RADAR SEMARANG 16 NOVEMBER 2008

Page 7

BERITA UTAMA

Radar Semarang • MInggu 16 November 2008

Ulung Paling Suka Mainan Power Rangers

Uang Rampokan Didepositokan umur

Sambungan dari hal. 1

Acep mengakui, pendidikan formal mulai dari SMP hingga di perguruan tinggi yang dijalani tersebut dibiayai sendiri. Waktu itu, ia bertekad bsia hidup mandiri serta bisa mencari uang sendiri. Tidak banyak yang tahu dia bekerja apa, termasuk orangtu­ anya. Acep menceritakan, saat masih SD, ia kerap bertengkar dengan temannya yang lain. Dari situlah, ia mulai terbiasa dengan kekerasan. “Saya umur 12 tahun sudah terjun sebagai garong yang kerjaannya main todong orang. Itu terpaksa saya lakukan karena saya ingin sekolah sampai perguruan tinggi. Tapi semua itu kan butuh biaya besar. Sedangkan saya sendiri memiliki 6 saudara yang juga ingin mengenyam pendidikan. Padahal, penghasilan orangtua minim,” ungkap Acep mem­ berikan alasan mengapa sejak kecil dirinya sudah mengenal premanisme. Menurutnya, operasi todongmenodong sebagai preman kali pertama dilakukan Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Saat itu dia beraksi sendirian. Sasarannya, penumpang berkantong tebal. “Saya mematok target saat beroperasi sendirian di kapal. Minimal dapat uang Rp 200 ribu per hari. Bahkan saya pernah dapat uang sebesar Rp 18,5 juta semalam.” Ia mengaku langsung meminta paksa pada korbannya. “Sebab saya tak bisa jadi copet,” ucapnya. Pendapatannya yang besar mem­ buat Acep ketagihan. Setelah mengenal wilayah operasinya sekitar setahun di Bakauheni, Acep pun makin disegani temantemannya sesama bromocorah atau preman. Untuk memuluskan aksinya, dia sempat membentuk kelompok preman ‘Tapak Jalak’ yang cukup dikenal di pelabuhan tersebut. Sebagai penanda kebanggaan dan kekuatan preman terorgan­ isasi yang dibentuknya tersebut, ia menggambar lambang tapak jalak di lengan kanannya. “Ini lho Mas, Tapak Jalak itu,” ucapnya sembari membuka bajunya. Di lengannya terdapat lukisan telapak kaki yang di pinggirnya dilingkari simbol rantai serta pernak-pernik kerikil dan bunga bangkai. “Maknanya adalah wa­ laupun menghadapi kerikil tajam dalam kehidupan, kita selalu terjang tanpa rasa takut. Ya ala­ sannya klasik untuk memenuhi kebutuhan perut (ekonomi),” katanya blak-blakan. Tak hanya itu. Ia juga menun­ jukkan tato yang ada di tangan kirinya. Di situ terlukis gambar salib dewa iblis. “Tato ini melam­ bangkan bahwa dulu saya hanya percaya dengan setan saja. Selain itu juga gemar ke dukun yang bisa mengajari saya maling. Hanya minta doa keselamatan saja,” terangnya. Sebagai ketua, ia memiliki 20 anak buah. Mereka terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang ber­ peran sebagai garong atau bajing loncat khusus truk, ada yang jadi calo dengan sasaran penumpang kapal, serta ada pula yang berperan sebagai tukang pungli. Bahkan kelompoknya juga memiliki pengacara yang siap mem-back-up jika ada masalah hukum dengan anggotanya. Semisal siap membela anak buahnya yang tergaruk aparat dan masalah lain­ nya terkait. Karena itu, sebelum beraksi, kawanan preman selalu berkoordinasi dengan matang. Saat menodong dan merampas dilakukan secara profesional. Selain menempati ruangan gedung juga tertib administrasi. Artinya, semua perencanaan maupun hasilnya dilakukan secara tertib. ”Walaupun kita penjahat, tapi pengorganisasian kita sangat rapi. Sebagai penjahat, nyali kita harus kuat. Kita mengabaikan perasaan yang ada di dalam hati,” katanya. Saat tenar sebagai preman di Bakauheni, dia maupun anggotanya tak memiliki rasa takut dijadikan sasaran penem­ bak misterius (petrus). Maklum, saat orde baru berkuasa, petrus ada di mana-mana memberantas premanisme. “Waktu itu saya sempat ber­ pikir bodoh amat dengan petrus. Sebab kita sebelumnya sudah tahu risiko yang akan terjadi kalau melakukan kejahatan,” ujarnya percara diri. Acep sendiri hanya memimpin organisasinya selama 1 tahun. Selanjutnya dia tak tahu bagaimana perkembangannya sekarang. Menginjak dewasa dan memiliki pengalaman di dunia premanisme, karir Acep sebagai preman kian menanjak. Pada 1988, ia lantas merambah wilayah Jakarta. Di ibu kota tersebut, aksi kejahatannya kian menjadi-jadi. Dia men­ jadi perampok kecil-kecilan dan berkembang menjadi perampok antarpulau.

