
6 minute read
KESAKSIAN - Keluar dari Zona Nyaman
Oleh: dr.Joel Herbet M.H. Manurung, Sp.JP., FIHA
“Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kisah Para Rasul 1:8).
Advertisement
Hampir 19 tahun lalu saya bersama pemimpin kelompok kecil saya di PMK Jatinangor dan beberapa utusan dari FK Universitas Kristen Maranatha mengikuti Kamp Medis Nasional di Batu, Malang. Pada kesempatan itu kami dibukakan kehidupan dan tantangan dunia medis ke depan. Selama beberapa hari kamp, saya memutuskan, setelah lulus dokter saya ingin mengabdikan ilmu saya ke daerah Timur Indonesia. Waktu itu saya merasa terpanggil untuk mengabdi bagi masyarakat di sana lantaran sharing beberapa senior dan pembicara. Seiring waktu, setelah saya lulus, saya mulai bekerja di klinik swasta di daearah Puncak, Jawa Barat. Saya mulai menikmati ritme kehidupan pekerjaan di sana dan lupa akan komitmen saya saat Kamp Medis tahun 2002. Tahun 2007, setelah hampir setahun saya bekerja, tiba-tiba saya mendapat telepon dari orang tua saya dan meminta saya mengikuti seleksi dosen dan salah satu FK yang membuka lowongan dosen saat itu adalah FK Universitas Cenderawasih (UNCEN). Sejujurnya saya sama sekali tidak pernah bermimpi akan menjadi seorang dosen FK, apalagi menjadi dosen FK di provinsi paling timur Indonesia. Namun karena tidak ingin mengecewakan orang tua saya yang juga seorang dosen, saya memutuskan untuk mengikuti seleksi tersebut dengan harapan akan gagal. Kenyataan berkata lain, saya bersama 3 teman sejawat lain saat itu diterima menjadi dosen dengan formasi FK UNCEN. Dari situlah awal saya mulai mengabdikan diri bagi tanah Papua sampai saat ini. Awal saya mengetahui bahwa saya diterima sebagai staf dosen, saya masih berpikir bagaimana caranya untuk membatalkan itu semua. Hati kecil saya merasa berat sekali untuk menerima kenyataan bahwa melalui serangkaian proses seleksi, Tuhan telah menempatkan saya untuk mengabdikan diri di Papua dan sudah punya rencana buat kehidupan saya. Sharing dengan teman-teman alumni di Perkantas Jayapura membuat saya akhirnya berani melangkah

menjawab panggilan Tuhan di Papua. November 2008 saya resmi mengikuti diklat prajabatan dan mulai resmi bekerja sebagai dosen di FK UNCEN. Awal bekerja di Papua saya harus beradaptasi dengan kondisi masyarakat di sini yang tentunya sangat berbeda dengan kondisi asal saya. Saya berasal dari Medan (kehidupan dengan karakter yang keras), lalu kehidupan selama perkuliahan di Bandung telah banyak membuat perubahan dalam sikap saya. Saya memulai kehidupan nyata sebagai dokter di Papua dengan menjadi dokter PTT di daerah sangat terpencil, di Puskesmas Sowek, distrik Supiori Selatan, Kabupaten Supiori, Papua. PTT saya pilih saat itu karena cukup lama menunggu SK keluar dari Kementerian. Saat ini, 12 tahun setelah saya meninggalkan tempat itu, tidak ada seorang dokter pun di sana dan itu sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Puskesmas, rumah dinas dokter dan staf, serta hampir seluruh masyarakatnya berada di atas air dan pulau-pulau kecil di sekitar puskesmas. Tidak ada listrik, sinyal telepon, dan air bersih menjadi kondisi sehari-hari di sana. Saya belajar banyak hal di sana, mengabdi dengan segala keterbatasan. Keterbatasan bukan hanya dalam sarana dan prasarana tapi juga sumber daya manusia. Seringkali saya harus melayani pasien dimulai dari membuka pintu puskesmas, periksa pasien, dan menyiapkan obat sendiri. Hal miris yang saya alami selama PTT adalah banyak alat medis seperti USG kebidanan dan bahan makanan yang harusnya bisa diberikan kepada masyarakat tetapi menjadi rusak di dalam gudang puskesmas. Aneh memang ada alat kesehatan yang membutuhkan listrik yang stabil tetapi listrik saja menyala hanya jika ada minyak untuk genset saat sore sampai tengah malam. Konflik di puskesmas mulai muncul saat saya dan dua teman sejawat menuntut penggunaan anggaran, bahan makanan tambahan, dan fasilitas puskesmas (contohnya ambulans puskesmas yang diparkir di daratan terdekat dengan puskesmas) secara baik dan bertanggungjawab. Walaupun tuntutan kami saat itu tidak bisa diterima dengan baik, tetapi pesannya sudah tersampaikan kepada semua pihak di puskesmas. Puji Tuhan, saat saya meninggalkan puskesmas, karena harus kembali ke FK UNCEN untuk mulai bekerja sebagai dosen, saya meninggalkan kesan bahwa menjadi tenaga kesehatan kristen harus memiliki intergritas yang penuh dalam menjalankan tanggung jawab sekalipun berisiko terhadap keselamatan diri sendiri. Kembali ke Jayapura sebagai dosen dan klinisi setelah PTT membuat saya lebih siap berhadapan langsung dengan kondisi yang lebih kompleks setelah banyak pelajaran

