Teman Seperjalanan: KAMI KITA KAIROS (Spesial Lustrum II)

Page 1

Kami Kita Kairos 24 X Edisi 24 / Desember 2014-Februari 2015TS/X-Edisi / Tahun


KOMU

NITAS

Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II Keuskupan Agung Jakarta Jl. Cempaka Putih Timur XXV, no 7-8 Jakarta Pusat, 021-4203374. Email: Seminaritinggi_yohanespaulusii@yahoo.co.id

TS/X-Edisi 24


.DAFTAR ISI Daftar Isi.....1 Redaksional.....2 Teman Seperjalanan Baru.....4 Sambutan Mgr Ignatius Suharyo.....6

Spesial 10 Tahun Menjadi Teman Seperjalanan.....8 Mulailah (belajar) Menulis.....12 Kolegalitas dan Perhatian.....18 “Gambar Utuh”.....22 Bila Mau Bahagia Jadi Imam, Harus Punya Teman Seperjalanan.....27

Apa Kata Mereka.....33

Rem Tene, Verba Sequentur.....30

Melangkah Bersama D/dia.....51

“Teman Se (per)-jalan(an)” Punya Teman, Jalan dan Peran.....38 Media Massa Berubah: Perlu Cara Baru dalam Pewartaan Iman dan Panggilan.....43 Mau Dibawa ke Mana Majalah Teman Seperjalanan?.....47

Merayakan Kenangan 37

Kamu Adalah Teman Seperjalananku.....55 Perjalanan Sebongkah Cinta Agape.....58 Menjadi Seorang Guru Masyarakat.....60

TS/X-Edisi 24

1


REDAKSIONAL “Sahabat seperjalanan yang terkasih menonton film Interstellar?” Ya atau tidak, sekilas potret setting-nya akan kami cuplik. Seperti film apik itu, edisi spesial kali ini akan melintas batas dimensi waktu dulu, kini, dan nanti. Hanya saja, dari meditasi dalam aksi tim redaksi, kami merefleksikan kurun dua lustrum perjalanan majalah sebagai kairos. Kematian bungkam majalah mitra, kelahiran bayi Teman Seperjalanan, dan pertanyaan klasik tentang quo vadis akan dikupas habis dalam kerangka waktu penuh rahmat (Yunani: kairos) itu! Semakin istimewanya, disposisi ini kian relevan lantaran kami tempatkan dalam kerangka pembukaan tahun syukur Keuskupan Agung Jakarta! Syukur 10 tahun waktu penuh rahmat Majalah Teman Seperjalanan tidak hanya menjadi milik kami, melainkan kita (termasuk pembaca sekalian). Plotinos, pendiri Neo-platonisme (abad 3M) menyebut manusia sebagai “kami/kita”. Pun perkembangan dinamis yang terentang selama 1 dekade ini dialami oleh kita. Bahkan Gabriel Marcel mengungkap relasi aku-engkau bukan sebagai obyek, melainkan sebagai ‘kita’ yang bersatu dan saling melibatkan diri. Itulah makna judul: “Kami, Kita dan Kairos.” Dan dari refleksi atas 10 tahun penuh rahmat inilah kemudian kami menggariskan arah nahkoda perjalanan kemudian. Tujuannya satu: agar kita yang senantiasa hadir-di-dunia-bersama-orang-lain dalam waktu mampu menghargai masa lalu untuk merencanakan dan mewujudkan hari depan dengan penuh iman dan harapan. Ya, kita harus menjadi pembuat dan pelaku sejarah! Selamat ulang tahun yang ke-10 Majalah Teman Seperjalanan. Proficiat!###

REDAKSI Moderator: RD. Riki Maulana Baruwarsa; Pemimpin Umum: fr. Stefanus Tino D; Pemimpin Redaksi: fr. Salto Deodatus Manulang; Sekretaris & Sirkulasi: fr. Stevanus Harry Yudanto; Bendahara: fr. Octavianus Joko Prasetyo; Editor: fr. Marcellinus Vitus Dwiputra, fr. Reinardus Doddy Triatmaja; Layout: fr. Georgeus Mahendra Budi Prakoso, fr. Frederick Yolando; Anggota Redaksi: fr. Albertus Bondika Widyaputra, fr. Alberto Ernes; Publisher: Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, Keuskupan Agung Jakarta, Jl. Cempaka Putih Timur XXV, no 7-8 Jakarta Pusat, 021-4203374, Email: seminaritinggi_yohanespaulusii@yahoo.co.id

2

TS/X-Edisi 24


Panorama Seminari

TS/X-Edisi 24

3


Teman Seperjalanan Baru Jakob Oetama menyebut perubahan sebagai jati diri media (St. Sularto, 2011). Gebrakan perubahan majalah Teman Seperjalanan secara terang benderang telah kami paparkan secara simbolis di halaman depan! Logo yang sudah sejak 10 tahun lampau nyaris tidak tersentuh utak-atik itu kini telah kami perbarui. Dengan berani, redaksi telah menyanggupi usul perubahan logo yang sudah lama datang silih berganti menanti untuk dieksekusi. Sejalan dengan semangat Gereja yang senantiasa memperbarui diri (ecclesia semper reformanda), agenda transformasi pun akan senantiasa kami bawa dalam hati untuk terus-menerus berefleksi dan berinteraksi dengan perubahan zaman. Tentu saja perubahan ini kami tujukan agar logo majalah Teman Seperjalanan menjadi lebih modern, indah, dinamis, simple, eye catching, dan semakin menyingkap makna “teman seperjalanan�-nya sendiri. Logo ini dikreasikan oleh frater Seminari Tinggi Santo Yohanes Paulus II lewat proses sayembara. Terima kasih secara khusus tim redaksi haturkan kepada fr. Anderas Subekti yang berperan besar membuat logo. Ringkasnya, perayaan 10 tahun Majalah Teman Seperjalanan kami jadikan momentum untuk menggagas perubahan yang tak bisa lepas dari kreasi dan inovasi Majalah STKAJ. Proficiat sekali lagi dan selamat merayakan perubahan!###

4

TS/X-Edisi 24


Makna Logo Gambar dua orang: Kata “teman” menunjuk kepada pribadi yang lain di luar diri sendiri. Oleh karena itu, gambar dua orang ini melambangkan hubungan dua orang pribadi yang saling terkait. Pada akhirnya, gambar ini dapat menjelaskan kata “teman” yang menjadi nama majalah Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II.

Tangan yang berangkulan: Hubungan seperti apakah yang terjadi antara dua pribadi tersebut. Tangan yang saling berangkulan berarti hubungan yang terjadi adalah saling mendukung satu sama lain, saling membantu, dan saling menopang. Kata “saling” menandakan bahwa tidak ada pribadi yang lebih tinggi daripada yang lain. Berangkulan juga menunjukkan sebuah keakraban dan kehangatan yang berdasar pada cinta kasih Allah sendiri.

Tiga Jejak Kaki: Melambangkan Allah Tritunggal: Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Tidak dapat tidak perjalanan kita di dalam dunia adalah rahmat dan kasih Allah Bapa sendiri untuk berjalan bersama Putera-Nya dalam Roh Kudus.

Salib: Kemanakah kita akan melangkah? Tujuan kita pada akhirnya adalah kembali kepada Allah Tritunggal. Maka, gambar dua orang berangkulan yang ditopang oleh tiga jejak kaki yang mengarah kepada salib Kristus sendiri.

Warna Biru: Melambangkan bumi yang senantiasa menyadarkan kita bahwa kita adalah teman seperjalanan bagi seluruh makhluk yang ada di bumi ini, sesama, binatang, tumbuhan, dan alam semesta.

Warna Kuning: Melambangkan bahwa dalam setiap perjalanan di dunia, kita senantiasa dari hari ke hari dipanggil untuk kekudusan.

TS/X-Edisi 24

5


Sambutan MGR Ignatius Suharyo

Salam dalam damai Kristus, Pertama-tama, saya ingin mengucapkan Proficiat, Selamat atas Hari Ulang Tahun yang kesepuluh (Lustrum II) Majalah Teman Seperjalanan. Majalah ini dibuat dan dikelola dengan baik oleh para frater Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II-Keuskupan Agung Jakarta. Selanjutnya, bertepatan dengan tahun syukur, kita patut bersyukur karena di usianya yang masih muda ini, majalah Teman Seperjalanan dapat menjadi sarana kesaksian dan pewartaan iman. Lebih daripada itu, majalah ini juga merupakan salah satu wadah untuk memperkenalkan Seminari Tinggi “St. Yohanes Paulus II” KAJ sebagai tempat pendidikan para calon imam Diosesan Keuskupan Agung Jakarta kepada para pembaca, khususnya kaum muda. Peristiwa syukur ini menjadi kesempatan yang baik bagi komunitas Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II untuk bersyukur atas apa yang telah diupayakan dalam perkembangan majalah ini. Baik juga momen syukur ini dimanfaatkan untuk mengevaluasi dan merefleksikan perjalanan Majalah Teman Seperjalanan agar di tahun-tahun mendatang terus mampu membuahkan pernak-pernik rohani yang semakin inspiratif dan transformatif bagi siapa saja yang membaca majalah ini. Saya berharap majalah Teman Seperjalanan dapat menjadi “Teman Seperjalanan” dalam mewujudkan cita-cita umat beriman Keuskupan Agung Jakarta yang terus berusaha untuk “semakin memperdalam imannya akan Yesus Kristus, membangun persaudaraan sejati dan terlibat dalam pelayanan kasih di tengah masyarakat”. Dengan demikian, para frater semakin terlibat

6

TS/X-Edisi 24


dan selaras dengan gerak Keuskupan Agung Jakarta melalui Majalah Teman Seperjalanan ini. Usia majalah Teman Seperjalanan akan terus bertambah. Semoga dengan bertambahnya usia tulisan-tulisan yang termuat di dalamnya akan semakin inspiratif pula. Dalam perayaan Hari Ulang Tahun yang ke-10, Majalah Teman Seperjalanan membuat logo baru. Semoga logo baru ini semakin memberi semangat baru pula bagi para frater dalam menumbuhkan kecintaan menulis dan mengembangkan kualitas tulisan maupun desain yang semakin inspiratif, inovatif, dan kreatif. Akhir kata, semoga Tuhan selalu menyertai perjalanan Majalah Teman Seperjalanan sebagai media dan sarana komunikasi iman yang semakin kreatif dengan menimba semangat St. Yohanes Paulus II sebagai pelindung Seminari ini. ### Jakarta, 12 November 2014 + Ign. Suharyo Uskup Keuskupan Agung Jakarta

TS/X-Edisi 24

7


Spesial 10 Tahun

MENJADI TEMA SEPERJALANAN

RD Petrus Tunjung Kesuma

8

TS/X-Edisi 24


AN N

Majalah Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta, “Teman Seperjalanan� telah terbit selama 10 tahun. Hal itu tentu saja merupakan sesuatu yang menggembirakan bagi saya. Melalui majalah tersebut para frater dan juga para imam dapat menuangkan pemikiran, refleksi atau karya-karya lain mereka. Karena itu saya memandang bahwa majalah ini merupakan sarana bagi para frater dan juga staf seminari untuk berkreasi. Namun demikian, ada satu pertanyaan yang muncul sekilas ketika saya diminta untuk memberikan tulisan terkait dengan ulang tahun majalah ini, yakni sudahkah majalah ini sungguh menjadi teman seperjalanan bagi banyak orang sebagaimana nama yang tertera di dalam cover-nya?

Konsistensi Sudah lama saya berkarya di Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta. Saya memilah keberadaan saya di seminari menjadi dua periode yakni yang pertama dari tahun 19911996 dan periode kedua 2005 hingga saat ini. Di dalam kedua periode itu saya selalu mengusulkan agar seminari memiliki sebuah majalah sebagai wadah untuk menuangkan gagasan dan juga berkreasi. Tanggapan yang muncul dari para frater sangatlah positif. Namun, saya menemukan dua situasi berbeda dari periode saya berkarya di seminari tersebut. Dalam periode pertama kami selalu mengalami kesulitan dalam menerbitkan majalah, entah karena kekurangan naskah sehingga majalah tidak dapat terbit, entah karena para pelaksana penerbitan sedang sibuk sehingga akhirnya tertunda-tunda penerbitannya. Yang jelas dari periode yang pertama ini, penerbitan majalah seminari tidaklah dapat dikatakan berlangsung dengan baik. Majalah yang terbit terlambat dan akhirnya sering kali tidak terbit itulah yang menjadi masalah utama kami. Perlahan-lahan akhirnya majalah itu tidak terbit sama sekali.

TS/X-Edisi 24

9


Pada periode kedua karya saya di seminari ini keadaannya cukup berbeda. Jujur saja ketika dulu diusulkan lagi agar para frater menerbitkan majalah seminari, saya cukup ragu-ragu. Pengalaman saya dengan majalah-majalah seminari yang hanya berlangsung beberapa saat lantas hilang membuat saya bertanya apakah para pelaksananya mampu untuk bersikap konsisten menerbitkan majalah. Ternyata keraguan saya dikalahkan oleh apa yang telah diperjuangkan oleh para redaksi majalah Teman Seperjalanan. Mereka mampu bersikap konsisten untuk menerbitkan majalah dan kini telah mencapai tahun yang ke 10. Saya kira sikap konsisten itulah yang perlu diperhatikan apabila kita ingin menerbitkan majalah. Konsistensi itu kiranya hanya bisa terwujud apabila mendapat dukungan dari seluruh anggota komunitas yang dengan murah hati mengulurkan tangannya membantu para redaksi majalah dengan menulis artikel atau membantu mengedit majalah tersebut. Syukur kepada Allah, keterlibatan anggota komunitas cukup baik sehingga majalah dapat terbit dengan cukup baik.

