal, sang ibu warga asli Magelang. Ya, orang Jawa tulen. “Kalau bahasa ngoko sedikit sedikit bisa, tapi kalau kromo kesulitan. Biasanya, sih, googling atau lihat kamus bahasa Jawa,” ucap Callixta. Pola penggunaan bahasa Indonesia kepada anak-anak di lingkungan rumah adalah pemicu utama terpinggirkannya bahasa Jawa. Padahal, kedua orangtua anak tersebut adalah orang Jawa, yang menggunakan bahasa tutur dengan pasangan juga dengan bahasa Jawa. (cr2/cr3/)

guh, dan termasuk bahasa Jawanya,” ujar Edy. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, Antonius Fokki Ardiyanto menjelaskan bahwa guru bahasa Jawa di Kota Yogyakarta tergolong sedikit. “Kalau mau serius betul, Pemkot bisa merekrut toh melalu mekanisme sesuai dengan UU ASN pegawai pemerintah dengan sistem kontrak,” bebernya. Terus berkampanye Menurunnya penggunaan bahasa Jawa di atas turut membuat pihak Balai Bahasa DIY merasa sangat prihatin. Srinardiati, Kepala Bidang Pengembangan Bahasa mengatakan, terdapat berbagai faktor yang membuat bahasa Jawa semakin terkikis. Pertama, orangtua tidak telaten mengajarkan anaknya untuk berbahasa Jawa dalam lingkungan sehari-hari.Karena tingkatannya yang banyak, orangtua kadang sekenanya dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Sehingga anak kadang juga terbiasa hanya mengerti tentang bahasa Jawa ngoko saja. Kedua, dari segi penggunaan, bahasa Indonesia dianggap lebih praktis dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan berbagai orang. Baik tua mau pun muda. Ketiga, adanya desakan kepentingan, yang membuat bahasa Jawa menjadi sepi peminat. Contohnya saat melamar kerja. Yang digunakan sebagai syarat hanya penguasaan bahasa nasional dan bahasa internasional. “Adanya kepentingan ini yang membuat seseorang menjadi kurang peduli dengan bahasa Jawa. Mereka lebih suka mengajarkan bahasa Inggris ke anak-anak mereka supaya nanti mudah sewaktu melamar kerja,” terang Srinardiati. Balai Bahasa DIY sendiri melakukan berbagai upaya untuk menarik perhatian masyarakat untuk tetap menggunakan bahasa Jawa. Di antaranya dengan adanya dua program yang memiliki sasaran sendiri-sendiri. Satu di antaranya yakni siaran secara langsung melalui Radio Republik Indonesia (RRI). (aka/kur/cr3)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.