berharga di puskesmas sangat terpencil di Papua. Dalam keseharian saya sebagai dosen, saya belajar hari demi hari menjaga integritas hidup. Saya menyadari bahwa tugas saya sebagai dosen bukan hanya mentransfer ilmu untuk mahasiswa tapi juga mentransfer nilai-nilai kehidupan yang saya anut. Tuhan yang menjadi pusat hidup harus terpancar dalam setiap proses belajar mengajar. Bersikap adil sekaligus penuh kasih bukan juga hal yang mudah di kampus sekalipun mayoritas sejawat dan mahasiswa beragama Kristen. Saat bertugas di RSUD Jayapura yang juga RS Pendidikan FK UNCEN, banyak pergumulan saat berhadapan dengan mahasiswa. Kehidupan mahasiswa dan dokter muda (koasisten) disini berbeda dengan kondisi mahasiswa dan dokter muda di tempat lain. Kesabaran dalam mengajar, ketegasan terhadap aturan, bersikap kasih sekalipun marah, harus dipraktekkan setiap hari. Tenaga dosen yang terbatas juga menjadi pergumulan tersendiri bagi pengembangan FK UNCEN. Pelayanan kesehatan sehari-hari juga tidak mudah di Papua. Keterbatasan tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, akses transportasi, ekonomi dan pemahaman akan kesehatan membuat hidup menjadi lebih “hidup” ketika bekerja di RS. Saat pandemi melanda kondisi tersebut menjadi lebih terasa, apalagi Papua menerapkan lockdown total kecuali untuk keperluan logisitik. Hampir 3 bulan tidak satu pun penerbangan komersil maupun transportasi laut yang bisa beroperasi saat itu. Benar-benar kondisi yang mencemaskan saat itu. Bekerja dengan alat pelindung diri (APD) seadanya dan kesadaran masyarakat yang tidak cukup baik membuat rasa was-was. Jauh dari keluarga dan terisolasi karena lockdown membuat hari demi hari dijalani dengan berserah penuh kepada penjagaan Tuhan. Kondisi saat itu juga menyulitkan akses masyarakat untuk mencapai fasilitas kesehatan dan juga untuk mendapatkan alat kesehatan yang
diperlukan untuk pekerjaan sehari-hari. APD menjadi barang mewah, memiliki uang belum tentu bisa membeli APD yang stoknya sangat terbatas saat itu. Tenaga kesehatan baik dokter, perawat, bidan, dan yang lain secara umum masih sangat dibutuhkan di Papua, walaupun beberapa daerah sudah tercukupi. Namun sayangnya dalam kondisi seperti ini beberapa dokter ahli karena alasan tertentu memutuskan pindah dari Jayapura. Faktor ketidakpastian keamanan juga menjadi salah satu alasan dokter untuk enggan datang atau memutuskan keluar dari Papua. Kerusuhan bernuansa SARA tahun 2019 membuat salah seorang sejawat saya kardiologis harus pindah meninggalkan Papua padahal jumlah kardiologis kami sangat terbatas. Saat ini hanya ada tiga kardiologis di Papua. Total ada lima orang bila digabung dengan Papua Barat. Saya sendiri saat ini selain melayani di Jayapura, juga melakukan kunjungan pelayanan rutin setiap dua minggu ke kabupaten Biak Numfor. Sangat terasa sekali saat awal pandemi ketika lockdown, masyarakat Biak Numfor tidak bisa mendapatkan pelayanan jantung. Setelah lockdown dibuka namun kasus COVID-19 bertambah banyak di Papua, saya tetap memutuskan untuk tidak melakukan perjalanan kemana-mana. Beberapa pasien yang cukup mampu bisa datang ke Jayapura untuk berobat, namun kebanyakan menunggu di Biak sambil melanjutkan obat lama. Sejujurnya dengan kondisi seperti ini saya sendiri beberapa kali menggumulkan kepada Tuhan apakah saya harus meninggalkan Papua atau tidak. Setidaknya kejadian kerusuhan bernuansa SARA tahun 2019 dan pandemi seperti ini membuat saya berpikir ulang untuk bertahan di Papua. Puji Tuhan sampai saat ini Tuhan masih memberikan saya kekuatan untuk bertahan walaupun dengan segala kekurangan di tempat ini. Teman-teman KTB alumni di sini juga menguatkan saya untuk bertahan dan mengerjakan bagian saya sampai Tuhan berkata selesai. Pergumulan yang panjang selama hampir 13 tahun di Papua membuat saya melihat bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Sekalipun ancaman dan kekhawatiran manusia terus menghantui, tapi Tuhan menuntun hari demi hari sampai waktu Tuhan selesai untuk saya di Papua. Saya selalu berdoa agar kehendak Tuhan berdaulat atas keinginanku, atas ambisiku, atas rencanaku, bahkan atas seluruh aspek kehidupanku. “Hidupku bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Galatia. 2:20).