Menjadi Teman Seperjalanan Sudahkah majalah ini menjadi teman seperjalanan? Ataukah majalah ini semata-mata menjadi wadah untuk berkreasi? Sekadar menjadi wadah untuk berkreasi tentu saja bukan hal yang buruk, tetapi bagi saya tidak cukup. Majalah ini hendaknya sungguh menjadi teman seperjalanan 10

TS/X-Edisi 24

baik bagi mereka yang belum dan ingin mengenal imam Keuskupan Agung Jakarta, mereka yang sedang mendalami panggilan menjadi imam KAJ dan juga mereka yang telah bergulat dalam keseharian tugas pelayanan di Keuskupan Agung Jakarta. Untuk yang pertama, kiranya majalah ini perlu juga memperkenalkan Keuskupan Agung Jakarta berserta arah dasarnya serta keprihatinankeprihatinannya. Bisa juga ditambahkan berbagai informasi terkait imam diosesan Jakarta dan proses pembinaannya. Informasi-informasi sederhana ini sangat dibutuhkan bagi banyak anak muda Jakarta yang sedang berusaha mencari informasi terkait dengan Keuskupan Agung Jakarta serta imam diosesan Jakarta. Perlu diketahui bahwa banyak sekali umat kita, termasuk kaum muda yang sedang menentukan panggilan hidupnya, yang tidak mendapat informasi yang jelas dan benar terkait dengan Keuskupan Agung Jakarta beserta imam diosesannya. Menjadi teman seperjalanan untuk kelompok kedua berarti majalah ini mempunyai kewajiban menyampaikan berbagai pengolahan terkait dengan makna menjadi imam diosesan Jakarta. Pencarian terus menerus dan semakin mendalam akan makna menjadi imam diosesan Jakarta yang dituangkan dalam tulisan-tulisan kiranya akan banyak membantu para calon imam yang sekarang sedang bergulat dengan panggilannya mengenal tujuan perjalanan panggilan mereka yang sesungguhnya. Pencarian itu kiranya baik dilakukan juga oleh


RD Tunjung memberikan kenang-kenangan kepada RD Suto setelah rekoleksi; 26-27 Oktober 2014 para calon imam Keuskupan Agung Jakarta sehingga mereka tidak hanya menunggu pengolahan dari pihak lain (staf atau imam senior). Hasil pencarian mereka yang dituangkan dalam tulisan-tulisan itulah yang akan menjadi sumbangan yang memperkaya pemahaman akan apa artinya menjadi seorang calon imam dan akhirnya menjadi imam diosesan Jakarta. Yang terakhir, kiranya majalah ini dapat menjadi teman seperjalanan bagi mereka yang telah bergulat dalam keseharian tugas perutusan. Caranya dengan merefleksikan secara mendalam tugas-tugas yang dilakukan oleh berbagai imam diosesan Jakarta. Sebagai imam diosesan, para imam ini menjalankan tugas-tugas yang begitu bervariasi sesuai dengan kebutuhan keuskupan. Tugas-tugas yang telah digeluti oleh para imam inilah yang kiranya dapat menjadi bahan refleksi yang akhirnya akan memperkaya mereka yang bergelut di dalam karya tersebut. Dengan cara ini, majalah ini

dapat menjadi teman seperjalanan bagi mereka.

Penutup Kiranya itulah sedikit masukan saya terkait cita-cita majalah ini untuk menjadi teman perjalanan bagi berbagai kelompok yang membutuhkan. Saya menyadari bahwa masih panjang jalan yang harus ditempuh majalah ini agar sungguh-sungguh dapat menjadi teman seperjalanan bagi mereka yang membutuhkan. Namun, saya percaya, berkat bantuan Allah dan juga kerja keras kita akan sampai pada tujuan majalah ini yakni sungguh menjadi teman seperjalanan. Akhir kata, saya mengucapkan “proficiatâ€? pada redaksi dan seluruh anggota komunitas Seminari Tinggi KAJ yang telah terlibat dalam setiap penerbitan majalah ini. Terima kasih atas kerja keras kalian selama ini‌. Jakarta 12 November 2014 Ketika flu melanda diri TS/X-Edisi 24

11


Spesial 10 Tahun

! s i l u n e lajar) M

e b ( h a l Mulai Syukur un h a t 0 1 s a at Majalah Teman n a n a l a j r e Sep tranto

g Adi Pu

an fr. Bamb

12

TS/X-Edisi 24


Belajar Menulis Jika ditanya mengenai manfaat apa yang didapat dari keterlibatan saya dalam menulis di majalah Teman Seperjalanan, jawabannya jelas yaitu saya diajak untuk ”belajar menulis”. Menulis atau membuat suatu artikel tidaklah mudah bagi saya. Sebenarnya saya lebih senang dengan kegiatankegiatan outdoor, bersifat praktis atau teknis, yang pasti tidak lama di belakang meja. Tidak pernah sekalipun terpikirkan bahwa saya akan banyak membuat paper-paper atau tulisantulisan, terutama berkaitan dengan tugas-tugas di STF Driyarkara, dan ditambah pula mendapat tugas untuk menulis di majalah Teman Seperjalanan. Saya bersyukur bahwa dengan hadirnya Teman Seperjalanan membuat saya mau untuk belajar menulis. Memang pada awalnya terpaksa tetapi saat ini saya sudah sedikit merasakan buah-buahnya. Belajar menulis bagi saya berarti belajar bagaimana mengungkapkan serta menuangkan gagasan-gagasan atau ide-ide yang ada di dalam kepala untuk kemudian ”diramu” menjadi sebuah tulisan yang utuh. Perkaranya adalah untuk menjadikan satu tulisan utuh tidaklah semudah itu, diperlukan suatu kemampuan yang memadai. Kemampuan tersebut tidak didapat

dalam semalam saja, tetapi dibutuhkan banyak latihan. Memang ada orang yang hebat dalam urusan tulis-menulis karena memiliki bakat dan minat, tetapi ada pula orang yang hebat dalam urusan tulis-menulis karena banyak berlatih. Rasul Paulus pernah menyerukan pentingnya konsistensi dalam latihan untuk menjadi sempurna: ”Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! (1 Kor 9:24)” begitu pula jika ingin mahir atau minimal dapat menulis dengan baik, kita perlu memiliki disiplin diri dalam latihan sehingga mampu mengembangkan kemampuan kita dalam urusan tulis-menulis. Seringkali kita terjebak dalam suatu pemahaman bahwa yang dapat menulis, khususnya dalam majalah Teman Seperjalanan, hanya yang ahli atau yang memiliki minat saja. Tetapi sesungguhnya tidak demikian, para frater mendapat ”giliran” untuk menulis, termasuk saya. Pada akhirnya saya semakin sadar bahwa menulis itu tidak harus menunggu sampai kita ”jago” dalam urusan tulis-menulis, tetapi bagaimana kita mau berlatih dan memulai menulis.

Pada akhirnya saya semakin sadar bahwa menulis itu tidak harus menunggu sampai kita ”jago”

TS/X-Edisi 24

13


Semangat Berbagi Menulis, dalam arti tertentu, juga berarti membagikan apa yang kita miliki kepada orang lain. Yang dapat diberikan kepada orang lain adalah tulisan-tulisan yang telah dibuat. Membagi sesuatu itu tidak perlu dari kelebihan yang kita miliki, justru dari segala keterbatasan itulah kita diajak untuk keluar dari situasi nyaman untuk mengembangkan diri kita. Seperti janda yang dari segala kekurangannya mau memberi banyak (Mrk 12:42-44). Perkaranya begitu sederhana yaitu: �Mau atau tidak kita memulainya� �Berbagi� menjadi tema sentral dalam APP tahun 2010, oleh karena itu dengan berbagi kita pun diajak untuk terlibat dalam gerakan Keuskupan Agung Jakarta. Sebagai calon imam dan imam Keuskupan Agung Jakarta kesadaran akan keterlibatan dalam gerakan keuskupan sudah menjadi bagian dalam diri kita masing-masing. Oleh karena itu, apa yang ditulis dalam majalah Teman Seperjalanan kiranya perlu diselaraskan dengan apa yang sedang digagas oleh keuskupan. Dan hingga saat ini saya merasa bahwa majalah Teman Seperjalanan hampir

di setiap edisinya telah turut terlibat. Keterlibatannya adalah melalui tematema yang disajikan dalam majalah. Tema-tema tersebut sudah tentu berkaitan dengan apa yang menjadi keprihatinan Keuskupan Agung Jakarta. Beberapa tahun terakhir telah disuguhkan kepada pembaca tematema tentang persaudaraan sejati, pelayanan kasih, permasalahan sosial (kemiskinan, lingkungan hidup dan intoleransi) sehingga siapapun yang membaca diharapkan mampu memperdalam imannya akan Yesus Kristus. Seperti dikatakan oleh Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi mengenai pentingnya kesaksian hidup sebagai jalan untuk mewartakan Injil Kabar Gembira kepada siapa saja. Dalam konteks ini kisah tentang kehidupan para frater, imam dan umat Allah lainnya, yang tertuang dalam tulisan-tulisan di majalah Teman Seperjalanan menjadi inspirasi bagi yang membacanya. Untuk itulah saya mengapresiasi teman-teman frater yang sudah menulis dan bekerja keras sebagai tim redaksi untuk menyuguhkan majalah yang sesuai dengan permasalahan di Keuskupan Agung Jakarta.

Tentu dalam kurun waktu 10 tahun, kadang kala Teman Seperjalanan hadir dengan banyak koreksi di sana-sini. Ada kalanya di berbagai aspek perlu dituntut perubahan atau paling tidak perlu ada evaluasi.

14

TS/X-Edisi 24


“Quo Vadis Politik Indonesia”; Diskusi Komunitas bersama Bpk. Bondan Gunawan; 19 November 2014.

Kesan dan Pesan Tentu dalam kurun waktu 10 tahun, kadang kala Teman Seperjalanan hadir dengan banyak koreksi di sana-sini. Ada kalanya di berbagai aspek perlu dituntut perubahan atau paling tidak perlu ada evaluasi. Hal ini sudah lumrah terjadi, mengingat kita selalu ingin memberikan yang terbaik bagi para pembaca majalah ini. Kesempatan ucap syukur atas usia yang ke-10 ini mungkin tepat bila dijadikan momentum untuk melihat kembali apa yang menjadi semangat awal berdirinya Teman Seperjalanan. Pertanyaan yang dapat diajukan bagi kita bersama adalah: ”Apakah Teman Seperjalanan dapat benar-benar menjadi ”teman seperjalanan”, baik itu para frater atau bahkan para pembaca majalah ini? Kesan apa yang hinggap dalam benak pembaca ketika membaca majalah Teman Seperjalanan?”

Kesan yang saya rasakan selama beberapa tahun belakangan ini adalah Teman Seperjalanan menjadi teman seperjalanan yang dapat memberikan inspirasi, insight, pencerahan serta membuka cakrawala kita, seperti Yesus yang telah menjadi teman seperjalanan bagi kedua murid dalam perjalanan ke Emaus (Luk 24: 13-33). Kehadiran Teman Seperjalanan, paling tidak bagi saya pribadi, merangsang saya untuk berani belajar menulis. Ketakutan yang saya prediksi sejak awal ternyata tidak saya alami. Saya memaknainya seperti ini, bahwa ketakutan akan keterbatasan justru hanya menjadi penghalang bagi kita untuk terus mau belajar. Kita tidak pernah tahu apakah tulisan kita sudah benar, sudah baik, atau sudah ”enak” dibaca ketika kita tidak memulai menulis. Saat ini bentuk dan tampilan dari majalah Teman Seperjalanan mengalami perubahan yang dilihat dari sisi TS/X-Edisi 24

15


”konsumen” sudah eye-catching dan handy. Tetapi jangan lupa untuk melihat isi atau konten dari majalah ini. Saya melihat bahwa majalah ini memang sudah menampilkan keterlibatan seminari tinggi dalam keprihatinan Keuskupan Agung Jakarta, yang tercantum dalam Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta 2011-2015. Namun perlu juga melihat aspek yang lain, yaitu majalah yang memiliki fungsi untuk mempromosikan panggilan hidup bakti. Jujur saja, salah satu yang menggerakkan saya untuk bergabung dengan korps Seminari Tinggi Yohanes Paulus II Keuskupan Agung Jakarta adalah majalah Teman Seperjalanan edisi pertama dan kedua. Yang saya ingat adalah kisah heroik dan refleksi dari seorang frater yang mendapat tugas perutusan probasi luar untuk pelayanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Kisah-kisah semacam itu sangat menggugah hati saya untuk terlibat dan bergabung dalam Seminari Tinggi. Oleh karenanya itu teman-teman redaksi serta kita semua dapat memikirkan kembali bagaimana kehadiran majalah Teman Seperjalanan selain ”menampilkan” keterlibatan dalam keprihatinan keuskupan tetapi juga mampu menjadi ”daya tarik” bagi para teman muda untuk bergabung dalam Seminari kita ini atau paling tidak mengenal seminari kita yang tercinta. Inilah sedikit kisah dan ucap syukur yang dapat saya bagikan untuk majalah Teman Seperjalanan yang telah menjadi ”Teman Seperjalanan” saya hingga saat ini.###

Penjelasan tahun syukur 2015 oleh RD Danto & RD Y. Subagyo. Jumat’an, 6 November 2014

16

TS/X-Edisi 24


TS/X-Edisi 24


Spesial 10 Tahun

Kolegialitas dan Perhatian Majalah Mitra dalam dinamika kehidupan imam diosesan Jakarta

Emile Briere, seorang imam dari Canada, dalam bukunya Priests Need Priests (Canada: 1992) menemukan suatu fenomena “gembala yang hilang dan tersesat�. Ia menggambarkan bahwa tidak sedikit imam yang sedang bergulat dengan kegelisahan nuraninya. Pada batas tertentu, sangatlah mungkin bagi imam tersebut untuk kehilangan semangatnya. Situasi ini semakin diperparah ketika realitas ini tersembunyi di antara pelayanan dan karya sehari-harinya. Hal serupa bukannya tidak mungkin untuk juga terjadi di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Tekanan pelayanan pastoral yang modern semakin banyak menyita waktu, pikiran, dan tenaga para imam. Belum lagi, idealisme semasa pembinaan terbentur dengan realitas pelayanan yang tidak mudah. Kadang kala, terjadi pula kesalahpahaman antara imam paroki yang sudah 18

TS/X-Edisi 24


berpengalaman dengan imam rekan yang dengan semangat tinggi hendak menghadirkan suatu pembaharuan. Tanpa disadari, sewaktu-waktu dapat ditemukan gembala yang hilang dan tersesat. Untuk mengatasi hal ini, Briere menawarkan suatu bentuk cinta persaudaraan yang bersifat adikodrati. Dari situ, dapat dihasilkan kekudusan, hidup sehat, bahkan ketenangan jiwa. Persaudaraan mampu menciptakan iklim sehat untuk perkembangan hidup di antara para imam. Di sinilah, ungkapan “imam membutuhkan imam” menjadi nyata. Di dalamnya, terdapat cinta, pengertian, dan rasa hormat yang mampu memanifestasikan dirinya secara kreatif. Hal tersebut telah terbukti ampuh melawan kegelapan yang dihadapi para imam. Sekaligus pula, semangat ini menjadi kekuatan yang paling tangguh untuk menciptakan kebaikan.

majalah Mitra untuk pertama kalinya terwujud sebagai suatu realitas nyata. Pada sampul depan, terpampang jelas tulisan “Majalah Intern Praja (baca: Imam Diosesan) Jakarta” sebagai tujuan dari majalah ini. Masih di lembar yang sama, dapat pula terlihat semboyan dari majalah ini, yaitu “bersama melayani sebagai saudara”. Pembacaan akan majalah ini akan dengan mudah memperlihatkan pancaran nuansa kolegialitas yang kental. Persaudaraan yang dibangun melalui majalah ini melampaui relasi antar imam semata. Para frater dan juga beberapa umat Gereja KAJ lainnya nampak pula dilibatkan di sini. Hal ini menunjukkan adanya suatu atmosfer pemecahan tantangan imam yang holistik sebagai satu korps Gereja KAJ.