Menariknya, sembari men­ jadi perampok cilik, dia masih meneruskan sekolah hingga SMA. Itu dijalani sesuai cita-cita sebe­ lumnya. Yakni bisa bersekolah sembari bekerja. Meski pekerjaan yang ditekuninya penuh risiko, ia tetap berharap pendidikan formalnya lancar. “Selain merampok, saya main judi, dan terjun di dunia hitam lainnya. Karenanya kalau habis nggarong dan dapat uang, saya langsung habiskan untuk berjudi berfoya-foya sampai habis. Setelah habis saya kerja lagi. Begitu seterusnya,” urainya. Selama di Jakarta, Acep sempat beberapa kali merampok. Dia pernah merampok pegawai di Bagian Pajak Dirjen Keuangan. Saat itu Acep berhasil menggondol uang Rp 1,2 miliar. Karena aksinya, ia sempat di­ penjara di LP Cipinang selama 2 tahun. Pernah juga kakinya ditembak polisi hingga tembus. Selain itu, aksi perampokan nasabah bank. Ia menggondol uang Rp 287 juta. Akibatnya, ia dikejar polisi dan dimasukkan bui selama 3 tahun. “Masih banyak lagilah.” Nilai uang rampokan antara Rp 400 juta hingga Rp 600 juta sekali merampok. Uang rampokan didepositokan di bank. Untuk menjalankan aksinya dalam peram­ pokan tersebut, dia berperan di balik layar. Artinya, operasi di lapangan dilakukan oleh anak buahnya. “Saya tinggal membuatkan target operasi kerja serta memberikan modal jalan anak buah antara Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Mereka harus berhasil. Kalau pulang tak bawa uang rampokan, maka uang modal jalan tersebut harus dikembalikan. Jadi, ada sanksinya,” bebernya. Selain di Jakarta, operasi perampokan juga dilakukan di luar daerah. Sasarannya toko emas. Menurutnya, setelah berhasil merampok, Acep merasa puas. Sebab dia merasa paling jagoan. Karenanya, setelah berhasil ia dan teman temannya syukuran mabuk, clubbing, dan lainnya. “Sebenarnya kita punya rasa khawatir dikejar aparat. Tapi, perasaan seperti itu kita abaikan saja. Lha bagaimana tidak, ka­ laupun ditangkap lalu dipenjara malah tambah enak. Tinggal di ruang ukuran 4x6 meter, ada fasilitas AC, mabuk bisa, rokok bisa, narkoba pun bisa. Dipenjara saja masih bisa dugem, dan masih bisa mencari uang,” katanya. Dia mengatakan, saat dipenjara di LP Cipinang, sosok Acep cukup disegani. Dia mengaku mengenal dengan sejumlah tokoh yang ditahan karena terseret kasus tertentu. Karena dekat dengan mereka, setiap pekan dia mendapatkan bonus uang minimal Rp 500 ribu. “Saat dipenjara, saya sempat dekat dengan Pak Rahardi Ra­ melan, Ustad Abu Bakar Ba’asyir, Bedu amang, Tomy Soeharto, mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh dan lainnya. Lumayan setiap pekan bisa dapat uang gopek. Kemudian saya kum­ pulkan dikirim ke keluarga minimal Rp 15 juta per bulan,” terangnya. Karena itu, lanjut Acep, suatu ketika ia pernah dibesuk Presiden Timor Leste Xanana Gusmao saat dipenjara. ”Rupanya dia (Xanana) waktu itu penasaran sosok saya.” Acep menuturkan, ia tergerak tobat karena terinspirasi teman wanitanya yang telah duluan bertobat. Kawan perempuannya itu merupakan teman kumpul kebonya selama 4 tahun ( jadi teman tidur hanya dua tahun). “Saya berpikir kalau dia seorang pelacur tapi bisa sadar dan tobat sepenuhnya mengapa saya tidak, kata saya dalam hati.” Acep mantap bertobat setelah secara nyata menyaksikan kejadian di luar dugaannya. Ketika itu, ada temannya yang lain (pemabok berat) mengalami kecelakaan bersama saudaranya. Keduanya meninggal di jalan karena kenda­ raannya bertabrakan. “Nah, saat jenazah keduanya dikubur, tiba-tiba ada kesalahan penempatan. Jadi salah tukar tempat penguburan. Yang satu mau dikubur di pekarangan rumah, yang satunya lagi mau dikubur di pemakaman umum.” Ternyata penguburan tidak sesuai rencana. Akhirnya kubur mereka dibongkar untuk dipin­ dahkan sesuai tempatnya. Ketika pembongkaran itulah, mata Acep terbelalak melihat jasad mereka yang baru dikubur selama 5 jam tiba-tiba sudah rusak semua dan tak utuh lagi. “Padahal saat kecelakaan tidak seperti itu. Mulai saat itulah saya percaya bahwa setelah mati ada siksa kubur. Saya langsung menangis dan seketika itu saya secara reflek jungkar-jungkir salat.” (isk)

