Telisik #13 - Jogja Kota 1000 Festival

Page 6

Membedah Fungsi Fasilitas dan Sarana Pendukung

Setiap tahun TBY menjadi tempat favorit penyelenggaraan festival, namun minimnya jumlah gedung membuat para penyelenggara festival harus memesan venue TBY setahun sebelum acara dilaksanakan

JOGJA, SI KOTA FESTIVAL Oleh: Anisah Zuhriyati,Setyo Kinanthi,Nur Mahzaria, Sirajuddin Lathif

Foto: Wita/ Bul

Menguatnya ciri khas Yogyakarta sebagai kota festival, tak lepas dari peran infrastruktur yang ada. Mulai dari gedung-gedung kesenian, ruang publik bahkan gedung alternatif. Sudahkah kesemuanya itu difungsikan secara optimal?

S

eni dan budaya menjadi sebuah wajah lain Jogja yang semakin mengokohkan Jogja sebagai Kota Istimewa. Wajah ini menjadi predikat yang tak kalah penting dengan predikat Jogja yang lain: kota pelajar, kota wisata, kota gudeg, dsb. Tentu saja predikat tersebut ada bukan tanpa alasan. Sejak tahun 1950, Yogyakarta memiliki Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang disusul dengan berdirinya Akademi Musik Indonesia (AMI) pada tahun 1952 dan Akademi Seni Tari Indoneisia (ASTI) pada tahun 1963. Akademi-akademi tersebut kemudian disatukan menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tahun 1984 yang melahirkan banyak seniman di berbagai bidang. Ini ditambah dengan kemunculan komunitas seni yang berkembang pesat di Yogyakarta. Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, terdapat 520 paguyuban yang tersebar di seluruh DIY. Tentu saja, baik ISI maupun komunitas seni kerap menjadi penyumbang kegiatan-kegiatan seni dan budaya yang ada di Jogja, salah satunya adalah kegiatan macam festival. Mengapa? Ini berkaitan dengan keinginan para seniman menggelar hasil karya mereka untuk disaksikan masyarakat. Disisi yang sama, manusia memiliki keinginan dan hasrat untuk menyaksikan pertunjukan yang dipagelarkan orang lain. Sifat dari pertunjukkan seni festival adalah merakyat. Sesuai maknanya yakni pesta rakyat, kegiatan ini cenderung mampu memancing audiens dalam jumlah yang besar. Sasarannya bukan hanya warga kota Yogyakarta saja, tetapi juga wisatawan yang berasal dari luar daerah bahkan luar negeri. Potensi seniman, keberadaan komunitas seni, dan animo masyarakat yang tinggi adalah kombinasi yang komplit untuk terus mengembangkan kegiatan seni festival dari banyak sisi. Seperti prosedur ticketing, penggunaan teknologi, inovasi dalam menyajikan karya seni, serta tempat dan konsep acara baru yang kini semakin banyak berinovasi. Tentu saja untuk mendukung semuanya ini, butuh ketersediaan fasilitas yang memadai. Fasilitas tersebut dapat berupa fasilitas utama seperti sarana konvensional berupa gedung pertunjukan, gedung

pameran atau tempat kegiatan seni, dan fasilitas pendukung seperti lighting, sound sytem, hingga toilet dan kantin. Tetapi sayangnya, ketersediaan fasilitas festival yang ada sangat terbatas. Baik jumlah maupun kualitasnya tidak sebanding dengan komunitas dan seniman yang ingin mengadakan kegiatan. Fasilitas pendukung Pertama, terkait sarana konvensional berupa gedung pertunjukan atau gedung pameran. Ada beberapa gedung yang bisa dipakai, baik itu milik pemerintah maupun swasta. Gedung yang dikelola pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DIY, misalnya: Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Plaza Pasar Ngasem, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri (PKKH) UGM, Auditorium ISI, Auditorium RRI, Panggung Terbuka dan Teater Tertutup Komplek Taman Wisata Candi Prambanan, dsb. Sementara gedung yang dikelola oleh swasta salah satunya adalah Jogja National Museum (JNM). Sayangnya, jumlah gedung tersebut secara kuantitas belum mencukupi. Hal ini terlihat dari antrian yang berlangsung cukup lama saat hendak menggunakan gedung tersebut, misalnya TBY. Menurut informasi yang diperoleh dari TBY, sepanjang tahun 2016, seluruh venue TBY telah disewa untuk berbagai acara, sehingga bagi para penyelenggara acara festival yang ingin menggunakan venue TBY, perlu memesan kurang lebih setahun sebelum acara tersebut diadakan. Jumlah gedung yang boleh dikatakan ‘tak cukup untuk menampung festival di Yogyakarta’ ini diperparah dengan kondisi fisik bangunan gedung yang kurang optimal, dilihat dari dua faktor, internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari kendala pendanaan untuk renovasi gedung dan perbaikan peralatan. Sementara faktor eksternal, berasal dari kurangnya kesadaran masyarakat untuk merawat fasilitas yang ada. Gedung kegiatan kesenian yang dikelola oleh pemerintah atau instansi biasanya akan mendapatkan anggaran khusus untuk renovasi gedung atau perbaikan peralatan. Misalnya TBY yang berada dibawah Jurnal Populer SKM Bulaksumur | Telisik #13

11


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Telisik #13 - Jogja Kota 1000 Festival by SKM UGM Bulaksumur - Issuu