Life Style 11
No. 112 Tahun XI Trimingguan Edisi Januari 2011
Kawat Gigi, Antara Medis dan Tren Hidup
Oleh : Desisonia LH, Rikawati
P
ukul 4 sore, pada 5 Januari 2011. Sebuah mobil sedan Suzuki Baleno menepi di pela taran klinik ahli gigi sekitar Jalan Teuku Umar Bandarlampung. Tiga sosok gadis remaja keluar dari mobil. Mereka langsung menuju ruang klinik yang su dah dibuka oleh si empunya. “Kami datang ke sini untuk mengganti behel,” ujar April (26) warga Sukarame Bandar lampung. Pemakaian kawat gigi juga marak di kalangan maha siswa. Cahya wulandari (FI SIP Ilmu Komunikasi ’10) contohnya. Ia ingin tampil berbeda dalam penampilan. “Namanya juga cewek, pengen giginya terlihat lebih rapi. Di awal saya pakai behel buat ngilangin gigi kelinci,”ungkapnya. Cahya masang behelnya di dokter gigi di daerah Teluk Betung dengan bia ya Rp2,5 juta. “Kebetulan sepupu ku asisten dokter di situ.” Seperti pemasang behel pada umumnya,menurut Cahya, ia juga merasakan sakit ketika tiga hari pertama. “Sakit banget, kayak ada yang neken gitu di gigi, bahkan hari keduanya cuma makan bubur sama susu.” Kawat gigi atau dalam bahasa Inggrisnya dental braces adalah alat yang digunakan dunia me dis untuk meratakan gigi, seperti gigi miring atau tidak sejajar. Cara kerjanya mengatur, mendorong dan menahan pergerakan gigi hingga sejajar dengan barisan gigi lainnya. Perawatan ini dikenal dengan istilah orthodonti. Namun seiring perkembangan zaman, motif penggunaan behel pun bergeser dari hal medis ke tren pergaulan. Tak hanya kalang an selebritis, penggunaan behel pun marak terjadi pada kalangan remaja tak terlepas mahasiswa. Dosen Sosiologi FISIP Unila, EndryFatimaningsih menilai peri laku memakai behel karena faktor ikut-ikutan atau tren adalah hal yang tak wajar. Selain itu, penggu nanya juga bisa dikelompokkan ke dalam status sosial tertentu. Behel bisa mengalami pergeseran fungsi menjadi simbol status so sial atau kelas ekonomi tertentu. “Pasang behel harganya lumayan mahal, bisa jadi untuk menunjuk kan bahwa ia kelas menengah ke atas,” ujarnya. Endry menambahkan kelom pok pergaulan dalam hal ini san gat berpengaruh pada perilaku
seseorang. Namun, tergantung kepada individu masing masing, apakah punya konsep kepribadi an yang kuat atau tidak. “Ada tren apapun, dia akan menampilkan diri sendiri, dan berhitung tentang asas manfaat bagi dirinya. Kalau diri sudah merasa percaya diri, maka tidak akan ikut-ikutan”. Sementara itu, dipandang dari segi agama, Drs. Piping Setia Priangga selaku pengasuh mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) FISIP Unila, mengatakan, bila pemasangan behel didasari oleh usaha untuk memperbaiki keadaan gigi tak dilarang agama. “Boleh-boleh saja. Justru kalau niatnya ikhtiar untuk memperbai ki keadaan gigi ya malah bagus. Asalkan tujuannya bukan riya’, yakni mengharapkan agar dipuji dan disenangi orang,” jelasnya. Maraknya penggunaan behel juga tak lepas dari menjamurnya praktek jasa pemasangan kawat gigi. Selain punya variasi behel yang beragam, para ahli gigi pun menawarkan harga yang relatif lebih murah. Hal itu diakui April dan kedua rekannya. Mereka memang senga ja memilih ahli gigi karena biaya penggantiannya yang lebih mu rah. “Kalau di dokter gigi, ganti aja Rp100 ribu. Kalau di sini cuma Rp50 ribu.” Hal ini senada diutarakan drg. Meirika Sari Caropeboka, yang buka praktek di Duta Medika Bandarlampung. Menurutnya pe
