HARI PUISI INDONESIA
Riau Pos
ahad, 20 Mei 2018
22
Srie Astuty Asdi PEREMPUAN SEPARUH SENJA
Tiada lelah berpendar dalam rungu
Perempuan separuh senja Menaruh cinta yang temaram Saat jingga mulai remang Dan angin berbisik tentang malam Begitu ikhlas ia bertaruh Berseteru dengan waktu Memendam hasrat biru Di tabuhan dedaunan layu Langit terlanjur mendung Pekat, mengecup kening petang Menahan duka di gurat cakrawala Jatuh ke hati rebaslah segala Perempuan separuh senja Kelopaknya menadah gerimis Akankah teja menukar durja Usaikan lara yang meritmis
Angin pengarak pagi mulakan selaksa puja Lewat seruling bertiup mengirama Tanpa warna tanpa suara mencarimu Alunan lembut menyampaikan seutas rindu
Aku perempuan senja Yang menantimu sebelum malam!
Selayak cahaya malam seribu bulan Pancaran penembus jiwa di keremangan Memanggil hati-hati perindu ampunan Seruan seorang hamba mendoa pada Tuhan
Udara, matahari, dan angin hanyalah seibarat kata Di balik cadar kujadikan sebuah ingin selayak pujangga Euforia cinta penyembuh segala duka Tertuang sendu dalam bait-bait bernyawa Makassar, 03 Oktober 2017
KASIH RAMADAN
Makassar, 21 September 2017
Doa-doa meluah menukik belahan langit Di atas tangan-tangan tengadah yang menjerit Mengetuk pintu-pintu memohon tobat Melalui sayap-sayap putih para malaikat
LELAKI PENGHAPUS DUKA Gerimis satu-satu itulah kasihmu Lewat rinainya kausampaikan padaku Rumput-rumput bergoyang itu pula asihmu Tarian sempurna gemulai mengikutiku
Ramadan, sepenuh kemuliaan menggenggam kasih Membawa magfirah dalam sujud tarawih Pembuka jalan bagi dosa-dosa berselisih Tuk kembali kepada fitrah sarat asih
Embun jatuh mengusap ranahku Membangunkan penat di sekujurku Ialah bening yang bermuara dari matamu Pesan tinta mengucap salam kepadaku
Pada hamparan permadani suci Kulafalkan segala kotoran hati Berharap Engkau bersihkan dari muka bumi Entaskan surga di raga, semisal nirwana nan abadi
Sepenuh jiwa pandanglah bungaku Mekar sebinar nun di putikku Daun-daun luruh pada jemarimu Lebur menabuh aksaramu yang deru
Makassar, 07 Juni 2017
TANGIS RAMADAN Serupa doa-doa cinta mengecup ubunku Engkau mantra melahirkan candu Mengajakku rebah di dahan rindu Usaikan pilu yang melelahkanku
Biarkan hati lelap di bejana mimpi Menuntun denyut terbungkus kafan ambisi Pada batin kerap buta sajian syahwat Kelakuan tanpa alas membingkai riwayat
Oh lelaki penghapus duka ... Sambutlah aku selaku perempuanmu!
Kepulan nafsu berkabut di haluan kalbu Terinjak diri bertarung di kaki waktu Miskin iman limbah membusuk akal Bukankah akhlak warisan termahal?
Makassar, 30 Agustus 2017
DI SEPERTIGA MALAM Kabut-kabut tertidur di aspal malam Embun-embun pulas dalam pejam Angin seakan bisu ditunggangi kelam Jangkrik-jangkrik pun ikut terdiam Serupa mata langit rembulan sayup Perlahan binarnya mengatup Setengah melingkar bagai telungkup Membungkus malam yang semakin redup Tepat sepertiga waktu, jiwa-jiwa sembahyang Khusyuk di altar sajadah panjang Cengkerama selayak sang cenayang Mengadu pinta pada Sang Mahapenyayang Di antara cinta dan dosa meregang Airmata, saksi kemesraan tiada senjang Bersimpuh sebelum ajal datang Ialah Rabb dan hamba-Nya yang tengah berkasih sayang Makassar, 28 Oktober 2017 NELANGSA Semisal kepergian mata isak bicara
Aku mencari meski membumi seteru Tiada api membakar lidah ilmu Di ujung kening terlihat kelamnya kubur Mengerti kaji membuka alam pikir Bersimbah sesal mendaratkan tangis tabu Lesap busur dunia membidik ikrar palsu Teriak ramadan di pungguk kudus bulan Wahai jiwa temui azan fitrah cikal insan Tangis ramai bersuara di atas pusara Seluruh deru jiwa tumpah terjatuh Disertai daun-daun kamboja yang luruh Luka-luka pun mekar melebam Rintih-rintih pecah menikam Pintu-pintu nelangsa tergelar Duka-duka dicipta terlantar Aku kini adalah budak keheningan Bergelimang angan yang terabaikan Menyimpan lelah dari harap inginku Sampai berkali kedipan mata ialah risauku Tuhan! Ajari aku tentang damai!
