KEMBAYAT
24
Riau Pos AHAD, 2 OKTOBER R 2016
Cerpen ADAM YUDHISTIRA
Udin Ingin Pergi ke Surga GEMBIRA di wajah Udin secerah langit tengah hari. Ia duduk di bale-bale bambu sembari menantikan penjelasan ibunya tentang surga. Tidak ada hal lain yang bisa membuat Udin begitu gembira sekaligus penasaran selain surga. Sejak kecil Udin hanya tinggal bersama ibunya. Bila ia sedang merindukan sosok bapaknya, maka ia akan merengek-rengek dan bertanya tentang surga, sebab setiap kali ia bertanya tentang bapaknya, maka ibunya pasti memberi satu jawaban yang disukainya: bapaknya ada di surga. “Di surga, aku betul bisa bertemu dengan bapak?” tanya Udin. “Oh tentu,” sahut Julaiha. “Di sana bapak menunggu kita. Kau bisa bertemu bapak di surga asal kau rajin salat, Nak. Kau sudah salat?” “Aku baru selesai salat Zuhur, Mak,” jawab Udin riang. “Iya, baguslah,” jawab Julaiha sembari mengusap kening anaknya. “Kau pasti akan bertemu bapak di surga.” Udin mengangguk kemudian meraih tangan ibunya. “Aku pergi dulu, Mak. Mang Kasim pasti sudah menungguku di dermaga, assalamualaikum....” katanya usai mencium punggung tangan Julaiha. “Walaikumsalam, hati-hati, Nak.” Julaiha memandangi tubuh bocah kecil itu dengan dada rengkah seperti dihantam kayu berduri. Udin selalu merindukan bapaknya. Sungguh sebuah kerinduan yang tak akan pernah sampai ke muara. *** Selepas pulang sekolah Udin pergi ke dermaga menemui Mang Kasim. Dengan perahunya, Mang Kasim kerap mengajak Udin mengantar hasil bumi dari desa-desa di pesisir yang hendak dijual ke kota kabupaten. Jalur sungai menjadi pilihan penduduk satu-satunya, sebab jalan beraspal belum sampai ke desa mereka. Biasanya, selesai membantu Mang Kasim, Udin akan duduk di dermaga sampai senja. Tempat itu sebetulnya tidak layak disebut dermaga, tapi penduduk sekitar sudah kadung menyebutnya dermaga. Hanya ada sebuah gubug kecil beratap daun nipah dan beberapa tonggak kayu untuk menautkan tali perahu di sana. Gubug itu milik Mang Kasim. Letaknya tepat menghadap ke sungai dan perbukitan. Udin pernah diceritai guru agamanya, bahwa di surga mengalir sungai-sungai dan gunung-gunung bercahaya. Senja yang berkilau dan mengoleskan pendarnya di permukaan sunga, warna kemerahan yang membungkus perbukitan, membuat Udin menjiwai apa yang diceritakan guru agamanya. “Mang, apa kau pernah pergi ke surga?” tanya Udin pada lelaki beruban yang sedang duduk di sampingnya menjirat jala yang terkoyak. Siang hari sudah berganti menjadi senja ketika Udin melempar tanya itu pada Mang Kasim. Lelaki tua itu terkekeh, “Kalau ingin pergi ke Surga berarti aku harus mati dulu, Din.” “Kalau begitu Bapakku memang sudah mati.” Pandangan mata bocah itu lesat menembus awan-awan pirau di manik langit. Bola mata lugu itu berkaca-kaca. “Ibu selalu bilang kalau Bapak ada di Surga.” Mang Kasim menghela napas. “Iya Ibumu memang benar, Din. Bapakmu ada di Surga.” Mang Kasim menatap wajah Udin dengan dada disamaki rasa haru. Terlihat dari tatapannya, lelaki tua itu sangat meyayangi Udin. Masih lekat dalam ingatannya ketika Sobari dikabarkan tewas sepuluh tahun silam. Ketika itu Udin masih di dalam perut Julaiha. Di siang naas itu, ia dan orang-orang menandu tubuh Sobari
yang mati ditimpa kayu di hutan Kelingi. “Kenapa orang harus mati dulu agar bisa pergi ke Surga?” tanya Udin memecah lamunan Mang Kasim. Lelaki tua berkulit tembaga itu tercenung. Ia kehilangan kata-kata. Mang Kasim mencari kata paling mudah untuk dicerna pikiran kanak-kanak Udin. Seekor capung merah hinggap di ujung daun keladi, kemudian terbang lagi. Capung itu menjentik-jentikkan ekornya di permukaan sungai yang mengalir begitu tenang. “Kau pernah melihat capung keluar dari punggung kumbang air?” tanya Mang Kasim. Udin mengangguk. Mang Kasim tersenyum. Tak mungkin pula Udin tak tahu. Bocah itu nyaris menghabiskan separuh waktunya di pinggir sungai, mustahil ia tak tahu cikal bakal adanya capung yang kerap ia tangkapi bila sedang merasa bosan lantaran tak ada muatan atau jika arus sungai sedang tidak bersahabat. “Seperti itulah mungkin cara menuju surga,” jawab Mang Kasim sebisa-bisanya. “Kumbang air harus mati dulu agar bisa menjadi capung. Capung yang bersayap dan dapat terbang ke banyak tempat.” Mata Udin berbinar mendengar penjelasan itu, “Oh jika aku punya sayap dan bisa terbang. Aku bisa menyusul bapak ke surga,” katanya sambil berdiri