7

HALAMAN SAMBUNGAN

ulung

Sambungan dari hal. 1

Saat koran ini menyambangi rumahnya di Jalan Puspowarno IV No 30 Kelurahan Salaman Mloyo, Semarang Barat, bocah berambut keriting ini sedang bermain dengan Lisa Olivia, 40, ibunya. Saat dipanggil Didik, 50, ayah­ nya, Ulung langsung menghampiri koran ini. Kotak plastik berisi jagung rebus dan parutan keju tak pernah lepas dari tangannya. “Itu sarapannya tiap hari, dia selalu minta jagung dan keju,” kata Didik. Meski postur badannya normal, kedua pipi bocah berusia 3 tahun 4 bulan tersebut terlihat makin chubby. Didik mengatakan, pipi Ulung menjadi tembem karena pengaruh methyl yang harus diminum tiap hari. Obat tersebut harus dikonsumsi agar bocah berbobot 13 kilogram tersebut lebih tahan terhadap bakteri dan kuman pembawa penyakit. “Obat harus diminum hingga fungsi livernya stabil,” ujar Didik, pengusaha kayu. Selain obat, sebulan sekali Didik juga harus memeriksakan kondisi Ulung ke laboratorium. Pria yang tak mau menyebut nama lengkapnya itu menceritakan, Ulung kini tambah nakal. Hampir tiap hari anak bungsu­ nya itu minta dibelikan mainan tokoh superhero Power Rangers. ”Mungkin semua toko mainan di Semarang dari yang modern hingga di kampung-kampung sudah disambangi,” paparnya. Akibatnya, Ulung kini punya koleksi mainan Powers Rangers segudang. Mulai dari action figurenya, balon, DVD, serta beberapa

