JEMPANA
22
Riau Pos AHAD, 21 AGUSTUS 2016
Penari Riau Ikuti Sasikirana Dance Camp PEKANBARU (RP) - Sasikirana Dance Plus adalah sebuah helat bermula dari inisiatif yang lahir dari Bengkel Tari Ayu Bulan (BTAB). Kegiatan yang berlangsung di Nuart Sculpture Park, Bandung 2016 ini mendapat bantuan dari dana Hibah Bakti Budaya Djarum Foundation. Salah seorang penari asal Riau yang lulus seleksi di ajang bergengsi ini adalah Dewi Safrila Darmyanti. Mahasiswi yang sedang menyelesaikan studi Pascasarjana di ISI Padang Panjang ini mengatakan, helat yang digagas oleh Keni Soeriaatmadja adalah sebuah program yang menghimpun seniman tari bukan hanya di nasional tetapi juga penari dari luar negeri. Katanya, Sasikirana Dance Camp 2016 “Dance City, Density” yang diselenggarakan dari 1 – 9 Agustus 2016, diawali proses pendaftaran terbuka sejak April 2016 lalu. Kemudian diseleksi oleh tim juri untuk kemudian dapat menjaring 25 seniman tari yang aktif baik nasional atau internasional. Di antara seniman tari yang terpilih selain dirinya mewakili Riau adalah Ferry Cahyo Nugroho (Magetan), Andhika Annisa (Bali), Heidy Dwiyanti (Bekasi), Herdi Muhammad (Bandung), Sherli Novalinda (Padangpanjang), Syifa Nur Muslim (Bandung), Eka Wahyuni (Berau), Tutu Wisti Sabila (Klaten), Razan Mohammad (Jakarta), M. Dinu (Malang), Junaida (Medan), Satriya (Bekasi), Laila Putri (Serang), Fernandito (Maluku Utara), Greatsia Yunga (Maluku Utara), Veyndi Dangsa (Maluku Utara), Patricia (Malang), Josh (Jakarta), R. Angga (Bandung),
dan Rosalia (Yogyakarta). Sedangkan peserta Internasional, Lim Pei Ern (Malaysia), Dinie Dasuki (Singapura), Sompong Leartvimolkasame (Thailand), dan Ari Rudenko (Amerika Serikat). Kemudian 6 Peserta Koreo Lab yaitu Muhammad Asri Bin Razali (Singapura), Yudi Tangker (Tanjung Pinang), Dekgeh (Bali), Tyoba Armey (Bandung), Siska Aprisia (Padangpanjang), dan Ridwan Aco (Makasar). Kegiatan ini, lanjut Dewi, didukung oleh beberapa mentor baik dalam negeri dan luar negeri seperti Hartati(Indonesia), Faturrahman Bin Said (Singapura), dan Arco Renz(Belgia) serta kurator atau observer Eko Supriyanto (Indonesia). Dalam rangkaian program yang diikuti, kata Dewi, bertujuan untuk memberikan kontribusi dan menyatukan pola pikir antar seniman yang berbeda agar menjawab kegelisahan yang sedang terjadi di dunia seni Indonesia pada saat ini, khususnya seni tari kontemporer Indonesia. Karena kesulitan utama saat ini, adalah sangat sulit menyatukan pembedahan pola pikir hingga antara satu dengan yang lainnya sama. Membongkar pola pikir yang sudah ada bahkan tertanam di dalam setiap tubuh penari bahkan koreografer bukan perkara yang mudah, tetapi para peserta belajar bagaimana melakukan pencaharian di titik kosong untuk mengekpresikan diri, menerjemahkan gagasan yang disampaikan oleh tubuh. Menurut Dewi, kegiatan ini sangat bermanfaat untuk seni pertunjukan khususnya seni tari kontemporer. Diantara manfaat yang dirasakan
selama mengikuti program ini, dapat menjawab kegelisahan yang sedang melanda seni tari kontemporer bahkan perkembangan seni pertunjukan “Seharusnya seniman tari di Riau baik pemula ataupun yang sudah lama berkecimpung di dunia kesenian hendaknya juga berkesempatan bergabung dengan kegiatan-kegiatan seperti ini, karena penyatuan ide dan gagasan serta mengasah kemampuan kita dibantu oleh para mentor dan kurator,” ujarnya kepada Riau Pos. Bahkan di ajang itu juga, kesempatan untuk memiliki tempat bertukar pikiran dengan para peserta dance camp yang lainnya. “Saya yakin, teman-teman di Riau mempunyai potensi atau bakat khususnya di bidang seni tari baik tradisi atau kontemporer. Mengikuti kegiatan ini supaya kita mempunyai sudut pandang yang baru dan belajar hal yang baru. Saya berharap semoga tahun depan peserta koreolab dan dance camp ada yang berasal dari Riau kembali karena di tahun sebelumnya sudah ada peserta dance camp dari Riau Dyan Indah Purnama Sari,” jelasnya. Gadis Riau yang dalam kesempatan itu terlibat dalam sebuah karya tari berjudul Pensucian karya Ridwan Aco (Makasar), juga menyebutkan sebagai pelaku tari, dirinya tak pernah berhenti belajar dan mencari hingga akhir hayat, karena kesenian yang tentu hasil dari sebuah proses, masih banyak harus dilakukan pembedahan atas diri, belajar dan terus belajar khususnya dibidang seni tari. “Semoga seni tari di Riau tetap dan semakin berkembang,” tutupnya. (jef)
SAFRILA DEWI FOR RIAU POS
LIUK PENARI: Tubuh para penari meliuk-liuk dalam sebuah persembahan tari saat Sasikirana Dance Camp digelar 1-9 Agustus 2016 di Bandung.