masangan behel pada dokter gigi memang terbilang lebih mahal. Biaya pemasangannya bisa men capai Rp4 juta sedangkan untuk biaya penggantian dikenakan Rp100 ribu. Hal ini berbanding jauh dengan biaya yang ditawarkan para ahli gigi. Biaya pemasangannya hanya berkisar hingga Rp2 juta dan Rp50 ribu untuk biaya penggantian ka retnya. Namun, Meirika menilai pe masangan behel pada ahli gigi memiliki resiko yang berbahaya dan tidak bisa pertanggung jawabkan. Ahli gigi juga tidak memiliki dasar ilmu orthodhonti. Alat-alat yang di gunakan pun be lum tentu steril. Bila terjadi kerusa kan gigi pasien, ahli gigi bisa lepas tang gung jawab. “Itulah mengapa dokter gigi lebih mahal daripa da ahli gigi. Karena kami tetap mengon trol pasien sampai selesai pengobatan,” tuturnya. Ia juga menjelaskan proses pemasangan behel harus melalui prosedur yang ideal. Seperti mengecek kon disi gigi. Ini untuk me mastikan gigi bersih dari sisa makanan. Se telah bersih, bagian gigi difoto lalu dicetak untuk mempelajari bagaimana karakter istik gigi. Selanjutnya, gigi diberi perekat khusus kemudian dilaser, diberi bricket, wire atau kawat gigi barulah kemudian dipasang ka retnya. *** April sudah satu tahun memakai behel. Ia memasangnya pada dok ter gigi di Jakarta. Biayanya men capai Rp4 juta. Selain ingin mera patkan bagian giginya yang agak renggang di bagian bawah, ia juga ikut tren pergaulan. “Sekadar un tuk lucu-lucuan,” ujarnya. Di awal pemasangan, ia men gaku tak nyaman apalagi saat ma kan. Ia pun pernah kena sariawan gara-gara bagian lidahnya terkena kawat. “Takut brecketnya lepas kalau makan yang terlalu keras. Risih juga, karena ada benda asing di mulut apalagi kan bentuknya kawat. Tapi kalau udah lama sih biasa saja,” tuturnya. Menurut Meirika, pemakai be hel harus benar-benar menjaga ke bersihan giginya. Sehabis makan, gigi harus segera disikat dengan sikat gigi khusus untuk mem buang sisa-sisa makanan. “Tidak bisa sembarangan,” ujarnya. Penggantian behel pun harus rutin dilakukan. Idealnya ka wat gigi serta karet behel diganti minimal 3 bulan sekali. Perawatan behel ini mesti dilakukan secara intens. Biasanya pasien menggu nakan behel selama kurun waktu 1-2 tahun.=
Pojok PKM
Fatoni Latif Pemimpin Umum UKPM Teknokra
Elegi Si - istem vs Takut Dosa Tahun 2011 merupakan babak baru dalam kehidupanku, banyak yang di pertaruhkan untuk setiap jalan yang terpilih, kegilaan dimulai dan layar siap dikibarkan, banyak pelajaran hidup dan kegilaan yang ditemui. Salah satunya tentang idialisme yang biasa digembor-gemborkan mahasiswa dan sistem yang sudah tersistem yang merupakan rahasia bersama dalam setiap kejanggalan dan pelanggaranya. Dalam tulisan kali ini saya umpamakan sebagai pertarungan dua pendekar virus golongan hitam dan dua pejuang vaksin golongan putih dalam mempertahankan kehidupan. Dua pendekar virus itu, Virus Is-KKaN (KKN, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan Virus Si-Istem (Sistem birokrasi yang amburadul, memerlukan pelican, atau yang kita ketahui sebagai sistem yang sudah tersistem), kehebatan dari mereka seperti layaknya virus pada umumnya, sulit dibinasakan, akan reda jika diobati tetapi di kemudian hari akan tumbuh kembali ketika suhu dan keadaan memungkinkan. Sedangkan dua pejuang vaksin bernama IdiAlisme dan takut-Dosa, kehebatan mereka baru akan keluar jika berada pada tempat (tubuh) yang kuat. Pertarungan berawal dari tubuh para wakil rakyat di Provinsi Lampung. Mengutip kata-kata salah satu wakil rakyat Kota Bandar Lampung, Hedrie Kurniawan pada saat seminar daerah “Kami berusaha membuang kotoran di ruangan itu, tetapi ternyata lebih banyak lagi orang yang mengotorinya.” Ucapan itu terkait pada masalah setengah lebih anggaran digunakan sebagai perjalanan dinas atau studi banding. Ini menyiratkan begitu tidak berdayanya pejuang IdiAlisme melawan virus si-Istem yang memang sudah menguasai sebagian besar anggota yang lain, bahkan kedatangan pendekar takut-Dosa sudah tidak di takuti lagi. Pertanyaan muncul dari benak vaksin takut-Dosa, begitu kuatkah sistem itu sendiri? Bukankah sistem itu di buat oleh para penghuni? Dan