2017 09 10

Page 23

HARI PUISI

Riau Pos

AHAD, 10 SEPTEMBER 2017

23

PUISI-PUISI MUSA ISMAIL ?Di Manakah Kita Sungai Sejarah telah dikoyak oleh kapal-kapal Lunglai Laut Segala harapan tak bisa berpaut Kecut Darat Pohon-pohon larat Sekarat Udara Angin-angin sengsara Lara Tanah Semburkan nanah-nanah, tak sudah-sudah Resah Rumah Disinggah, dijamah, dijarah Susah Kebun-kebun Ditanam dosa bertahun-tahun Bertimbun-timbun Siak Sisakan tangisan terisak-isak Sebak Kampar Kayu-kayu terkapar lapar Terdampar Kuantan Mengundang banjir-banjir di kala hujan Kesian Dumai Minyak-minyak diintai Tersadai Bengkalis, kaya Cahaya-cahaya kemarau, pedih menangis Teriris, miskin Tembilahan Barisan kelapa yang kelaparan Kedinginan Rokan Tak kutemukan lagi ikan-ikan menawan di atas bagan Beragan Pekanbaru Di mana jati Melayu Tak malu Ke mana lagi akan kita labuhkan kehendak Ke manakah hilangnya tempat berpijak Semua tempat hanya menyisakan sesak Semuanya berada dalam cermin yang retak Bilik Puisi, 30 Safar 1438/30 November 2016

Istana Cahaya Perjalanan rindu ke istana cahaya Cahaya istana melinyau ke mihrab cinta Tempat wajah hati tersungkur ke langit Siak Melukis mimpi-mimpi sejarah dari batang terendam

dalam petang menyambut kelam juga malam-malam yang amat dalam

Sungai Jantan tersenyum hingga senja merekah Menyapa istana cahaya sejak pagi berbunga embun Tempat tamasya raja-raja cahaya di singgasana kemuliaan Air yang ngalir ke hulu ke hilir, menderas tanpa lelah Arus yang berubah, tapi di mihrab istana Kemilau cahaya membias di tepian

Persinggahan ini adalah senda gurau Taman bermain di ujung senja Kita semua pasti ke sana Suatu persinggahan di ujung keabadian

Asserayah Al Hasyimiah, istana cahaya di gerbang sungai Berebut tangkap dalam keabadian kuasa Marwah berkedip lagi setelah sekian lama dihimpit malam

Bong San Ting

Tak ada gelap lagi dan keriuhan mulai menepis kesunyian Dirangkulan cahaya bulan, nyaman dalam rasa kenangan Para pendatang lalu lalang Berkaki telanjang dalam perjalanan Suluh istana Suluh hati Suluh pikir Suluh raga .Suluh semesta-Nya )Siak, Sabtu, 5 Agustus 2017(

Sri Laksamana, Suatu Persinggahan Pagi, gemulai angin membelai kering Dedaunan palm gembira dalam kabut Bergulung-gulung bersama derasnya arus selat ?Di sini, masih ingatkah kita pada kapal Selalu jujur dan setia pada setiap pelayaran Pancang-pancang jambat di ujung langkah Begitu gagah mengayun setiap kepergian Bagai lalai pada persinggahan senggam ini Meskipun kabut azab dan kerontang panjang mencegat Tetap tak larat menghentikan kepergian kita Kapal-kapal datang, lalu pergi membawa kita Entah dalam terang atau dalam kelam Tapi, begitulah kejujuran dan kesetiaan Akankah teruji oleh kemarau panjang di simpang ?hati

Di suatu pelabuhan, 15 Februari 2016

Gundukan tanah setelah gerbang merah juga tembok-tembok tua yang terponggok megah adalah perhentian dan pengharapan tak sampai Di situ, terbaring jasad-jasad yang tersiksa dibanting kemewahan sementara di dunia Menggelepar dalam bilik sempit hitam pekat Tersebab tak ada tahajud pembawa kandil kemerlap Meskipun hujan menyimbah Tak 'kan mencuci dosa Di perbukitan sekalipun, dosa bagai kapas basah Pepohonan rindang setelah gerbang itu Juga tak sanggup menahan panas Gundukan tanah itu merekah karena kegersangan ibadah Di perbukitan harapan Tak tentu arah, mematung beku di persimpangan gelisah Jasad-jasad busuk itu cuma terkapar menjalani penghakiman !Atas pengkhianatan mereka kepada Allah Pada nisan harta, cuma terukir nama Rohnya resah dalam perjalanan panjang Walau merah menyala, haus akan cahaya yang sebenarnya Dikekang nafsu dunia, begitu mendera Membangkai dalam mimpi-mimpi bahagia Dari gerbang langit Bukit-bukit harapan itu menyimpan sengsara Merana dan sesal tak selesai membingkai Tertelungkup dalam bemu hingga kiamat tiba !Celaka Bengkalis, 12 Maret 2015