Pesan Budaya Mencari Mustika
JEFRY AL MALAY/ RIAU POS
DISKUSI: Kang Abik berbincang dalam diskusi dan bedah buku Ayat-ayat Cinta 2 di depan peserta dan penggemar di Masid Agung Annur, Senin (15/8/2016).
Sastra dalam Ayat-ayat Cinta 2 PEKANBARU (RP) - Novel karya Habiburrahman El-Shirazy, Ayat-ayat Cinta 2, sebuah novel Islami pembangun jiwa. Tidak hanya kisah romantisme cinta, tapi juga tentang Islam dan lika-liku dakwah di dalamnya. Kajian isnpiratif dan bedah buku novel ini diselenggarakan di Aula Mesjid Raya An-Nur-Pekanbaru, (15/8). Diselenggarakan oleh Tafaqquh bekerjasama dengan Mesjid Agung An-Nur, menghadirkan langsung penulisnya di hadapan penggemar dan pembaca novel tersebut. Dalam diskusi yang diselenggarakan, diterangkan Haburrahman seperti novel sebelumnya, Ayat- ayat Cinta 1, tokoh inspiratif di dalam cerita, Fahri tetaplah “hero”. Malahan karakternya dipertegas lagi menjadi seorang yang idealis, berpegang teguh pada prisnsip hidup yang Islami. Memang disadarinya, banyak para kritikus sastra mengatakan bahwa tokoh Fahri di dalam cerita, terlalu sempurna, perfect, seperti malaikat dan lain sebagainya. Kritik ini justru tidak membuat Kang Abik sapaan akrabnya men-
jelmakan tokoh utama di dalam kisah ini menjadi jahat, antagonis dan lain-lain. Bahkan kesempurnaannya ditambah lagi. “Masukan dari pembaca dan apresiator itu menjadi penting bagi saya hanya saja, Fahri di dalam novel ini tidak hanya persoalan tokoh fiktif tetapi lebih dari itu, ia menjadi tokoh penting dalam dakwah yang menjadi capaian dalam novel ini,” Ujar kang abik. Di dalam novel yang diterbitkan oleh Republika itu dengan ketebalan 690 halaman, tokoh Fahri malah dibekali enterpreneurship. Menjadi bos besar yang ditandai dengan memiliki banyak perusahaan. Pesan dakwah di dalam novel ini, tergambar dari alur dan juga lika-liku kehidupan tokoh di dalamnya. Tidak hanya Fakhri, tetapi tokoh lainnya seperti Jason, Sabrina alias Aisha, Keira, Nenek Catrina, dan lainlain. Bahkan konflik yang terjadi di Pelestina juga menjadi bagian lain yang tak kalah menarik untuk disimak dan diambil hikmah di dalam novel ini. Di antara capaian penting dalam proses kreatif yang dilakukan
Kang Abik adalah bagaimana sastra juga menjadi sebuah media dalam menyampaikan pesan-pesan Islam untuk kemaslahatan umat. Di dalam novel Ayat-ayat Cinta 2, Kang Abik berupaya berdakwah dengan keteladanan akhlak. Baginya Islam perlu dipahami bahwa agama yang indah, agama yang penyayang. Dijelaskannya juga, Novel Ayatayat Cinta 2 ini bakal difilmkan, atas permintaan yang meluas. Meski jauh di lubuk hatinya selaku penulis tidak terlalu berharap untuk difilmkan. Dia menilai, imajinasi seorang pembaca itu sangat luas. Dan setiap orang berbeda beda. Tidak mungkin sama. Tetapi dikarenakan atas permintaan orang banyak, akhirnya ia menyetujui untuk digarap menjadi sebuah film yang akan diproduksi oleh MD Entertainment. Salah seorang peserta diskusi, asal FIB Unilak jurusan Sastra Melayu, Fajar Hardi Muhammad, menyebutkan di dalamkarya Kang Abik Ayat-ayat Cinta 2 ini ada spirit yang luar biasa apabila mau menyimak rangkaian kisah indah di dalamnya.(jef)
