
6 minute read
Ruang Kosong
Eva Salsabila
Rintikan hujan terdengar samar-samar dari lantai dasar. Kian lama, rintiknya kian memekakkan telinga hingga bising- nya menembus ruang hampa, di mana kini aku berada. Mungkin kamu tidak akan percaya, bagaimana aku pada akhirnya bisa begitu jatuh kepadamu.
Advertisement
Laksana beban yang terdorong dan terlempar jauh ke palung terdalam, seperti itulah kiranya. Mulanya aku sendiri tidak menyadari, dan menganggap kalau diriku terkesan hipokrit untuk mengakui bahwa sanubariku telah lama terpaut pada bayangmu.
Aku memang tidak pernah terlihat seperti mengagumi siapapun, pun dirimu. Namun yang harus kau ketahui, jauh di lubuk ini ragaku terasa seolah sudah tidak mampu menopang bobotku lagi saat dirimu mencoba mengakrabkan diri denganku. Terlintas jelas sekelebat anganmu dalam memori, membawaku berkontemplasi pada saat dirimu menyodorkan benda kecil berbentuk persegi berwarna lavender dengan pita violet melilit- nya pada momen yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.
25 Maret 2018
“Kita berpisah di sini aja, ya.” ujarku.
“Rumahku udah deket, Do. Lagian rumahmu jauh. Kasian kalo pulang, nanti kemaleman.” sambungku.
Seperti biasa, aku berbicara padanya tanpa pernah berani menatap matanya secara langsung. Melainkan kuusahakan sekuat tenaga untuk mengalihkan pandangannya ke objek lain.
“Bener nih, Rin, gapapa diantar sampai sini?” tanyanya untuk meyakinkan diriku.
Sebenarnya, jarak rumahku masih agak jauh dari posisi kita berada saat ini. Namun aku tidak pernah ingin membiarkan seorang pria mengantarku percis depan rumah, pun Redo, apa- lagi kalau bukan takut kepergok sama ibu.
“Iya bener. Ini udah hampir maghrib, mending pulang aja.” Berharap dia menuruti perkataanku dan tidak keukeuh untuk mengantar sampai rumah.
Di luar dugaan, ia justru memindahkan posisi ranselnya ke depan dan membuka resleting tasnya. Terlihat jelas tangannya merogoh sesuatu dari dalam tas. Tidak sampai satu menit barang yang daritadi tersimpan di tasnya sudah berada di genggaman- nya.
Sebuah kotak persegi berukuran kecil berwarna lavender. Sebetulnya ia melapisinya dengan plastik kecil, namun karena warnanya tidak terlalu gelap jadi aku bisa sedikit mengetahuinya.
Tak lama ia menyodorkan barang itu kepadaku. Aku yang tengah mengalihkan pandangan ke arah lain semenit setelah memperhatikannya merogoh barang dari tasnya, sontak membeku di tempat saat itu juga begitu menyadari tindakannya. Seketika pikiranku mulai melayang tidak menentu. Bahkan bibirku terasa kelu untuk mengucap sepatah mata. Entah kejadian apa
yang menimpaku sebelum hari ini, atau mimpi apa yang terjadi padaku semalam.
Bodohnya, ritme jantungku mulai tidak karuan menanggapi apa yang baru saja terjadi. Semoga saja degupannya tidak terdengar jelas, batinku.
Bingung harus bertindak apa, hingga akhirnya ia bersuara.
“Selamat bertambah usia, Rin..” ucapnya sambil memutarkan badannya ke arahku. Kini ia berada di hadapanku. Matanya menyorotkan harapan saat ia mengucapkan itu.
Hari ini aku ulang tahun?
Bahkan aku sendiri aja lupa hari ini tanggal berapa.
Entah mengapa belakangan pikiranku sedang kacau, aku tidak fokus untuk memikirkan hal-hal lainnya. Bahkan hal-hal kecil yang biasanya aku mudah mengingat hari, tanggal, dan bulan justru aku tidak ingat. Sungguh luar biasa.
“Maaf cuman apa adanya.”
Apa? Barusan dia bilang apa?
berhasil bikin jantungan anak orang kaya gini masih di- bilang apa adanya?
Aku yang mendengar ucapan Redo hanya bisa mengutuk dirinya dalam hati. Aku benar-benar dibuat bingung dengan pola pikirnya, tindakannya barusan sungguh mengejutkan.
“Eh, iya.. makasih ya, Do.” Hanya itu kata yang mampu
terucap melalui bibirku.
“Sama-sama, ngga usah gelagapan gitu kali.”
Skakmat. Ia menyadari kegugupanku tadi.
Tak berapa lama, ia tertawa lepas. Senang sekali dia menjahiliku, pikirku dalam hati. Entah mungkin saat ini rona merah telah memenuhi pipiku. Yang jelas aku ingin segera pergi saat itu juga dari hadapannya.
Kemudian ia tersenyum. Senyum termanis dari yang pernah ia perlihatkan sebelumnya, hingga memperlihatkan lesung pipitnya. Aku benar-benar tidak tahu kalau ia memiliki lesung pipit.
