2015: Tantangan untuk perikanan budidaya

Page 1

2015: Tantangan Untuk Perikanan Budidaya Oleh: Romi Novriadi, S.Pd.Kim. M.Sc Peneliti Balai Perikanan Budidaya Laut Batam PO BOX 60 Sekupang Batam – 29422 E-mail: Romi_bbl@yahoo.co.id Saat ini, FAO memperkirakan bahwa kebutuhan global terhadap ikan dan produk hasil pengolahan ikan pada tahun 2015 meningkat hingga 183 juta ton. Hal ini berarti terdapat peningkatan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan jumlah permintaan di tahun 1999/2000 yang mencapai 133 Juta ton. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat global terhadap produk perikanan sangat tinggi sehingga seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, tiap tahunnya permintaan terhadap produk perikanan meningkat sebesar 3.1%. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah kecepatan kenaikan permintaan ikan (demand) ini dapat diimbangi dengan peningkatan jumlah produksi (supply)? Pertanyaan yang cukup sulit bila merujuk pada data FAO yang memperkirakan jumlah produksi ikan dunia di tahun 2015 hanya mencapai 172 juta ton. Namun, kondisi ini tentu menjadi tantangan dan peluang yang cukup besar bagi semua pihak yang ingin meningkatkan perekonomian dari sektor perikanan. Terdapat dua sektor di bidang perikanan, yakni sektor budidaya dan tangkap. Sektro tangkap saat ini terus berbenah dengan terus menjaga daerah maritim Indonesia dari upaya pencurian ikan yang dilakukan oleh nelayan asing. Namun, aktivitas penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan eksploitasi yang berkelanjutan menjadikan sektor tangkap berada pada titik jenuh dan bahkan di beberapa wilayah sudah terjadi over fishing. Harapan utama untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat ini datang dari sektor perikanan budidaya, baik budidaya ikan air tawar, payau maupun laut , yang masih memiliki ruang yang cukup luas untuk pengembangan dan peningkatan jumlah produksi. Bila dilihat dari peta global, di Tahun 2013, China masih menjadi negara produsen perikanan budidaya terbesar dengan total produksi mencapai 50 juta ton, sementara Indonesia berada di peringkat kedua dengan jumlah produksi mencapai 8 juta ton. Secara umum, negaranegara di Asia berkontribusi lebih dari 90% produksi ikan budidaya yang diikuti oleh Amerika, Eropa, Afrika dan Oseania (FAO, 2013). Dalam hal produksi, Indonesia dinilai masih mampu meningkatkan jumlah produksi dan bahkan diprediksi dapat melebihi jumlah produksi yang dihasilkan oleh China bila mampu mengatasi tantangan dalam sistem produksi.


