
47 minute read
FOOD INFO

LKST IPB: Wadah untuk Mencetak Usaha Rintisan Bidang Agribisnis dan Agroindustri
Advertisement
Untuk mendukung program pembinaan dan pengembangan usaha rintisan atau startup, pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2022 menggandeng 7 mitra lembaga inkubator. Salah satu mitra inkubator yang ditunjuk pemerintah adalah Science Techno Park/STP IPB University atau Lembaga Kawasan Sains dan Teknologi (LKST) IPB.
STP IPB University sudah dirintis sejak 2014 yang awalnya dikelola oleh PT Bogor Life Science & Technology (BLST) yang merupakan holding company milik IPB University. Dalam perjalanannya, dilakukan penyesuaian dan akhirnya STP menjadi bagian dari Lembaga Kawasan Sains dan Teknologi (LKST) IPB.
LKST IPB berperan memfasilitasi perkembangan teknologi dan inovasi untuk menghasilkan usaha rintisan dan penguatan sektor industri melalui penyediaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), infrastruktur fisik, dan dukungan manajemen. LKST IPB berfokus mengembangkan produk pertanian tropika, pangan, biosains dan kelautan,
Untuk mencari usaha rintisan yang kompeten, LKST IPB rutin menyelenggarakan program inkubasi bisnis. Program pembinaan untuk usaha rintisan ini diadakan setiap tahun dengan rata-rata jumlah usaha rintisan yang berpartisipasi sebanyak 20 usaha. Adapun syarat yang wajib dipenuhi jika ingin mengikuti program inkubasi bisnis ini, di antaranya yakni usaha sudah berjalan minimal 6 bulan, produk inovatif dan prospektif, bidang usaha sesuai dengan fokus IPB University, berlokasi di area JABODETABEK, dan
Gambar Diagram Alir Model Inkubasi Bisnis

usia maksimal 38 tahun. Inkubasi bisnis memberikan jasa pendampingan secara terpadu kepada usaha rintisan dengan fokus usaha di bidang agribisnis dan agroindustri dengan masa inkubasi selama 3 tahun.
Ada tiga tahapan proses inkubasi, yakni prainkubasi, inkubasi, dan pascainkubasi (Gambar). Kegiatan prainkubasi meliputi seleksi tenant, need assessment tenant dan penyusunan rencana aksi. Kegiatan inkubasi dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahap awal (pelatihan teknis dan manajemen, fasilitasi legalitas usaha dan sertifikasi produk, penyusunan proposa rencana bisnis, uji coba produksi, dan uji coba pasar); pengembangan (produksi awal, pemasaran produk, pengajuan HKI, standardisasi proses produksi, dan sertifikasi produk); dan tahap lanjut (meliputi produksi komersial, perluasan pasar, peningkatan efisiensi produksi dan manajemen usaha, pengembangan jejaring, pameran serta business matching) dengan masa inkubasi dilakukan paling lama tiga tahun. Adapun kegiatan pascainkubasi meliputi fasilitasi pembiayaan lanjutan, pengembangan jejaring usaha baik skala nasional maupun internasional dan coincubation program. Selain didukung oleh SDM inkubator yang handal, proses inkubasi didukung oleh stakeholders dalam masalah pendanaan, akses pasar, akses teknologi, akses perizinan usaha dan sertifikasi produk, narasumber, mentor, serta fasilitas dan layanan lain yang mendukung. Ada lebih dari 300 tenant yang telah diinkubasi sejak LKST IPB University berdiri dan mencatat persentase kesuksesan sebesar 70-80%.
Fri-12
Teknologi Pencetakan 3D untuk Industri Pangan
Memasuki revolusi industri generasi keempat, banyak teknologi yang ikut campur dalam suatu produksi, termasuk produksi pangan. Salah satu teknologi yang tengah berkembang dan digunakan untuk mendukung revolusi industri 4.0 adalah teknologi pencetakan 3D (3D printing).
Pencetakan 3D merupakan proses pembuatan objek tiga dimensi dari sebuah desain komputer (computer aided design/CAD) dengan menambahkan material cetak lapis per lapis (layer by layer). Tidak hanya sebatas mencetak di atas kertas, mesin 3D printing mampu mencetak benda sama persis dengan file gambar desain 3 dimensi yang sudah dibuat (soft file). Hasil cetakan 3D printing ini banyak digunakan untuk pembuatan prototipe (model) di berbagai industri seperti otomotif, IoT, kerajinan, pendidikan, medis, aksesori, tableware, perumahan, kemasan, hingga pangan.
Salah satu penyedia jasa pencetakan 3D adalah PT Infinite Inovasi Nusantara. Tak hanya menyediakan jasa pencetakan 3D, Infinite juga menawarkan jasa konsultasi desain, konsep produk, riset produk hingga sebelum akan dicetak. “Awalnya mereka menggunakan teknologi pencetakan 3D untuk membuat dummy product/ prototipe, baru kemudian secara massal memproduksi produk akhir jika dirasa

