Sriwijaya Post Edisi Minggu 30 Desember 2012

Page 6

6

SRIWIJAYA POST Minggu, 30 Desember 2012

Budaya Tokoh dan Tauke

Danau Ranau, danau volcano dengan latarbelakang Gunung Seminung. Foto diambil pertengahan Desember 2012

KONON. Pangeran Natadiraja Tuha mendengar ada yang memanggilnya. Namun, dia tidak ingin meninggalkan piringnya karena pantang meninggalkan makanan sebelum usai makan. Setelah selesai makan, barulah Sang Pangeran turun dan mencari asal suara yang memanggilnya. Tetapi ia hanya menyaksikan ekor makhluk mulai menyelam dari permukaan danau. Pangeran pun berusaha menangkap ekor tersebut. Namun makhluk yang diyakini seekor naga itu terus menyelam. Di tangannya hanya tersisa delapan sisik berwarna keemasan. Kemudian, sisik Naga Emas itu lenyap bersamaan dengan terbakarnya perkampungan Jepara Tua, di tepi Danau Ranau. Legenda sisik Naga Emas terus hidup dan menjadi bagian dari

kehidupan masyarakat eks-Marga Ranau. Kemudian, delapan lembar sisik makhluk itu dimaknai dengan usia pemerintahan Marga Pematang Ribu setelah Pangeran Natadiraja. Natadiraja Tuha merupakan pelanjut tahta kekuasaan Marga Pematang Ribu yang pendahulunya Pangeran Singajuru. Kekuasaan keturunan Natadiraja Tuha dilanjutkan oleh Natadiraja Muda sebagai pangeran. Terus begitu sampai garis lurus ke delapan. Sekitar 50 tahun sejak bendera pemerintahan Kolonial Belanda berkibar di Danau Ranau, Belanda punya kebijakan lain. Ketika itu, pememrintahan Marga Pematang Ribu dipegang oleh Pangeran Amrah Moeslimin yang tidak lain adalah keturunan ke delapan dari silsilah Pangeran Natadiraja Tuha.

Pada masa itu, dicatat tahun 1908, pemerintahan Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan menggabungkan lima marga yang berada di sekitar Danau Ranau, Termasuk dua marga, Marga Pematang Ribu dan marga Banding Agung, Belanda menyatukan lima marga menjadi satu, yakni Marga Ranau yang dipimpin oleh seorang pasirah. Pada masa pemerintahan Pangeran Amrah Moeslimin ini pula, terjadi kebakaran besar yag menghabiskan Desa Jepara Tuha, bersamaan dengan hilangnya sisik Naga Emas. Kemudian, Pangeran memindahkan pemukiman marga ke Desa Jepara (hingga sekarang). Jejak kebesaran pemerintahan Marga Pematang Ribu masih dapat disaksikan dari bentuk bangunan rumah pangeran, Lamban Sai

FOTO-FOTO: SRIWIJAYA POST/SUTRISMAN DINAH

Walikota Palembang Eddy Santana Putra, Gelar Raja Gemuntur Sakti Sejagad, didampingi pemangku adat Sai Batin Marga Pematang Ribu atau Marga Ranau Erwin Moeslimin Singajuru Gelar Suntan Penyimbang Paksi dalam acara adat di Kota Simpang-sender, OKU Selatan. Raja adat diarak naik Kereta Kencana Aban Geminser (Awan Berarak).

Batin Marga Pematang Ribu. Rumah berukuran paling besar dengan halaman luas dan bangunan rumah kayu bertiang kayu tanpa sambungan membelakangi Gunung Seminung, gunung yang berada di tepian Danau Ranau. BUKAN hanya lima marga ini yang menjadi sasaran kebijakan Kolonial Belanda. Tetapi juga, marga-marga yang tersebar di hmpir seluruh wilayah Sumatera bagian Selatan. Perombakan mendasar itu, ditandai perubahan mendasar. Walaupun eksistensi mara diakui, sistem pemerintahan turun termurun berakhir. Pemimpin marga seorang pasirah, dipilih melalaui sistem pemilihan yang umum berlangsung dalam sistem demokrasi yang kita kenal selama ini. Sistem pemerintahan genus local semakin dilemahkan. Masa pemerintahan Presiden Soeharto, sistem yang hidup dalam masyarakat Sumatera Selatan ini benar-benar tamat. Undang-undang Sistem Pemerintahan Desa tahun 1979 menguburnya, beserta kearifan yang tumbuh di dalamnya. Marga yang memiliki kawasan menjadi sumber kehidupan dalam masyarakat berbudaya agraris (agri-culture) pun berakhir. Tanah marga yang menjadi bagian dari sistem dibawah kendali pemuka adat seorang pangeran, yang bisa dikelola oleh warganya dan kembali menjadi kekayaan marga setelah tak dikelola lagi, tak lagi dikenal. Fungsi sosial lahan marga, berubah menjadi komoditas kekayaan individual. Lahan pertani-

