KEMBAYAT
24
Riau Pos AHAD, 15 MEI 2016
Cerpen DESI SOMALIA AGUSTINA
Luh,danKota Yang Menjelma Genangan M
EMANDANG kota dengan gedung-gedung yang berbaris kokoh aku seakan meman dang wajah Luh. Wajah Luh yang juga kokoh. Dan, Luh, kokoh pula dengan ucapannya. “Kau bisa bekerja di kantorku, Luh. Ada sebuah pekerjaan untukmu, sebagai akunting.” Kataku kala itu. “Aku ingin kembali ke desa. Mengolah kebun.” “Kau seorang sarjana, Luh. Kau bisa punya karier dan jaminan kehidupan yang lebih baik di sini.” “Ooo, benarkah?” Luh membelalakkan matanya. Terasa olehku kedua bola mata milik Luh seakan melompat ke tubuhku. “Hmm….” “Aku tanyakan sekali lagi padamu, Ris. Apakah kau benar-benar yakin para sarjana di kota punya jaminan untuk kebaikan hidupnya dan kehidupan?” “Menurutku begitu, Luh. “ “Tidak. Sama sekali tidak, Ris. Kaum terdidik di kota ini hanya mampu menciptakan kebaikan untuk hidupnya. Tapi tidak untuk kehidupan.” “Maksudmu?” “Kau bisa lihat saat hujan.” “Aku tak paham.” “Sebentar lagi, setiap turun hujan, kota ini akan menjelma genangan. Dan itu diciptakan.” Ucap Luh dengan nada yang pelan saja, namun olehku suara Luh terdengar garang. Luh mengucapkan itu bertahun lalu. Dan aku selalu mengenangnya setiap turun hujan. *** “Belum pulang, Ris.” Tegur Mimin, teman kantorku. “Aku menunggu hujan reda.” “Hujan tak menjadi masalah, Ris. Kau justru harus berhati-hati terhadap genangan.” Aku menyerngit. “Kemarin aku menyaksikan seorang pengendara sepeda motor terjungkang ketika melintasi jalan yang dipenuhi genangan.” “Lalu, bagaimana nasibnya? Maksudku, nasib si pengendara.” “Kepalanya terbentur aspal dan nyaris pecah.” Aku bergidik saat Mimin menambahkan, “Menurutku di kota ini sudah tak terhitung pengendara yang tewas akibat jalan berlobang yang tertutup genangan.” Aku mendengus. “Kau harus lebih hati-hati. Terutama jika menjumpai genangan.” Ucap Mimin sambil melambaikan tangan bermaksud meninggalkanku. Kalimat terakhir yang diucapkan Mimin membuatku kembali teringat Luh. *** Pada suatu kesempatan, ketika libur kerja aku mengunjungi Luh. Sebuah bus dengan kaca jendela yang sebahagiannya terlihat retak membawaku ke desa tempat tinggal Luh. Setelah kurang lebih tiga jam perjalanan aku turun di pinggir jalan Lintas Sumatera. Menuju rumah Luh, aku harus melalui jalan setapak yang di kiri kanannya ditumbuhi rumput liar. Tak ada jenis kendaraan apapun dari pinggir jalan Lintas Sumatera, tempat aku turun dari bus, yang bisa mengantarkanku ke rumah Luh yang terletak di tengahtengah kebun. Satu-satunya cara adalah aku harus menempuhnya dengan berjalan kaki. “Luh.” Panggilku di depan sebuah rumah berdinding kayu dengan cat berwarna coklat yang mengelupas dibeberapa bagian. Aku menghela nafas sembari menunggu jawaban dari dalam. “Luh … Luh… ” ulangku berharap ada langkah kaki berjalan kearah pintu. Aku mengulang panggilan berkali-kali tapi tetap tak ada yang menyahut. Setelah menunggu lama, dari balik rerimbunan daun Luh muncul dengan ambung yang tersandang di bahunya. Ambung itu berisi ranting. “Ranting-ranting ini untuk kayu bakar saat musim hujan.” Kata Luh setelah ia terlebih dahulu menayakan kabarku.