Terdapat 4 (empat) tantangan utama dalam pengembangan sistem budidaya di Indonesia: (1) Ketersediaan benih berkualitas, (2) Ketersediaan pakan dengan bahan baku lokal, (3) Dukungan teknologi dan (4) Kebijakan pemerintah yang pro pembudidaya. Tantangan pertama yang difokuskan kepada ketersediaan benih menjadi cukup vital karena benih merupakan awal dari mata rantai produksi. Benih yang dibutuhkan tidak hanya bersifat kuantitatif, namun aspek kualitatif yang menjadikan benih digolongkan sebagai benih unggul dan berkualitas juga sangat penting. Saat ini, pemerintah melalui balai riset dan balai perikanan telah mampu memproduksi benih berkualitas dan bahkan memiliki status Specific pathogen Free (SPF) dan Specific Pathogen Resitance (SPR) untuk menghindari timbulnya wabah penyakit. Namun, untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat, keterlibatan masyarakat dan pihak swasta sangat dibutuhkan. Peran aktif yang diharapkan adalah dengan membangun dan mengembangkan sentra-sentra benih yang dapat menghasilkan benih dalam jumlah besar, berkualitas, standar dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan pembudidaya. Tantangan kedua adalah ketersediaan pakan dengan bahan baku lokal. Hal ini bertujuan agar nilai produksi ikan budidaya kita dapat bersaing dengan produksi negara tetangga yang diperkirakan akan turut “meramaikan� pasar lokal sebagai akibat dibukanya kran perdagangan bebas dalam kerangkan Asean Free Trade Area di tahun 2015 ini. Ketersediaan pakan menjadi penting, karena hampir 60% biaya produksi berasal dari pakan, sehingga pakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Permasalahan tentang pakan timbul karena sebahagian besar bahan baku pakan, seperti: feed binder, fish oil, fish feed blood worm dan fish meal masih dalam status impor. Kondisi ini tentu saja menjadikan nilai produksi ikan budidaya kita sangat tergantung terhadap fluktuasi nilai pakan. Keinginan untuk memproduksi pakan dengan bahan baku lokal terhambat oleh iklim global yang menyebabkan gagal panen pada komoditas jagung, gandum atau kedelai sebagai sumber utama protein pada pakan. Hambatan lain juga dating dari fluktuasi nilai tukar rupiah yng menjadikan banyak produsen fish meal dan fish oil di Indonesia lebih tergiur untuk melakukan aktivitas ekspor daripada menjadi penyedia bahan baku untuk produksi pakan ikan lokal. Diini letak kearifan pemerintah sangat diharapkan, khususnya dalam membatasi kuota ekspor bahan baku pmbuatan pakan dan membebaskan bea masuk untuk memenuhi kekurangan bahan baku pembuatan pkan. Pakan yang baik, berkualitas dan murah tentu menjadi harapan tersendiri bagi para pelaku usaha budidaya. Pakan dengan asupan nutrisi yang cukup membantu peningkatan performa pertumbuhan ikan budidaya dan juga meningkatkan sistem kekebalan tubuh ikan dalam menghadapi infeksi patogen dan degradasi kualitas lingkungan pemeliharaan. Pakan djuga diharapkan bebas dari kontaminan, karena kontaminasi mikotoksin yang disebabkan oleh pakan akan mengganggu pertumbuhan secara fisiologis maupun histologist yang berakibat kepada menurunnya kekebalan tubuh ikan terhadap penyakit.


Dua tantangan diatas tentu erat kaitannya dengan dukungan teknologi yang menjadi salah satu tantangan dalam pengembangan industri perikanan budidaya. Teknologi yang dikembangkan harus bersifat aplikatif dan adaptif terhadap kebutuhan produksi. Dalam konteks produksi benih unggul, penggunaan teknologi molekuler untuk memberikan informasi keberagaman genetik sangat dibutuhkan. Melalui kegiatan jejaring pemuliaan induk, masyarakat pembudidaya dapat mendapatkan induk kualitas unggul yang menjadikan produksi benih juga unggul dan lebih tahan terhadap serangan infeksi penyakit. Teknologi juga dibutuhkan dalam produksi pakan dengan komposisi nutrisi, daya cerna dan higienitas yang baik sehingga tidak berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan pemeliharaan. Dukungan teknologi tentu saja tidak hanya terfokus pada penyediaan benih dan pakan berkualitas, beberapa aspek pendukung produksi seperti penguatan teknologi di bidang pengendalian penyakit dan kualitas lingkungan juga patut mendapatkan perhatian yang besar. Dukungan ini didasari oleh fakta bahwa Kerugian ekonomi pada industri budidaya akibat timbulnya wabah penyakit diperkirakan dapat mencapai US$ 9 miliar per tahun (Subasinghe et al., 2001) dan tentu saja juga akan berdampak kepada penurunan jumlah produksi komoditas ikan budidaya di seluruh dunia. Tindakan pengobatan, diantaranya dengan penggunaan antibiotika dan berbagai bahan kimia lainnya harus sudah ditinggalkan. Penggunaan senyawa antibiotika ataupun bahan kimia disamping dapat menyebabkan resistensi terhadap antibiotika tertentu juga akan mengakibatkan alergi pada manusia yang mengkonsumsi produk akhir yang masih memiliki residu senyawa dimaksud. Oleh karena itu, pengembangan teknologi di bidang pencegahan penyakit mellaui penguatan sistem kekebalan tubuh ikan menjadi sangat penting. Beberapa teknologi aplikatif sudah dikembangkan, seperti teknologi vaksinasi, immunostimulan, probiotik dan multivitamin, namun penggunaan yang efektif dan tepat guna harus melalui berbagai kajian lanjutan. Keseluruhan strategi diatas tentu hanya akan menjadi wacana bila tidak mendapat dukungan optimal dari pemerintah. Oleh karena itu tantangan selanjutnya dalam pengembangan sektor perikana budidaya adalah bagaimana agar berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selalu berpihak kepada kesejahteraan dan kelancaran produksi masyarakat pembudidaya. Salah satu kebijakan yang sangat penting adalah implementasi tata ruang wilayah untuk produksi perikanan budidaya. Wilayah produksi hendaknya tidak berdekatan dengan sektor pemukiman, industri ataupun pertambangan. Karena limbah dari ketiga aktivitas tersebut akan berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan produksi. Kajian yang telah dilakukan penulis sebelumnya bahkan menyebutkan kerugian ekonomi akibat limbah pertambangan bauksit di Kabupaten Bintan mencapai miliaran rupiah. Bila tidak ada tindakan tegas, potensi wilayah untuk pengembangan industri perikanan budidaya akan semakin berkurang.