Jangan Sampai Hilang dan Tersesat

Majalah ini menampilkan pula suatu bahan permenungan yang sangat relevan bagi para imam. Bahkan, kerap kali juga terkait langsung dengan kehidupan mereka. Tantangan aktual yang berkembang di ibu kota, seperti yang didalami pada edisi no. 3, Th II—April 2001, menjadi isu yang juga menarik untuk disimak. Pada edisi tersebut, dibahas pandangan akan posisi imamat: apakah sebagai panggilan atau profesi. Pada edisi lain, diangkat pula suatu refleksi pelayanan pastoral yang terjadi di Penas, Jakarta Timur. Dapat pula ditemukan, di edisi lainnya, suatu ajakan gerakan bersama untuk menjalankan pastoral kontekstual.

Hal semacam ini nampaknya sudah disadari oleh para Imam Diosesan KAJ di awal milenium ke-3. Pada tahun 2000,

Majalah ini merupakan sumber inspirasi bagi para imam. Artikelartikel yang terdapat di majalah

Melalui pengalaman Emile Briere, para imam dapat keluar dari kegelapannya karena semangat ini. Di dalam persaudaraan, imam mampu menemukan jalan keluar atas kesesatan yang dihadapinya. Bahkan secara adikodrati, kekudusan imam semakin terwujud dalam peningkatan relasinya dengan Sang Imam Agung dan Ratu Para Imam.

TS/X-Edisi 24

19


ini mampu mencerahkan budi dan hati para imam di tengah pergulatan hidupnya. Bahkan, apa yang dibahas pada majalah ini sangat berpotensi menjadi pemantik semangat bagi para imam dalam pelayanannya. Semua itu diarahkan agar para imam dapat menjadi Mitra bagi sesama rekan imamnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai definisi yang indah akan judul majalah ini, yaitu “teman, sahabat� sebagai sebuah gerakan ke dalam dan “rekan kerja� sebagai gerakan ke luar. Melalui hal ini, para imam diosesan KAJ sadar agar jangan sampai ada yang hilang dan tersesat di antara mereka. Transformasi Mitra Margawati von Eymeren, dalam tesisnya atas pemikiran Hubert Mashall McLuhan, mengatakan bahwa media adalah sebuah pesan. Hal ini disebabkan karena karakter media dapat mengontrol dan mempertajam asosiasi manusia. Pandangan ini bergema sangat keras ketika majalah Mitra mengalami masamasa awal penerbitannya. Media cetak pada zaman itu menjadi salah satu media yang efektif. Seiring dengan perkembangan teknologi informatika dan komunikasi, banyak hal yang mulai berubah. Informasi menjadi suatu hal yang seakan memiliki keharusan untuk cepat tersampaikan, bahkan secara terburu-buru. Hal ini mempengaruhi tempo kehidupan pada umumnya dan secara khusus, pelayanan para imam yang terus meningkat. Dalam situasi semacam ini, komitmen para imam untuk menjaga konsistensi penerbitan majalah Mitra mulai terkesan kurang realistis. Seiring pergerakan waktu, majalah ini masuk pada fase tidur yang panjang. Baru di kemudian hari, 20

TS/X-Edisi 24


Taman St. Yohanes Paulus II

majalah ini dimaknai sebagai embrio dari majalah Teman Seperjalanan yang sepenuhnya dikelola oleh para frater di Wisma Cempaka. Tenggelamnya majalah Mitra di tengah perkembangan zaman tidaklah menghilangkan semangat kemitraan di antara para imam. Seorang imam tetap membutuhkan imam yang lain. Hanya saja, kini dengan media komunikasi yang sudah semakin berkembang. Diskusi inspirasi khotbah melalui messenger group menjadi salah satu contoh yang nyata. Bahkan bentuk perhatian dan dukungan para imam yang paling faktual terjadi bagi (alm.) RD. Ferdinandus Kuswardianto melalui dunia maya hingga menghasilkan materi yang matang untuk dibukukan. Dalam kondisi apapun, semangat kolegialitas melalui pemberian perhatian yang tulus, tetap tidak bisa terlepas dari kehidupan para imam, secara khusus bagi para Imam Diosesan KAJ.### Albertus Bondika

Di dalam persaudaraan, imam mampu menemukan jalan keluar atas kesesatan yang dihadapinya.

TS/X-Edisi 24

21


Spesial 10 Tahun

“Gambar Utuh” Potongan Kertas yang Berserakan Sejarah Berdiri Majalah Teman Seperjalanan Sejarah tidaklah sempit. Baik dimensi ruang, waktu, maupun manusia sebagai subyek sejarahnya tidak pernah berdiri sendirian. Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menjadi catatan sejarah baku-akademik berdirinya majalah Teman Seperjalanan (selanjutnya disebut “TS”). Tulisan ini disusun dari kesaksian dan catatan pengalaman bersejarah teman-teman frater dan para imam yang pernah bergabung dengan tim redaksi-pendiri majalah TS. Mereka adalah: Romo Antonius Baur, Romo Albertus Yogo, Romo Rafael Kristianto, dan Romo Tunjung Kesuma. Kecuali itu, syukurlah kesaksian lisan para perintis pun akan turut dilengkapi dengan warisan berharga catatan abadi arsip kecil majalah. 22

TS/X-Edisi 24


Dengan demikian, boleh dikata tergenaplah satu pepatah latin yang mengatakan, “scripta manent verba volant” (artinya: tulisan tetap tinggal, perkataan akan berlalu). Dengan motivasi itu pulalah, catatan kecil sejarah berdirinya majalah Teman Seperjalanan ini ditulis. Anda akan melihat bahwa tulisan ini diisi dengan beragam catatan penuh makna lahirnya majalah Teman Seperjalanan, yang semoga takkan hilang ditelan waktu. Dengan kata lain, kami memang ingin belajar dari sejarah, sebagaimana Bung Karno pernah berkata, “Jangan sekalikali melupakan sejarah”.

Pada Mulanya... Ide untuk membentuk majalah rupanya berawal dari keprihatinan terkait keberadaan majalah dinding di seminari. Ternyata, mading itu jarang diisi. “Awalnya mading. Gak ada yang nulis, gak ada yang ngisi,” ungkap romo Rafael melalui telepon. Selain itu, disadari pula bahwa mading tidak bisa didokumentasikan sehingga mudah lenyap. Lantas, muncullah wacana, “Mengapa tidak dibuat media yang lebih serius untuk menjadi tempat

bagi para frater menulis?” ungkap romo Baur yang kala itu masih menjadi frater filosofan tingkat satu. Dari latar belakang ini, terwujudlah tunas pemikiran untuk mengemas keinginan menulis tersebut dengan konsep majalah Teman Seperjalanan. Sampai di sini, boleh disepakati bahwa motivasi dan tujuan asali didirikannya majalah TS adalah untuk menyediakan wadah bagi para frater latihan menulis. Nah, satu catatan pinggir mohon izin untuk mampir sebentar di sini: intensi untuk memperkenalkan seminari dan melakukan aksi panggilan lewat majalah baru muncul kemudian! Selanjutnya, coba perhatikan gubahan nada heran pertanyaan singkat namun padat dari romo Tunjung dalam suatu perbincangan dengan penulis berikut ini, “Kok enggak ada wadah untuk menulis?” Usai mendengarkan kesaksian yang dibagikan romo Tunjung terkait kiprahnya sebagai moderator pertama majalah, bersama dengan gairah antusiasme tingkat tinggi yang ditampakkannya saat bercerita, barulah saya lebih mengerti mengapa romo Baur sampai berkata seperti ini, “Romo Tunjung setiap rapat ikut. Itu

TS/X-Edisi 24

23


kan bentuk dukungan simbolis ya. Dia sangat apresiatif, perhatian.” Kemudian, setelah melalui rangkaian rapat-rapat membahas konsep majalah, segeralah dibentuk tim. Akan tetapi, praktis para perintis yang berjibaku menjadi lokomotif tim ini berkisar pada, “Fr. Eko dan fr. Baur sebagai editor dan fr. Rafael sebagai layouter-nya,” ungkap romo Rafael. Oh ya, satu catatan tambahan: “Waktu itu programnya masih memakai page maker (yang tentu saja menuntut ketekunan dan daya tahan tingkat tinggi-red), sampaisampai harus bekerja hingga larut malam.” Tidak lepas dari itu semua, untunglah pula bahwa “Fr. Baur dan fr. Eko pernah aktif terlibat di majalah Seminari Menengah Mertoyudan,” tambah romo Yogo. Kiranya di sini penulis patut memberi catatan apresiasi: respect layak kita berikan kepada orang-orang ini yang—pada masa-masa sulit itu—telah berjuang hingga tuntas sampai terbitlah majalah TS walaupun harus berhadapan dengan ragam tantangan dan kemandekan. Mereka telah mencatat sejarah dengan susah payah! Keadaan ini bisa dipahami. Sebuah organisasi yang baru lahir, seperti bayi, masih jatuh bangun untuk

dapat berdiri, berjalan, dan berlari. Simaklah kesaksian romo Baur berikut terkait tantangan awal majalah TS di periode kritis sebelum terbitnya edisi pertama TS pada pertengahan Februari 2006, “Tantangan di awal, timnya enggak jalan. Ternyata tidak seindah yang direncanakan. Volunteernya sedikit. Ada penulis yang bilang iya, malah enggak nyelesain. Makanya ada yang ngeback-up.” Saya pribadi tersenyum saat mencoba memahami problematika klasik ini. Masalah klise yang terus digulati tim redaksi adalah betapa kerasnya perjuangan untuk membangun komitmen! Konten majalah TS pada waktu itu adalah, “Kreasi para frater dalam bentuk tulisan, entah wawancara, refleksi, profil para frater, dan seterusnya,” kata romo Baur. Visinya memang, lanjutnya, “Belajar menulis, berefleksi, dan berbagi ilmu dari kampus.” Harapannya, “Supaya gagasan-gagasan yang direfleksikan para frater berguna juga bagi orang luar,” tambah romo Rafael. Inilah salah satu ketegangan. Dilema menghadang ketika tim ini dihadapkan pada pilihan untuk menggariskan orientasi majalah terbatas untuk pihak internal seminari saja atau melibatkan pihak luar. Pada mulanya, dapat dikatakan untuk kalangan dalam seminari saja, barulah

Nama Teman Seperjalanan dipilih supaya kita berjalan bersama umat seiman, tidak berjalan sendiri-sendiri sehingga dapat berefleksi bersama.

24

TS/X-Edisi 24


kemudian pihak luar diajak untuk terlibat menulis dan diliput pula.

Nama dan Logo Teman Seperjalanan Diskusi tentang nama berlangsung dalam rapat-rapat para pendiri. Seperti kata romo Yogo, “Nama majalah Teman Seperjalanan adalah hasil rapat bersama.” Romo Rafael memberi informasi tambahan bahwa pada waktu itu tersedia dua atau tiga nama, kendati tak dapat diangkat lagi secara pasti apa saja nama-nama yang dimaksud. Selain itu, kesaksian romo Tunjung berikut pun kiranya dapat memperkaya bagaimana jalannya diskursus tentang nama Teman Seperjalanan, “Ya, para frater dalam rapatnya menentukan nama Teman Seperjalanan. Meskipun saya kira nama itu terlalu panjang, apa yang diputuskan mereka di sini, saya ikut.” Penulis bersyukur, makna nama Teman Seperjalanan sebagaimana yang kita pahami sekarang ini masih berakar kuat pada maksud awal dicetuskannya pilihan ini. Romo Yogo menjabarkan, “Nama Teman Seperjalanan dipilih supaya kita berjalan bersama umat seiman, tidak berjalan sendiri-sendiri sehingga dapat berefleksi bersama.” Lalu, khazanah pencarian kita akan makna asali nama majalah ini dapat pula diperkaya dengan sudut pandang romo Rafael, yakni, “Supaya masing-masing frater dapat menjadi teman seperjalanan dalam sharing pengalaman iman dan pengalaman hidup untuk saling menguatkan.” Sementara nama tak bisa dirujuk pada sang pencetus pertama, pencipta logo TS/X-Edisi 24

25


dapat diarahkan langsung pada sang pemegang lisensi. “Logo dirancang romo Rafael,” kata romo Baur. Akan tetapi, sebelum bertanya pada sang kreator logo, mari simak terlebih dahulu kesaksian romo Baur berikut, “Logonya kayak (lambang-red) KB. Yang di tengah itu maksudnya romo. Lalu, kiri dan kanannya umat. Jadi, memang maknanya seperti keluarga.” Tidak berbeda jauh dari makna barusan, romo Rafael menjabarkan dengan penuh semangat akan arti logo yang dibuatnya, “Logo majalah membentuk kunci. Maksudnya, semoga kehadiran para frater menjadi kunci semangat untuk orang lain. Kemudian, nama Teman Seperjalanan dipilih juga supaya kita menjadi Teman Seperjalanan untuk orang muda. Lambangnya memang mirip KB, dalam arti romo menjadi teman seperjalanan umat guna menumbuhkembangkan iman mereka dan menjadi teladan. Teman Seperjalanan harus ada, pun dalam pergulatan!”

Penutup Itulah sepenggal kisah Majalah Teman Seperjalanan. Sepenggal karena penulis menyadari betul bahwa tulisan ini belum dapat mencakup seluruh cakupan historis proses berdirinya majalah Teman Seperjalanan. Tugas untuk menulis tentang sejarah, apalagi berdirinya suatu majalah memang tidak mudah. Penulis sendiri harus menghadapi dinding penghalang keterbatasan pengetahuan, pengalaman, waktu, dan kuota tulisan ini sendiri yang tentu saja menuntut ketegasan dalam menetapkan secara ketat skala prioritasnya. Selain itu, penulis juga mau memohon maaf kepada rekan-rekan yang tidak disebut namanya dalam catatan kecil tentang sejarah ini, juga bila ada kisah-kisah yang kiranya lebih signifikan membentuk pengalaman menyejarahnya Teman Seperjalanan. Memang sukar untuk mencatat secara cermat seluruh sejarah dalam kiprah pendirian majalah. Rasa-rasanya, “Dalam arti tertentu, menulis sejarah seperti menyusun potonganpotongan kertas yang berserakan untuk menjadi satu keutuhan gambaran keseluruhan pengalaman.” ### fr. Deodatus Manulang 26

TS/X-Edisi 24


Spesial 10 Tahun

Bila Mau Bahagia Jadi Imam, Harus Punya Teman Seperjalanan... RD. Yust Ardianto

Saya diminta menulis karena status saya sebagai Ketua Paguyuban Imam-Imam Diosesan KAJ (UNIO-KAJ). Dalam pedoman hidup dan karya Imam Diosesan KAJ, dinyatakan bahwa RELASI menjadi kata kunci yang sangat penting dalam menjalani hidup imamat. Para imam diharapkan memiliki relasi yang hangat, positif, terbuka dan penuh kasih dengan beberapa pihak: Bapak Uskup, Saudara Seimamat, Umat Allah yang dipercayakan kepadanya dan juga dengan sesama masyarakat di sekitarnya. Itulah yang menjadi teman seperjalanan para imam.