item senjata ‘jagoan’ tersebut seperti pedang, senapan, dan jam. Koleksi lainnya, topeng Spiderman, robot Transformers, dan bola. Namun karena masih kecil, koleksinya tak selalu dirawat dengan baik. “Kadang mainannya dibuang atau malah dipatah-pa­ tahkan sampai rusak,” ujar Didik yang memakai kaos oblong dan celana pendek. Tak hanya itu, Ulung juga kerap berantem dengan kakaknya, Dida Agashi Utomo, 5, saat mem­ peragakan aksi Power Rangers. “Kadang pukul-pukulan, dan melompat. Pokoknya ngawur. Saya sampai ngeri,” katanya. Anak ini juga ceriwis bukan main, meski intonasi bicaranya belum begitu jelas. Dia terus mengajak ngobrol Radar Semarang. Ulung juga sempat menyanyikan sebait lagu Bukan Superstars milik grup Project Pop. Andai aku Letto, wis mesti aku wong Jowo..” senandungnya menyanyikan lagu yang memarodikan grup Letto tersebut. Seperti diketahui, Ulung meru­ pakan balita pasien cangkok hati pertama yang menjalani operasi di Indonesia. Operasi tersebut dilakukan Oktober 2006 silam saat dirinya berusia 1,5 tahun. Tim dokter RS dr Kariadi Sema­ rang berhasil mencangkokkan hati yang diambilkan dari ibunya sebagai pendonor. Didik me­ ngatakan, dua tahun setelah operasi, kondisi Ulung sudah selayaknya balita normal. “Sehabis Lebaran lalu memang sempat diare dan diopname di rumah sakit. Tapi selebihnya tak pernah kenapakenapa,” ungkapnya. Bocah yang sedang lucu-lucunya itu juga makan seperti biasa. Tak ada

pantangan tertentu. Ulung, menu­ rutnya, tak pernah mengeluh meski harus minum Methyl setiap hari. “Padahal obat itu obat paling pahit sedunia. Dia memang tahu diri dan terbiasa tanggung jawab. Ulung juga tahu harus selalu minum air putih dan tidak minum teh,” kata Didik memuji anaknya yang memang sudah minum obat sejak lahir itu.

harus lebih hati-hati.” Kehati-hatian tersebut sematamata dilakukan agar bakteri dan kuman tak sampai menyerang tubuh Ulung yang kondisinya lebih rentan. Karenanya keber­ sihan makanan dan lainnya lebih diperhatikan.

Tambah Gemuk, Lisa Kini Diet Jika kondisi Ulung sehat, demikian juga dengan ibunya, Lisa Olivia. Kini wanita berkulit putih itu mengaku semakin gemuk. Namun dia mengaku tak pernah menimbangkan berat badannya. Karenanya, dia kini sedang rajin senam dan bersepeda. “Saya juga diet. Dokter menyarankan agar tidak makan nasi,” ceritanya. Wanita yang merelakan sebagian hatinya diiris dan didonorkan untuk anaknya ini mengaku tak memiliki gangguan kesehatan apapun setelah hatinya ‘tak utuh’ lagi. “Saya cuma merasa cepat lelah,” ungkapnya. Namun jawaban tersebut langsung disangkal suaminya. Menurut Didik, kelelahan yang dialami Lisa bisa karena banyak faktor. “Bisa karena kesibukan atau malah sedang tak punya uang. Kelelahan karena pernah jadi pendonor belum bisa dibuktikan,” tandasnya. Lisa yang menjadi ibu rumah tangga tersebut juga mengisi waktu luang dengan berjualan tas, kain, dan baju di rumahnya. Lisa yang didampingi suaminya mengaku, pihaknya lebih memanjakan Ulung dibanding kakaknya, Dida. “Ini bukan membedakan. Hanya per­ lakuan terhadap Ulung memang