Kebijakan lain yang diharapkan adalah membuka akses atau wilayah baru untuk pemasaran komoditas ikan budidaya serta diberlakukannya pemberian ijin masuk bagi kapal asing (baca: hongkong) untuk mengangkut hasil produksi perikanan budidayadi Indonesia. Dibukanya kran kapal asing ini ini mungkin terlihat kontradiktif ditengah semangat kebijakan moratorium kapal asing yang diberlakukan hingga April 2015, namun patut diingat bahwa kapal asing untuk keperluan perikanan tangkap sepenuhnya berbeda dengan kapal pengangkut ikan hasil budidaya. Sistem pengangkutan ikan budidaya selalu dijalankan secara sistematis, sah, transparan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Disamping hal tersebut, kita tidak bisa menutup mata bahwa beberapa dekade terakhir para pembudidaya khususnya untuk untuk komoditas ikan laut seperti Kerapu, sangat mengandalkan kedatangan kapal pengangkut ini agar produksi mereka dapat terus berjalan dan yang lebih penting adalah tidak adanya kekhawatiran bila ikan hasil budidaya mereka ditolak karena berbagai alasan standarisasi bila dibawa secara mandiri Dalam hal membuka akses pasar baru untuk pemasaran hasil produksi, dukungan pihak swasta sangat dibutuhkan khususnya dalam menjalin kerjasama dengan negara atau wilayah baru untuk tujuan ekspor serta memperkuat dan meningkatkan volume ekspor dengan negara yang sudah menjalin kerjasama di sektor perikanan budidaya. Saat ini transformasi pola makan menuju trend healthy food life style, seperti di timur tengah, harus diperhatikan sebagai momen untuk menjalin kerjasama agar volume ekspor ikan hasil budidaya Indonesia terus meningkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, dukungan back to back dengan pemerintah melalui upaya diplomatis harus terus diperkuat. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Vietnam yang serius dalam membangun dan memperluas akses pasar bagi hasil produksi ikan budidaya. Bila kita perhatikan di pasar-pasar di Eropa, sangat mudah untuk menemukan produk ikan Patin Pangasius sp dari Vietnam dengan berbagai ukuran dan volume. Satu-satunya kendala yakni tidak dimilikinya label sertifikasi Internasional bisa diatasi bila ada good will dan sinergitas antara pemerintah dan pengusaha dalam meningkatkan volume ekspor yang tentunya akan berdampak positif kepada pembangunan ekonomi. Kebijakan lain yang dapat diambil adalah adanya dukungan subsidi bagi para pelaku usaha khususnya untuk bahan bakar minyak, pakan dan sarana produksi. Kebijakan ini diambil agar para pelaku usaha budidaya yang menjadi ujung tombak produksi perikanan tidak berjuang sendiri dalam mempertahankan usaha perikanan budidaya. Kita tentu berharap, dalam skala daerah, Provinsi Kepri juga ikut turut andil dalam mewujudkan peningkatan produksi untuk penyediaan bahan baku pangan baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional. Hal ini menjadi sangat vital mengingat di tahun 2015, Kepri menjadi salah satu “pintu gerbang� pelaksanaan AFTA yang pastinya akan menghadirkan persaingan ketat di pasar lokal. Kita berharap di tahun 2015, yang juga manjadi tahun pergantian Kepala Daerah, akan menghasilkan pemimpin dengan visi visi dan pengetahuan


kemaritiman yang kuat serta berani menjadikan sektor perikanan budidaya sebagai pondasi pembangunan ekonomi. Bila ini mampu diwujudkan, tentu kasus impor lele Malaysia yang dianggap lebih murah tidak akan terjadi lagi dan produk perikanan budidaya kita mampu menjadi raja dan dikonsumsi di negeri sendiri***


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.