produk tersebut sudah sesuai dengan standar,” ungkap Al Hadiidtya Armi CEO PT Infinite Inovasi Nusantara.
Perusahan yang beroperasi sejak 2019 ini telah memiliki mesin cetak 3D sebanyak 6 buah dengan jenis mesin pencetak FDM untuk material plastik (berbahan plastik PLA, plastik ABS, dan plastik PETG) serta jenis pencetak SLA untuk material resin. “Proses pembuatan prototipe suatu produk dengan teknologi pencetakan 3D sangat cepat dan presisi sehingga bisa memvisualkan desain secara nyata,” jelas Al Hadiidtya. Setelah desain 3D suatu produk/prototipe disetujui, maka akan dimasukkan ke perangkat lunak pencetak untuk kemudian dilakukan pencetakan. Harga jasa untuk pencetakan 3D ini dihitung berdasarkan harga bahan yang digunakan dan belum termasuk biaya jasa desain. Teknologi pencetakan 3D yang ditawarkan oleh PT infinite Inovasi Nusantara ini dapat memenuhi kebutuhan mencetak apapun yang tidak lagi hanya sekadar di atas kertas namun sudah bisa diwujudkan dalam bentuk cetak 3 dimensi yang hasilnya bisa langsung dilihat dan disentuh. Tak sedikit perusahaan yang menciptakan produk-produk unggulan dengan mengandalkan teknologi pencetakan 3D


INFO GAPMMI


Rachmat Hidayat (ki) sebagai narasumber dalam FGD bersama Bank Indonesia Kanwil Jatim Perwakilan GAPMMI dalam Gebyar IKMA 2022
• Ketua Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan antar Lembaga
GAPMMI, Rachmat Hidayat, hadir sebagai narasumber dalam kegiatan
Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Bank Indonesia
Kantor Perwakilan Jawa Timur untuk membahas topik kinerja industri pangan tahun 2022, prospek di tahun 2023, tenaga kerja, investasi, ketergantungan impor bahan baku, serta dukungan kebijakan yang diharapkan dari Pemerintah. Beliau juga hadir memberikan tanggapan dalam Rakor Evaluasi Kinerja
Direktorat Jenderal Industri Agro
Kementerian Perindustrian di Bogor (8/12). • Sebagai bentuk dukungan GAPMMI terhadap program-program
Kementerian Perindustrian untuk
Industri Kecil dan Menengah, Ketua
Umum GAPMMI, Adhi Lukman hadir bersama Betsy Monoarfa dan Handito Joewono serta Daud Salim (CEO Kristamedia) dalam Acara
Penganugerahan Penghargaan di
Bidang IKM “Gebyar IKMA 2022” yang meliputi Penghargaan One
Village One Product (OVOP), Indonesia
Food Innovation (IFI), Indonesia
Fashion and Craft Award (IFCA), dan
Startup4lndustry, yang diadakan di
Jakarta (9/12). • Ketua Bidang Kerja Sama GAPMMI hadir dalam acara penandatanganan perjanjian kerja sama ‘Gerakan
Pencegahan Food Waste’ dalam rangka kewaspadaan pangan dan gizi dengan sembilan organisasi yang memiliki semangat yang sama dalam mengurangi sampah makanan di
Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya memerangi pangan terbuang (food waste) yang tidak bisa dilakukan secara parsial, perlu dibangun sinergi lintas sektor, baik antar Kementerian/
Lembaga terkait maupun dengan