merentangkan tangan seperti bersiap untuk terbang. “Jangan dulu. Kau masih terlalu muda,” seloroh Mang Kasim. Lelaki tua itu tertawa hambar. Ia lalu menggantung jala dan meneguk kopi yang mulai dingin ditiup angin. Ada rasa pahit yang menggelontor di dada lelaki tua itu, rasa pahit yang berbeda dari rasa pahit kopi yang disesapnya. Sesaat Udin terdiam. Kepala kecil itu mengangguk-angguk. Senyum terkulum di bibirnya. Senyum misterius yang hanya Udin yang tahu apa rahasianya. Bocah itu bangkit dari duduknya dan berlari cepat meninggalkan Mang Kasim tegak di lantai papan dermaga. “Hei,Udin. Kau mau ke mana!?” “Aku mau pergi ke surga!” jawab Udin tanpa menoleh. Ia berlari sambil merentangkan tangan. Kali ini dengan mengepak-ngepakan tangannya seolah betul-betul sedang terbang. Udin makin jauh meninggalkan dermaga dan gubug Mang Kasim. Lelaki tua itu hanya bisa tersenyum saat menatap tubuh Udin yang lenyap ke balik tikungan setapak yang dirimbuni semak ilalang. *** Malam sudah terlampau tua. Bulan membakar pucuk-pucuk pepohonan. Julaiha sudah terlelap, tapi Udin masih terjaga. Mata bocah itu liar menerawang
ke langit-langit. Kata-kata Mang Kasim kemarin terngiang-ngiang di telinganya: cara pergi ke Surga cuma satu, ia harus mati dulu. Kata-kata itu seperti pulut yang menjerat pikiran Udin. Melekat erat hingga menciptakan ilham di kepalanya. Udin betul-betul rindu. Ia ingin segera menemui bapaknya. Udin acap kali murung melihat teman-temannya bermain bersama bapak mereka. Sedangkan ia tidak. Cuma ada ibu dalam hari-harinya. Cuma ada Mang Kasim. Udin memejamkan matanya. Ia mendengarkan suara-suara di dalam kepalanya dengan hati dicekat tanda tanya. “Seperti apa rupanya surga? Adakah Bapak di Surga?” Demikian suara-suara dalam kepala Udin. Semua syarat pergi ke Surga sudah disiapkan. Ia tak pernah meninggalkan salat, sebab kata ibunya, salat adalah syarat utama masuk Surga. Udin juga telah menyiapkan bubuk yang ia temukan di gubug Mang Kasim. Ia masih ingat raut tegang lelaki tua itu ketika ia menyentuh bubuk itu. “Kau bisa mati!” jerit Mang Kasim dengan mata melotot. “Itu bubuk putas. Kalau dilihat orang sekampung bisa kena masalah kita!” Udin tersenyum. Akal bulusnya ber-
hasil mengelabui Mang Kasim. Ia berpura mengembalikan bubuk itu ke tempatnya dan Mang Kasim percaya. Saat lelaki tua itu silap mata, Udin menyambar bubuk itu lagi, lalu menyimpannya ke balik saku. Sekarang semuanya sudah siap. Udin akan memulai perjalanannya ke surga. Sesekali bocah itu melirik ibunya, meneliti seberapa lelap perempuan itu tertidur. Udin menyenggol kakinya, memastikan ibunya telah terbenam dalam mimpi. Setelah betul-betul yakin, barulah ia bangkit dan turun dari tempat tidur tanpa bersuara. Bubuk itu ia tumpahkan ke dalam cangkir plastik, kemudian diaduknya dengan air. Setelah cukup larut, Udin kembali ke kamar. Ia meletakkan cangkir itu ke atas meja di sisi kanan tempat tidurnya. Udin menunggu azan Subuh bergema, baru ia akan berangkat ke surga. Waktu berjalan tertatih-tatih. Serangga malam di luar dan cicak di dinding papan rumah bernyanyi syahdu. Sementara di atas tempat tidurnya, Udin masih setia membuka mata. Benak bocah itu ditaburi kemungkinan-kemungkinan yang membuat hatinya ragu. “Bagaimana kalau Bapak tidak mengenalinya? Atau bagaimana kalau Bapak tidak ada di Surga?” *** Mang Kasim berlari terengah-engah. Ia mendengar kabar bahwa siang itu ada penduduk yang mati minum