
3 minute read
Opini 25
sosial bukanlah realitas dari yang sebenarnya sampai memunculkan hiperealitas di masyarakat.
Lalu apa itu Hiperealitas?
Advertisement
Jean Baudrillard (1983) berpendapat mengenai konsep Simulacra yakni mengenai media massa yang dicirikan oleh realitas asli (Hiperealitas) dan simulasi (Simulation). Konsep ini mengacu pada suatu realitas baik virtual ataupun artificial dalam komunikasi massa dan konsumsi massa.
Realitas itu membentuk manusia dalam berbagai bentuk simulasi. Simulasi merupakan suatu realitas yang pada dasarnya bukan realitas sesungguhnya. Ia hanya realitas yang dibentuk oleh kesadaran manusia melalui media massa.
Fenomena makan cantik yang sering kali kita temui dalam kehidupan media sosial merupakan sebuah bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan. Dalam pelaksanaannya makan cantik dianggap bisa menggambarkan kelas atas sebagai identitas menjadi citra sosial yang melambangkan eksistensi dan kelas sosial masyarakat.
Oleh sebab itu simulasi menjadi hal penting dalam pembentukkan hiperrealitas. Dimulai dengan pemilihan tempat yakni, pemilihan restoran yang menyajikan interior ruangan yang modern, lalu penyujian makanan yang menarik dengan platting yang classy. Dan simulasi ini dilakukan dengan memotret foto dari makanan tersebut dengan caption yang menarik serta tambahan location, agar orang yang melihat menjadi terpengaruh dan tertarik terhadap foto dan tempat tersebut.
Namun kenyataannya makan cantik yang di post dalam media sosial adalah hal yang berbeda dari kenya- taannya. Karena terdapat perbedaan kondisi pelaku pada apa yang di posting dengan kondisi nyata. Simulasi yang dilakukan oleh pelaku makan cantik di sosial media menampilkan kondisi kelas sosial atas, namun ternyata pelaku makan cantik bukan dari kelas sosial tersebut.
Di dunia maya masyarakat bisa dengan bebasnya berekspresi sesuai dengan kelas sosialnya. Namun, hal ini tentu menimbulkan pro dan kontra dalam segi pengartiannya, yang di mana bahwa tidak semua yang kita lihat sama dengan apa yang terjadi sebenarnya. Pada titik itulah kita harus bijak dalam menyikapi segala sesuatu yang tidak kita lihat secara nyata.
Kiki Yuli Rosita
*Penulis adalah mahasiswa program studi Sosiologi 2020
Merawat Literasi dalam Secangkir Kopi
Berawal dari keresahan yang dialami, muncul ide dalam benak Aditya untuk membuka kedai kopi sendiri dengan segmentasi ketenangan & ketentraman
Aroma seduhan kopi Latte dan Espresso menguar dari mesin penggilas kopi manual brew ketika kami memasuki ruangan berukuran 3x7 meter di pinggir jalan Prof. Hamka Ngaliyan, Semarang. Di meja dekat pintu, dua pria berambut gondrong dan bertopi putih tak henti-hentinya menjelajahi halaman demi halaman buku yang sedari tadi dibaca. Tiga pria di meja yang lain, saling berbalas argumentasi dalam forum diskusi mini. Di sudut kiri kami, deretan kopi berbagai varian dengan puluhan buku yang tergantung di rak dinding berpadu mengobati dahaga literasi kaum muda-mudi di kedai Pygmy Owl Coffee. Sebuah kedai kopi yang mengusung konsep small Coffee shop, hasil adopsi dari Coffee shop Thailand yang lebih mementingkan kepuasan pelanggan dan mengabaikan ukuran tempat. Meski kondisi kedai Pygmy Owl Coffee tak seluas kedai kopi pada umumnya,
namun menawarkan suasana berbeda. Selain dilengkapi dengan pendingin ruangan, pengunjung bebas mengakses wifi dan dimanjakan berbagai macam buku bacaan yang menarik. Juga dilengkapi beberapa alat musik yang bisa dimainkan.
“Saya ke sini hampir setiap hari, kadang tiga kali atau empat kali dalam seminggu. Itu yang membuat saya betah,” ucap Aldi Putrancha, salah satu pelanggan di kedai Pygmy Owl Coffee pada Kamis (07/04). Aldi Putrancha dan kolega yang memang tak terlalu menyukai kebisingan saat membaca buku dan bertukar gagasan di kedai kopi, memilih Pygmy Owl Coffee sebagai tempat merawat literasi yang kini rawan memudar. Di sini, kata Aldi, pelanggan bisa bebas membaca buku dan menuangkan pikiran dalam kesunyian serta didukung keindahan tata ruang yang membuat kedai semakin nyaman. Ketertarikan Aldi menjadi pelanggan tetap di kedai Pygmy Owl Coffee bermula saat ia mengantar saudaranya ke pasar Ngaliyan. Aldi yang melihat dekorasi lampu burung hantu yang dirambati tanaman hijau dan akar gantung dari seberang jalan, lantas dibuat penasaran. “Saya awalnya lihat pas mengantarkan saudara di pasar situ, tak sengaja lihat te-rus mampir. Tempatnya memang kecil, tapi nyaman,” katanya. Pemilik kedai Pygmy Owl Coffee, Aditya Aji Pamungkas mengaku keinginan mendirikan kedai kopi bermula dari pengalamannya yang tak menemukan ketenangan di kedai kopi sewaktu mengerjakan tugas perkuliahan. Aditya begitu disapa, justru dihadapkan kondisi keramaian kedai kopi yang membuat fokus dan konsentrasinya hilang. Berawal dari keresahan yang dialami, muncul ide dalam benak Aditya untuk membuka kedai kopi sendiri dengan segmentasi pada ketenangan dan ketentraman batiniah dengan konsep ruangan minimalis, nyaman dan mengutamakan keindahan tata ruang “Jadi kami menawarkan suasana yang berbeda,” kata Adit. Aditya menuturkan, pemberian nama Pygmy Owl Coffee diambil dari nama burung, “Owl”. Jika