Tanggalkan segala yang kurindui, Hingga tiba kematian dan aku pun lerai! Makassar, 22 Juni 2017
Niscaya kabar tertaut satu surat Tuhan Setetes mani larung pada kuasa kun faya kun Sejengkal syukur luruh hamba tiada daya Sebab terlahir hakikat mengabdi pada-Nya
BAIT BERNYAWA
Makassar, 02 Juni 2017
Udara basah menyentuh sekujur raga Mengembara tanpa suara susuri rongga Meruap ke muara tubuh kenali sunyi Namun olehku terdengar meski tanpa bunyi Matahari biru beralih ke dadaku sepenuh cahaya Semesta merindu genapkan seribu damba Menjumpaimu di setiap mata waktu
Srie Astuty Asdi kelahiran Makassar 6 Januari 1974 . Sejak lama mencintai sastra dan mulai gencar menulis sejak 2014. Puisinya dimuat di beberapa media lokal dan nasional.
ALINEA
Takjil Waspadai Takjil Berwarna Cerah. Warga Kerumuni Dagangan Penjual Takjil Cantik di Pasar Rawamangun. Serunya Berburu Takjil Sekaligus Sembako Murah. BPOM Bandung Pantau Takjil Berbahaya. Itulah judul-judul berita tentang takjil yang dimuat di koran pada Ramadan tahun lalu. Menyimak makna kata takjil pada juduljudul tersebut, secara leksikal kata “takjil” merupakan nomina yang dimaknai sebagai makanan untuk berbuka puasa. Tidak hanya di koran atau media massa lainnya, masyarakat Indonesia secara luas juga beranggapan demikian. Artinya, secara meluas takjil dikategorikan sebagai nomina yang bermakna makanan untuk berbuka puasa. Benarkah makna takjil yang “sebenarnya” adalah makanan untuk berbuka puasa? Kata takjil merupakan unsur serapan yang berasal dari bahasa Arab. Kata ta’jil dalam bahasa Arab bermakna “bersegera” atau “menyegerakan”. Kata ini termaktub dalam hadis Nabi Muhammad yang menganjurkan umat Islam untuk berbuka dengan bersegera atau menyegerakan berbuka ketika sudah sampai waktunya. Kata takjil dalam KBBI dikategorikan sebagai verba yang bermakna “mempercepat (dalam berbuka puasa)”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna yang diambil oleh KBBI sesuai dengan makna kata takjil dalam bahasa Arab. Akan tetapi, redaktur: KUNNI MASROHANTI
masyarakat dan media tidak memaknai kata takjil seperti makna sebenarnya dalam bahasa Arab atau makna leksikal yang sudah tercantum di KBBI. Menyikapi beredarnya makna kata takjil sebagai nomina (makanan untuk berbuka puasa) secara luas di masyarakat Indonesia, akhirnya pada KBBI edisi ke-5 yang diluncurkan pada 26 November 2016 dimunculkan makna kedua tersebut. Jadi, makna pertama kata takjil adalah verba “mempercepat (dalam berbuka puasa)” dan nomina “makanan untuk berbuka puasa”. Kasus yang sama terjadi pada akronim tol. Sebagian besar orang Indonesia menganggap tol sebagai adjektiva yang bermakna “bebas hambatan”, jalan tol disebut jalan bebas hambatan. Dalam berbagai kesempatan, kita mendengar dan membaca akronim tol juga dimaknai demikian. Pertanyaannya adalah apakah tol memang bermakna bebas hambatan dalam bahasa sumbernya? TOL merupakan singkatan dari tax on location, secara harfiah dimaknai “bea di lokasi atau bayar di lokasi”. Istilah TOL dilekatkan pada benda atau fasilitas yang berbayar, misalnya jalan raya. Jadi, jalan tol itu mestinya dimaknai sebagai jalan berbayar. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan tol sebagai (1) nomina; pajak untuk memasuki jalan tertentu (misalnya jalan bebas hambatan, jalan layang); (2) jalan yang mengenakan bea
Indonesia yang paling bagi pemakainya; (3) populer: minal aidin bea masuk kendaraan wal faizin, mohon atau barang impor maaf lahir dan batin. lain; dan (4) pintu Kalimat ini tertulis di cukai, gerbang cukai. kartu lebaran, kotak Keempat arti tol dalam KBBI tersebut neon, papan iklan, mengategorikannya kain rentang, televisi, sebagai nomina, bumedia sosial, koran, kan adjektiva yang dan lainnya. b er makna “b ebas Fatmawati Adnan Berkaitan dengan hambatan”. rangkaian kata-kata Balai Bahasa Riau Kasus unsur seratersebut dilakukan pan lainnya yang dimaknai ber- survei sederhana kepada sejumbeda dengan konsep dasar dalam lah siswa, mahasiswa, guru, dan bahasa sumber adalah kata absen. masyarakat umum. Pertanyaan Kita sering mendengar orang yang diajukan adalah apakah mengatakan