
6 minute read
Sarah
Hamidun Nafi’ Syifauddin
Sarah masih duduk di sana. Di kursi tunggu seberang jalan. Tepat di depannyaruas jalan yang lain)seorang pria berdiri. Pria yang selalu melihat arah yang sama dengan Sarah. Sesekali sarah merapikan kerudungnya, sambil menoleh ke kanan, memastikan mobil yang menjemputnya telah sampai. Melihat ke arah yang sama, pria itu seakan berharap mobil yang ditunggu Sarah segera datang.
Advertisement
Hampir dua minggu sejak kepindahanku ke sini, banyak hal telah menyita perhatianku. Sarah dan pria di seberang jalan.Toko buku besar berdinding kaca. Udara sore yang selalu sejuk. Se- kumpulan capung di tepian sungai, Air sungai yang bening, Ikanikan kecil, serta para pejalan kaki yang ramah.
Sarah. Baru itu yang kutahu. Setiap hari duduk di kursi tu- nggu. Ia selalu di sana sebelum outlet sandwich milik abangku buka. Mulanya kukira hanya kebetulan melihatnya di sana. Namun, semakin hari, kesetiaannya pada tempat itu membuatku ingin tahu lebih.
Juga pria itu. Nanti kuberi tahu namanya. Umurnya sekitar 55 tahun. Senyum di wajahnya menyiratkan dia pria baik-baik, sejak muda bahkan sampai sekarang. Dia yang lebih dulu mengajakku berkenalan. Dia juga memberi tahu banyak hal yang belum ku- tahu. Tentang tempat ini, dan kota ini.
Tempat ini begitu tenang, namun tidak sepi. Hampir semua pengendara di jalan ini melajukan kendaraannya pelan. Di ujung
jalan sana ada belokan. Setelah berbelok orang-orang akan sedikit terkagum oleh gapura kuno dan jembatan. Lampu hias di ujung gapura umurnya sekitar seratus tahun. Tak pernah diganti meski lampunya sudah mati. Sudah ada lampu penerang jalan pe- ngganti. Dibuat sebagus mungkin dan diletakkan di sudut jalan lainnya.
Aspal jalannya sangat halus meski tak lebar. Tapi bukan sempitnya jalan yang menjadi alasan bagi para pengendara melaju pelan. Melainkan, sangat sayang melewatkan pemandangan ini begitu saja.
Dari kejauhan Sarah menatapku. Gerak bibir dan tangannya bisa kuartikan; roti tawar dua. Aku membalas dengan me- ngangkat jempol tangan kanan.
Kuseberangi jalan perlahan. Membawa tiga potong roti tawar dan satu botol kecil air mineral.
“Dua kan?”
“Iya dua, kok kamu bawa tiga?”
Sengaja kubawa tiga potong roti tawar. Dua untuk sarah, satu potong kuberikan pada ikan-ikan kecil di sungai. Aku mencari tempat duduk dekat Sarah, menghadap sungai. Mumpung ada abangku di outlet aku ingin sejenak di sini. Memberi makan ikanikan. Tentu saja itu hanya alasan untuk basa-basi.
“Tentang obrolan yang terpotong kemarin…”
“Sebentar!” Sarah memotong.
Ada panggilan masuk, “halo!”
Sarah berbicara dengan pria di telfon. Aku mencari tempat duduk lain. Menjauhi Sarah. Memberinya waktu mengobrol. Masih ada potongan roti tawar di tanganku. Kupotong kecil-kecil lalu menaburkannya ke sungai.
Selangkah demi selangkah kujauhi Sarah. Dia masih serius mengobrol. Semakin jauh kutinggalkannya. Hanya tinggal be- berapa langkah untuk menyeberangi jalan dan sampai ke outlet.
“Loh ke mana? Sini!” Sarah memanggil.
“Ikan yang di sini belum dapat makan,” jawabku.
