Tabloid Teknokra Unila Edisi 151

Page 9

No. 151 tahun XI Edisi November 2017

9

SENI

Restu Ditolak!,!! Sebambangan Bertindak Oleh: Yola Septika

“Teret teret teret teret teret teret teret teret…” suara musik dari mulut seseorang dibelakang panggung mengiringi langkah mekhanai (red. bujang Lampung). Matanya me­ nyapu sekeliling dengan tangan yang bergerak menirukan jurus bela diri. Itu ia lakukan lantaran takut ada yang melihat dirinya sedang berbincang dengan pujaan hatinya yang terhalang tembok. .. Tok.. Tok.. Sayang.. Sayang koh.. ini Kyay menyabangimu duhai cintaku,” laki-laki itu setengah berbisik dengan logat Lampung yang begitu kental. “Sebentar Kyai, adek belum pakai cedal,” sambut mulie (red. gadis Lampung) yang berada disebrang tembok. “Cedal itu apa dek?” tanya pemuda yang bernama Mat Shaleh ini. “Celana dalam Kyai”. Sontak gelak tawa penonton memenuhi gedung F1 FKIP, Jumat (17/11) siang. Itulah potongan adegan dalam pertunjukan komedi mahasiswa pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Unila. Pertunjukan ini merupakan bagian dari penilaian mata kuliah Seni Pertunjukan Indonesia (SPI). Skenario yang ditulis oleh Ega (Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia ‘14) ini, mengangkat adat masyarakat Lampung yang dikenal dengan Sebambangan (red. larian). Ega mengatakan, banyak kesulitan untuk menyampaikan kearifan lokal dalam sebuah pertunjukan. Mulai dari melakukan survey langsung ke lokasi yang masyarakatnya masih menganut adat tersebut, sampai bagaimana menulis naskah yang dipadukan dengan gaya Bahasa anak zaman sekarang. Mat Shaleh digambarkan sebagai mekhanai yang memiliki perawakan tubuh kurus, kulit agak gelap, dengan kopiah yang menghias jambul rambut tipisnya. Sarung lusuh ikut membalut tubuh kecilnya. Pemuda ini begitu mencintai tetangganya, Rohidah. Setiap Sabtu malam, ia terus me­ nyambangi kekasihnya itu dibalik tembok kamarnya. Tak mendapatkan restu dari kedua orangtua, bukan berarti membuat kedua insan yang sedang dimabuk asmara ini memutuskan cintanya. Di penghujung malam, Shaleh mengutarakan keinginannya untuk menikahi Rohidah. Rohidah pun menginginkan hal yang sama. Bagi mereka menikah adalah solusi terbaik untuk penyakit yang tengah menghantui mereka. Penyakit yang membuat mereka resah setiap malam. Penyakit rindu yang selalu menghantui tidurnya. Jelas, Mat Shaleh tak masuk kriteria menantu idaman ­Sofian, abak Rohidah. Menurut Sofian, masih banyak pemuda di Lampung yang lebih pantas bersanding dengan putrinya. Terlebih lagi ia tak sudi jika Mat Tobi’i yang akan menjadi besannya. Secara Mereka adalah rival untuk memperebutkan kursi sebagai gubernur Lampung. “Kalau niku masih dekat-dekat dengan mekhanai dekil itu, mending niku minggat dari rumah ini. Di provinsi Lampung ini masih banyak laki-laki yang kaya dan rupawan yang bisa niku dapetin. Bisa dongkrak martabat keluarga,” perintah Sofian