TS/X-Edisi 24

27


Tidak Semuanya Ideal Harus diakui bahwa tidak semua orang, baik awam, biarawan/wati dan imam, mampu berelasi secara ideal. Banyak imam yang menjauh dari Uskup dan tidak bisa bicara terbuka; banyak pastoran terasa seperti neraka karena antar anggota komunitas tidak bisa berkomunikasi dengan baik; banyak imam tidak bisa menjalin relasi yang sehat dengan umat dan terjebak pada relasi ‘terlalu dekat’ atau ‘terlalu jauh sehingga tidak bersahabat’; dan tidak semua imam punya kemampuan berhubungan sosial dengan tetangga kiri-kanan, termasuk dengan pak RT/RW dimana ia tinggal. Berangkat dari Pengalaman Berangkat dari suatu pengalaman ketika saya berangkat studi ke Manila. Saya bersyukur memiliki teman seperjalanan, yaitu Romo Sridanto. Bersama dia, kami angkat koper, ziarah, masak atau jajan bareng, belajar bahasa bersama, mencari DVD bajakan bersama, dan ajaibnya, kami lulus ujian thesis defense pada tanggal yang sama, walaupun kampus berbeda. Saya syukuri juga kebersamaan saya dengan Romo Samuel dan Romo Fe.

Kami merasakan bagaimana sakitnya jatuh di lumpur, berjalan kaki bersama menuju suatu tempat, kejar-kejaran dengan motor bersama dan duduk sharing pengalaman imamat berjamjam bersama. Bahaya Setelah Jadi Imam Salah satu bahaya yang kerap terjadi adalah setelah menjadi imam, relasi kita tidak bisa lagi seintens ketika kita masih hidup bersama sebagai calon imam. Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan: jarak tempat karya, kesibukan tugas-tugas yang semakin banyak seiring dengan kepercayaan yang diberikan kepada kita. Namun, ada satu hal lagi yang harus juga dicatat yaitu bahwa relasi kita dengan umat pun semakin meluas. Secara otomatis, pusat kebahagiaan kita pun bisa bergeser. Kalau kita tidak hati-hati, kita merasa tidak membutuhkan saudara sepanggilan, karena dalam arti tertentu hidup kita sudah ‘penuh’ oleh hal-hal lain atau oleh pribadi-pribadi lain. Kuncinya adalah Persaudaraan Imamat Perjalanan 13 tahun menjadi imam, membuat saya memiliki keyakinan bahwa persaudaraan imamat akan

Kalau kita tidak hati-hati, kita merasa tidak membutuhkan saudara sepanggilan, karena dalam arti tertentu hidup kita sudah ‘penuh’ oleh hal-hal lain atau oleh pribadi-pribadi lain.

28

TS/X-Edisi 24


menentukan banyak hal: kegembiraan hidup harian, produktivitas karya, pola relasi yang sehat dengan umat, dan akhirnya kelanggengan imamat kita. Bayangkan, kalau kita sudah tidak betah tinggal di pastoran dan mengalami ketegangan relasi dengan imam lain, biasanya efek samping negatif mulai bermunculan. Kalau mau tahu buktinya silahkan coba saja. Itu bagaikan neraka kecil dalam hidup ini, seperti layaknya suami-istri hidup satu rumah namun tidak lagi saling mencintai. Harapan Sederhana Harapan saya sebenarnya sangat sederhana. Semoga para frater sejak masa pendidikan, memiliki semangat persaudaraan, jauhkanlah suasana persaingan. Bila ada teman yang gagal atau lemah, tolonglah dan kuatkanlah dia. Sebaliknya di saat ia sedang berhasil, ikutlah bergembira bersamanya. Harapannya nanti setelah

jadi imam juga demikian. Karena kita suatu hari nanti akan hidup bersama dengan macam-macam model karakter imam. Jangan membuat Bapak Uskup ‘sakit kepala’ karena Romo A tidak cocok dengan Romo B, Romo C bertengkar dengan Romo D. ‘Bila rumah tangga kuat, maka kuatlah negara’ (pepatah Tiongkok), demikian juga bila ‘pastoran kuat’ maka kuatlah seluruh Gereja’. Selamat Ulang Tahun Majalah ‘Teman Seperjalanan’. Semoga semangat itu bukan hanya tertuang dalam judul majalah, namun terintegrasi secara nyata dalam kehidupan kita.### Salam dan doa saya RD. Yustinus Ardianto Ketua UNIO KAJ – Pastor Paroki Kalvari, Lubang Buaya

TS/X-Edisi 24

29


Spesial 10 Tahun

Rem Tene, Verba Sequentur!

RD Simon Petrus L. Tjahjadi

30

TS/X-Edisi 24


Profesi-profesi kondang sering dicirikan dengan sebuah alat yang dipegang atau dibawa oleh penyandang profesi itu. Tentara dengan senjatanya, dokter dengan stetoskopnya, wartawan dengan kameranya, musikus dengan salah satu instrumennya. Lalu dengan apa frater-frater KAJ yang tengah belajar filsafat-teologi bisa dicirikan? Ada banyak jawaban tentunya. Akan tetapi, salah satu jawaban yang kiranya cocok: dengan bolpoin dan lembaran kertas. Bayangkan, foto seorang frater berjubah tengah menengadah ke atas, tangan kanannya memegang bolpoin yang terpaut lembut pada lembaran kertas yang dipegang oleh tangannya yang lain! Foto semacam itu mau menyampaikan pesan, bahwa tulismenulis adalah kecakapan yang perlu dimiliki oleh frater Keuskupan Agung Jakarta(KAJ). Sebenarnya tak perlu persuasi ideal untuk menyatakan kecakapan menulis yang penting untuk dimiliki seorang frater. Menulis itu dapat menjadi sarana baginya untuk berkomunikasi dan mentransfer informasi atau pengetahuan. Akan tetapi, hal paling penting yang akan didapatkan oleh seorang mahasiswa filsafat-teologi dari menulis adalah, bahwa kegiatan ini akan mengasah kemampuan berpikirnya. Ya, siapa menulis dengan baik, ia setidaknya telah mengasah pikirannya dua kali. Pertama, ia akan mengasah pikirannya itu dengan mencoba memahami suatu hal atau perkaranya dengan tepat. Lantas–kedua, ia akan memikirkan bagaimana hal itu kini perlu diungkapkan dalam formulasi tertulisnya. Selain mengasah kemampuan berpikir, menulis pun bisa mempertajam perasaan kita. Hal ini terjadi pada saat kita memilih kata-kata yang tepat dan cocok untuk masing-masing hal yang mau kita ungkapkan. Kata yang satu dipakai, sementara kata yang lain dihindari. Pertimbangan mengenai “rasa kata� ini membuat kita sensibel terhadap gerak hati kita sendiri. Hal ini berlaku secara khusus untuk sebuah karya sastra yang ingin kita tulis. Hal lain yang juga bisa diperoleh dari kegiatan menulis adalah, bahwa menulis itu ternyata bisa juga membangun kehendak. Jika kita mau menulis tentang sesuatu, sebut saja tulisan tentang sejarah Wisma Cempaka, kita akan, misalnya, membuat periodisasi tentang wisma ini berdasarkan masa bakti para rektornya. Lalu kita terdorong untuk setia mengikuti alurnya hingga selesai. Kesabaran, kejelian, dan kesetiaan pada alur dibangun di dalam proses ini.

TS/X-Edisi 24

31


Lalu apa yang diperlukan sebelum proses menulis itu dimulai? Cato, seorang ahli hukum dan negarawan Romawi (234-194 SM) menjawab, “Rem tene, verba sequentur (Kuasailah perkaranya, lalu kata-kata akan mengalir dengan sendirinya!)” Maksud Cato, kita harus mengetahui dengan baik dan mendalam terlebih dahulu tema yang mau kita tuliskan. Baru jika seluk-beluk dari sesuatu itu sudah diketahui, akan lebih mudah bagi kita untuk kemudian membahasakannya. Dengan kata lain, barangsiapa ingin menulis tentang suatu tema dengan tepat, ia harus berpikir jernih dan sehat terlebih dahulu atas tema itu. Sikap ini merupakan prinsip dasar dan sumber dari kecakapan menulis, seperti juga dimaksudkan oleh pujangga Romawi, Horatius (65-8 SM) dengan perkataannya, “Scribendi recte sapere est et principium et fons.” Tulisan bermutu lahir dari pikiran yang jernih. Akhirnya, harus dikatakan, bahwa menulis itu memerlukan latihan. Tidak cukup kita hanya mengetahui “teori” menulis saja, melainkan harus sendiri melatihnya lagi dan lagi. Seperti halnya kemahiran dan kecakapan berenang dalam macammacam gaya (gaya bebas, gaya kupu-kupu, atau gaya punggung) yang hanya bisa dilakukan dengan berani menceburkan diri ke air dan melatihnya, demikian pun menulis. Kepiawaian dalam menulis (pilihan kata, diksi, gaya, dll.) hanya bisa dicapai oleh mereka yang berani menulis. Maka berhentilah membaca aneka “teori” tentang menulis, termasuk tulisan ini. Yang perlu dilakukan sekarang adalah “Beranilah menulis sendiri!” Kenikmatan dan buahbuah inspiratif dari kegiatan menulis akan kita nikmati pada waktunya.### 32

TS/X-Edisi 24


Kata Mereka Tentang Majalah Teman Seperjalanan RD. H. Sridanto Aribowo Ketua Komlit KAJ-Socius Puruhita Saya senang dengan keberadaan majalah Teman Seperjalanan. Dulu tahun 80-an majalah yang ada namanya Mitra. Kebetulan saya Pemimpin Redaksi selama tiga tahun. Namun ketika saya telah jadi imam majalah Mitra tenggelam perlahan-lahan. Syukurlah, ketika menjadi socius (artinya: teman) di Puruhita, saya gembira karena ada majalah baru di Seminari Tinggi St.Yohanes Paulus II, Jakarta: Teman Seperjalanan. Saya berharap majalah Teman Seperjalanan jangan berhenti berkarya. Jadikan ini sarana belajar menulis sekaligus belajar berpastoral para frater di media. Bravo majalah vade me cum (Teman Seperjalanan). Terus berkarya dan memberi sesuatu bagi umat KAJ.

Elisabeth Vita M. Dosen Bahasa Inggris Tahun Orientasi Rohani, Wisma Puruhita, Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II Saya suka menjadi bagian dari Komunitas Seminari Tinggi. Selama hampir 22 tahun saya tumbuh dan berkembang bersama para frater, romo, dan staf. Mereka semua menjadi teman saya selama ini. Tentang majalah seminari, saya senang membacanya. Isinya sangat bernas dan enak untuk dijadikan bahan bacaan yang menyejukkan.

Eko Hadi Purnomo Alumnus Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II-Pendiri Awal Majalah Teman Seperjalanan

Saya kembali teringat saat saya dan teman-teman angkatan saya menghidupkan kembali majalah Teman Seperjalanan yang sudah vakum dalam waktu yang lama. Saya gembira karena majalah ini masih bisa bertahan hingga usia 10 tahun

TS/X-Edisi 24

33


Yohanes Reza Arif Rahman Seminaris Wacana Bhakti Jakarta Majalah Teman Seperjalanan ini benar-benar menjadi teman seperjalanan bagi sesama orang terpanggil, dengan bobot refleksinya yang baik dan bahasa yang ringan. Majalah Teman Seperjalanan juga memberikan gambaran nyata situasi ibukota, terlebih di edisi “Kupeluk Dirimu Sahabat”. Selain itu, majalah memperkenalkan pula serba-serbi Calon Imam Diosesan KAJ. Pesan saya, sebagai seminaris ibukota, mungkin dapat dimasukkan rubrik-rubrik yang lebih segar dan hiburan tanpa menghilangkan nuansa gerejawinya.

Balsamus Pieter D. Seminaris St. Petrus Canisius Mertoyudan Majalah Teman Seperjalanan adalah majalah yang keren karena dapat mencerminkan sisi lain dari Jakarta. Pengetikan yang terkadang terburu-buru membuat beberapa kata atau kalimat yang sedikit ambigu. Harapan saya majalah ini bisa diberikan kepada semua seminaris KAJ dimanapun mereka berada, karena majalah ini dapat menimbulkan percikan api yang membuat para seminaris KAJ paham keadaan Jakarta dan tertantang untuk melayani Dia di Jakarta.

Fr. Joseph Biondi Mattovano

Frater Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, KAJ, Mahasiswa STF Diyarkara Semester 7 Ungkapan Teman Seperjalanan mengingatkan saya pada kisah antara Tobia (anak Tobit) dengan Rafael sebagai Teman Seperjalanan menuju ke Median. Sekalipun panggilan bersifat personal, namun dalam kenyataannya mereka yang terpanggil tetap membutuhkan kehadiran seorang sahabat atau teman yang meneguhkan. Sesuai dengan nama majalah ini, semoga lewat talenta menulisnya, para frater Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II KAJ semakin mampu memaknai sebuah persahabatan dalam panggilan. Dan semoga Majalah Teman Seperjalanan bisa menjadi “oase” tulisan rohani yang kaya nan “segar” bagi para pembacanya. Shukraan(Terima Kasih)

34

TS/X-Edisi 24


RP. Alb. Sadhyoko R, SJ (Mantan Direktur Tahun Orientasi Rohani Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, 2007-2014) Selamat untuk Teman Seperjalanan. Semoga makin inovatif, kreatif, inspiratif, dan promotif untuk panggilan, khususnya menjadi Imam Diosesan KAJ. Tentunya sharing para imam dan pembicara (umat) yang bervariasi akan memperkaya permenungan. Berjalan dan bekerja sama bersama umat beriman kita menanggapi panggilan Tuhan.

Yohanes Mega Hendarto, SJ

Skolastik Jesuit, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Semester 3

Saya sudah mengenal Teman Seperjalanan sejak mengenyam pendidikan di Seminari Menengah Wacana Bhakti hingga saat ini. Menurut saya, selain sebagai sarana untuk mengenal para calon Imam Diosesan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) secara lebih dekat, Teman Seperjalanan merupakan salah satu sarana promosi panggilan, secara khusus bagi anak-anak muda, agar kelak tertarik menjadi seorang imam diosesan. Bagi para frater diosesan, teruslah berkarya dan selamat melanjutkan karya yang indah ini!

Sr. M. Mariela, FSGM Mahasiswi STF Driyarkara Semester 3 Mengenal dan membaca Teman Seperjalanan benar-benar berbeda dengan ketika membaca majalah lain. Teman Seperjalanan adalah suatu bacaan yang hidup, berisi, dan sangat bermanfaat bagi semua pembacanya. Selamat ulang tahun Teman Seperjalanan! Tetaplah memberikan sinar dan kehidupan.

TS/X-Edisi 24

35


RD. Romanus Heri Santoso Pastor Unit Wisma Cempaka, Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, KAJ Menampilkan pergulatan dan refleksi kehidupan adalah kekuatan dalam Teman Seperjalanan. Untaian kata dalam balutan hati sang perenung membuat saya berdecak kagum nan tunduk syukur dalam renungan hati. Lanjutkan permenunganmu teman-teman dalam nada hidup ini. Allah akan mematangkan kita dan menaburkan benih dan buahnya bagi banyak orang. Selamat mensyukuri usiamu sebagai Teman Seperjalananku.