Setahun setelah operasi cangkok hati anaknya berhasil, Didik mendirikan LSM Penyakit Hati Anak. Hingga kini dia masih sering dijadikan tempat konsultasi para orangtua yang mempunyai anak bergejala penyakit sama dengan Ulung. ”Saya siap 24 jam untuk diajak konsultasi. Kadang ada yang me­ nelepon jam sepuluh atau sebelas malam. Ada juga yang langsung datang ke sini untuk melihat kondisi Ulung dan ibunya,” papar Didik yang mengaku mendirikan LSM karena panggilan jiwa. LSM yang dikelolanya beranggo­ takan 10 orang. Kini, dia mengaku menangani konsultasi untuk 15 kasus bergejala mirip kelainan hati. Menurutnya, penyakit tersebut bergejala tubuh menguning dan faeses berwarna putih. Selama menangani konsultasi, dia pernah menemukan kasus bergejala sama, namun kemudian sembuh dengan sendirinya. ”Mungkin penyebabnya lain, mungkin itu karena virus,” katanya. Ada pula orangtua yang sudah siap mengoperasikan anaknya. Mereka sudah menyiapkan dana dan pendonor. Namun kemudian anaknya tak tertolong karena penanganannya terlambat. ”Yang dari Bogor malah kini penderitanya

Belum Ada yang Terlibat kodam

Sambungan dari hal. 1

Seperti diketahui, beberapa hari terakhir ini jajaran Polda Jateng terus merazia truk-truk yang memasang atribut penga­ walan dari preman terorganisasi. Dari beberapa ‘surat sakti’ dan tanda gambar yang dicopot, ada atribut TNI. Terkait label dan atribut militer, lanjut Pangdam, sebenarnya sangat mudah membuat tiruan kemudian menempelnya. Atau hal itu bisa saja dilakukan oleh oknum yang tidak bertan­ gung jawab. ”Gampang sekali dibuat mi­ salnya difoto kemudian dibuat

yang sama lalu ditempel. Bisa saja terjadi begitu. Kita juga aktif menyikapi hal tersebut, karena sudah menyangkut nama baik dan kehormatan TNI,” tegasnya. Kapendam IV/Diponegoro Letkol Zaenal M menambahkan, Kodam IV/Diponegoro dan satuan jaja­ rannya tidak pernah memberikan izin adanya jasa-jasa pengamanan angkutan dan jasa pengamanan dalam bentuk apapun. Sebab hal itu melanggar tugas pokok TNI yang telah dilegitimasi melalui UU No 34 Tahun 2004. Sebagai bentuk keseriusan ini, Kodam sedang melakukan investi­ gasi terhadap ditemukannya logo kesatuan Kodam yang digunakan

untuk praktik jasa pengamanan angkutan, karena itu ilegal. “Secara institusi Kodam tidak terlibat urusan dalam jasa pengamanan angkutan,” tuturnya. Kapendam mengingatkan, saat ini ada kecenderungan mun­ culnya pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan keberadaan satuan atau prajurit TNI demi memburu kepentingan­ nya pribadi. Ia menyontohkan pemasangan logo-logo satuan di kendaraan roda empat. Terhadap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut, TNI akan menindak tegas sesuai hukum yang berlaku. (ton/isk)