“Kau masih seperti dulu Luh, berpikir dengan melompat.” Luh tak menanggapi. “Sekarang kemarau, kau sudah berpikir tentang hujan.” Kataku terkekeh. “Musim penghujan akan tiba, Ris.” “Masih satu bulan kemudian, Luh.” “Tidak, Ris. Sebentar lagi.” Kata Luh sambil menyeka keringat di keningnya. Aku diam. Juga Luh. “Kau masih kukuh tak ingin berumah di kota, Luh?” Aku menanyakan hal lain, bermaksud mengalihkan pembicaraan. “Tidak.” Jawab Luh datar. “Kenapa?” “Seperti yang pernah kukatakan padamu, Ris. Aku tak ingin menjadi warga kota yang menimba genangan setiap turun hujan.” “Hanya ada genangan di beberapa ruas jalan yang berlobang, Luh. Dan tak ada yang menimba genangan seperti yang kau ucapkan.” Luh menarik nafasnya. “Tak ada yang melakukan itu, Luh.” “Saat ini mungkin tidak, Ris. Tapi tidak untuk waktu yang lain.” Aku tak menyahut. Hanya meraba-raba makna ucapan Luh. ***
Seperti kata Luh, kali ini pergantian musim terjadi lebih cepat. Kemarau bertukar dengan musim penghujan. Kota ini telah beberapa hari diguyur hujan dengan tingkat kederasan yang tinggi. Jalan-jalan dipenuhi genangan. Air yang jatuh ke jalan tak tertampung oleh selokan. Air lalu meluap dan melumpuhkan jalanan kota. Teras pertokoan menjadi tempat orang-orang berteduh. Beberapa diantara mereka yang berteduh terdengar olehku mengeluarkan umpatan. “Ini adalah kota dengan drainase yang buruk.” “Genangan membuat pengendara sepeda motor mudah sekali terjatuh.” “Terjatuh, lalu mati.” Salah seorang menyahut. “Tak ada yang membenci hujan. Tapi tidak dengan genangan yang membuat mesin mobil tiba-tiba mogok atau rusak.” Aku mendengar perkataan orang-orang itu dengan
ALINEA
seksama tapi tidak untuk menimpali. Aku tak ingin menambah jumlah umpatan. Esoknya, saat genangan belum juga surut, dari balik kaca jendela kamarku yang terletak di lantai dua, aku melihat orang-orang menimba genangan dari dalam rumah. Lalu, sayup aku mendengar suarasuara umpatan. Umpatan orang-orang itu, dan genangan yang baru saja ditimba dari sebuah rumah bercat merah muda, membuatku teringat pada ucapan Luh, bahwa kota ini pada saatnya akan menjelma genangan. Dan Luh, lihatlah! Soal kota yang menjelma genangan, kau benar, Luh. Desi Sommaliagustina, menyukai sastra dan mengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Riau. Dapat dihubungi melalui surat elektronik: desisommaliagustina@yahoo.co.id
Puisi dan Film “AAdC” “Pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh. Ada malaikat menyulam jaring laba-laba gelang di tembok keratin putih, kenapa tak goyangkan saja loncengnya, biar terdera. Atau aku harus lari ke hutan belok ke pantai?” (Cinta dalam “Ada Apa dengan Cinta 1”) Sejak iklan atau mini drama “Ada Apa dengan Cinta (AAdC) 2” muncul di sosial media pada 2014 yang lalu, “demam” “AAdC” kembali marak. Penggemar “AAdC 1” seolah diingatkan akan film tersebut yang mulai beredar di bioskopbioskop Indonesia pada Februari 2002. Film “AAdC 1” berkisah tentang dua remaja penyuka puisi, Cinta dan Rangga, yang saling jatuh hati. Film itu diakhiri dengan kepergian Rangga ke New York. Empat belas tahun setelahnya, film “AAdC 2” melanjutkan kisah roman tersebut. Film “AAdC 1” yang ditonton hingga 2,5 juta orang itu tidak hanya bermakna bagi perfilman Indonesia. Film tersebut juga dianggap sebagian orang memiliki andil dalam perwajahan puisi Indonesia. Sebaliknya, puisi-puisi Chairil Anwar yang ada dalam buku Aku yang ditulis oleh Sjuman Djaya dianggap sangat kuat dan kental membentuk karakter Rangga yang ada di dalam film “AAdC 1” tersebut. Sejak film “AAdC 1” melejit, muncul euforia di kalangan anak muda, khususnya REDAKTUR: KUNNI MASROHANTI