Margareta Rini Setyaningsih Kepala SMP St. Markus II, Pondok Gede Artikel dalam Teman Seperjalanan sangat inspiratif dan meneguhkan. Dapat menjadi teman seperjalanan yang sungguh menguatkan.

Aloysius Sinaga

Orang Muda Katolik(OMK) Paroki St. Nikodemus, Ciputat

Menurut saya, dengan adanya majalah Teman Seperjalanan ini, kaum muda menjadi sangat terinspirasi, khususnya tentang nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari setiap fenomena dan gejolak hidup yang ada dan termuat di majalah tersebut. Banyak kaum muda katolik dewasa ini yang cukup cuek dengan berbagai fenomena kemanusiaan yang ada di muka bumi ini, khususnya di Ibu kota tercinta. Terlebih lagi, saya jadi lebih mengenal banyak tokoh tokoh inspiratif dari berbagai kalangan, masyarakat, frater dan para romo.Semoga majalah ini dapat terus menjadi teman seperjalanan bagi semua orang, khususnya kaum muda Katolik di era yang sudah sangat modern ini dan mampu memberikan sajian-sajian yang jauh lebih inspiratif.

36

TS/X-Edisi 24


Merayakan Kenangan... RD Riki Maulana B.

Apa yang dikenangkan dalam Hari Ulang Tahun atau Anniversary? Jawabannya sangat mudah: momen pertama. Momen pertama dipahami sebagai ‘kelahiran’ entitas sebagai peristiwa ‘ke-jadi-an’. Semua yang terkait kelahiran, berdirinya sebuah perusahaan, pem-buatan majalah atau mass media lainnya, menjadi sesuatu yang biasa dikenang. Berbicara mengenai ‘kelahiran’ (sost.) atau ‘melahirkan’ (verb.), amat menarik mencermati keragaman kata yang digunakan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Tiga kata yang dapat disebutkan adalah: gínomai (menjadi/melahirkan) (Gal 4:4) ; tíktō (mengandung/ melahirkan) (Luk 2:6); gennaō (berasal dari/melahirkan) (Yoh 1:13). Ketiga kata ini digunakan oleh para pengarang KSPB ketika membicarakan kelahiran Yesus Kristus yang adalah Allah-yang-menjadimanusia. Para pengarang tidak hanya menyampaikan kabar bahwa seorang bayi telah lahir, tetapi juga mewartakan iman mereka bahwa Allah yang Maha Tinggi telah menjadi manusia lemah. Dengan demikian ‘lahir’ menjadi sangat dekat dengan ‘menjadi’. Seorang bayi yang lahir menunjukkan ungkapan kasih suami-istri yang telah menjadi. Perusahaan dan organisasi yang didirikan menunjukkan yang awalnya merupakan cita-cita akhirnya menjadi realitas yang

nampak. Begitu juga dengan tulisan. Tulisan menjadikan nyata sesuatu yang pada awalnya berupa kesadaran murni. Tulisan menjadikan sesuatu hadir dan tinggal tetap. Orang Romawi berkata: verba volant, scripta manent (kata-kata hilang, namun hal-hal yang tertulis tinggal tetap). Tulisan dengan demikian menjadikan ‘abadi’ sebuah tuturan. HUT atau pun Anniversary menjadi peristiwa di mana kesadaran dibawa pada kenyataan bahwa sesuatu itu tidak semata-mata ‘ada’, tetapi ada sejarah yang mengiringi keber-adaannya. HUT dan Anniversary menjadi momen perjuangan yang panjang dan melelahkan, sekaligus membahagiakan dan memperkembangkan. Inilah mengapa kenangan dirayakan. Karena, yang terlahir-ada mengungkapkan sekaligus perjuangan-menjadi. Ketika kenangan itu dicoret dari kehidupan, maka yang tersisa adalah kehampaan, situasi nir-tujuan. Para Bapa Gereja meyakini bahwa “Allah terlahir menjadi manusia, supaya manusia bisa menjadi seperti Allah”. Artinya, dialektika antara peristiwa hidup Yesus Kristus Putera Allah sendiri, yakni ‘kelahiran dan menjadi manusia’, memberikan roh yang mengarahkan manusia beriman kepada masa depannya. Merayakan kenangan berarti merayakan juga masa depan. ### TS/X-Edisi 24

37


Spesial 10 Tahun

“Teman Se (per)-jalan (an)� Punya Teman, Jalan dan Peran Penulis: RD. Jost Kokoh Prihatanto

38

TS/X-Edisi 24


Pada mulanya adalah perjalanan! Ya, sebuah perjalanan majalah seminari bernama Teman Seperjalanan hendaknya ditanya, “Mau dibawa ke jalan dan peran manakah pada usianya yang menginjak ke-10 di tahun bershio monyet ini? Mau tetap menikmati rutinitas “(per) jalan (an)”, yakni peran dan jalan yang sarat urusan? Mau tergerus membiarkan kematian peran di tengah jalan? Atau, mau terus menerus memikir-kembangkan semacam (per) jalan (an) “re-inkarnasi” peran dan jalan, seperti KOMPAS dengan “Lintas Generasi”nya atau Jokowi dengan “Kabinet Kerja”nya? Dimana Teman Seperjalanan berjalan dan berperan? Dulu, jelas dan tegas dikatakan bahwa aneka ria majalah rohani dianggap sebagai “Media Komunikasi Umat Beriman”. Begitulah kerap slogannya ditempel di sampul depannya. Hal ini tentu berguna bagi perjalanan iman umat. Ada artikel yang berisi aneka berita kegiatan gereja, kisah santo/a, percikan renungan rohani, profil tokoh, kesaksian iman, ulasan kitab suci, dsb. Kini, apakah juga jelas? Apabila melihat bahwa jalan komunikasi digital yang sedemikian pesat ini telah membuat di mana-mana ada “(per) jalan(an)-(per)jalan(an)” lain yang mungkin lebih menjadi teman se- “(per) jalan (an)”. Dengan jalan reproduksi dan penggandaan yang begitu cepat lagi luas, di setiap keuskupan kita memiliki banyak majalah rohani, demikian pula paroki, komisi, dan asrama seminari tentunya. Belum disebutkan lagi, jalan

pewartaan lewat peran citinet di aneka situs internet, channel televisi, kepingan VCD/DVD, siaran radio, dsbnya. Sungguh! Kita tidak harus jalan-jalan atau pergi ke Basilika St.Petrus untuk melihat misa Natal Paus di Vatikan, tapi cukup berjalan dan duduk di ruang rekreasi sembari melihat channel televisi swasta yang menyiarkannya. Kita bisa memutar DVD ‘History of Christianity’ (yang diseputaran Glodok hanya seharga 5000 perak) sambil tiduran di kamar dan memakan pop corn, ketika ingin tahu sejarah gereja secara utuh, penuh, dan menyeluruh. Kita gembira bisa mendapatkan kisah santo-santa, aneka peristiwa, atau isu gereja lokal-universal cukup dengan meng-klik salah satu situs internet. Sungguh, sebuah jalan yang dashyat bukan? Jelasnya, kita tidak hanya berjalan di era gombalisasi tapi di sebuah jalan bernama globalisasi. ”It’s not just internet, not merely ‘economic’”, tapi globalisasi itu sebuah jalan keterhubungan, “INTERCONNECTIVITY”, atau bahasanya Nokia ”..connecting people....” Bagaimana Teman Seperjalanan berjalan dan berperan? Apa boleh buat, pelbagai imbas dari jalan globalisasi seringkali terasa wajar, seperti udara yang kita hirup dan seperti balon raksasa yang cepat membesar dari waktu ke waktu, menggempur-tempur semua jalan dan ruang hidup kita sejak jalan raya sampai ke kamar paling pribadi. Mungkin bukan menggempur karena ia tak memaksa atau menindas, melainkan TS/X-Edisi 24

39


Misa Requiem RD Ferdinandus Kuswardianto tanggal 31 Oktober 2014

menyihir, menyegarkan, merayakan, dan menghidupkan. Tak cuma Pepsi Cola atau pelbagai produk rokok sekaliber Marlboro atau Djaroem, tapi lihat saja channel tv swasta kita yang penuh dengan telenovela dari yang sakral sampai yang vulgar, iklan sabun mandi, sinetron, tarian, dan musik dari Hollywood sampai Bollywood. Pertanyaan singkatnya, dalam era ‘global’ ini, ketika semua berita dan cerita tersedia gratis dalam pelayanan yang begitu singkat dan memikat, bagaimana nanti Teman Seperjalanan tetap bisa punya teman, jalan, dan peran? Orang Latin punya adagium yang joss dan kokoh untuk hal ini, “lex agendi-lex essendi (cara bertindak menyesuaikan dengan cara berada).” Jelas bahwa dalam dunia sekarang (global village), sebenarnya tak ada lagi penonton. Setiap orang telah menjadi anggota pelakon. Dalam “pesawat angkasa bumi” ini, tak ada lagi penumpang. Semua dari kita adalah kru. Karakter publik sekarang ini mengalami 40

TS/X-Edisi 24

pergeseran. Pembaca tidak lagi mau hanya sekedar menjadi penonton atau konsumen pasif. Mereka mau suara mereka sendiri juga didengar. Mereka mau pemikiran mereka sendiri juga dibaca oleh orang lain. Pendeknya, mereka “menuntut” berbagai macam kebutuhan untuk dipenuhi. Di dunia publik seperti inilah Teman Seperjalanan itu berjalan. Maka, Teman Seperjalanan perlu mengambil bentuk awal, yakni berakar (“dimensi mistik”) pada semangat pendiri ataupun pelindung (dalam hal ini karisma St.Yohanes Paulus II atau sejarah Keuskupan Agung Jakarta) sekaligus bersayap (“dimensi profetik”), yakni tanggap pada aneka jalan yang sedang berhembus”, on-going-aggiornamento (terus ber-hari kini dan di sini). Kemana Teman Seperjalanan berjalan dan berperan? Pastinya, merupakan sebuah kewajaran jika ditemui ada banyak jalan dan peran. Persis di sinilah Teman Seperjalanan mesti cerdas


dan bernas mencari dan menangkap jalan sekaligus perannya sebagai media ruang publik. Bicara soal ruang publik, Habermas dalam The Structural Transformation of the Publicsphere menegaskan bahwa masyarakat perlu ruang publik—jembatan penghubung kebutuhan personal dengan kehidupan sosial—dan ini jelas bisa diwujudkan lewat media. Maka, Teman Seperjalanan bisa sangat berjalan dalam ruang publik jika terus berjalan dan berperan menumbuh-kembangkan kesadaran bahwa isu yang ditampilkan tidak melulu berwarna ‘kandang sendiri’, tapi juga mengangkat isu dari aneka kearifan lokal, gereja universal, bahkan juga kearifan iman di luar wilayah gereja (cross-faith),“Panggilan kita adalah menjelajah dunia dan tinggal di manapun. Sekalipun kita bekerja di sebuah tempat yang paling tersudut di dunia, kita harus tetap membuka dan terbuka terhadap aneka perjuangan globa.” Jelasnya, Teman Seperjalanan hendaklah tak sepi iseng di kandang sendiri karena media komunikasi sejatinya adalah aktor utama dewasa ini dan mempunyai peran dan jalan yang amat besar dalam membangun

‘trust—kesaling-percayaan’ dengan ‘the others—yang lain’ (Yohanes Paulus II, 2003). Kemana Teman Seperjalanan berjalan dan berperan tentunya berangkat dari sebuah kesadaran dan keyakinan bahwa manusia adalah homo loquens, makhluk yang berkomunikasi. Teman Seperjalanan sebagai sebuah ruang komunikasi perlu menyadari bahwa aneka tulisan dalam tiap edisi tidak selalu berkaitan dengan pembentukan teori representasi apalagi formulasi dan definisi. Ia merupakan sebuah elemen diskursif dalam suatu wacana yang bersifat komunikatif serta tidak bertujuan untuk mencari keseragaman atau kesimpulan yang stabil lagi logosentris karena “komunikasi” sejatinya adalah communicare, yakni, “berbagi”. Mengacu pada bingkai historis, satu bidang di mana Gereja Katolik memiliki nama harum dan dianggap champion dalam sejarah pembentukan peradaban dunia, adalah sumbangannya dalam kerasulan intelektual. Nah, ratusan tahun lalu, Gereja lewat pusat riset/ perpustakaan/biara/sekolah dan universitasnya menjadi sumber inspirasi dan aspirasi pemikiran yang

Manusia adalah homo loquens, makhluk yang berkomunikasi.

TS/X-Edisi 24

41


memberikan sumbangan esensial bagi pembentukan kebudayaan dunia dalam hampir semua bidang ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang ini. Maka pada tahun-tahun kini, lewat kekuatan komunikasi, Teman Seperjalanan berpeluang turut memainkan peranan penting. Dengan asumsi “knowledge is power for good or evil”, Teman Seperjalanan diajak belajar menampilkan diri dalam posisi sebagai perwakilan wajah seminari yang “komunikatif”, yang mempunyai komitmen tulus dan terbuka terhadap dunia, seperti dialog iman Umberto Eco dengan Kardinal Martini atau diskursus Ratzinger dan Habermas. Ya, seminari lewat Teman Seperjalanan diajak berani berdialog secara komunikatif dengan mereka yang beriman maupun tidak, beragama maupun tidak, karena bukankah seminari seharusnya juga selalu “in permanent genesis”? Adalah tugas Teman Seperjalanan untuk merakit kembali segala bentuk pemisahan pemikiran keberimanan

dari wilayah publik, tanpa harus menjadi dangkal dan sloganistik. Bukankah sungguh sebuah niat baik dan patut dirayakan, jika kita berusaha mengembalikan lagi bahasa dan refleksi iman kita ke wilayah publik, tidak melulu sibuk di altar perjamuan, tapi juga sungguh hidup di tengah pasar kehidupan? Akhiruallam, bagi banyak orang (post) modern, ruang publik lebih dialami ketika berada dalam (per) jalan(an). Modernitas urban sangat tercermin di jalan, demikianlah menurut Walter Benjamin. Semoga saja Teman Seperjalanan bisa semakin menjadi teman seperjalanan yang mengasyikkan, yang hadir dan mengalir sebagai teman se-“(per) jalan (an), yang selalu “berteman, berperan, dan berjalan.” Demikianlah umpan telah dilempar ke air, adakah ikan akan terpancing, ataukah hanya sekedar gelombang kecil yang menyebar dari jatuhnya umpan itu?###

Seminari lewat Teman Seperjalanan diajak berani berdialog secara komunikatif dengan mereka yang beriman maupin tidak, beragama maupun tidak, karena bukankah seminari seharusnya juga selalu “in permanent genesis”.