Penganugerahan INDI 4.0 Award Tahun 2022 Lena Prawira sebagai narasumber dalam webinar Halal Business Management Dialogue

asosiasi yang bergerak di bidang pangan dan penggiat food waste.
Kesembilan organisasi tersebut terdiri dari 6 asosiasi dan 3 lembaga penggiat pangan terbuang, yaitu Asosiasi Pengelola Pusat
Belanja Indonesia (APPI), Asosiasi
Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo),
Himpunan Peritel dan Penyewa
Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Asosiasi Pengusaha Jasa
Boga Indonesia (APJI), Perhimpunan
Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI),
Gabungan Produsen Makanan
Minuman Indonesia (GAPMMI), dan Foodbank of Indonesia (FOI),
Foodcycle Indonesia, dan Yayasan
Surplus Peduli Pangan. • Perwakilan GAPMMI, Lena
Prawira menjadi narasumber dalam Webinar “Halal Business
Management Dialogue: Mandatory
Halal Certification in Indonesia”, oleh IPMI dengan IHATEC (15/12).
Adapun narasumber lain adalah Dr.
Soebandriyah, MM. dari BPJPH dan
Sancoyo Antarikso dari PERKOSMI.
Dalam webinar ini, para narasumber berbagi pengalaman tentang
dinamika dan implementasi regulasi halal terbaru di Indonesia. • Ketua Umum GAPMMI, Adhi
S. Lukman menjadi salah satu narasumber pada acara Markplus
Conference 2023. Tampil di Islamic
Session “The Foundations of Recovery -
Halal Food Indonesia” dan “Indonesia
Industry Outlook 2023 Session” dengan para asosiasi. • Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merilis Indeks
Kepercayaan Industri (IKI) pada bulan
Desember 2022 sebesar 50,90 atau naik 0,01 dibandingkan nilai IKI pada
November 2022 yang mencapai 50,89.
IKI memberikan nilai indeks yang dapat diinterpretasikan bahwa jika angka IKI antara 0-50 maka tandanya kontraksi, di angka 50 menunjukkan tingkat stabil, dan di atas 50 menandakan fase ekspansi. • Dua anggota GAPMMI, Mayora
Group bersama Danone Aqua menerima Penganugerahan INDI 4.0
Award Tahun 2022 oleh Direktorat
Jenderal Industri Agro Kementerian
Perindustrian RI. Fri 27
Dua Anggota GAPMMI Terima IHYA 2022

Indonesia Halal Industry Awards (IHYA)
Kementerian Perindustrian kembali menganugerahkan Penghargaan Indonesia Halal Industry Awards (IHYA). Penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi pemerintah kepada individu maupun pelaku industri nasional yang berperan aktif terhadap pengembangan industri halal nasional. Penyelenggaraan IHYA diharapkan dapat memperkuat industri halal serta ekosistem ekonomi syariah. IHYA juga menjadi jenama untuk kemajuan sektor industri halal Indonesia, sekaligus representasi visi Indonesia sebagai pusat produsen halal terkemuka di dunia, seperti yang dikatakan oleh Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita. Dua anggota GAPMMI, PT Niramas Utama memperoleh penghargaan dengan kategori “Best Halal Export”, sementara PT Garudafood sebagai runner up “Best Halal Supply Chain” IHYA 2022. Fri-27
GAPMMI Apresiasi Ekspor Produk UKM ISUTW
GAPMMI sangat mengapresiasi pencapaian gemilang pelaku usaha kecil menengah (UKM) yang berhasil melakukan ekspor produknya ke mancanegara. Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan UKM, Betsy Monoarfa didampingi Irwan S. Widjaja memenuhi undangan dari Pemilik CV Ikapeksi Agro Industri, Nurjannah Dongoran dalam acara “Pelepasan Ekspor Perdana Kecap Oishii ke Jeddah, Arab Saudi” (27/12). CV Ikapeksi Agro Industri merupakan salah satu UKM yang tergabung dalam program Indonesia Spice Up The World

Pengurus GAPMMI menghadiri acara “Pelepasan Ekspor Perdana Kecap Oishii ke Jeddah, Arab Saudi”
(ISUTW) di bawah binaan GAPMMI sejak 2020. Besar harapan kita semua agar para pelaku UKM ISUTW mengikuti jejak Ikapeksi ini. Fri-27
FOODREVIEW Webinars, Workshops & Training

• Regular Seminar or Webinar • Custom Seminar or Webinar • In-house Training
Sign Up to receive Webinars & Workshops Update to your inbox



To advertise & be a webinar sponsor, contact us and book your 2023 schedule :
Ms. Tissa Eritha - tissa@foodreview.co.id Mr. Andang Setiadi - andang@foodreview.co.id
ASPARMINAS Berkomitmen Memajukan Industri Air Minum Nasional