1985
Sarah tumbuh dewasa dengan baik. Hidup dalam keluarga terhormat. Ayahnya tokoh agama sekaligus pemilik beberapa perusahaan. Tak ada yang sulit dalam hidupnya. Pun dalam urusan asmara, tak ada perjodohan dan paksaan dalam menentukan pa- sangan hidup.
Semua terserah Sarah, yang penting seiman. Itu yang dipesankan ayahnya sekali waktu.
Bagi Sarah, juga siapapun, hal itu sangat wajar. Bukan me- rupakan paksaan ataupun pembatasan. Hingga pada suatu hari keadaan membuatnya berbeda. Sarah jatuh hati pada Adam.
Ini bukan kali pertama sarah menaruh hati pada seorang le- laki, hanya saja, bagi Sarah, perasaannya kali ini sulit dimengerti.
Dari semua laki-laki yang ia jumpai, justru Adam satu-satu- nya pria yang tak tertarik padanya. Sementara yang lain berlomba menarik perhatian Sarah.
Kerap kali Sarah mencoba peruntungan dengan menanggapi salah satu dari mereka, namun tak satupun bisa mendapatkan tempat yang tepat di hatinya. Hingga Sarah dan Adam bertemu, berteman, dan berbagi cerita.
Dua tahun mereka lalui pertemanan itu tanpa tujuan apa pun. Tahun ke tiga, mereka mulai bergelut dengan tema pembicaraan yang selalu mereka simpulkan dengan kata tidak mungkin. Dan di tahun ke empat, mereka mulai memberanikan diri dan percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin.
1989
“Andaikan kita benar bisa bersama, siapa yang akan mengalah nantinya?” Adam melontarkan pertanyaan spekulasi.
“Asal ayah tak tahu, mungkin aku bisa ikut keyakinanmu.”
“Tetap saja ada mungkinnya kan?”
Sering kali Sarah tak bisa menyelesaikan perbincangan seperti ini. Bagi mereka saat ini, keyakinan memang pemisah yang tak bisa dipungkiri.
Sarah dan Adam tahu betul, mereka sama-sama berharap. Namun mereka sama-sama belum bisa pindah keyakinan. Karenanya, selama bertahun-tahun mereka tak pernah sungguh-
sungguh mengupayakan apapun untuk bersama. Meski dalam hati mereka selalu berharap keajaiban datang. Keajaiban dalam versi mereka masing-masing.
Keajaiban itu tak kunjung datang. Bahkan sampai tahun berikutnya. Adam tahu jika ini diteruskan, tak akan ada pe- nyelesaian.
“Mari kita putuskan, jika kau ikut denganku, kutunggu kau di rumahku mulai besok,” kata Adam tegas.
“Sebaliknya, jika kau ikut denganku, datanglah ke rumahku mulai besok,” Sarah menjawab.
Itu pertemuan terakhir mereka. Sebelum akhirnya mereka menunggu, menunggu, dan menunggu.
Beberapa waktu dari itu, Adam memutuskan untuk meninggalkan kota ini. meski demikian, di lubuk hati, mereka masih sa- ling menunggu. Atau mungkin sampai hari ini?
Crish meninggal di usia yang cukup tua. Setelah hidup ber- sama Sarah selama 30 Tahun. Sarah menikah dengan Crish setelah berdamai dengan kenyataan bahwa Adam tak akan pernah datang.
Bersama Crish, dia membangun keluarga kecil. Melahirkan sepasang anak laki-laki dan perempuan, Jacob dan Aura. Jacob sudah berkeluarga dan memiliki dua anak. Sementara Aura masih bergelut dengan skripsinya yang lumayan sulit.
Beberapa kali aku melihat Aura menemani Sarah duduk di kursi tunggu ini. Dia sibuk dengan laptop di depannya. Wajahnya mewarisi kecantikan Sarah. Dapat kusimpulkan betapa menarik- nya Sarah waktu muda.