keinginan, namun kemampuan­ nya belum memadai, sehingga jiwanya labil.” Penderita skizofrenia dipengaruhi pendidikan orangtuanya sejak kecil. Umumnya sejak anakanak, jiwanya yang terbangun sudah rapuh. “Karena itu, para orangtua harus memperhatikan pendidikan anaknya sejak dini, agar anak tumbuh sehat.” Penderita skizofrenia biasanya perilakunya kacau, suka marahmarah, merasa ada yang mengejarngejar. Ujung-ujungnya, penderita skizofrenia tak mampu bekerja, tak mampu belajar, tak bisa ber­ sosialisasi, tak bisa merawat diri, dan tak mampu memanfaatkan waktu luangnya. Untuk mengatasi penderita skizo­ frenia, sudah ada obatnya, rumah sakitnya, dan dokternya. “Tapi yang susah mengobati penderita yang ngedan. Bukan edan, tapi berperilaku seperti orang edan. Kalau ini tidak ada obatnya, tak ada dokternya, apalagi rumah sakitnya,” seloroh Ismed. Proses pengobatan merupakan hal penting. Bila pengobatan­ nya kurang dari 6 bulan setelah terserang skizofrenia, kemungkinan sembuh sangat besar. Namun jika proses pengobatannya antara 6-2 tahun, kesembuhannya sangat diragukan. Apalagi jika sudah lebih 2 tahun, sulit untuk sembuh. “Bi­ asanya para penderita skizofrenia dibawa ke dokter kalau sudah akut.” Kesembuhan seseorang yang telanjur skizofrenia, sangat tergantung dari kesabaran dan keikhlasan keluarganya.

ada yang mengatakan kalau perilakunya dianggap sedikit nyleneh. “Perubahan perilaku seseorang, memang lebih cepat diketahui oleh orang lain. Tapi kalau saya sendiri yang mera­ sakan, ya biasa saja. Tak ada yang berubah.” (ida nur layla/isk)

Untung Jadi Pelupa gabungkan

Sambungan dari hal. 1

Melihat sosok bapaknya sangat sabar saat mengajar, cita-cita Ismed kecil pun berubah. Ia ingin menjadi guru seperti sang ayah. Karenanya, selepas SMP, ia ingin melanjutkan ke sekolah keguruan (SPG, sekolah pendidi­ kan guru). Namun lagi-lagi sang bapak mengarahkan agar Ismed melanjutkan ke SMA, lantas ke IKIP. Dia pun manut. Ketika SMA, sang ibu pernah jatuh sakit. Saat dibawa ke dokter dan diobati, ibunya sembuh. Citacitanya pun berubah jadi dokter. Nasib baik berpihak padanya. Dia diterima di Fakultas Kedokteran Undip. Nasib mujur terus menghampi­ rinya. Lulus S1 dari FK Undip, dia mendapatkan tawaran dosen dari dekan FK Undip. Dia pun teringat, dulu pernah bercita-cita menjadi guru. “Tugas dosen kan sama dengan tugas guru. Maka tawaran itu saya terima sampai sekarang.” Meski begitu, lanjut Ismed, masih ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Yakni cita-citanya menjadi ustad belum tercapai. Karena itu, sebelum mengambil dokter spesialis, dia memiliki pemahaman bahwa tugas seorang ustad adalah membimbing jiwa muridnya. Dari situlah Ismed menjatuhkan pilihan menjadi dokter kesehatan jiwa. Sehingga 3 cita-citanya sekaligus menjadi ustad, guru, dan dokter semuanya tercapai. “Saya punya cita-cita ingin meng­ gabungkan antara agama dengan kesehatan jiwa,” jelas suami Istiqomah, seorang psikolog. Ismed pun mengambil spesi­ alisasi yang lebih spesifik lagi: kesehatan jiwa remaja dan anak. Mengapa? Menurutnya, sakit jiwa ada dua jenis. Yakni ringan dan berat. Skizofrenia ringan, penderitanya masih sadar hanya mengalami depresi. Sedangkan skizofrenia berat, pikiran penderitanya berubah. Ini karena pikiran dan perasaannya sudah tidak nyambung, sehingga sulit diajak berkomunikasi. “Skizofrenia umumnya me­ nyerang usia produktif, yakni antara umur 14-25 tahun. Remaja biasanya usianya memiliki banyak

Beruntung Jadi Pelupa Kerap menangani penderita gangguan jiwa, sama sekali tak memengaruhi kondisi kejiwaan­ nya. “Saya bersyukur, orangnya se­ dikit pelupa. Sehingga banyaknya masalah pasien yang datang, tak begitu memengaruhi. Kalau me­ mengaruhi, kepala ini bisa penuh, ikutan aneh,” selorohnya. Apalagi yang datang kepadanya, aku Ismed, tak hanya orang edan, tapi juga orang ngedan. Biasanya kalau orang edan, pasi­ ennya didatangkan langsung dan didampingi keluarganya. Meski begitu, aku Ismed, masih redaktur iskandar • layouter fian