42

TS/X-Edisi 24


Spesial 10 Tahun

Media Massa Berubah: Perlu Cara Baru dalam Pewartaan Iman dan Panggilan Mayong Suryo Laksono

Dunia jurnalistik dan media massa berubah drastis dalam satu-dua dekade belakangan. Media cyber dan jurnalisme online menguat, sementara media arus utama kekurangan pembaca. Perlu cara kerja baru untuk memanfaatkan media, termasuk dalam pewartaan iman dan panggilan. “Kini kita semua adalah pewarta,� tulis Scott Gant dalam We’re All Journalist Now (2007). Kemajuan perangkat komunikasi begitu pesat. Media sosial dilibati oleh hampir semua penduduk yang terjangkau sinyal telekomunikasi. Maka, berita tidak lagi merupakan produk institusi TS/X-Edisi 24

43


pembuat berita, melainkan juga dibuat oleh perseorangan. Ada citizen journalism, ada orang yang selalu mengunggah segala hal yang dia rasa perlu diketahui orang banyak. Itu adalah pekerjaan jurnalistik yang tidak dilakukan oleh pewarta. Tragedi AQJ alias Dul (ketika itu 13 tahun) yang ngebut hingga menerobos beton pemisah jalur tol Jagorawi dan menabrak mobil dari arah berlawanan, serta menewaskan enam orang penumpangnya itu, pertama kali dilaporkan melalui cuitan pengguna Twitter saat melintas di jalur yang sama pada dini hari, 8 September 2013. Tukang tambal ban cantik di Kabupaten Malang, Jawa Timur, yakni Nanik Fransiska, menjadi tenar di awal November 2014 gara-gara fotonya diunggah di Facebook oleh seseorang. Contoh kedahsyatan YouTube terhadap perubahan kehidupan seseorang tak perlu disanggah. Duet Sinta dan Jojo yang sekadar menyanyi lipsync lagu Keong Racun menjadi jauh lebih tenar daripada Lissa, penyanyi asli lagu itu. Juga nama Budi “Doremi” yang mula-mula mengunggah sendiri lagu ciptaannya itu – dan tak dinyana “meledak”. Belum lagi, Brigadir Satu Norman Kamaru yang saking tenarnya sejak mengunggah video dirinya menyanyikan lagu Chaiyya Chaiyya (aslinya dibawakan oleh Sukhwinder Singh, namun di film Dil Se, 1998, dibawakah oleh Shakhrukh Khan) hingga keluar dari Korps Brimob Polri demi mengejar cita-cita menjadi artis. Banyak lagi contoh lain. Semua diawali media sosial, kemudian bergulir menjadi perbincangan, dan diberitakan 44

TS/X-Edisi 24

oleh media arus utama, kadang berulang dan berkesinambungan. Media sosial tidak melalui perencanaan, peliputan, dan rangkaian pekerjaan redaksional. Jangankan foto yang langsung diunggah di Path, atau status di Facebook yang kadang berisi informasi tanpa perlu seleksi, tulisan para blogger pun tidak perlu penyunting, bahkan tidak perlu lembaga media. Ya, setiap media memang memiliki peran sesuai kapasitasnya. Media sosial, karena karakter dasarnya adalah socializing, mungkin saja mengabaikan akurasi. Yang penting cepat, fleksibel, asal orang lain tahu dulu (just to know first). Lain halnya dengan koran atau majalah, juga tabloid, karena bersifat lebih formal dan melalui pelbagai tahapan sebelum dicetak dan memiliki sifat informing – menjelaskan duduknya perkara. Sementara, radio karakter dasarnya adalah alerting, maka tepat diisi informasi lalu lintas atau banjir. Televisi, sebagaimana sebagian fungsinya dilakukan oleh media sosial YouTube, memiliki kekuatan dahsyat, melibatkan serta perasaan penonton (involving) – oleh karena itu banyak acara televisi, juga iklan, sering berujung pada protes masyarakat. Implikasi sosial, positif maupun negatif “Kalau semua orang bisa menjadi pewarta, profesi itu sedang menuju kematian,” sambung Gant dalam buku di atas. Sebuah konsekuensi logis meski kenyataan belum tentu seekstrem


itu. Kubu yang optimistis tetap menganggap bahwa keberadaan media massa (cetak) tak akan hilang meski jumlah tiras dan wilayah sebarannya mengecil. Pertanyaan mereka selalu, “Masak sih, orang bisa hidup tanpa koran atau majalah?� Sementara, kubu pesimistis memprediksikan bahwa media cetak akan hilang dalam hitungan tahun (Philip Meyer, The Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Information Age, 2006). Menguatnya media cyber juga membawa implikasi sosial. Jelas, karena setiap orang bisa menjadi pembuat berita dan setiap hal juga bisa diberitakan. Dunia makin terbuka, hampir tak ada lagi celah untuk berahasia (ingat Julian Assange dengan Wikileaks, ingat pula pembocor informasi Edward Snowden yang dimusuhi AS?). Di tingkat lokal, sudah banyak pejabat dan aparat pemerintah ditangkap oleh KPK setelah sebelumnya telepon mereka disadap atau aktivitas jahatnya dilaporkan oleh masyarakat. Karena setiap hal bisa diketahui orang lain dan ada kemungkinan diberitakan, maka setiap orang yang melakukan kesalahan atau pelanggaran menghadapi risiko yang cukup tinggi. Dampak pun bisa dirasakan hampir seketika. Apalagi, kalau berita diulangulang dan ditambah-tambahi. Dampak positif dirasakan oleh Norman Kamaru, sementara dampak negatif biasanya berujung bully seperti dialami Ahmad Dani yang terlanjur dianggap berjanji untuk memotong alat kelaminnya jika Joko Widodo menang dalam Pemilihan Presiden 2014.

Memperbanyak platform pewartaan Melihat perubahan media massa yang demikian dinamis, mau tidak mau kita juga harus menyesuaikan. Sebab, dinamika juga terjadi di luar dunia media, dalam banyak hal, antara lain tergambarkan sebagai implikasi sosial di atas. Dalam konteks pewartaan iman dan penyebaran panggilan, kita tidak lagi bisa mengandalkan cara dan metode lama yang hanya memanfaatkan media arus utama. Harus dicari metode lain yang sesuai dengan perubahan zaman. Platform tunggal seperti majalah, koran, atau produk komunikasi bentuk standar lainnya harus dikembangkan menjadi banyak platform. Maka, saya sangat menghargai para rohaniwan yang rajin menulis renungan harian dan menyebarkannya melalui surat elektronik atau pesan pendek di telepon. Romo Nugroho Agung di Yogyakarta dan Romo Aloys Budi Purnomo di Semarang adalah dua orang di antaranya. Ada kesadaran bahwa media sudah berubah. Ada pula pemahaman bahwa pembaca pun sudah berubah. Barangkali, media komunikasi di paroki tidak lagi banyak dinikmati akibat isinya yang kurang menarik, kurang membawa kepentingan dan menyuarakan aspirasi umat, dan jumlah pembaca lembaran kertas pun berkurang – kalah oleh pembaca melalui layar telepon atau tablet. Dalam pewartaan dan penyebaran panggilan, media memang penting. Tapi karena media berubah, mutlak TS/X-Edisi 24

45


diperlukan kemampuan tambahan dari setiap pewarta untuk mengikuti perubahan itu, serta mencari alternatif di luar media arus utama. Kini, saatnya eksis (kata anak muda sekarang) dengan pewartaan iman di Twitter, Facebook, Line, Path, Blog, media online, dsb. Pembacanya lebih mudah diakses, tanpa batas, selalu update, tidak mau ketinggalan informasi, dan kebanyakan anak-anak muda. Masyarakat berubah karena habit medianya berubah, sementara kebutuhan akan warta iman terus ada dan harus terus dijaga. Maka, cara dan media pun harus menyesuaikan dengan perubahan itu. Dalam soal warta iman dan panggilan pun, kesimpulan Marshall McLuhan, bahwa media itu sendiri yang menjadi pesan, “The Medium is the Message� (Understanding the Media: The Extensions of Man, 1964), tetap relevan. Ketika orang akan menyebarkan warta, dia tidak bisa hanya memperhatikan isinya dan mengabaikan media yang akan digunakan untuk itu. Betapa pentingnya media dalam penyampaian pesan. Dia bisa menyatu dengan apa yang diwartakannya, bahkan dialah pesan pewartaan itu. The medium is the message.###

Rekoleksi bulan-an bersama RP Pras, SDB; 22-23 November 2014

46

TS/X-Edisi 24


Spesial 10 Tahun

Mau Dibawa ke Mana Majalah Teman Seperjalanan? Penulis: fr. Salto Deodatus Manulang - Tingkat II

Sejarah tidak dapat diubah. Yang dapat diubah adalah masa kini dan masa depan. Sedikit banyak tulisan tentang “Mau Dibawa ke Mana (Quo Vadis) Majalah Teman Seperjalanan ini akan memakai kaca mata evaluasi dan refleksi sebagai cara pandangnya terhadap masa lalu dan masa depan. Seperti yang dikatakan Guru Besar Sejarah Gereja pada STF Driyarkara, Prof. Dr. Eddy Kristiyanto, OFM, “Mempelajari sejarah harus sampai pada penemuan nilainilai yang berguna, bermanfaat, dan melayani kehidupan (serves life) sekarang.” Redaksi, bersama hati yang penuh syukur, akan berefleksi guna memperbaiki diri terus-menerus dan

menciptakan hari esok yang lebih baik. Penulis yakin bahwa kekinian mesti ditatapkan pada masa depan yang jelas. Mengapa? Sebab keterarahan pada masa depan yang jelas mendorong manusia untuk bertindak sebaikbaiknya. Fitrahnya: Menulis Sangat positif jika kita melihat kembali, mengevaluasi, dan merefleksikan hidup yang pernah ada, kemudian membuka lembaran baru dengan taktis dan strategis. Merenangi “samudra” sejarah berdirinya Majalah Teman Seperjalanan (selanjutnya disebut TS) menyadarkan penulis TS/X-Edisi 24

47


akan fitrah sejati motivasi didirikannya majalah ini: menulis! Untuk itu majalah TS harus terus bersedia menjadi wadah bagi para frater Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta (STKAJ) untuk berlatih menulis. Supaya dengan demikian, keberadaan majalah ini sungguh berarti bagi formasi para frater karena salah satu momen dimana seseorang merasa akrab sekali dengan diri sendiri yang asli adalah ketika menulis. Lewat menulis, seseorang berkaca dengan diri sendiri, berlatih untuk berpikir runut, mengenali perasaan, berdiskresi untuk memilih kata, dan sebagainya. Semoga majalah TS setia menemani para frater STKAJ dalam perjalanan untuk makin cinta menulis. Lantas, tulisan macam apa yang dimuat di majalah TS? Untuk mengetahui karakteristik yang hendak diupayakan tentu tak boleh dilupakan tujuan dibuatnya tulisan di sini. Secara garis besar setidaknya ada tiga bidikan tujuan penulisan majalah TS. Pertama, menjadi sarana kesaksian dan pewartaan iman; Kedua, untuk memperkenalkan Seminari Tinggi Yohanes Paulus II (STYP II), warnawarni hidup para calon imam KAJ, dan tentunya para calon imam KAJ sendiri yang tak boleh ditafikkan!; Ketiga, untuk melibatkan seminari secara konkret (dalam hal ini lewat majalah) dengan gerak Gereja Keuskupan Agung Jakarta. Dengan kesadaran demikian, para redaktur majalah TS patut menumbuhkembangkan dalam dirinya motivasi untuk melahirkan tulisan yang inspiratif dan transformatif. Tentu saja 48

TS/X-Edisi 24

salah satu harapannya, agar para frater maupun imam KAJ terbantu untuk merefleksikan terus-menerus—dalam pencarian kita bersama—makna yang semakin mendalam tentang apa itu dan bagaimana menjadi imam KAJ. Setali tiga uang, semoga pula, tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat menghadirkan kesaksian yang meluruskan gambaran banyak orang tentang siapa imam diosesan Jakarta sekaligus menjadi branding yang tepat dan bermanfaat, khususnya bagi kaum muda yang sedang menimbangnimbang panggilan hidup mereka. Itu berarti, penekanan kuat untuk guratan para wartawan majalah Teman Seperjalanan ditaruh pada kemampuan mereka untuk berefleksi, pada kecakapan untuk mencari makna di dalam fakta. Begitulah kiranya kita patut belajar menghadirkan semangat memaknai, yang oleh Jakob Utama disebut sebagai, “jurnalisme makna�. Kreatif dan Inovatif Orang bijak arif mengintip ke belakang, lalu menatap ke depan. Sejarah memang membentuk manusia, namun manusia juga membentuk sejarah. Manusia, dengan kesadaran dan kebebasannya mampu mengubah cara hidupnya sebagai wujud tanggungjawabnya terhadap masa depan. Lebih jelasnya, perubahan dilakukan manusia melalui penyadaran yang diperolehnya dari refleksi terhadap masa lalu dan masa mendatang. Oleh karena itu, penulis menyadari betul bahwa nilai-nilai TS perlu didialogkan terus-menerus dengan realitas yang berkembang.