Segenap pengurus dan anggota ASPARMINAS bertekad untuk turut menciptakan ekosistem air minum kemasan yang berdaya saing tinggi melalui penerapan teknologi dan akses pasar
Didirikan pada September 2022, Asosiasi Produsen Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas) merupakan perkumpulan independen dan umum dari para produsen air minum kemasan yang terdiri dari pelaku usaha skala besar, menengah dan kecil. Dengan keanggotaan yang bersifat terbuka dan inklusif, dan dilandasi oleh prinsip kesetaraan serta kerja sama di antara produsen air minum kemasan, Asparminas menjadi wadah bagi para anggotanya untuk membahas isu-isu, hambatan, dan tantangan pengembangan industri air minum serta memfasilitasi forum untuk saling bertukar pikiran dalam hal aspirasi, gagasan, dan pemikiran yang diterima.
Hal itu mengemuka dalam pertemuan anggota (member gathering) Asparminas bertajuk 'Menciptakan Ekosistem Air Minum kemasan yang Berdaya Saing Tinggi melalui Penerapan Teknologi dan Akses Pasar' di Jakarta pada 15 Desember 2022. Pertemuan anggota yang pertama sekaligus peluncuran Asparminas tersebut diikuti oleh 51 anggota dari berbagai daerah. Pertemuan yang berlangsung santai dan formal, namun penuh kekompakan, keakraban, dan keramahan tersebut sekaligus menjadi ajang silaturahmi dan ramah-tamah antara pejabat pemerintah, dewan penasehat, pengurus, anggota kehormatan dan anggota Asparminasi, serta para undangan lainnya. Diskusi menarik dengan suasana penuh keakraban juga terbangun dalam pertemuan pertama Asparminas tersebut, sehingga terjadi kekompakan dan optimisme para anggota untuk terus melanjutkan kerja sama yang saling menguntungkan dan saling mendukung.
Hadir pula dalam acara tersebut antara lain Direktur Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian Ir. Putu Juli Ardika, MA, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, BPOM, Dra. Rita Endang, Apt. M.Kes, Kepala Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Dr. Rizal E. Halim,



Pertemuan anggota sekaligus peluncuran ASPARMINAS diikuti oleh 51 anggota, berlangsung santai dan formal, namun penuh kekompakan, keakraban, dan keramahan
Dewan Pengarah Asparminas Adhi S Lukman dan Haris Munandar, anggota kehormatan Asparminas Budi Dharmawan dan Christine Halim, Analis Standardisasi Ahli Muda Badan Standar Nasional (BSN) Nindya Malvin Trimadya, dan sejumlah undangan penting lainnya.
Ketua Umum Asparminas Johan Muliawan mengatakan, jajaran pengurus dan para anggota sangat optimis bahwa dengan kerja sama yang saling menguntungkan, saling dukung untuk kemajuan bersama akan dapat menumbuhkan ekosistem air minum yang kuat. "Dengan kondisi ideal tersebut maka peluang yang ada dapat dimanfaatkan dan hambatan atau tantangan yang muncul dapat diatasi," kata Johan.
Ia juga menegaskan Asparminas yang saat memiliki 51 anggota yang tersebar di 32 kabupaten/kota dari 15 provinsi, akan patuh dan mendukung penuh aturan dan kebijakan pemerintah, baik menyangkut aspek lingkungan hidup, lingkungan sosial, kesehatan, standardisasi, maupun kegiatan usaha.
Sekjen Asparminas Eko Susilo menambahkan, "Asparminas berkomitmen untuk menciptakan ekosistem industri air minum yang setara, inklusif, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi dengan fokus pada inovasi teknologi ramah lingkungan untuk tujuan bersama, yaitu kemajuan para anggotanya." Fri-08
Pengoptimalan Hilirisasi Industri Porang
Porang merupakan komoditas dengan potensi ekonomi yang tinggi. Di tingkat industri pangan, porang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung konjak atau tepung glukomanan. Tidak hanya itu, beberapa produk pangan yang mengandung olahan porang antara lain, bubuk jeli, mi shirataki, beras shirataki, konyaku, sosis, bakso, produk bakeri, cokelat, dan masih banyak lainnya. Melihat besarnya potensi ini, sudah semestinya dilakukan upaya hilirisasi yang optimal dengan memanfaatkan teknologi yang ada.
“Produk olahan porang memiliki pasar ekspor yang cukup besar, seperti glukomanan dan beras porang,” kata Direktur Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika dalam Siaran Pers Kemenperin beberapa waktu lalu. Untuk meningkatkan hilirisasi pada sektor tersebut, Putu melanjutkan bahwa telah melakukan beberapa langkah proaktif berkolaborasi dengan berbagai pihak dan pemangku kepentingan. Harapannya, agar bisa mendapatkan solusi yang komprehensif, terutama dalam mengoptimalkan penyerapan porang dalam negeri.
Di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, tanaman porang saat ini tersebar di beberapa wilayah seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, dan beberapa daerah lainnya dengan estimasi total luasan sekitar 47.641 hektar. Untuk target hilirasi pada komoditas porang, pada periode 2021-2027, Kemenperin akan menjaga pasar ekspor chip porang dan mulai mengembangkan produk tepung glukomanan serta mengupayakan injeksi teknologi pengolahan porang sebagai target jangka dekat. “Sedangkan untuk jangka menengah, penguasaan teknologi dan susbtitusi impor produk tepung serta mengembangkan industri pengguna tepung glukomanan potensial. Lalu untuk target jangka panjang, mengimplementasi hasil penelitian dan pengembangan industri potensial berbahan baku atau bahan penolong tepung glukomanan,” tutur Putu.
Tidak jauh berbeda, Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kemenperin, Emil Satria menyampaikan bahwa pengembangan produk baru berbahan baku porang perlu dilakukan dengan kerja sama berbagai pihak seperti perguruan tinggi dengan industri. Fri-35


