SENI Seni
P E D O M A N M A K A SSENIN, S A R 3| OKTOBER S E N I N 2016 , 3 OI KKORAN T O B ETEMPO R 2016
20 17
TEMPO/NURDIANSAH
Instalasi Gurita Salihara karya seniman Nus Salomo dalam pameran seni rupa “Di Ruang-Ruang Terbuka Salihara”, Jakarta.
Tempo Newsroom
G
us Dur duduk di teras depan Galeri Salihara. Tangannya di dada, di sampingnya tergeletak buku Tuhan Tidak Perlu Dibela. Dia tak terusik oleh gerimis yang turun sepanjang sore. Butir-butir hujan jatuh ke tubuhnya dan menempel seperti bulir keringat. Patung Gus Dur dengan ukuran sebenarnya itu dibuat oleh Purjito untuk pameran “Di Ruang-ruang Terbuka Salihara”. Pameran ini menjadi rangkaian Salihara International Performing-Arts Festival (SipFest) yang berlangsung pada 1 Oktober-6 November 2016. Sepanjang kegiatan, karya seni rupa dari empat seniman dapat ditemukan di berbagai sudut terbuka kompleks Komunitas Salihara. Tak ada tema tertentu dalam pameran itu. Setiap perupa diminta untuk merespons ruang-ruang terbuka yang ada, lalu mengejawantahkannya dalam karya. Hasilnya beragam, baik tema maupun bentuk. Purjito membuat patung Gus Dur yang dibiarkan dalam warna aslinya, abu-abu, untuk meninggalkan kesan alami. Patung dari serat kaca itu dibuat untuk merayakan pemikiran Gus Dur tentang keberagaman dan kebebasan individu.“Pemikiran Gus Dur sejalan dengan atmosfer yang dijunjung Salihara,”
Karya di Ruang Terbuka
TEMPO/NURDIANSAH
Empat perupa membuat karya untuk ditaruh di ruang terbuka. Dekat dan menarik perhatian.
TEMPO/DHEMAS REVIYANTO ATMODJO
DOK. TEMPO/RAMDANI
Purjito.
Nus Salomo.
kata Purjito. Ini bukan pertama kalinya Purjito membuat patung Gus Dur. Sebelumnya, ia pernah memamerkan patung Presiden Indonesia keempat itu di Galeri Nasional dalam seri tokohtokoh pemikir bangsa. Patung-patung ini dapat bertahan selama puluhan tahun, bahkan bila ditaruh
di luar ruangan. Di sudut lain, seekor gurita raksasa bertengger di puncak Anjung Salihara. Tentakel-tentakelnya menjulur hingga dasar gedung. Instalasi berjudul Gurita Salihara itu dibuat oleh Nus Salomo. “Gurita saya pilih sebagai representasi Salihara dan festivalnya yang punya jaringan meng-
Patung Abdurrahman Wahid.
gurita ke banyak negara,” ujar pria 49 tahun itu. Dari segi dimensi, karya Nus Salomo paling mencolok mata. Dibuat dari bambu betung asli Sukabumi, tinggi gurita Salomo mencapai 5 meter dengan panjang tentakel berkisar 5-9 meter. Sekujur tubuh gurita itu pun disusupi lampu-lampu LED, sehingga tetap mena-
rik perhatian, bahkan pada malam hari. Karya lainnya adalah instalasi Made Gede Wiguna Valasara. Di dinding Teater Blackbox Salihara yang menghadap taman, Valasara menempelkan puluhan patung burung warna putih dan merah yang terbang dalam kawanan. Karya berjudul Sanctuary 2016 itu mem-
bawa pesan tentang keprihatinan pada isu imigran yang dipaksa meninggalkan habitatnya. “SipFest dengan audiens internasional ini bisa menjadi kesempatan saya mengkritik fenomena imigran yang berkembang sekarang,” tutur Valasara. Indyra Asmanu mencoba pendekatan lain di luar patung. Ia membuat mural di dinding dekat pintu masuk teater. Mural bernuansa gelap yang berjudul A Daydreamer & A Night Thinker itu digambar pada dua sudut dinding dan menimbulkan efek tiga dimensi. Di atas dinding itu, Indyra menggambar patung pria termenung karya Auguste Rodin yang terkenal, The Thinker. “Ini merepresentasikan peran Salihara sebagai pusat seni yang memperjuangkan kebebasan berpikir dan berekspresi,” kata Indyra. Tentu ada perbedaan dalam membuat karya di ruang terbuka yang bisa diakses siapa saja dengan karya untuk ruang galeri tertutup. Salomo biasanya membuat karya yang lebih gampang dimengerti dan secara ukuran dapat langsung menarik perhatian bila berkarya untuk luar ruangan. Adapun Indyra merasa perlu membaca area di ruang publik sebelum memutuskan membuat karya apa. Selain itu, membuat karya seni untuk dipamerkan di luar ruangan memberikan tantangan tersendiri. Faktor alam seperti cuaca menjadi bahan pertimbangan. Karya gurita Salomo sempat tergeser dan nyaris jatuh dari anjungan saat hujan badai melanda Jakarta Selatan dua pekan lalu. Dia harus membetulkan kembali letak guritanya dan membuat ikatan lebih kuat. Walau begitu, berpameran di ruang terbuka juga menarik bagi Salomo.“Lebih banyak orang bisa menikmati,” ujar Salomo. Purjito pun mengiyakan hal ini. Pameran ruang terbuka, menurut dia, perlu ditingkatkan agar semakin banyak masyarakat yang dapat mengakses karya seni. “Menarik bila seniman bikin karya yang komunikatif di jalan raya, lapangan terbuka, atau di pantai.” Karya-karya perupa itu mengisi ruang-ruang kosong di Salihara dengan efektif. Seni terasa lebih gampang dinikmati karena tak perlu repot masuk ruang galeri. Karya estetik dapat dijangkau dengan sekadar duduk di taman atau dalam perjalanan ke kamar mandi. “Seni rupa biasanya cenderung eksklusif dan komersial, tapi di ruang terbuka, siapa saja bisa mengaksesnya,” ujar Valasara. ●