an telah menjadi objek yang bisa diperdagangkan, dan ada lagi lahan gratis bagi masyarakat desa. Senya-menyewa lahan garapan, tak dikenal pada masa pemerintahan marga. Tak ada pula pajak tanah yang dibebankan marga kepada rakyatnya. Belanda pula yang memperkenalkan hak individual atas tanah. Belanda pula yang membebani pajak atas pribadi. Belanda pula memperkenalkan hubungan pemimpin marga dan warganya dalam bentuk yang sebenarnya menjadi sesuatu yang asing dibandingkan sistem yang berlaku dalam masyarakat marga yang sebenarnya. Itu akhir sebuah peradaban. Ketika dalam suatu hubungan kekerabatan masyarakat lokal diperlakukan sistem hubungan yang sebenarnya asing. Gelar pangeran, suntan atau raja, tetap hidup dalam masyarakat. Gelar itu seperti kehilangan ruhnya. Era penggabungan lima marga menjadi Marga, sudah berlangsung dan nyaris dilupakan. Kalaupun eksistensi masih ada, ia telah kehilangan ruhnya. Ruh marga telah terasing dari tubuhnya. Gelar pemimpin marga tak lagi esklusif milik, keturunan yang berada dalam satu genealogis. Gelar pangeran atau raja bisa diberikan kepada ôorang luarö dengan berbagai alasan. Bahkan juga memiliki alasan dan kepentingan tertentu. ôHarus kita sadari, marga menjadi kekayaan budaya bangsa. Marga Ranau telah menjadi bagian dari peradaban bangsa ini. Dengan segala ukuran dan disetujui tokoh-tokoh

adat, gelar bisa kita berikan kepada orang luar. Gelar bisa membangun kebanggaan seseorang dan memberi penyadaran bahwa dia bagian dari bangsa Indonesia,ö kata Erwin Moeslimin Singajuru, berada dalam silsilah Pangeran Singajuru, yang diperkirakan hidup pada pertengahan tahun 1500-an. Anggota DPR RI utusan Sumatera Selatan ini, paham betul dan masih memegang dan menghormati sistem kekerabatan Marga Pematang Ribu, walaupun lebih suka menyebutnya sebagai Marga Ranau. Marga Ranau hasil gabungan lima marga dan dusun, lebih luas wilayahnya, hampir seluruh wilayah yang dihuni masyarakat yang bermukim di lembah Danau Ranau. Penggabungan dan perubahan sistem pemerintahan marga secara substansial dari kekuasaan turun temurun kemudian pemimpin marga dipilih, membawa konsekuensi secara politis dan bahkan ekonomis. Calon pemimpin yang ingin menjadi pemimpin marga harus memperkenalkan diri kepada pemilihnya dan berusaha mempengaruhi warga yang memiliki hak suara. Tradisi menarik simpati dan mempengaruhi agar memilih pemimpin, bukan hanya milik marga. Pun pemilihan kepala desa atau bahkan hingga ketua rukun tetangga. Seorang calon kepala desa, misalnya, tak akan segan-segan mengeluarkan biaya besar untuk duduk menjadi kepala desa. Sudah amat lumrah, calon kepala desa menyelenggarakan pesta berbulan atau sepanjang tahun untuk mencari

pendukung. Tujuanya, agar terpilih. Pengorbanan kepala desa dalam proses pemilihan, termasuk mengeluarkan dana tentu harus dikembalikan. Jabatan bukan sekadar sebuah kehormatan, tetapi juga memiliki nilai ekonomis. Untung-rugi. Sejarah pemilihan pesirah secara demokratis di Karesidenan Tebingtinggi (sekarang masuk wilayah administratif Kabupaten Empat-lawang), menjadi catatan khusus. Tahun 1926, koran Pertja Selatan mencatat, seorang pasirah diadili di Land-Raad (pengadilan negeri) karena tidak dapat mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan yang bersumber dari lahan kekayaan marga. Sistem pemerintahan demokratis, dianggap sebagai satu pilihan model bagi masyarakat modern dalam mengelola suatu wilayah kekuasaan. Sang pemimpin harus dipilih secara demokratis, melalui proses pemilihan umum. Kalangan humanis memberi garansi bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin. Sumatera Selatan saat ini berada dalam masa mencari seorang pemimpin, bulan Juni 2013 tahun depan, akan memilih seorang gubernur. Bagaimana mempengaruhi agar pemilik suara yang bermukim di wilayah ômargaö Sumatera Selatan. Seorang teman memberikan catatannya: Calon pemimpin bukan hanya populer secara ketokohan, tetapi juga harus tauke ûpunya modal finansial. (Sutrisman Dinah)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.