PEKANBARU (RP) - Satu lagi karya film anak daerah diputarkan di halaman Gedung Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kepulauan Meranti pada Sabtu, (6/8). Di halaman yang sudah beberapa kali menjadi pilihan bagi pelaku film indipenden di Meranti untuk memutarkan karya mereka, berhimpun pepat masyarakat sembari memilih tempat duduk yang nyaman untuk menyaksikan film berjudul Mencari Mustika. Film karya sutradara Afrizal Cik berdurasi sekitar satu jam itu tampaknya mampu menarik perhatian masyarakat dengan jalinan kisah serta berbagai emosi yang ditawarkan di dalam cerita, mulai dari tertawa, gembira, sedih, bahkan amarah. Bagaimana tidak, masyarakat terlibat secara emosional, karena film tersebut menceritakan tentang kehidupan masyarakat di Kepulauan Meranti pada masa lalu. Menceritakan tentang seorang pemuda dari desa yang bernama Seman, dibintangi oleh Muhammad Ikhfansyah datang ke Kota Selatpanjang untuk mencari pek-
erjaan. Dengan hanya berbekal ijazah SD, dia mencoba mencari pekerjaan ke berbagai tempat. Pertama kali tiba di Kota Sagu ini, Seman berusaha menanyakan pekerjaan kepada penjual ikan yang ada di pasar. Tak hanya kepada satu pedagang saja, tetapi banyak pedagang. Pada saat itu Seman bertemu dengan seorang toke panglong arang. Seman bertekad akan bekerja apa saja agar bisa hidup mandiri. Akhirnya, dia diterima bekerja di bangsal arang tersebut. Dalam perjuangannyamemkanai kehidupan dan kerja kerasnya, di sela-sela waktu luangnya, Seman sempat teringat seseorang kekasih yang ditinggalnya di kampung halaman,berada di seberang Pulau. Kekasih hati ulam jantung nya itu bernama Mustika, diperankan oleh Suci Ella Syafitri. Setelah lama tak bertemu, akhirnya Seman mendapatkan kabar bahwa kekasih hatinya pergi ke Selatpanjang. Pada saat itu dia berusaha mencari ke berbagai pelosok Kota Selatpanjang dan bertanya kepada orang-orang yang ditemuinya. Namun bukannya Mustika yang ditemuinya, namun kabar pertunangan Mustika yang didengarnya. Saat
itulah, Seman yang merasa kecewa. Dengan berat hati akhirnya dia meninggalkan Selatpanjang dan mendayung sampan ke negeri jiran Malaysia. Pada saat itu tiba-tiba ada kabar tentang seorang pengayuh sampan yang mati tenggelam. Film tersebut akhirnya habis dengan ending yang masih menimbulkan penasaran dari penonton. Film perdana yang diproduksi oleh Yayasan Lestari Warisan Meranti itu bekerjasama dengan LAMR Kepulauan Meranti. H Ridwan Hasan selaku ketua LAMR yang turut hadir malam itu mengakui bahwa banyak potensi anak-anak Melayu Meranti yang patut dikembangkan. katanya, film ini sangat baik dan menginspirasi. Sebagai warisan generasi penerus bangsa harus banyak berbuat untuk negeri ini dengan berbagai kreasi. “Film ini sangat berkarakter kedaerahan yang menggambarkan berbagai tempat potensi alam, dan semuanya tersampaikan lewat visual ini. Apalagi kegiatan seperti ini, adalah kegiatan positif dalam rangka mencegah generasi muda terjebak dengan kegiatan dan aktivitas yang merugikan,” sebut Ridwan.(jef)
JEFRY AL MALAY/RIAU POS
NONTON FILM: Masyarakat Kepulauan Meranti beramaoi-ramai menonton film ‘‘Mencari Mustika’’ di halaman gedung Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Kepulauan Meranti, Sabtu (6/8/2016).