racun. Rasa takut menusuk-nusuk. Alasan ketakutan itu teramat kuat. Bubuk putas yang ia simpan di atap gubug hilang. Tidak ada yang lain, pelakunya pasti Udin. Firasatnya tidak akan salah bila mengingat percakapan dengan bocah itu kemarin. Lari Mang Kasim terhenti. Bendera kuning terpancang layu di depan pintu. Suara orang-orang menangis terdengar jelas dari luar. “Siapa yang meninggal?” tanya Mang Kasim pada orang-orang. Tidak ada yang menjawab. Dengan lutut gemetar, lelaki tua itu masuk ke rumah yang disesaki para pelayat. Di muka pintu lelaki itu terpancang kaku. “Julaiha minum racun,” bisik seorang perempuan paruh baya. “Iya, dangkal nian keputusannya. Apa tak terpikir olehnya nasib Udin?” sambung perempuan lain dengan nada prihatin. Mang Kasim terduduk lemas. Para pelayat masih terus berdatangan. Namun di antara mereka tidak ada yang tahu bahwa tadi malam selepas Udin tertidur, Julaiha terbangun karena haus. Perempuan itu melihat cangkir plastik berisi air putih di atas meja. Ia meminumnya hingga tandas tak tersisa.*** Putas: Potasium Sianida merupakan kristal lembab bewarna putih, larut dalam alkohol, air, dan gliserol. Kegunaan untuk ekstrasi logam, pelapisan elektro, dan insektisida. Sangat beracun. Banyak disalahgunakan masyarakat untuk meracun ikan.
Adam Yudhistira adalah cerpenis asal Muara Enim, Sumatera Selatan. Cerpen-cerpennya telah dimuat di media massa lokal dan nasional, di antaranya. Cerpen-cerpen lainnya juga bisa dibaca di kumcer terbarunya: Rentak Kuda Manggani (Divapress 2015) Orang Bunian (Unsapress 2016). Dia bahagia menulis fiksi dan menikmati setiap proses kreatifnya. Tragedi, cinta, perang dan tema-tema sosial adalah oase ide yang paling sering dijadikannya inspirasi menulis. Pemenang harapan II lomba Menulis Dongeng Anak Nusantara Bertutur 2014 dan 2015 dan Pemenang Harapan Green Pen Award Perhutani 2016
ALINEA
Bengkel Pantun Sirih berlipat sirih pinang/Sirih dari Pulau Mutiara/Pemanis kata selamat datang/Awal bismillah pembuka bicara/. Di dalam berbagai acara di Riau, seringkali dijumpai orang-orang yang berpantun. Tidak hanya pembawa acara (pewara), peserta, bahkan pejabat yang hadir pun tidak ketinggalan untuk menyampaikan pantun. Tentu saja, hal tersebut bukan hal yang mengherankan karena pantun merupakan salah satu ciri khas budaya Melayu yang dikenal luas. Walaupun pantun dianggap sudah bersebati dengan masyarakat (Melayu) Riau, nyatanya tidak semua orang (Melayu) Riau dapat berpantun dengan baik. Permasalahan yang muncul tidak hanya masalah diksi yang digunakan dan kesesuaian dengan ketentuan pantun yang sesungguhnya, tetapi juga masalah kecepatan berpikir pada saat membuat pantun. Permasalahan terakhir tersebut akan mengemuka pada saat diadakan acara atau lomba berbalas pantun. Beberapa tahun terakhir, Balai Bahasa Riau mengadakan lomba berbalas pantun antarmahasiswa yang diselenggarakan dalam rangka pekan sastra. Setiap tahunnya, dijumpai masalah yang nyaris sama, yaitu kurangnya minat masyarakat, terutama kalangan generasi muda untuk mengikuti lomba tersebut. Padahal berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyosialisasikan kegiatan tersebut supaya diketahui oleh masyarakat. Selain itu, REDAKTUR: KUNNI MASROHANTI
kualitas para pemantun yang tampil pun masih belum menggembirakan. Mereka masih terbata-bata pada saat akan menjawab pantun lawan. Pilihan-pilihan kata yang dipergunakan juga masih terbatas dan cenderung mirip. Sampiran jalanjalan ke …. (menyebut nama tempat yang sesuai dengan persajakan pada bagian isi) kerap dipakai para pemantun. Mereka juga memerlukan waktu yang cukup lama untuk “membeli” (menjawab) pantun dari lawannya. Tentu saja, kondisi tersebut cukup memprihatinkan. Generasi muda Riau yang diharapkan akan menjadi penerus tongkat estafet budaya Melayu ini seakan sudah tidak mengenal budayanya sendiri. Apakah hal itu menjadi salah satu indikasi bahwa