bukankah para penghuni dahulunya para idealis? Kemana mereka? Pertempuran mereka juga terjadi baru-baru ini di tubuh BKD (Badan Kepegawaian Daerah) saat penerimaan CPNS, Si-Istem memang sudah tersistem dari tingkatan yang tinggi sampai terendah, rapih dan menurun lintas generasi Lihat saja masalah CPNSD akhir-akhir ini yang banyak menjadi pemberitaan di media, yang kita tidak tahu pasal kemurnian dan kebenaran proses di dalamnya. Melihat fenomena ini vaksin IdiAlisme memberikan gambaran ke vaksin takutDosa, seperti ini: “Misalkan saja ada 10 PNS yang masuk dengan cara bantuan siIstem dan di kemudian hari menjadi kepala di 10 dinas berarti akan menghasilkan 10x10 pelaku si-Istem baru di setiap perekrutan, bayangkan jika hal itu berlanjut 10 kali perekrutan, bisa-bisa terbentuk paguyuban PNS Si-Istem”, vaksin takut Dosa langsung merinding membayangkan jika provinsinya dihuni para pendekar SI-Istem pada beberapa tahun kedepan, pada episode kali ini diisukan kedua vaksin kalah telak pada pertempuran yang berlangsung di tubuh BKD. Lingkungan pendidikan ditengarai menjadi lahan empuk bagi para virus, baik di lingkungan fakultas dan universitas, seperti biasa dimana ada virus Si-Istem maka pejuang Idi-Alisme dan takut-Dosa muncul untuk melakukan perlawanan, pertempuran terjadi dibeberapa tempat seperti pada saat mengurus pergantian KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) di salah satu fakultas, Si-Istem menawarkan dua cara, dengan cepat tapi mahal, atau lama tapi murah, sedangkan IdiAlisme menawarkan cara cepat dan murah, karna memang seyogyanya begitu, serangan si-Istem berlanjut pada proses pendanaan beberapa LK (Lembaga Kemahasiswaan) di tingkat Fakultas yang berdampak pada penggunaan uang pribadi dengan cara iuran anggota untuk biayanya. Dominasi si-Istem tidak berhenti disitu, proses pencairan dana juga ditengarai sudah dijajahnya, tentang ini semua virus si-Istem memang punya senjata ampuh dengan berkata “Sudah Tersistem atau beginilah birokrasinya” kata tersebut menjadi pembelaan yang dianggap menghalalkan untuk mengikuti si-Istem tersebut walau tidak sesuai hati nurani. Yang lebih menghawatirkan ketika kejayaan virus berlanjut pada diri Mahasiswa, yang merupakan lahan yang independen, jika disini juga dominasi berlanjut maka siap-siaplah pendekar vaksin IdiAlisme dan vaksin takutDosa tinggal sejarah. Tiba-tiba Vaksin IdiAlisme teringat SMS dari mahasiswa yang berbunyi “....ada link yang bisa buat Skripsi ngak?,.....” Vaksin merasa prihatin, terlepas dari dan untuk siapa skripsi itu di peruntukan itu semua sudah menunjukan pemikiran yang hanya mengutamakan hasil dari pada proses serta hanya mau enaknya sendiri dengan jalan pintas. Sistem birokrasi yang semrawut terkadang menjadi faktor utama yang menyebabkan jalan pintas terpilih di samping faktor-faktor pribadi yang terkadang dibesarkan. Vaksin takutDosa lebih jauh berpikir bagaimana jika pikiran kita sudah tersistem, bahwa si-Istem itu begitu kuat, seperti arus yang deras, dan tak mungkin di lawan, jika ini yang benar terjadi maka bersiaplah kita ikut hanyut bersama aliran si-Istem. Pada akhir pertarungan tetap didapati kekalahan di pihak vaksin, evaluasi harus dilakukan untuk memenangkan pertarungan, “kita harus memperbanyak latihan jurus moral dan agama ujar IdiAlisme, takutDosa juga berjanji akan lebih garang agar kedatanganya ditakuti. Jika kita melihat filosofi kecoa, bahwa Kecoa akan benar-benar mati setelah dua minggu hidup tanpa kepala, itu berarti masih ada harapan bagi para pejuang idialisme, untuk meluruskan yang masih bengkok dan menjaga yang sudah lurus, semua hal pasti ada kemungkinan walaupun hanya sedikit, lebih baik mencoba walaupun terjatuh dari pada hanya melihat. TETAP BERPIKIR MERDEKA!