kalimat “saya ke makna “minal aidin wal faizin”? kantor mengisi absen”. Kata absen Berdasarkan hasil survei tersebut diserap dari bahasa Inggris absent, dapat dikemukakan bahwa 90% di KBBI kata ini didefinisikan responden menjawab “mohon “tidak masuk (sekolah, kerja, dan maaf lahir dan batin”, 7% mensebagainya); tidak hadir”. Jadi, jawab tidak tahu, dan 3% mengakalimat “saya ke kantor mengisi takan ada makna lain. 90% responden menyatakan absen” tidak logis digunakan. Kalimat tersebut memaknai kata bahwa makna minal aidin wal absen sebagai daftar hadir atau faizin adalah mohon maaf lahir kehadiran. Padahal, makna sebe- dan batin. Benarkah demikian? narnya justru sebaliknya, yaitu Secara harfiah minal aidin wal ketidakhadiran. faizin artinya adalah “Termasuk TOL dan absen dimaknai ber- dari orang-orang yang kembali beda dengan konsep dasar kata sebagai orang yang menang”. tersebut dalam bahasa Inggris. Pada zaman khulafah-urrosyidin, Meskipun masyarakat sering ucapan minal aidin wal faizin menggunakan konsep yang ber- digunakan sebagai ungkapan beda itu, pada KBBI edisi terbaru bangga atas kemenangan perang (edisi 5) belum dimunculkan yang sebenarnya, misalnya Perang makna tambahan, seperti yang Badar. dialami kata takjil. Barangkali, minal aidin wal Setelah kata takjil selama bulan faizin diucapkan ketika lebaran Ramadan, ketika idul fitri mulai karena bulan Ramadan adalah mendekat, muncullah rangkaian bulan yang penuh perjuangan kata-kata berbahasa Arab dan untuk mendapatkan rahmat dan
ampunan Allah Taala. Semua kebaikan tersebut diperoleh melalui perjuangan melakukan amal ibadah dan melawan hawa nafsu. Setelah Ramadan selesai, harapan yang dipohonkan adalah semoga kita termasuk orang-orang yang kembali sebagai orang yang menang. Dalam budaya Arab, ucapan yang disampaikan ketika menyambut Hari Idul Fitri (yang mengikuti teladan Nabi Muhammad Saw.) adalah "Taqabbalallahu minna waminkum", kemudian menurut riwayat, ucapan nabi ini ditambahkan oleh orang-orang yang dekat dengan zaman nabi dengan kata-kata "Shiyamana wa shiyamakum", yang artinya puasaku dan puasamu, sehingga kalimat lengkapnya menjadi "Taqabbalallahuminna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum" (Semoga Allah menerima amalan puasa saya dan kamu) (Aditama, 2017). Dilihat dari situasi kebahasaan dapat dikatakan bahwa unsur bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dapat mengalami “pergeseran” makna. Mengapa makna yang dimunculkan dalam bahasa Indonesia berbeda dengan konsep dasar unsur serapan tersebut? Bagaimana penyebarluasannya sehingga “makna yang tidak sebenarnya” yang lebih dikenal dan digunakan oleh masyarakat? Jika ditelusuri masih banyak ditemukan kasus penerjemahan yang “melenceng” dari konsep dasar dalam bahasa sumber. Sa-
lah satu penyebab terjadinya hal ini adalah faktor ketidaktahuan. Artinya, informasi tentang ini tidak menyebar luas di kalangan masyarakat. Sementara itu, “makna yang tidak sebenarnya” digunakan secara merajalela di berbagai kalangan, baik lisan maupun tulis. Pemerintah dan media massa berperan besar dalam penyebarluasan “makna yang tidak sebenarnya”. Menyikapi situasi yang seperti ini, sudah seharusnya lembaga, media massa, dan orang-orang yang berwenang hendaknya melakukan upaya-upaya penyebarluasan informasi kebahasaan. Dengan demikian, penerjemahan unsur serapan bahasa asing tidak bertentangan atau menyalahi konsep dasar makna sebenarnya dalam bahasa sumber. Selain itu, masyarakat juga akan mengetahui, memahami, dan menggunakan unsur serapan bahasa asing sesuai dengan makna yang tepat. Berbahasa yang cerdas tidak sekadar berujar, tetapi juga memahami makna yang tepat dan sesuai. Berkata, bermakna, bersesuaian. Kembali ke kata takjil, bagi mereka yang sudah mengetahui makna “sebenarnya” sesuai konteks bahasa Arab (bersegera), sepertinya untuk penggunaan sehari-hari tetap “harus” mengacu pada makna “makanan untuk berbuka”. Sebab, makna kedua dalam KBBI inilah yang lebih dikenal dan digunakan dalam masyarakat. Hal ini bisa dibuktikan sendiri jika kita ke Pasar Ramadan petang ini.*** tata letak: arif oktafian