masyarakat sebenarnya sudah tidak “akrab” lagi dengan pantun? Apakah pantun hanya muncul pada acara-acara seremonial, tetapi sudah hilang dalam kehidupan sehari-hari? Diakui atau tidak, ada pergeseran pandangan masyarakat terhadap pantun. Perkembangan teknologi dan komunikasi memiliki andil terhadap hal itu. Pantun tidak lagi dianggap sebagai media yang efektif dalam penyampaian pesan moral, nilai-nilai, hukum suluh, dan tunjuk ajar. Untuk menghidupkan kembali tradisi berpantun (juga berbalas pantun) diperlukan perhatian dari berbagai pihak sehingga di masa yang akan datang, berpantun yang sudah menjadi ciri khas orang
IMELDA Peneliti Sastra Balai Bahasa Riau
Melayu tidak hilang ditelan zaman. Upaya ini perlu dipelopori oleh pemerintah. Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota, melalui Dinas Pariwisata atau Dinas Pendidikan, dapat melakukan pembinaan terhadap masyarakat dalam memasyarakatkan pantun. Selain itu, Balai Bahasa Riau juga dapat ambil bagian sebagai institusi yang salah satu tugas dan fungsinya berkaitan dengan pembinaan sastra, termasuk sastra daerah. Selama ini, Balai Bahasa Riau sudah menyelenggarakan sebuah kegiatan bernama bengkel sastra. Akan tetapi, kegiatan bengkel sastra masih difokuskan pada musikalisasi puisi, sedangkan pantun belum pernah dilirik untuk dibuat semacam bengkel pantun. Dengan
kondisi perpantunan yang kurang baik dewasa ini, kegiatan bengkel sastra ini ke depan dapat saja dialihkan/ditambahkan dengan “membengkel” pantun. Di dalam kegiatan tersebut, berbagai pengetahuan dan praktik berpantun disampaikan oleh para narasumber. Peserta bengkel diperkenalkan pada pengetahuan mengenai pantun yang menurut Navis (1984:234) merupakan bentuk puisi tradisional Indonesia yang paling tua. Pengetahuan bahwa biasanya, pada tiap bait (kuplet) pantun terdiri atas empat baris yang bersajak ab-ab dan umumnya tiap baris terdiri dari 4-8 kata perlu disampaikan. Baris pertama dan kedua disebut sampiran dan baris ketiga dan keempat disebut isi pantun. Pantun yang sempurna adalah pantun yang sampirannya mengandung ketiga unsur itu (isi, bunyi, dan irama), seperti pada pantun: pulau pandan jauh di tengah, di balik pulau si angsa dua, hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua. Selain memahami berbagai teori mengenai pantun, yang terpenting setelah mengikuti bengkel pantun, para peserta dapat mempraktikkan cara berpantun yang baik. Mereka diharapkan menguasai teknik berpantun, baik untuk keperluan sehari-hari, maupun untuk keperluan lomba. Mereka diajari cara mudah untuk membuat pantun dengan cepat sehingga tidak akan mengalami kesulitan untuk
menjawab pantun lawan. Berbalas pantun akan mudah jika pemantun cermat mencari peluang untuk menangkis apa yang dikatakan lawan. Dengan demikian, pemantun tidak akan kehabisan ide karena sudah memanfaatkan sampiran lawan untuk dijadikan pantun baru. Tanggung jawab untuk menyosialisasikan budaya berpantun ini, hendaknya tidak dibebankan kepada pemerintah semata. Keterlibatan semua pihak harus lebih ditingkatkan agar berpantun tidak menjadi asing di kalangan anak muda, khususnya di Provinsi Riau. Para pakar pantun, baik dari kalangan akademisi atau praktisi pantun harus lebih aktif mengenalkan kembali pantun kepada generasi selanjutnya supaya pantun kembali menjadi salah satu jati diri Melayu. Selain itu, masyarakat harus berperan aktif untuk menggunakan seni berpantun dalam kehidupan sehari-hari. Pantun bukan saja warisan budaya leluhur, tetapi menjadi bagian dari hidup masyarakat Melayu yang berkarakter. Seni berpantun merupakan ciri kreativitas masyarakat Melayu yang mengandung nilai sastra yang tinggi. Apabila kemahiran berpantun sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, hal itu dapat membantu cara berpikir cepat dan spontan. Mari berpantun dan kembalikan kebanggaan masyarakat Melayu terhadap pantun.*** TATA LETAK: SOEPRI ISMADI