Salah satu perintis majalah ini, RD Rafael berpesan, “Tim redaksi sekarang semangat. Semoga bisa menuangkan ide-ide, gagasan-gagasan yang baru supaya makin eksis.” Kata “baru” yang dikatakan di situ bagi penulis berbunyi keras sekali di hati. Apalagi pesannya mengatakan bahwa pembaruan menentukan kelanjutan eksistensi. Oleh karena itu di sini penulis akan menekankan pentingnya perubahan dan pembaharuan dalam majalah TS. Satu hal yang pasti tentang perubahan: ia cukup pasti dipelopori oleh pribadi yang punya kualitas kreatif dan inovatif. Penulis bersyukur, pembaruan sudah pernah terjadi dan patut diapresiasi untuk kemudian dilanjutkan. Bila sahabat-sahabat seperjalanan peka memperhatikan, “wajah” baru majalah ini mulai unjuk gigi sejak tiga edisi lalu (“Asyiknya jadi Formator”, “Jakarta Punya Cerita”, dan “Sosok”). Pembaruan dilakukan

dengan meredesain kemasan dan cara penyajian. Hasilnya, majalah Teman Seperjalanan menjadi lebih kecil, berwarna, enak dipandang, segar, banyak gambar, dan seterusnya. Redesign dan resizing ini sungguhsungguh menjadi titik tolak orientasi “wajah” majalah TS. Sambil berjaga-jaga dari godaan untuk berpuas diri, kita syukuri perkembangan itu, dan meneruskan terobosan baru. Penulis hanya mau menekankan bahwa konten, cara penyajian, dan bahasa majalah TS perlu tampil semakin lincah, segar, muda, dan populer jika sungguh-sungguh mau memperkenalkan panggilan menjadi Imam Keuskupan Agung Jakarta kepada kaum muda,. Suatu pembaharuan pun tidak semestinya berhenti pada kemasan dan cara penyajian, melainkan juga pada isi yang tetap mendalam dan

Mengenal Gereja induk tanggal 23 Oktober 2014

TS/X-Edisi 24

49


berbobot, serta cara dan gaya menulis yang mengasyikkan. Namun saya sadar betul bahwa upaya pengembangan itu tidak boleh menghilangkan jati diri majalah TS sebagai majalah STKAJ! Majalah TS, berbeda dengan mediamedia informasi dan komunikasi pada umumnya yang punya beragam nuansa, tetap berkanjang dengan identitas serta kekhasannya yang jelas juga tegas, yakni: refleksi atas hidup panggilan calon imam maupun imam diosesan Keuskupan Agung Jakarta. Menjadi Teman Seperjalanan Di Dunia Maya? Satu paragraf terakhir ini hanya nangkring sebagai catatan kecil tambahan untuk menyongsong masa depan. Picasco pernah menyatakan, “Kalau orang lain terbiasa melihat apa yang ada lalu bertanya kenapa, saya melihat apa yang mungkin ada dan berpikir, ‘kenapa tidak?” Sebagai

calon imam KAJ saya sadar betul betapa canggihnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di ibu kota dan sekitarnya. Untuk itu, satu pertanyaan boleh diajukan untuk menggugat keresahan bersama, “Kapan majalah TS mengudara di dunia maya? Dan dalam bentuk apa?” Di era media elektronik dimana pertukaran informasi terjadi dengan cepat, informasi melimpah dan berkesinambungan. Tulisan singkat tentang mau dibawa ke mana majalah TS ini memang tidak hendak menjawaban pertanyaan di atas. Makanya pertimbangan rasionalobyektifnya juga tidak dibeberkan. Namun, izinkan Einstein mampir sebentar untuk mengagetkan kesadaran kita berkaitan dengan hal ini, “Penemuan-penemuan saya tidak pernah diperoleh lewat proses berpikir rasional.”###

Rekoleksi Bersama RD Suto tanggal 26-27 Oktober 2014

50

TS/X-Edisi 24


Sharing Pastoral

Melangkah Bersama D/dia Penulis: fr. Andreas Subekti

Balkesmas RS. Carolus

“Ya, benar sekali, seingatku dari bangku kapel RS Sint. Carolus itulah rasa kepedihan semakin terasa kuat. Ya, tanpa kuragukan lagi, hari Minggu itu, hari Minggu setelah aku menonton drama musikal POSITIF, hari Minggu saat aku bertemu Sr. Sisil CB untuk pertama kalinya�. Dari sanalah, titik awal perjalananku dalam pelayanan di Unit Pelayanan Carlo, RS Sint Carolus. Sebuah unit pelayanan bagi mereka yang terinfeksi virus HIV.

Merobek Kelambu Kekaburan Saya ingat betul saat pertama kali membuka pintu ruang Carlo, ingat karena semua mata memandang ke arahku. Tatapan mata yang penuh kecurigaan, tatapan yang bernuansa negatif, seakan semua orang yang masuk ke ruangan ini begitu rendah. Dengan suasana seperti itu, aku duduk sembari menunggu Sr. Sisil CB yang sedang memberikan konsultasi kepada pasien. Saat itulah, kusadari kalau aku TS/X-Edisi 24

51


selalu melihat ke arah pintu masuk, mencermati siapa saja yang masuk ke ruang Carlo. Kusadari pula bahwa aku melihat dengan penuh kecurigaan, tatapanku negatif, seakan semua orang yang masuk ke ruangan ini begitu rendah. Pandangan orang lain yang kurasakan pada saat membuka pintu ternyata menjadi pandanganku terhadap orang lain yang masuk ke ruang Carlo. Memang, itulah yang terjadi, seorang yang masuk ke ruang Carlo selalu dipandang negatif. Padahal, ruangan ini sama seperti ruanganruangan pelayanan kesehatan RS Sint. Carolus yang lainnya. Apa yang membuatnya selalu dipandang negatif, selalu dipandang rendah? Jawabannya jelas, Sebab, mereka yang masuk adalah mereka yang terinfeksi virus HIV atau berpotensi memiliki virus itu. Kalau boleh membandingkan, sebenarnya virus HIV itu tidak jauh berbeda dengan virus-virus penyakit lainnya. Kebanyakan dari kita, termasuk juga saya pada awalnya, memandang mereka yang terinfeksi virus HIV itu sebagai seorang yang rendah, seorang yang hina. Pandangan negatif muncul bukan karena virus HIV itu sendiri melainkan karena kita memiliki stigma sosial yang negatif pada proses penularan virus HIV. Penularan virus HIV melalui hubungan seks beresiko dan penggunaan jarum suntik bergantian adalah pandangan yang negatif di mata masyarakat kita. Stigma negatif itulah yang terkadang membatasi kita, mengaburkan pandangan kita, membuat kita berada di dalam kelambu negatif. 52

TS/X-Edisi 24

Satu-satunya cara untuk keluar dari pandangan itu adalah dengan merobek kelambu itu. Saya memberanikan diri untuk merobek kelambu itu dengan prinsip dari Santo Paulus yang ia berikan kepada jemaat di Korintus. Prinsipnya jelas, “jangan mengukur orang lain dengan ukuran manusia, melainkan gunakan ukuran Kristus sendiri.� (bdk. 2 Korintus 5:16). Dengan ukuran manusia, saya dengan mudah memandang rendah pasien Carlo, namun menurut ukuran Kristus, semua orang memiliki martabat yang sama, Jadi, mengapa saya harus membedabedakan? Mengapa saya memandang rendah mereka? Bukankah itu semakin menambah penderitaan mereka? Mencari Sumber Air Ruang unit pelayanan Carlo tidaklah besar, hanya terdapat beberapa kursi tunggu, tiga ruang konsultasi, dan satu laboratorium. Akan tetapi, di ruangan yang kecil ini, kurang lebih empat puluh sampai lima puluh pasien hilir mudik setiap harinya, entah itu pasien lama yang ingin mengambil obat HIV ataupun pasien baru yang ingin tes virus HIV. Saya sendiri hanya pada setiap hari Sabtu membantu pelayanan pastoral di unit Carlo. Pasien HIV yang datang ke unit pelayanan Carlo begitu beragam, mulai dari pasangan suami istri, pekerja seks, pelaku seks bebas, mantan pemakai narkoba sampai pasangan homoseksual. Kelompok terakhirlah yang banyak datang ke pelayanan Carlo karena mereka merasa diterima dengan lebih baik. Dari semua pasien yang datang, memang para kaum


homosekslah yang paling menderita. Mereka terbebani dengan dua penderitaan. Penderitaan pertama karena mereka terinfeksi virus HIV, sedangkan penderitaan kedua karena mereka disingkirkan oleh masyarakat. Maka, sudah dapat dipastikan bahwa mereka yang datang ke ruang Carlo telah membawa beban berat di pundaknya masing-masing. Namun, satu hal yang harus kita hargai dari mereka semua adalah keberanian yang besar untuk datang. Untuk mengikuti tes HIV bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang. Ada ketakutan-ketakutan yang muncul. Belum tentu, juga anda yang membaca tulisan ini berani untuk melakukan tes HIV. Konsekuensinya sangat tidak mudah karena cap negatifnya begitu mengerikan. Stigma sosial menjadi ancaman yang menakutkan. Keberanian yang dimiliki para pasien itu tentu juga diikuti dengan beban yang sangat berat. Beban yang berat itu janganlah kita tambahkan lagi dengan beban-beban yang lain, maka Unit Carlo berusaha semaksimal mungkin untuk membantu dan melayani mereka. Pelayanan itu diinspirasikan dari pengalaman perempuan Samaria yang bertemu Yesus di sumur Yakub. Perempuan Samaria datang saat hari sudah siang karena ia merasa malu, minder, dan merasa rendah. Perempuan itu datang siang supaya tidak dilihat orang banyak. Sama seperti para pasien HIV, mereka datang tanpa ingin dilihat, tanpa ingin dipandang, karena pandangan itu hanya menambah beban mereka. Perempuan Samaria meminta agar Yesus memberikan air hidup yang membuat orang tidak haus lagi. Barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya.(Bdk. Yohanes 4:10-14)

TS/X-Edisi 24

53


Unit pelayanan Carlo juga berusaha untuk memberikan air hidup itu. Harapan, perhatian dan penerimaan yang diberikan kepada para pasien hendaknya menjadi sumber air hidup bagi mereka, sumber air yang mampu memberikan semangat masa depan. Pasien yang sudah datang dengan penuh keberanian mengajak saya pula untuk membagikan kegembiraan, sukacita, penerimaan, serta rasa hangat yang dapat menyegarkan mereka. Menjadi Teman Seperjalanan Mengubah mereka? Siapakah diri saya ini sehingga dapat mengubah

mereka? Menerima, menemani, serta memberikan semangat dan perhatian kepada para pasien HIV menjadi sarana untuk membantu mereka. Para dokter, suster, konselor, volunteer telah menjadi teman seperjalanan mereka seumur hidup. Namun, masa depan tetap berada di tangan para pasien. Kehadiran saya, sebagai seorang calon imam KAJ, di sana hanyalah sebagai seorang yang mau melangkah bersama, bergumul menatap masa depan, menyusun kembali bejana yang telah hancur dalam terang kasih Allah, karena ada harta dari Allah di dalam bejana itu (Korintus 4:7), karena ada domba yang hilang dan harus ditemukan (Lukas 15:4).

Menerima, menemani, serta memberikan semangat dan perhatian kepada para pasien HIV menjadi sarana untuk membantu mereka. Jumat-an pertama bersama RD Subagyo tanggal 7 November 2014

54

TS/X-Edisi 24


Pojok Filsafat

Kamu adalah Teman Seperjalananku

Penulis: fr. Albertus Monang

“Teman Seperjalanan” merupakan nama majalah yang selama ini menjadi kebanggaan Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta. Majalah Teman Seperjalanan menjadi sebuah wadah untuk menuangkan ide (khususnya bagi para frater KAJ) ke dalam bentuk tulisan. Pada tahun ini, Majalah Teman Seperjalanan merayakan lustrum kedua. Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta mengambil kata “teman” -menurut penulis- ingin menyatakan bahwa siapa saja yang terlibat dan menjalin relasi dengan seminari merupakan seorang teman bagi seminari. Kadang kala, kata “teman” disamakan dengan kata “sahabat”. Akan tetapi, menurut penulis, “teman” memiliki makna yang universal. Siapapun bisa menjadi teman, namun menjadi sahabat, bagi penulis, ialah sebuah relasi yang cukup dekat (eksklusif ). Kata “seperjalanan” (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) dapat diartikan sebagai satu perjalanan bersama dan memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu, Teman Seperjalanan bagi seminari bermakna berjalan bersama-sama menuju Allah. Berjalan dengan “Teman Seperjalanan” akan terasa ringan

karena relasi ini akan saling membantu. Bandingkan, jika dalam perjalanan ternyata relasi ini merugikan satu sama lain karena tidak adanya rasa saling percaya antarteman. Hal tersebut akan membentuk relasi bersama yang kurang nyaman. Lantas, bagaimana kita sebagai manusia bisa menjalin relasi yang baik dengan sesama (teman seperjalanan)? Pada tulisan kali ini, penulis merefleksikan tentang manusia di hadapan manusia atau relasi manusia dengan sesamanya. Sadar atau tidak, manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia selalu terlibat bersama dengan orang lain. Pergumulan ini nyata dalam dunia keluarga, komunitas, kerja, dan lain sebagainya. Ilmu Filsafat mengatakan bahwa manusia “ada” dan selalu “ada bersama”. Penerimaan diri manusia terhadap dirinya sendiri tak pelak bahwa ia pun juga harus menerima orang lain sebagai bagian dalam dirinya. Sikap manusia terhadap dirinya ternyata juga menjadi sebuah tanggung jawab bagi dirinya untuk menjalin relasi dengan sesamanya. Pertanyaan kedua dalam tulisan ini ialah “bagaimana manusia menempatkan dirinya di hadapan TS/X-Edisi 24

55


sesamanya?� Martin Buber dalam pemikirannya menyatakan adanya struktur dialogal dan antarpersonal manusia. Martin Buber dengan jelas menolak hubungan manusia dalam satu dimensi, yakni hubungan dengan benda (Ich-Es atau I-It). Buber menegaskan bahwa relasi manusia ialah Ich-Du atau I-Thou, AkuAnda. Hubungan I-It digambarkan oleh Buber seperti hubungan antara tuan-budak. Hubungan antara manusia dan benda didominasi oleh kehendak menguasai dunia sehingga jelas ada yang timpang dalam hubungan relasi ini. Dalam pemahaman yang pertama ini, penulis memberi contoh seperti hubungan Nobita dengan Doraemon. Kadang kala, yang terjadi Nobita hanya memanfaatkan alat-alat canggih Doraemon untuk kepentingan dirinya sendiri. Sedangkan, dalam relasi yang kedua, Hubungan Aku-Anda (I-Thou) berbeda dari manusia dengan benda. Hubungan Aku-Anda mendahului semua hubungan lain yang dicirikan dengan sifat langsung hadir, tanpa konsep, dan tanpa fantasi. Oleh karena itu, bagi Buber dalam hubungan Aku-Anda tak pernah ada hubungan penguasaan Aku

terhadap Anda atau sebaliknya. Buber menambahkan dalam perjumpaan antara Aku dan Anda tak pernah diawali dengan konflik. Hubungan antara kedua kutub tersebut merupakan hubungan timbal balik yang sempurna. Oleh karena itu, dalam pertemuan ini manusia secara otentilk menjadi Aku dan yang lain secara otentik menjadi Anda. Hubungan Aku dan Anda membentuk adanya ruang interpersonal. Dapat diakatakan dalam tesisnya, Martin Buber menegaskan Anda tak pernah menjadi objek. Dalam hubungan ini, sebenarnya Buber ingin menekankan makna sesama sebagai sesama subjek bukanlah objek yang menjadi suatu alat yang dapat digunakan secara sembarang. Dari hal ini, bisa dikatakan bahwa ada prinsip kesamaan dalam manusia memandang sesamanya. Dalam relasi teman seperjalanan dibutuhkan rasa saling menghargai satu sama lain. Seperti yang dikemukan oleh Buber bahwa relasi yang baik adalah relasi I-Thou. Oleh karena itu, dalam teman seperjalanan tentunya aku sebagai subjek mampu menghargai temanku yang berjalan

bagi Buber dalam hubungan Aku-Anda tak pernah ada hubungan penguasaan Aku terhadap Anda atau sebaliknya.