Merujuk pada Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 beserta turunannya, ada tiga kelompok produk yang harus memiliki sertifikat halal yakni (1) produk pangan, (2) bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk pangan, (3) produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Ketiga kelompok tersebut perlu memiliki sertifikat halal mengingat masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal yang akan berakhir pada 17 Oktober 2024. “Ketiga kelompok tersebut sudah harus bersertifikat halal pada 17 Oktober 2024. Jika ditemukan belum bersertifikat dan beredar di masyarakat, maka akan ada sanksinya,” tutur Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Kementerian Agama, Muhammad Aqil Irham dalam Siaran Pers Kemenag, 7 Januari 2023 lalu.
Aqil melanjutkan bahwa ada beberapa sanksi yang diberikan mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. Hal ini tidak lain sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PP Nomor 39 Tahun 2021. “Untuk itu, kami mengimbau untuk segera melakukan kewajiban sertifikasi halal bagi seluruh pelaku usaha,” imbuh Aqil. BPJPH juga memiliki Fasilitas Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) bagi UMKM yang mengajukan sertifikasi dengan mekanisme pernyataan halal pelaku usaha (selfdeclare). Fri-35
Nilai Ekspor Produk Perikanan Indonesia
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatatkan nilai ekspor perikanan pada periode Januari-November 2022 sebesar 10,66% lebih tinggi dibanding periode yang sama pada tahun lalu. Nilai ekspor yang dihasilkan pada periode JanuariNovember 2022 mencapai USD 5,71 miliar, sementara nilai impor di periode yang sama berada pada kisaran USD 0,64 miliar. “Kami masih surplus neraca perdagangan hasil perikanan sebesar USD 5,07 miliar.” Kata Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Ishartini dalam Siaran Pers KKP beberapa waktu lalu. Komoditas utama ekspor Indonesia di antaranya adalah udang dengan nilai USD1.997,49 juta, tuna-cakalangtongkol senilai USD865,73 juta, cumisotong-gurita sebesar USD657,71 juta, rumput laut sebesar USD554,96 juta dan rajungan-kepiting sebesar USD450,55 juta.
Untuk negara tujuan ekspor utama adalah Amerika Serikat senilai USD2,15 miliar (37,63%), Tiongkok senilai USD1,02 miliar (17,90%), Jepang USD687,13 juta (11,89%), ASEAN USD651,66 juta (11,42%) serta 27 negara Uni Eropa senilai USD357,12 juta (6,26%). Ishartini juga mendorong para pelaku usaha untuk mengetahui mengenai persetujuan kesepakatan dagang antara Indonesia dengan beberapa negara Eropa (Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss) yang tergabung dalam European - Free Trade Association (EFTA) melalui Indonesia European - Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA). Kemudian Mozambique - Preferential Trade Agreement (IM-PTA) yang menyepakati penurunan tarif untuk tuna segar, kepiting, dan udang beku serta Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) merupakan perundingan perdagangan bebas antara negara ASEAN (10 negara) dengan lima negara mitra, yaitu Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Australia, dan Selandia Baru.
Ishartini juga mengarahkan jajarannya untuk terus mempromosikan jenama produk perikanan Indonesia dengan tagline “Indonesia Seafood: Naturally Diverse” dan sub-tagline “Safe and Sustainable” di berbagai pameran dan pertemuan internasional. Fri-35