Foto: Rika Andriani

“Tok

pagi itu kepada Rohidah. Dihadapkan dengan dua pilihan antara keluarga atau cinta, Rohidah hanya bisa menangis dan tak dapat menjawab petuah abaknya. Di rumah keluarga Mat Tobi’i, waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Kini lampu sorot menerangi sebuah setting ruang tengah yang memilik televisi 14 inch, kursi panjang, meja, dan segelas kopi. Duduklah di sana laki-laki berbadan tambun, jambangan dan memakai kaus oblong serta sarung. Mat Tobi’i tengah menonton televisi. Sebuah sapu digenggamnya. Kalau televisi mulai mengeluarkan bunyi anomali, dipukulnya pakai sapu dari titik di mana ia duduk. Saat adegan ini, tokoh berusaha mengkritik pemerintah lewat tayangan korupsi yang sering muncul dalam pemberitaan di televisi. Mat Tobi’i selaiknya komika pada acara stand up comedy, memunculkan interaksi ke penonton sekaligus menyampaikan sebuah keresahan tentang permasalahan negeri. Juga soal manusia yang menggilai jabatan, tak pernah merasa puas dan kurang bersyukur. Mat Tobi’i kemudian ingin menyalonkan diri jadi gubernur Lampung. “Korupsi-korupsi mulu berita di tivi. Pening pala saya! Entah kapan korupsi ini hilang. Harusnya saya ini nyalon gubernur Lampung. Lihat badan gede subur gini, kalau saya jadi gubernur Lampung, weh, udah bener-benerlah bagus Lampung ini. Tapi kenapa ya masalah-masalah korupsi ini tak hilang-hilang? Harusnya kan bisa saya benahi. Tapi kalau gak diginiin, enggak dikorupsi maksudnya, rugi weh!” Mat Tobi’i duduk sambil berinteraksi kepada penonton. Kalimat cerdas yang berusaha disampaikan penulis skenario ditengah panasnya atmosfer politik menjelang pemilihan gubernur Lampung, 2018 mendatang. Jumat malam Soleh menemui Rohidah. Selain tak betah di rumah karena mendengar suara aneh dari kamar orang tuanya, Soleh juga ingin menyampaikan hal genting pada kekasihnya. “Ada yang mau Kiyay diskusiin sama Adek. Soal

NGEKHIBAS 1.Dana kemahasiswaan seret? Gimana kegiatan mau lancar!

2.Gagal registrasi gagal jadi mahasiswa Unila? Sistem masih butuh dikaji tuh!

3.Pedagang bakal direlokasi? Harus sudah jadi tuh retailnya!

4.Maling dibebasin? Yakin gak bakal balik!

hubungan kita, Dek. Cinta kita!” ucap Soleh meyakinkan. Singkat cerita, percakapan malam itu diakhiri dengan ajakan Soleh untuk sebambangan. Dalam masyarakat Lampung, sebambangan memiliki arti menculik gadis. Alasan utama sebambangan dilakukan karena tiada restu dari orang tua kedua belah pasangan. Maka dilewatilah oleh Soleh dinding yang telah lama menjadi penghalang bertemunya mereka. Masih dalam satu frame yang sama, Sofian dan Saripah tengah melakukan dialog intim, beberapa penonton saling menatap satu sama lain kemudian terkekeh melihat adegan tersebut, dimana Sofian lupa ingatan bagaimana cara memakai sarung. Soleh dan Rohidah menjinjing hati-hati sebuah koper ke luar rumah melewati dinding. Suara kaleng biskuit yang terjatuh mengagetkan Sofian dan Saripah yang sedang di ruang tengah. Mereka berlari mencapai kamar Rohidah dan tak menemukan putrinya di dalam sana. Kepergian Rohidah dari rumah sekaligus mengantarkan sebuah surat pada Sofian. Pun dengan Mat Tobi’i yang mendapatkan surat dari anaknya, Mat Soleh. Dari sanalah, mereka tahu Soleh dan Rohidah menginginkan pernikahan dengan atau tanpa restu dari kedua orang tuanya. Pergilah Mat Tobi’i dan Siti ke kediaman Sofian. “Kalau begini, tak ada pilihan lain selain kita menikahkan mereka,” ujar Sofian. Bertemulah mereka ke rumah ketua adat. Disaksikan ketua adat, hubungan mereka direstui. Berdamailah kemudian Mat Tobi’i dan Sofian yang telah lama bersitegang. Penonton memberi standing aplause berkali-kali untuk pertunjukan Sebambangan ini. Drama komedi tersebut berhasil memberi pesan, nilai, sekaligus budaya dalam waktu bersamaan. Yang menarik kemudian bagaimana mengemas secara apik dan dapat diterima oleh perkembangan zaman. Menyajikan kisah roman picisan dibalut kearifan lokal dalam sebuah pertunjukan drama komedi menjadi hal yang cukup menantang untuk mengedukasi tradisi lokal disesuaikan dengan gaya hidup pemuda zaman sekarang =

SUARA MAHASISWA Sampaikan keluhanmu lewat SMS Mahasiswa, dengan format Nama_Jurusan/Angkatan_Komentar. Kirim ke 089683243446 (Alfany) atau 082182017827 (Retno)

Silahkan kirimkan kritik,saran, dan pertanyaan anda ke alamat e-mail Teknokra ukpmteknokraunila@yahoo.co.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Tabloid Teknokra Unila Edisi 151 by UKPM TEKNOKRA - Issuu