56

TS/X-Edisi 24


bersamaku saat ini. Akan tetapi, dalam kebersamaan menjalin relasi dengan sesama kadang kala kita juga akan menemukan kesulitan. Hal tersebut melemahkan relasi kita dengan teman kita. Faktor umumnya ialah keegoisan manusia yang hanya mau melakukan kehendaknya sendiri. Dengan keadaan ini, makna pertemanan menjadi rapuh dan pada akhirnya merusak tujuan bersama sebagai teman seperjalanan. Hal ini sama seperti yang Buber katakan bahwa hubungan relasi menjadi hubungan I-It. Filsuf Gabriel Marcel mengatakan bahwa filsafat bertolak dari situasi konkret. Pertama-tama, bagi Marcel, manusia adalah Ada yang menjelma. Dalam keterjelmaannya di dalam dunia, manusia tentu akan berhadapan dengan Ada yang lain (sesamanya manusia). Gabriel Marcel menambahkan relasi dengan manusia ialah aspek yang diperlukan untuk eksistensi manusia. Akan tetapi, karena kelemahan manusia seringkali hubungan yang fundamental (sesama subjek) merosot menjadi hubungan subjek dan objek. Kadang, hal ini terjadi seiring dengan teknologi modern yang bermunculan. Manusia telah diperbudak oleh mesin dan teknologi sehingga dari hal ini relasi antarmanusia pun terpengaruh menjadi relasi antarmanusia dengan mesin. Bukan lagi sebuah relasi antarmanusia yang benar yaitu subjek-subjek. Manusia dan hubungan antarmanusia harus didekati sebagai misteri. Relasi intersubjektif, relasi AkuAnda adalah fakta pertama yang terjadi dan merupakan kecenderungan umat

manusia dalam menjalin relasi dengan sesama. Bagi Marcel, pengalaman tersebut termanifestasi didasari oleh cinta. Dalam relasi teman seperjalanan meskipun memiliki keterbatasan dalam diri manusia, seperti yang dikatakan oleh Marcel, kita mendasari relasi kita dengan sesama dari pengalaman cinta. Paus Benediktus XVI, dalam ensikliknya, menyatakan bahwa Allah adalah cinta (Deus Caritas Est). Oleh karena itu, meneruskan pernyataan Gabriel Marcel, sebagai teman seperjalanan tentunya merupakan sebuah relasi pengalaman cinta yang mendasari hubungan satu sama lain. Dasar cinta itu selayaknya merupakan kasih Allah. Dalam perayaan lustrum kedua majalah Teman Seperjalanan ini, alangkah indah jika kita bersamasama semakin mendalami makna relasi sebagai teman seperjalanan menuju kasih Allah dan bersumber dari pengalaman cinta Allah.### Sumber Bacaan Sastrapratedja,M. Filsafat Manusia I. Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila. 2010. Seran, Alex. “Manusia Di Hadapan Manusia.� WIDYA, Februari 1989.

TS/X-Edisi 24

57


Sudut Sastra

Perjalanan S Cinta-A Ia mau berlalu dan tak akan datang lagi Ingin mengejawantahkan tulusnya hidup Yang sudah digariskan oleh ibu pertiwi Seakan cahaya terkesiap untuk bisa menjalaninya Dalam terang tuntunan kuasa surga Sobat, lihatlah samudra luas yang menyilaukan akal budimu Lihat itu derasnya gelombang nan hijau merayu menyambutmu Seolah tiada insan yang mampu memberinya pelita peluh Hendak mendekapmu, memelukmu untuk bisa bersamamu nan lama Nyanyian suara hati yang pernah engkau dengungkan Akan kamu bagikan kepada mereka yang memberimu kekuatan Keresahan hati yang jauh tak terarah oleh titah Memaksamu bergelora untuk leburkan semangatmu Sobat, ingat disudut hati setiap jantungmu yang baru Itulah deskrispsi realitas cinta yang Dia beri untuk kita Teruskan nyanyian suara hatimu untuk mereka Karena Dia hanya memberi satu hati untuk semua Teman... Masih teringat saat aku dipangkuan ibuku Kasih sayangnya tiada terjemahkan oleh kerasnya hidup Sebutir-sebutir demi sebutir mereka kumpulkan Untuk membesarkan dan merawat aku Semua telah berlalu Akupun menjadi lelaki yang tak lekang oleh kerasnya cobaan hidup Mengais setiap siksa batin yang kerap aku temui tetapi aku harus jalani Entah ini... pilihan bebas atau aku sengaja terperosok di dalamnya

60 58

TS/X-Edisi 24


Sebongkah Agape Tetapi ketika aku terjaga dalam tidurku yang panjang Tangan itu erat menahanku agar aku tidak terantuk pada sebongkah batu Dan Dia menuntunku ketika gelombang dahsyat menerpa jalan yang aku pilih ini. Teman, titah yang Dia beri untuk kita Adalah titah suci untuk dilafalkan dalam ladang nan terbentang ini Kita jadikan satu nafas dalam rengkuhan kasih-Nya Sobat ada darah yang singgah di jantung ini Yang rasanya tak terperikan Entah darimana desakan raga ini berawal Tetapi... aku sekarang menyadari... Semua dari Dia yang memberi nafas dalam hidupku Kenanglah itu sobat bahwa ada jantung-jantung lain di sekiling kita Butuh kasih sayang, butuh pelukan ketika aku terjatuh Butuh teman ketika aku terpukau oleh panah asmara Diam... itu tidak mungkin Aku butuh teman, saudara agar aku tidak menjadi gila dengan segala sumpah serapah ini Dengar sobat... engkau tahu... burung-burung di angkasa raya ikan-ikan di samudra luas, harimau singa masing-masing tak menanam tetapi semunya terhampar luas untuk tuaian mereka. Apalagi dari kita ini, anak-anak muda Yang jantungnya diciptakan dari tiap tetesan darah yang dibuat-Nya Sobat... datanglah padaku ketika engkau terjatuh. Dan sambutlah aku saat tubuh ini lunglai menahan beban hidup. Dan mari kita tunjukkan pada dunia. Kita satu keluaga untuk mereka.### Penulis: fr. Patrick Slamet W. - Tingkat III

TS/X-Edisi 24

59


Sosok Inspiratif

Penulis: fr. Linus & fr. Reja - Hasil wawancara dengan Bp. Sularto

Menjadi Seorang Guru Masyarakat

60

TS/X-Edisi 24


Berbicara mengenai dunia kewartawanan di Indonesia, sosok inspiratif ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari belantika perkembangan media cetak di Indonesia. Sepak terjangnya menjalani karir di Kompas, membuktikan keahlian dan kompetensinya dalam bidang tulismenulis yang sarat akan pengalaman. Segudang pengalaman dalam menulis, membuatnya menemukan panggilan dalam berkarya melalui tulisan. Sumbangsih pemikirannya melalui berbagai tulisan yang dibuatnya merupakan karya berharga dalam panggilannya untuk menjadi seorang wartawan. Menjadi seorang wartawan berarti juga menjadi seorang guru masyarakat. Panggilan hidup menjadi seorang guru masyarakat merupakan sarana yang dipilih olehnya dalam berbuat sesuatu bagi orang lain. Pada tulisan ini, kami--redaksi Teman Seperjalanan--akan menyajikan sekelumit pengalaman menarik dan juga kesannya dalam dunia media yang diiringidengan perkembangan teknologi saat ini.

Berawal dari Majalah Dinding Wakil Pemimpin Umum harian Kompas ini mengakui bahwa ketertarikannya dalam dunia tulismenulis bermula dari pengalamannya menulis di majalah dinding serta Majalah Hidup melalui kelompok Paulus ketika masih menjadi seminaris di Seminari Menengah Mertoyudan. Pengalaman bergabung dalam kelompokPaulus, secara khusus, menumbuhkan niatnya dalam menulis.

Dalam kelompok Paulus, ia dan temantemannya mengalihbahasakan beritaberita mancanegara yang berbahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia dan mengirimkannya ke majalah Hidup. Honor dari menulis di Hidup membuat ia dan teman-temannya yang lain sering diajak jalan-jalan oleh romo pamongnya. “Romo pamong sering mengajak kami jalan-jalan yang biayanya berasal dari honor menulis kami,� kenangnya. Kesenangannya menulis semakin berkembang. Tidak tanggungtanggung, HarianKompas, Praba, majalah Hidup, Mawas Diri, dan Kedaulatan Rakyat menjadi beberapa contoh sasaran pengiriman tulisannya. Banyak tulisannya pun kemudian dimuat disana. Bahkan, pada tahun 1976, ia sempat mendapatkan honor sebesar Rp. 15.000,00 yang pada masa itu termasuk honor dengan kategori tertinggi. Saking seringnya menulis dan mengirimkan tulisannya, majalah Hidup mengenal dan mengategorikannya sebagai “seorang penulis Katolik� dan memberikan sebuah kesempatan pelatihan jurnalistik di Pacet. Dalam kesempatan inilah, ia kemudian berkenalan dengan Bpk. Marcell, seorang wartawan Kompas yang mengajaknya untuk bergabung denganKompas. Menjalani panggilan hidup Tidak terasa 37 tahun sudah St. Sularto menjalani profesinya sebagai seorang wartawan. Berbagai posisi dalam jabatan struktural pun pernah ia rasakan. Penyuka topik kemanusiaan dalam menulis ini melihat bahwa TS/X-Edisi 24

61


pekerjaannya selama ini penuh dengan kesukaan dan kebahagiaan. “Mungkin ini karena saya menjalaninya sebagai sebuah panggilan hidup saya,� ujar St. Sularto. Dengan menjalaninya sebagai panggilan hidup, pekerjaan menjadi lebih indah dan membahagiakan. Kakek bercucu 2 ini tidak memungkiri bahwa dunia kewartawanan penuh dengan tantangan seiring dengan perkembangan zaman. Setidaknya ada tiga tantangan utama yang ia rasakan dan geluti selama ini. Pertama, perkembangan teknologi yangdalam satu dan lain hal menyebabkan kepintaran pembaca semakin meningkat. Hal ini menuntut wartawan untuk selalu belajar. Kedua, wartawan seringkali harus berhadapan dengan situasi atau permasalah yang tidak disukai. Kesiapsediaan wartawan terwujud melalui semangatnya meliput peristiwa yang terjadi sebaik mungkin sehingga ia tidak bisa begitu saja memilih peristiwa yang disukainya. Maka, semangat penyangkalan diri pun sangat dibutuhkan bagi seorang wartawan. Ketiga, bekerja tepat waktu. Masyarakat membutuhkan pelaporan berita secepat mungkin sehingga wartawan tidak bisa begitu saja menunda pelaporan suatu peristiwa tersebut. Satu hal yang terpatri dalam hidupnya adalah semangat menjalani pekerjaan sebagai sebuah panggilan hidup. Setiap pekerjaan mempunyai tantangannya sendiri. Tantangan adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi, ketika dihayati dengan sungguh-sungguh, kegembiraan akan datang dan mengatasi segala tantangan yang ada. Tantangan teknologi Di tengah gempuran perkembangan teknologi, dunia media cetak tetap perlu 62

TS/X-Edisi 24


menjadi suatu yang diunggulkan. Adanya perkembangan teknologi bukanlah suatu permasalahan besar, melainkan sebuah tantangan yang harus dilalui. “Teknologi harus menguatkan media cetak,� tambahnya. Secara umum, ia melihat bahwa teknologi itu menyangkut cara penyajian. Hal ini kemudian menuntut dunia media cetak untuk banyak berbenah diri, terutama dengan membuat tulisan seringkas mungkin. Tidak hanya itu, media cetak kini tidak lagi hanya menyajikan sebuah berita begitu saja layaknya pelaporan kronologi sebuah peristiwa. Media cetak perlu menyajikan pula segi refleksi dalam penyajiannya. Kecenderungan dalam perkembangan teknologi adalah orang bisa mendapatkan banyak informasi dengan begitu cepat. Dengan adanya dunia maya, bebagai informasi bisa diakses dalam hitungan detik sehingga orang dapat tahu banyak, namun hanya sekadar tahu. Orangorang pada masa ini belum mencapai tahap pengetahuan. “Pengetahuan merupakan hasil dari informasi yang diolah melalui proses refleksi,� ungkapnya. Proses refleksi inilah yang menjadi ciri khas dan kelebihan dari media cetak. Tuntutan ini pun juga berlaku pada majalah-majalah bernuansa rohani. Sebagai sebuah sarana pewartaan dan komunikasi iman, majalah-majalah ini juga perlu untuk menjawab tantangan perkembangan teknologi yang menuntut kecepatan pemberitaan. Proses refleksi dalam pemberitaan perlu ditingkatkan sehingga menjadi

sebuah keunggulan bagi media cetak. Mengapa? Karena pemberitaan suatu berita secara cepat telah diambil-alih oleh digital sehingga dunia cetak tidak bisa begitu saja menyajikan sekadar pelaporan suatu peristiwa. Menulis merupakan sarana untuk berpikir runtut (sistematis). Melalui sarana menulis pula seseorang semakin terbuka dengan dunia di sekitarnya. Wartawan bisa dikatakan menjadi seorang guru yang tidak terbatas hanya pada ruang kelas, yakni guru masyarakat. Akan tetapi dari kesemuanya itu, satu hal yang terpenting adalah memandang pekerjaan sebagai panggilan hidup serta memandang hidup itu sendiri sebagai sosok teman dalam perjalanan. Ini bisa menjadi feature dalam tulisan ini: Ada tiga tingkat dalam penghayatan pekerjaan. Pertama, bekerja untuk mencari makan. Di tingkat ini pekerjaan dipandang sebagai sarana pencari makan. Alhasil, orientasinya selalu berusaha mendapatkan uang yang banyak demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kedua, orang bekerja untuk mencari jabatan. Pada tingkat ini orangorang senantiasa mempunyai target dan jangka waktu untuk mencapai jabatan tertentu.Ketiga, bekerja sebagai panggilan hidup. Ketika memandang bekerja sebagai panggilan hidup, seseorang tidak lagi berorientasi pada sekadar pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari atau menempati jabatan tertentu, melainkan sebagai sebuah pemenuhan dan pilihan dalam menjalani hidup di dunia ini.### TS/X-Edisi 24

63


ana ri Wac emina014 S i d an r2 anggil ktobe Aksi P al 18-19 O g tang

64

TS/X-Edisi 24

i

Bhakt


DOA SEORANG TEMAN SEPERJALANAN Ya Tuhan, Engkaulah Sang Sumber Panggilan hidup kami Engkau telah memanggil kami secara pribadi, tetapi juga sekaligus bersama dengan orang lain Dalam kesepian, Engkau mengutus teman yang selalu menemani Dalam kesulitan, Engkau mengirim teman yang selalu siap membantu Dalam kegagalan, Engkau mempercayakan teman yang selalu membangkitkan harapan. Kami mengucap syukur atas komunitas yang selalu membangun hidup persaudaraan dalam kebersamaan Mampukanlah kami untuk senantiasa juga mau membentuk komunitas pendoa bagi teman-teman kami Sertailah kami selalu dalam perjalanan panggilan kami Di dalam perjalanan mengarungi tantangan dan godaan, Di dalam perjalanan mencari kebenaran dan kehendak-Mu, Di dalam perjalanan memaknai rangkaian peristiwa hidup ini, Engkau senantiasa memberikan teman seperjalanan. Semoga Engkau selalu menjaga, merawat, dan menyertai teman-teman seperjalanan kami. Sebab Engkaulah Tuhan Sang Sahabat dan pembimbing dalam arah hidup kami, kini dan sepanjang segala masa. Amin. By: Fr. Harry

TS/X-Edisi 24

29


TS/X-Edisi 24


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.