SE KHUSUS nya kasus tersebut tidak terjadi, saya tidak memungkiri namanya manusia normal memang ada ketertarikan antara laki-laki dan perempuan. Saya rasa itu hal yang wajar akan tetapi seorang dosen yang tergolong seorang manusia dewasa harusnya dia bisa mengendalikan diri,” ungkapnya. Rektor Unila, Prof. Hasriadi Mat Akin mengatakan Chandra Ertikanto masih sebagai dosen Unila, saat ini hanya diberhentikan sementara. “Yang berhak memberhentikan secara permanen yaitu pengadilan dan sudah tertera dalam peraturan bahwa orang yang dapat dipecat jika dia dihukum diatas dua tahun,” jelas Rektor Unila saat ditemui diruang kerjanya, Selasa (30/4).
Jenis-jenis Pelecehan Seksual Pelecehan seksual sendiri ada dua jenisnya yaitu pelecehan verbal dan non-verbal. Menurut dosen Bimbingan Konseling (BK) FKIP, Citra Abriani Maharani pelecehan verbal adalah pelecehan berupa kata-kata contohnya mengatakan hal hal yang tidak senonoh terkait pelecehah seksual seperti “wah itu kamu gede”, “wah kamu seksi sekali”. Sedangkan pelecehan non-verbal misalkan dari sisi ekspresi, contohnya lawan jenis kita melihat kita dari atas sampai bawah. Bisa jadi juga dalam bentuk menyentuh bahkan yang lebih parah memperkosa. “Menyentuh bagian tubuh seseorang dengan memiliki hasrat seksual, misalnya menyentuh dada, pantat, bokong, pinggang, dan hal-hal sensitif lainnya, termasuk kedalam pelecehan seksual. Tangan juga bisa dikatakan pelecehan seksual misalkan cara memegang, dan meraba atau tiba-tiba dielus belakangnya,” jelas Citra. Menurutnya pelecehan seksual yang biasa terjadi di kampus diikuti dengan tekanan sehingga korban tidak berani untuk mengutarakan. Dalam peristiwa ini ketegasan untuk melindung diri tidak dimiliki oleh korban, skill protection-nya minim sehingga banyak orang yg mengalami pelecehan seksual khususnya di kalangan mahasiswa, bisa di pahami karena orangorang yang melakukan pelecehan seksual adalah orang-orang yang kebetulan sebagian besar memiliki kekuasaan tinggi. Seperti apakah dia dosen pembimbingnya kalau melapor ditakutkan ada konflik baru. Citra juga menjelaskan alasan seseorang dapat dilecehkan secara seksual karena kemampuannya untuk melindungi dirinya masih minim. “Artinya begini ketika ada orang lain yang melakukan pelecehan seksual kepada kita harusnya kita sudah berani membela diri, melawan dalam artian positif,
dengan tegas. Kemampuan mahasiswa berpikir masih dalam taraf khawatirnya kalau saya mengadu takutnya akan begini-begini tanpa berpikir panjang, padahal jika korban berpikir panjang justru yang khawatir adalah orang yang melecehkan bukan mahasiswanya,” jelasnya.