Semangat yang Terlupakan Sambungan dari hal.21 Pertanyaannya, sambung Al Azhar, kenapa begitu lama? Disinilah, sebetulnya terlihat belum ada upaya keras untuk sama-sama menjaga warisan budaya. Terlihat juga bahwa lembaga-lembaga yang diharapkan untuk mengawal warisan budaya Riau, baik yang benda maupun yang tak benda, itu macam tak bekerja. “Benteng Tuanku Tambusai hanya salah satu benda cagar budaya. Banyak lagi warisan budaya yang lain di Riau ini. Kemana saja kita pergi di Riau ini banyak kita jumpai baik warisan benda budaya yang bergerak dan tak berrgerak. Tapi semua itu tak pernah ditetapkan. Padahal kita tahu urgensinya, ketika warisan itu ditetapkan, maka bisa REDAKTUR: KUNNI MASROHANTI
mendapatkan perlindungan undang-undang cagar budaya, ini penting apalagi kita hidup dinegeri yang sesuka-suka hati saja,” ujar Al Azhar. Namun demikian, apa yang sedang dihajatkan hendaknya didukung bersama. Dengan pengawalan-pengawalan. Dimaksudkan agar kekhawatiran hilangnya nilai-nilai budaya terhadap objek dari revitalisasi tersebut. Menurut Al Azhar, zona inti yang menjadi kawasan penting, tidak boleh diapa-apakan terlebih dahulu sebelum diadakan kajian pelestarian. Kondisi Benteng Tuangku Tambusai tentu tidak lagi seperti sedia kala. Oleh karenanya, perlu pengawalan dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk tahap awal, reitalisasi dilakukan di luar
zoan inti yaitu zona pengembangan dan zona penunjang. Jaraknya sekitar 2 km dari zona inti. Akan dibangun gerbang releif yang menggambarkan riwayat hidup Tuanku Tambusai dan perjuangannya menentang penjajah. “Kita tetap menggesa dan mengusulkan segera dilakukan kajian pelestairan itu bersamaan kajian untuk penetapan sebagai benda cagar budaya,” jelasnya lagi. Nilai Juang perlu Dikedepankan Salah seorang pakar sejarah asal Pasir Pangaraian, Ridwan Melay, mengatakan, persetujuannya untuk dilakukan revitalisasi terhadap Benteng Tuangku Tambusai. Menurutnya, meskipun sudha terlabat tetapi upaya pemugaran dan revitalisasi itu menjadi penting hari ini
sebagai warisan kepada generasi sekarang dan masa depan bangsa untuk membentuk jiwa nasionalisme Indonesia. “Sementara benteng-benteng perjuangan di tempat lain, sudah sejak lama dilakukan pemugaran sebagaimana layaknya,” jelas wakil ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) itu. Selain itu, menurut dosen Prodi pendidikan sejarah UR itu, Benteng Tuanku Tambusai adalah bukti karya nyata anak bangsa Indonesia, bukti kepahlawanan Tuanku Tambusai sebagai seorang yang ahli dalam strategi perang melawan pemerintah Belanda. Bentuk Benteng Tuanku Tambusai, unik dan tidak ada yang menyerupainya. Tetapi yang terpenting adalah pemugaran itu nantinya tidak melanggar UU, “Kita jangan melanggar hu-
kum. Ikuti aturan sesuai dengan UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya. Selain itu, menghargai dan membangun kesadaran sejarah itu, jangan setengah-setengah,” kata Ridwan Melay. Hal serupa juga disampaikan salah seorang akademisi bidang kebudayaan , Dr Junaidi. Katanya untuk memastikan mana zona inti dan apa-apa yang terapat di dalam zona inti itu memang diperlukan sebuah kajian pelestarian. Sehingga dalam pemugaran itu nantinya, benteng yang seharusnya menjadi lambang semangat perjuangan bagi anak negeri ini tetap seperti semula keasliannya. Disadarinya, orisinalitas itu sendiri perlu pula dipahami juga. Dalam artian, yang hendak dikembalikan itu berdasarkan periode yang mana. Benteng itu
sebagai kawasan tempat bertahannya melawan Belanda, keadaannya pastilah berbeda dengan sesudah Tuanku Tambusai keluar dari benteng itu. Dan tentu jauh berbeda pula dari keadaan sekarang, apalagi dipengaruhi faktor alam dengan kurun waktu yang tidak sebentar itu. Disanalah diperlukan kajian-kajian yang mendalam sehingga apa yang diharapkan bersama dapat terwujud. “Menurut saya, yang tak kalah penting itu, adalah mengharapkan dari upaya revitalisasi ini, agar figur Tuanku Tambusai lebih ditonjolkan dalam simbol-simbol budaya yang mudah dikenali, diingat, dan mengedepankan nilai dan semangat serta citra keperkasaan beliau dalam berjuang,” ujar Wakil Rektor Unilak tersebut. (kun) TATA LETAK: EKO FAIZIN