SUBSCRIBE
TO OUR CHANNEL

https://bit.ly/FOODREVIEWTV
FoodReview Indonesia Webinar

Fats, Oils, and Antioxidants in Food Products
Lemak dan minyak menjadi bahan pangan yang aplikasinya sangat luas digunakan sebagai bahan penggoreng, minyak salad, bakeri, hingga konfeksioneri. Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaanya terutama terkait dengan stabilitas lemak dan minyak. Stabilitas lemak minyak sangat terkait dengan profil asam lemak yang dimiliki. Asam lemak dengan lebih banyak ikatan rangkap akan lebih rentan terhadap oksidasi. Oksidasi pada produk pangan membuat masa simpan

Prof. Dr. Slamet Budijanto, Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB University
lebih pendek dan juga berdampak pada karakteristik sensori yang menurun seperti munculnya aroma dan rasa yang tidak diinginkan. “Pada produk pangan yang mengandung lemak dan minyak, terjadi beberapa jenis ketengikan yang disebabkan oleh faktor yang berbedabeda,” ujar Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB University, Prof. Dr. Slamet Budijanto dalam FoodReview Indonesia Webinar – Fats, Oils, and Antioxidants in Food Products yang diselenggarakan secara dari beberapa waktu lalu.
Jenis ketengikan yang dimaksud adalah ketengikan hidroliitik yang disebabkan oleh hidrolisis TAG oleh enzim lipase atau karena perlakuan panas. Kemudian terdapat ketengikan oksidatif yang terjadi karena adanya oksidasi asam lemak tak jenuh. “Ketengikan menghasilkan pembentukan asam dikarbosilat, aldehida, dan keton yang bertanggung jawab atas bau dan rasa yang tidak enak. Dalam perkembangannya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam mencegah oksidasi penyebab ketengikan ini. Beberapa di antaranya adalah dengan mencegah kontak dengan cahaya (menggunakan kemasan dengan warna gelap atau buram, menggunakan mengkelat logam (EDTA), mencegah reaksi dengan logam, dan lain sebagainya pada tahap inisiasi. Sedangkan pada tahap propagasi, hal yang bisa dilakukan adalah dengan menambhkan antioksidan seperti BHA, BHT, dan tokoferol.
Antioksidan alami
Pergeseran gaya hidup konsumen yang lebih mementingkan kesehatan ternyata membawa perubahan cukup signifikan dalam upaya memilih produk pangan. Didukung dengan informasi yang semakin mudah diakses, produk pangan menjadi semakin kompetitif pula untuk dipilih oleh konsumen. Salah satu aspek yang dicari oleh konsumen adalah clean label atau produk dengan ingridien yang dapat dikenali oleh konsumen, pun termasuk pada bahan tambahan pangan (BTP) seperti antioksidan.
“Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), tertiary butylhydroquinone (TBHQ), butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxtoluene (BHT), propyl gallate, ascorbyl palmitate adalah beberapa jenis antioksidan sintetik yang berpeluang tidak lagi dipilih oleh konsumen saat ini,” kata Lead Scientist,

Drew Elde, Lead Scientist, Food Protection Kalsec
Food Protection Kalsec, Drew Elder. Lebih lanjut, Elder mengatakan bahwa saat ini konsumen lebih tertarik dan memilih berbagai variasi antioksidan yang berasal dari bahan alami seperti dari turunan tanaman rosemary (carnosic acid, carnosol), teh hijau (catechins), acerola cherry (ascorbic acid), tokoferol campuran (minyak nabati) asam askorbat (turunan jagung), dan asam sitrat (fermentasi gula).
Tidak jauh berbeda, Manager, Food Protection (Antioxidant Applications), Kalsec Inc., Jennifer Young juga menjelaskan bahwa antioksidan di atas berasal dari tumbuhan yang secara spesifik dikembangkan untuk menjadi antioksidan alami. “Kalsec memberikan sistem manajemen antioksidan yang telah terbukti efikasi, flavor, dan aroma pada tiga produk utama antioksidan alami yakni Herbalox Rosemary Extract, Duralex Oxidation Management, dan Teabalox Green Tea Extract,” tuturnya.