Jacob dan Aura dididik dengan baik di keluarga itu. Sarah dan Crish berbagi peran dengan sangat baik. Kehidupan sehari-hari mereka tercukupi. Crish membangun usaha sendiri sebelum ak- hirnya Ayah Sarah memasrahkan perusahaannya kepada Crish. Meskipun awalnya dia menolak, namun dengan berbagai alasan, Ayah Sarah akhirnya berhasil membujuk Crish. Dan kini Jacob yang melanjutkan semuanya.
Waktu masih kecil, Aura sering menjuarai kompetisi. Melihat kemampuan anaknya di atas rata-rata, sempat terlintas di benak Sarah dan Crish untuk menjadikannya seorang dokter. Apa- lagi di keluarga mereka belum ada yang menjadi dokter. Hampir semuanya pengusaha.
Awalnya Aura mengikuti keinginan mereka. Namun setelah dewasa dan dipertimbangkan lagi, dia kurang nyaman dengan cita-cita itu. Aura ingi menjadi dosen. Sampai Crish sakit keras dan merasa waktu hidupnya tak lama lagi, dia menyampaikan ke Aura untuk menjadi apapun yang dia suka.
Dan hari ini, saat aku sedang duduk di samping sarah, Aura kembali menyusul. Dia mendatangi ibunya. Berjalan dengan langkahnya yang lembut namun penuh ketegasan. Aku bangkit dari tempat duduk.
“Lho mau ke mana?” Sarah bertanya.
“Kembali ke outlet,” jawabku. Sebenarnya hari ini jadwalku libur. Kebetulan tugas kuliahku sudah selesai, jadi sayang jika waktuku kuhabiskan sia-sia. Kuputuskan untuk ke outlet membantu Abangku.
“Bukannya di sana sudah ada Abangmu?” Sarah mencoba menahan.
Sarah sempat bercerita, sekian lama dia duduk di kursi ini, baru aku yang penasaran kepadanya. Dia merasa senang me- miliki teman ngobrol, dan berbagi cerita. Namun sekarang ada Aura, aku merasa canggung di dekatnya. Meskipun ternyata kami satu kampus, tetap saja aku tak memiliki cukup keberanian untuk akrab dengannya.
“Jacob belum datang Ma?” Aura bertanya sambil berjalan mendekat. Aku masih berdiri di depan Sarah.
“Belum,” jawab Sarah sambil mengangkat kedua bahunya.
“Sip, aku mau kelarin bab 4.” Aura mencari tempat duduk lain dan membuka laptopnya.
Aku kembali ke tempat dudukku. Di seberang jalan masih kulihat seorang pria berdiri santai. Sesekali dia menyapa orang lewat. Dia gerakkan kaki serta jemari tangannya seperti sedang meregangkan otot.
Aku kembali memperhatikan Sarah. Dari pakaian yang dia kenakan, sepertinya dia telah berpindah keyakinan. Tapi aku tak berani menanyakan itu ke Sarah. Aku memilih mencari jawaban atas rasa penasaranku yang lain.
“Selama puluhan tahun ini, anda masih menunggu?”
“Tidak.”
“Jadi di sini setiap hari, anda tidak sedang menunggu se- seorang?”
“Aku menunggu, tapi bukan menunggu seseorang, apalagi Adam.”
Setelah berkeluarga dengan Crish, Sarah sibuk mengurus rumah tangganya. Membesarkan kedua anaknya. Membantu Crish menjalankan bisnisnya. Dia masih mengingat Adam, namun de- ngan perasaan berbeda. Tidak ada perasaan untuknya. Namun setelah Crish meninggal dan anak-anaknya telah dewasa, tak ada lagi yang diurus Sarah, dia tiba-tiba kembali pada kebiasaan lama sebelum menikah―menunggu.
“Sulit dipercaya, Anda hanya menunggu tanpa tujuan?”
“Aku hanya menikmati tempat duduk ini. Entah kenapa me- rasa seperti menunggu seseorang, rasanya menyenangkan. Aku bisa mengingat masa laluku yang rumit. Dan aku menikmatinya.”
“Pertanyaan terakhir, anda kenal pria di seberang sana?”
“Tentu, itu Adam.”
Jepara, Mei 2021