Lagi-lagi seperti biasa, aku berusaha mengalihkan pandanganku ke objek lain, apalagi saat ia menunjukkan senyumnya. Namun tidak, kali ini aku mencoba mencuri-curi pandang untuk menikmati senyum manisnya dari seorang lelaki di hadapanku. Kapan lagi aku bisa melihat pemandangan indah di hadapanku?
“Ini isinya apa? Uang?” bodoh. Tiba-tiba saja dengan spontan bibirku mengucapnya.
“Bukanya di rumah aja ya, kalo disini udah ngga spesial lagi nanti.” timpal Redo.
Sebetulnya perkataanku tadi hanya bermaksud bercanda untuk mencairkan suasana yang sempat sedikit awkward.
“Ngga pulang sekarang? langitnya udah mulai gelap lho,” kataku mengalihkan topik sambil pandanganku menyapu ke atas.
dengan sendirinya, kepalanya mengikuti gerakanku; menyapu langit-langit.
“Eh iya bener. Yaudah, aku pulang dulu ya. Kamu langsung pergi aja, ngga baik perempuan di luar sendirian maghrib gini.”
Perlahan ia menghilang dari pandanganku.
Sejujurnya aku masih ingin dia berada di hadapanku. Tapi karena matahari saat itu sudah mulai meninggalkan orbitnya, rasanya tidak pantas berdua dengan lawan jenis berlama-lama apalagi pada hari mulai gelap di luar.
Kuamati benda kotak yang kini telah berpindah ke tanganku. Tanpa sadar, senyum terukir jelas di bibirku. Membayangkan isi dari kotak yang telah membuatku berbalut rasa penasaran sejak 15 menit sebelumnya. Aku hendak membuka isi kotak itu, hingga akhirnya ponselku berdering. Terpampang jelas nama “ibu Redo” di layar ponsel.
“Halo Arin?” terdengar suara terengah-engah di seberang jaringan.
“Halo, ibunya.” belum selesai aku melengkapi ucapanku, sudah terpotong.
“Arin, cepat ke rumah sakit.” ia memberi jeda sekitar 3 detik untuk menghela napas.
“Redo meninggal.” sambungnya.
Bagai disambar petir saat itu juga, aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Rasanya seperti, mustahil.
Namun aku berusaha untuk tetap tenang mendengarkan ucapan ibu Redo dengan seksama.
“Redo meninggal, Rin. Tadi sore sekitar jam setengah 4.”
“Seseorang dengan truk menabraknya, 30 menit setelah dia pamit pergi dari rumah.”
Di satu sisi, aku masih mencoba mencerna perkataan ibu Redo. Benarkah yang dia katakan? Bukankah baru saja Redo pergi bersamaku dan mengantarku? Lantas sosok siapa yang baru saja berbincang denganku dan memberiku hadiah?
Beragam pertanyaan kini telah memenuhi benakku.
Tanpa disadari, panggilan dari ibu Redo telah terputus.
Sementara, langit senja silih berganti gulita. Matahari yang beberapa jam sebelumnya masih memendarkan sinarnya, kini beralih menjadi cahaya benda-benda kecil di langit malam. Meski begitu, warna mentari itu masih terasa hingga beberapa menit sebelumnya, meski hadirnya benar-benar telah tiada. Begitupun dengan seseorang. Meski ia telah berada jauh, namun kehadirannya tetap terasa seperti saat ia masih ada.
Hadiah dari Redo masih kugenggam. Saat itu juga aku membukanya. Kudapati sebuah mini frame berisikan foto aku dan Redo saat melakukan photobooth, saat kita berdua menghabiskan waktu bersama sehari penuh. Momen itu sangat indah. Sampai aku tidak mampu untuk melepasnya dari ingatanku.
Aku baru menyadari rupanya frame yang Redo berikan disertai dengan tulisan tangannya di belakangnya. Iya, aku hafal sekali tulisan tangan Redo. Manis sekali.
Tiba-tiba aku teringat, akan perkataan Redo sehari se- belumnya saat momen tersebut.
“Rin, nanti kalo aku udah ngga ada, jangan pernah anggap aku ngga ada ya,”
“Mungkin raga aku emang udah ga sama lagi. Tapi tidak dengan perasaan yang ada dalam ruh ini. Dia akan tetap utuh bagaimanapun juga.” Aku yang mendengarnya hanya tercenung.
“Suatu saat, kamu akan mengetahui kebenaran tentang kejelasan dari perasaan yang kusimpan selama ini.” Ia melanjutkan perkataan sebelumnya bahkan tanpa memberikanku ruang untuk memahaminya, hingga terlontar kembali ucapan setelahnya.
Tidak berapa lama bayang-bayang Redo memudar dari pikiranku. Ia pergi bersama dengan raganya. Dan sampai kapan pun sukmanya tidak akan pernah kembali lagi, meski sekadar mengisi kekosongan.
-Dan aku pada akhirnya jatuh kepadamu. Bagai beban yang terlempar jauh ke dasar samudera. Begitulah kiranya perasaanku. Sampai nanti saat kita bersua terakhir kali, perasaan ini akan tetap menyala. Dan tidak akan pernah pudar meski ragaku tak mengiringi langkahmu lagi.