Jennifer Young, Manager, Food Protection (Antioxidant Applications), Kalsec Inc.
Regulasi antioksidan
Antioksidan termasuk ke dalam bahan tambahan pangan (BTP) yang

Dra. Deksa Presiana, Apt, M.Kes., Direktorat Standardisasi Pangan Olahan, BPOM RI
digunakan untuk mencegah atau menghambat kerusakan pangan akibat oksidasi. Pada dasarnya, penggunaan BTP hanya digunakan pada produk pangan jika benar-benar diperlukan secara teknologi. BTP tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang tidak memenuhi syarat, cara kerja yang bertentangan dengan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) dan kerusakan pangan. “Gunakan BTP termasuk antioksidan yang memiliki izin edar (MS/ ML) dan gunakan dengan takaran penggunaan yang sesuai dengan petunjuk label sediaan BTP serta tidak melebihi batas maksimal,” kata Koordinator Kelompok Substansi Standardisasi Bahan Tambahan Pangan, Bahan Penolong, Kemasan, Cemaran, dan Cara Ritel Pangan yang Baik, Direktorat Standardisasi Pangan Olahan, BPOM, Dra. Deksa Presiana, Apt, M.Kes. Penambahan BTP pada produk pangan memiliki beberapa tujuan seperti membentuk pangan, memberikan warna, meningkatkan kualitas pangan, memperbaiki tekstur, meningkatkan cita rasa, meningkatkan stabilitas, dan mengawetkan pangan.
Terkait dengan antioksidan alami, saat ini banyak potensi yang dapat dikembangkan mengingat inovasi bahan alami lokal yang mulai banyak dieksplorasi serta adanya teknologi ekstraksi yang lebih baik untuk memperoleh senaywa yang lebih murni dari bahan baku lainnya. Tidak hanya itu, inovasi teknologi yang lebih baik juga dapat meningkatkan stabilitas BTP antioksidan alami. Namun demikian, perlu juga diingat bahwa penggunaan BTP alami relatif masih kurang efektif dibandingkan dengan sintetik serta BTP alami cenderung bersifat mudah rusak sehingga berpengaruh pada umum simpan yang pendek. Terkait dengan BTP termasuk antioksidan ini telah diatur dalam beberapa regulasi seperti Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, PP No. 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label & Iklan Pangan dan diturunkan ke dalam beberapa Peraturan BPOM yang secara lengkap dapat diunduh dalam lama web: http://jdih.pom/go.id. Fri-35
ARAH KEBIJAKAN Industri Pangan 2023
Oleh Bustanul Arifin Guru Besar Universitas Lampung Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI)
Industri pangan pada tahun 2023 menghadapi tantangan baru, setelah selama hampir tiga tahun sibuk bertahan dan berupaya pulih dari hantaman pandemi COVID-19. Pada triwulan 3 tahun 2022 (Q3-2022) pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,72% (y-on-y), cukup tinggi dibandingkan negara-negara di Kawasan Asia Tenggara. Sektor industri manufaktur non-migas pada Q3-2022 mencatat pertumbuhan 4,88%, terutama didorong oleh industri logam dasar, mesin dan perlengkapan, alat angkut, dan industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki yang tumbuh dua digit. Industri pangan tumbuh agak moderat, terutama karena industri pangan tumbuh 3,57%, sedangkan industri tembakau justru mengalami kontraksi 2,94%.

Tantangan lain bagi industri pangan adalah kinerja sektor pertanian sebagai pemasok bahan baku penting dari industri pangan tumbuh rendah pada Q3-2022, yaitu hanya 1,65% (y-on-y). Itu pun pertumbuhannya tidak merata dan tidak stabil pada setiap subsektor. Dua subsektor penting justru mencatat pertumbuhan negatif, yaitu tanaman pangan dan kehutanan serta penebangan kayu. Tanaman pangan bahkan mengalami kontraksi hebat dan tumbuh negatif 7,97%, sedangkan kehutanan dan penebangan kayu terkontraksi negatif 3,80%. Sifat musiman (seasonality) dari subsektor tanaman pangan dan pertanian secara umum tampak masih sangat dominan.