Sembilu di Pulau Seberang

terus terbuai pulas dalam angan berkepanjangan Lebam dan keruh selat adalah peluh rakyat datang dan pergi pada siang dan pagi menggantung nasib di badan sampan Lalu, disapu matahari, legam Sembilu yang menancap di pulau seberang menggarang, mengerang, menghalang seperti kabut yang telah berubah menjadi musim tapi air selat tetap tenang, dibuai mimpi indah semalaman Kapal terus berjalan, memecah selat Pulau di seberang lemas bagai mayat Selat Bengkalis, 13 Oktober 2016

Kabut Selat Tanker minyak menebas air selat yang deras Adalah perut rakyat, tergilas melelas Tak ada lagi belas Cuma lukisan seringai singa tergantung di tepi senja Menyuarakan gerun dari lunas kapal Kabut yang menggantung di ujung air Bagaikan bangkai dilanyak kapal Adalah mata rakyat, pedih menganga Cuma tinggal sedikit bening di awal hari Belum larat nak mencuci muka Berharap Riau pada riak selat Laksana menggantang asap Adalah rakyat, pikirannya tersayat Cuma sisa sedikit angan terkepal di tangan Belum siap nak mengangkat lengan Hari-hari kabut menyapa selat Angin tak sanggup mengibasnya Lalu-lalang kapal terus saja menghancurkan mimpi Tersadai berkeping-keping di pulau seberang Bersepai pecah di ujung kabut

Persinggahan ini hanya sementara Sekedar melepas lelah dan sesak hari-hari Tersebab perjalanan masih terlalu jauh Sampai pada terminal keabadian di ujung sirat itu Tempat yang Engkau janjikan kenikmatan tiada hingg

Renyai hujan menjelang petang ketika kapal akan menyeberang Arus selat yang tenang hanyutkan perasaan bagai dimainkan riak gelombang

!Kita akan Punah

Bersimpuhlah kita di setiap waktu persinggahan dalam subuh yang menyentuh dalam pagi mulai meninggi dalam siang penuh perhitungan

Dari Sungai Selari Pulau gemilang di seberang terhalang pandang laksana dibungkus kelambu di waktu malam Deru angin tak sanggup menyapu

Matahari merah Terbelah Berdarah

ď Ž REDAKTUR: KUNNI MASROHANTI

Bengkalis, 12 Maret 2017

Bernanah Mungkin Tuhan marah Matahari pecah Dihempas serakah Diserapah !Makan sumpah Matahari marah Akankah kita pasrah Menghunus amanah Tuhan benar-benar marah Matahari sudah parah Panas bagai panah Menikam-nikam barah dalam diri kita !PUNAH Bilik Puisi, 27 Zulkaidah 1437 H/30 Agustus 2016

Musa Ismail dilahirkan di Pulau Buru Karimun, 14 Maret 1971. Karyanya adalah kumpulan cerpen Sebuah Kesaksian (2002), esai sastra-budaya Membela Marwah Melayu (2007), novel Tangisan Batang Pudu (2008), kumpulan cerpen Tuan Presiden, Keranda, dan Kapal Sabut (2009), kumpulan cerpen Hikayat Kampung Asap (2010), novel Lautan Rindu (2010), dan kumpulan cerpen Surga yang Terkunci (2015). Pernah meraih Anugerah Sagang kategori buku pilihan (2010) dan peraih Anugerah Pemangku Prestasi Seni Disbudpar Provinsi Riau (2012). Puisi-puisinya terjalin dalam beberapa antologi karya pilihan harian Riau Pos, antologi Setanggi Junjungan (FAM Publishing, 2016), antologi puisi HPI Menderas sampai ke Siak (2017), dan Mufakat Air (2017). Karya-karyanya dimuat di Riau Pos, Riau Mandiri, Batam Pos, Tabloid Tepak, Tabloid Tanjak (Daring), Annida, dan Suara Merdeka. ď Ž TATA LETAK: SYUKRI


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
2017 09 10 by Riau Pos - Issuu