Perlunya Pendampingan Psikologi Mahasiswa yang mengalami pelecehan seksual perlunya pendampingan secara psikologisnya untuk kembali meningkatkan kepercayaan dirinya. Menurut Citra orang yang sudah dilecehkan secara seksual merasa harga dirinya sudah jatuh dan hancur apalagi mendengar informasi dia disalahkan karena anggapan korban yang menggoda. Sehingga perlunya pendampingan secara psikologis untuk korban. Pendampingan ini membutuhkan kerja sama dengan lingkungan sekitar. Tak hanya korban, pelaku juga perlu dilakukan pendampingan secara psikologi yang melibatkan ke l u a r g a pelaku dan lingkungan sekitar supaya tindakan pelecehan seksual tidak terjadi lagi. Ia juga menambahkan, perlu mempertimbangkan interaksi, supaya tidak memancing tindak pelecehan seksual, seperti tempat dan waktu. Jika bimbingan sampai malam harus diketahui kaprodi dan menyepakati jika ada proses bimbingan dimalam hari, “Disarankan ketika bimbingan itu tidak sendirian dan pintu tidak ditutup. Sekuat dan sebaik apapun pengawasan satpam tapi kembali lagi kepada kemampuan mahasiswa yang masih kurang melihat situasi yang mana yang berbahaya yang bisa membuat dia celaka memang hal itu tidak dengan peristiwa kemarin,” jelasnya. Untuk meminimalisir kejadian perlunya sosialisasi saat perkuliahan dan menghimbau untuk melapor jika ada dosen yang macammacam. “kita tidak pernah melihat dan tidak bisa mengukur. Serta untuk mahasiswa pentingnya keterbukaan, lingkungan sangat mendukung terjadinya pelecehan seksual, kita harus lebih peka terhadap lingkungan seperti apa yang memungkinkan hal tersebut dilakukan. sebaik apapun cara kita mengontrol diri, tapi kalau kita
No. 155 XIX Bulanan | Edisi Mei 2019 tidak mampu melihat situasi juga jadi salah kaprah,” tambahnya. Hal yang sama juga disampaikan oleh Pelopor Women’s March Lampung, Rizky Gita Rahmadhani mengatakan jangan pernah menutupi masalah pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual, biarkan ini terus-menerus di-blow up. Hal ini dilakukan untuk menyadarkan bahwa seharusnya pelaku perlu dihindari. Selain itu, perlu pendampingan korban, perlunya mengkawal berita pelecehan seksual jangan ditutup-tutupi. Selanjutnya, jika konteksnya saat bimbingan maka jangan adanya perasaan superior terhadap korban.
Wadah Konseling Unila Belum Tersosialisasikan Menurut Lembaga Advokasi DAMAR, Afrintina Unila harus mengambil
tindakan untuk meminimalisir kasus tersebut untuk mencegah terulangnya kasus pelecehan seksual dengan memperbanyak pendidikan tentang bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan seksual misalnya tentang gender, serta meningkatkan sosialisasi tentang pelecehan dan kekerasan seksual dikalangan mahasiswa. “Hal yang paling dasar dan menjadi sebuah kewajiban bagi institusi pendidikan adalah pertama berpihak kepada korban perempuan pelecehan seksual. Supaya korban tidak merasa sendiri dan berani melaporkan peristiwa yang menimpanya. Kedua memberikan sikap tegas kepada pelaku pelecehan seksual, hal ini dapat dilakukan dengan cara menonaktifkan sementara pelaku dari segala aktivitas di kampus. Ketiga Unila tidak boleh melakukan intervensi atau intimidasi terhadap perempuan korban pelecehan seksual, hal ini Unila sangat rawan melakukan intimidasi kepada korban,” jelasnya.
Di FKIP sendiri terdapat Unit Pelayanan konseling Terpadu (UPKT) telah berdiri sejak 4 tahun yang lalu. Berdasarkan pantauan teknokra, ruang UPKT berada di gedung L FKIP tepatnya di pojok, dengan fasilitas meja dan kursi kerja. Ketua UPKT, Ratna Widiastuti mengaku ruang kerjanya tidak representative terutama yang tenang untuk sesi-sesi konseling yang serius. “Kita cuma punya satu ruangan kecil untuk dosen dan itu bukan ditunjukkan untuk konseling yang sesuai prosedur konseling, artinya kita konseling maunya ada sofa yang nyaman, ruangan yang tidak terlalu ramai,” jelas Ratna. Ratna menambahkan UKPT juga membuka pelayanan untuk pengaduan kasus pelecehan seksual yang terjadi kepada mahasiswa. “Namun dalam kasus kemarin, kami kekurangan kekuatan hukum. Sehingga korban memilih Lembaga Advokasi DAMAR. Selain itu adanya anggapan akan ada konflik kepentingan,” jelas Ratna. Menurutnya, selama ini UPKT mendapatkan kasus dari mahasiswa yang datang atau mahasiswa yang dirujuk oleh ketua jurusan, “Kita memang baru sebatas itu wewenangnya karena kami memang bukan seperti LSM yang harus menjemput bola, kalo kami harus nunggu prosedur dulu, gak bisa kita langsung masuk tetapi kalo korbannya langsung datang ke kami pasti akan kami damping, namun secara hukum rendah dan tidak kompherensif,” ungkapnya. Ratna mengaku setiap tahunnya UPKT memberikan pelatihan pendampingan korban kekerasan seksual. “Tahun lalu, kami sosialisasikan di Aula A FKIP. Jadi secara umum apapun masalah yang dihadapi itu sudah punya tempat untuk bernaung, bernaungya itu ada di unit UPKT, jadi memang harus dipahami prosedurnya,” tambahnya. Dekan FKIP, Prof. Patuan Raja mengaku tidak terlalu paham tantang UPKT. “Saya sendiri tidak begitu paham mengenai UPKT mungkin yang lebih paham dosen yang bersangkutan, sebagai sebuah unit saya rasa selama ini berjalan baik,” katanya.
