Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012
Mauri tertawa renyah. Tawa yang lama-lama membuatku merinding, ngeri. Membuatku tak kuasa berkata apa-apa lagi, bahkan saat kudengar ia mengatakan sesuatu, lalu memanggil namaku dua kali dengan nada seru. Setengah berlari aku turun ke lantai bawah. Bi Tah kutemukan menonton televisi di ruang keluarga, tengah tertawatawa sendirian, tidak menoleh saat kupanggil berulang-ulang. Perasaanku makin tidak keruan. Dengan cepat aku menuju pintu utama yang terbuka, dan—di halaman rumah barisan depan—mataku segera membentur mata merah senja—mata para pembantu yang menatap amat licik. Tidak menunggu lama, tubuhku sudah menjadi patung kayu. Sumatera, 11-12
156