Dia juga mengaku sudah memberikan pengertian kepada Dida, untuk ikut menjaga kondisi adiknya. Namun nasihat itu tak selalu dituruti. ”Yang namanya anak kecil ya sudah ngalah. Kalau bermain malah sering pukul-pu­ kulan.” (ricky fitriyanto/isk)

Jadi Tempat Konsultasi berusia 5 tahun dan masih bisa bertahan,” ungkap dia. Ia mengaku di antara yang berkonsultasi kepadanya, belum ada yang mengikuti jejaknya mencangkokkan hati pada anak­ nya. LSM-nya juga diakui belum bisa mengumpulkan donasi bagi kalangan tak mampu untuk men­ goperasikan anaknya. ”Sifatnya lebih ke konsultasi dan memberikan motivasi. Namun sebisa mungkin mengusaha­ kan agar penanganannya tak terlambat,” ujarnya. Ke depan, dia berkeinginan LSM-nya bisa membantu dana bagi operasi cangkok hati. Dia berpendapat, sebagai orang­ tua pihaknya harus mengupayakan kesembuhan dan pengobatan maksimal bagi anak. Sebab, anak mempunyai hak hidup. ”Kita harus berusaha semampu kita. Bukan hanya menyerah pada takdir,” kata Didik yang mengaku dulu sempat putus asa. Dia merasa beruntung karena sebelum dan sesudah menjalani operasi, anaknya menunjukkan semangat hidup yang tinggi. ”Dia punya semangat luar biasa untuk melawan penyakitnya. Itulah yang membuat saya semakin termotivasi untuk mengupayakan kesembuhan.” (ricky fitriyanto/isk)

Medoho Terus Diawasi kantong

Sambungan dari hal. 1

Pengujian sampel darah ayam dilakukan di laboratorium tipe B di Jalan Perintis Kemerdekaan Semarang. Hal senada disampaikan Kepala Sie Pemberantasan Penyakit Ber­ sumber Binatang (P2B2) Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang Sri Ani Handayani. Ditanya hasil laboratorium sampel darah 3 tetangga DS yang memiliki gejala hampir sama dengan DS, Sri Ani mengaku belum menge­ tahui. Sebab, hasil laboratorium belum keluar. “Dasil dari penelitian dan pengembangan Depkes RI belum keluar hingga hari ini (kemarin). Namun berdasarkan laporan yang kami terima, kondisi ketiga warga saat ini sudah membaik, setelah dirawat di Puskesmas setem­ pat,” terangnya. Ketiga warga yang sempat terserang demam tinggi antara lain Jefri, Wanda, dan Kusyanto. Ketiganya warga

Medoho, Siwalan. Terpisah, Kepala Dispertan Kota Semarang Ayu Entys menjelas­ kan, khusus KLB di Medoho, pihaknya tetap melakukan pen­ gawasan ketat. Bila ada rumah pemotongan unggas (RPU) yang masih beroperasi, Dispertan akan menutup paksa usaha tersebut. “Daerah Medoho masih kami pantau secara ketat selama satu bulan ke depan. Tak hanya untuk unggas, RPU juga.” Sementara itu meski status KLB flu burung sudah ditetapkan, transaksi penjualan unggas jenis burung di Pasar Burung Karimata terlihat seperti biasanya. Di akhir pekan kemarin, aktivitas penjualan masih tampak ramai. Bahkan jumlah pedagang lebih banyak dari hari biasanya. Salah satu pedagang burung bernama Triyono, 58, menuturkan, pedagang tak peduli dengan status KLB. “Wong lokasinya masih jauh kok. Lagian pedagang sini juga tidak terlalu peduli.” (dit/eny/isk)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.