Tidak Adanya Peraturan Tentang Pencegahan Pelecehan Seksual Saat Bimbingan
7
Menanggapi kasus yang telah terjadi, Wakil Bidang Akademik, Prof. Bujang Rahman mengatakan prosedur bimbingan sudah diatur dalam peraturan akademik. “Semua sudah diatur dalam peraturan akademik,” jelasnya. Namun berdasarkan Peraturan Akademik Unila tidak ada pasal yang mengatur tentang prosedur bimbingan. Pada pasal 36 tentang Pembimbing dan Penguji Disertasi/Tesis/Skripsi/Tugas Akhir, hanya menjelaskan pembimbing. Pasal 36 ayat 1 tertulis setiap mahasiswa penyusun disertasi dibimbing oleh paling banyak 3 dosen atau tesis/skripsi/TA 2 (dua) dosen yang memenuhi syarat. Ayat 2 tertulis pembimbing disertasi/tesis terdiri atas pembimbing utama dan pembimbing pembantu sedangkan pembimbing skripsi/TA terdiri dari pembimbing utama dan pembimbing pembantu atau hanya pembimbing utama. Menurut Wakil KetuaLembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI), Dr. Livia Istania DF Iskandar mengatakan pelecehan seksual di kampus sebenarnya bisa diminimalisir dengan adanya peraturan rektor. “Untuk mencegah kekerasan seksual di kampus peraturan rektor harus segera ditetapkan, karena kekuasaan yang paling besar berada di tangan rektor,” jelasnya. Rektor Unila, Prof. Hasriadi Mat Akin menyayangkan sebagai lembaga pendidikan terjadi tindakan asusila yang dilakukan oleh dosen yang seharusnya bisa menjadi contoh, untuk mencegah terjadinya pelecehan kembali, Rektor Unila telah menyiapakan Pembimbing Akademik (PA) yang bisa menjadi tempat bimbingan konseling. “Ditingkat universitas kita sudah menyediakan tempat bimbingan konseling tapi tidak ada yang datang juga jadi sekarang PA kita anggap sebagai tempat bimbingan konseling karena semua masalah akademik bisa mengadukan kesitu, kita juga punya WD3 itu urusan kemahasiswaan, di WD3 bukan hanya tentang peraturan akademik tetapi semua masalah mahasiswa,” tambahnya. Prof. Hasriadi juga menghimbau untuk semua dosen harus memasukan nilai-nilai sosial, nilai karakter disemua mata kuliah yang diajarkan karena dosen memiliki tanggung jawab moral, ”Saya sebagai lembaga pendidikan semua harus bisa berkonstribusi untuk moral, lembaga pendidikan ini lembaga moral loh, hal yang sangat tidak terpuji jika dilembaga pendidikan ada hal-hal asusila begitu, menjadi seorang guru maupun seorang dosen memiliki tanggung jawab moral. Justru saya meminta seluruh dosen memberikan kepada mahasiswa mengenai moral untuk seluruh mata kuliah yang di pegangnya,” jelasnya=