laki-laki yang berdomisili di ibukota, untuk mencoba bergaya seperti tokoh Rangga yang selalu membawa buku berjudul Aku karya Sjuman Djaya. Artinya, sebuah film remaja yang bagus ternyata mampu mempromosikan buku yang bagus pula. Hal ini didasari pada struktur dan genrenya serta pengaruh terhadap perwatakan yang saling terkait. Buku Aku karya Sjuman Djaya yang kerap dibawa Rangga tersebut tidak hanya memuat kumpulan puisi Chairil Anwar. Buku ini juga menceritakan kisah hidup Chairil Anwar. Dialog-dialog di dalamnya berisi puisi-puisi Chairil Anwar yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat menggambarkan latar belakang dan proses penciptaan puisinya. Buku Aku adalah gambaran hati seseorang yang senantiasa gelisah dan resah dalam menjalani hidup di bawah bayang-bayang penjajah. Buku ini adalah biografi; bukan fiksi. Aku adalah semacam catatan perjalanan, bukan drama mengharu-biru, juga bukan kisah herois yang menggelegar. Aku ini berkisah mengenai seseorang yang ingin hidup merdeka, yang menuntut kebebasan. Keberhasilan film “AAdC 1” membuat puisi kian digemari. Seolah-olah masyarakat tidak berkeinginan untuk mengetahui lebih lanjut bahwa buku
YENI MAULINA Pegawai Balai Bahasa Riau yang di bawa tokoh Rangga di “AAdC 1” sebenarnya bukan buku cerita pendek atau novel, melainkan sebuah skenario yang dikarang seorang sutradara terkenal yaitu, Sjuman Djaya. Penutup cerita dari buku Aku sepertinya menyisakan haru dan pilu. Chairil Anwar tutup usia. Akan tetapi, berkat karya-karyanya, dia benar-benar akan hidup seribu tahun. Di dalam film “AAdC 2”, seorang penyair muda asal Makasar, M. Aan Mansyur, didaulat oleh Mira Lesmana sebagai penulis puisi-puisi di dalam film tersebut. Aan Mansyur menyatakan bahwa “Bagaimana pun, saya merasa “AAdC 2” punya sumbang-
sih besar sekali. Mau diakui atau tidak, AAdC punya peran besar sekali membuat wajah puisi Indonesia sekarang,” (Liputan6.com). Di dalam film tersebut, daya magis puisi M. Aan Mansyur kian menguatkan alur cerita film yang mengambil latar di daerah Yogyakarta dan juga kota paling sibuk di dunia, New York. Jauh sebelum “AAdC 2” tayang pada bulan April 2016, penyair muda ini sudah lebih dikenal sebagai seorang penyair yang mampu meramu kata menjadi puisi yang bombastis. Sampai setakat ini, pengarang ini sudah menerbitkan buku-buku berjudul Hujan Rintihrintih (2005), Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Cinta yang Marah (2009), Tokohtokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita (2012), Kukila (2012), Kepalaku: Kantor paling sibuk di Dunia (2014), Melihat Api Bekerja (2015), dan terakhir 31 judul puisi tentang kisah Cinta dan Rangga dalam film “AAdC 2” terbit dalam judul Tidak Ada New York Hari Ini. Dengan melihat kondisi ini, seharusnya muncul kesadaran bahwa untuk mengenalkan puisi karya sastrawan terkenal yang mewakili zamannya, banyak jalan yang bisa ditempuh. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui film yang bermutu. Sebuah film yang bermutu yang memiliki jumlah penonton yang luar bi-
asa akan memiliki pencapaian yang lebih tinggi, yaitu mampu menembus penonton di luar negeri sebagai upaya mengenalkan Indonesia. Berkenaan dengan ini, McGlynn menyatakan: “Kalau memperkenalkan Indonesia ke luar negeri, ya jalan sastra menjadi sangat penting. Jadi, jangan hanya ada berita yang negatif soal Indonesia, perlu juga ada karya mengenai kebudayaan dan adat-istiadat di Indonesia.”(Stomata, Edisi VII/ Januari 2015). Melalui film “AAdC 1” dan juga “AAdC 2” terlihat bahwa keterlibatan puisi di dalam film menyakinkan orang bahwa ada kekuatan kata-kata dan bahasa yang mampu membangun sebuah imajinasi bagi tiap penontonnya. Kata-kata dan bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan kemampuan seorang penyair menghadirkan suasana dalam puisi-puisi indahnya sebagai suatu yang utuh dan kokoh dalam menyiratkan makna. Nyatalah bahwa puisi lahir bukan dari rahim kejenuhan atau urusan sentimentil. Puisi mampu mengantarkan sebuah kehidupan dari kehidupan yang lain. Penyair, baik Chairil Anwar dan M. Aan Mansyur mampu menginterpretasikan dimensi diri dalam kegundahgulanaannya yang diungkapkan dalam bentuk puisi-puisi yang menakjubkan. *** TATA LETAK: SOEPRI ISMADI