Siklus tanaman pangan pada Q3-2022 umumnya telah selesai panen, sehingga perbedaan nilai tambah yang menjadi komponen utama dalam pertumbuhan subsektor tanaman pangan tersebut menjadi sangat kecil. Sedangkan subsektor kehutanan secara hakikat memang mengalami kontraksi, bahkan selama dua triwulan berturut-turut, karena volume penebangan kayu telah sangat jauh menurun.
Bahan baku industri pangan yang mengalami pertumbuhan positif dan cukup tinggi pada Q3-2022 adalah subsektor peternakan, perikanan, hortikultura dan perkebunan. Tantangan besarnya adalah bagaimana memanfaatkan potensi besar bahan baku tersebut untuk menggerakkan industri pangan, setidaknya pada
jangka pendek tahun 2023 dan jangka menengah-panjang ke depan. Strategi kebijakan hilirisasi industri pangan berbasis perkebunan, perikanan, dan peternakan tersebut menjadi kata kunci penting ke depan. Tidak berlebihan untuk disampaikan bahwa industri pangan menjadi salah satu ujung tombak pembangunan industri manufaktur dan bahkan strategi besar industrialisasi di Indonesia.
Artikel ini menganalisis arah kebijakan industri pangan 2023 dan dalam jangka menengah-panjang ke depan. Sinergi kebijakan tingkat makro perekonomian dan tingkat mikro industri pangan menjadi tumpuan harapan ke depan, bahkan menjadi andalan untuk mampu berkontribusi pada pemulihan ekonomi Indonesia dan ancaman resesi global. Pertama, pembahasan tentang perubahan demografi dan pergeseran piramida penduduk Indonesia dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang potensi peningkatan permintaan pangan fungsional. Kemudian, analisis tentang kinerja dan strategi hilirisasi industri pangan, khususnya yang berbasis perkebunan dan perikanan akan melengkapi substansi kebijakan industri pangan. Penutup artikel ini adalah rekomendasi perubahan ke depan untuk mewujudkan pencapaian industri pangan yang resilien dan berkontribusi pada transformasi pembangunan ekonomi Indonesia.

Perubahan demografi
Sebagaimana diketahui, Indonesia mengalami perubahan drastis dalam jumlah dan profil demografi serta komposisi penduduk. Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan atau yang ditunjukkan oleh indikator tingkat kesuburan (total fertility rate, TFR) turun dari sekitar 5,7 pada tahun 1971 menjadi 2,2 pada tahun 2020. Sebagian besar penurunan ini adalah implementasi program Keluarga Berencana sejak tahun 1970-an pada masa pemeritahan Presiden Soeharto. Setelah kejatuhan Rezim Orde Baru atau pada Era Reformasi, Program Keluarga Berencana (KB) sempat tidak menjadi fokus karena strategi pembangunan lebih banyak difokuskan pada pemulihan ekonomi. Akibatnya, mulai tahun 2000, laju penurunan TFR menjadi terhambat, walau masih di bawah 2,0 dalam 30 tahun ke depan. Sementara itu, angka harapan hidup saat lahir (life expectancy at birth = e0) meningkat dari 40 tahun lebih sedikit menjadi sekitar 70 tahun pada tahun 2020. Perbaikan kesehatan, terutama pada bayi dan balita, berkontribusi terhadap peningkatan tersebut. Diperkirakan dalam 30 tahun ke depan angka harapan hidup saat lahir akan mendekati 80 tahun, suatu peningkatan signifikan. Perubahan demografi Indonesia yang cukup dramatis tersebut ditunjukkan secara jelas pada Gambar 1.
Tahun 1970, struktur penduduk Indonesia didominasi oleh kelompok usia muda (0-14 tahun) hingga 43,2% karena pada waktu itu masih merupakan tahap awal program KB oleh Rezim Pemerintahan Orde Baru. Setelah TFR
80,0
70,0
60,0
50,0
40,0 53,5
43,2 67,8
62,1
30,0
20,0
10,0
0,0 20,2
3,3 6,3 14,3 17,0
197019751980198519901995200020052010201520202025203020352040204520502055206020652070207520802085209020952100
0-14 15-64 65+
Gambar 1. Struktur Umur Penduduk Indonesia, 1950-2020

atau angka kelahiran per wanita mampu diturunkan, maka komposisi penduduk usia muda semakin lama semakin turun. Secara sosial, kecenderungan pasangan baru untuk memiliki anak pada jumlah sedikit, bahkan ada yang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Penurunan tersebut dipoyeksikan akan terus berlangsung hingga di bawah 20% pada tahun 2050
Fenomena sebaliknya juga terjadi cukup masif, terutama karena angka harapan hidup juga berubah dan membaik, sebagai konsekuensi dari pembangunan ekonomi selama setengah terakhir. Penduduk lanjut usia (>65 tahun) terus naik, dari 3% pada tahun 1970 menjadi 18% pada 2050 karena kualitas pelayanan kesehatan juga semakin membaik. Bahkan pada periode 2055-2060, proporsi penduduk lanjut usia (lansia) melebihi proporsi kaum muda. Terdapat beberapa konsekuensi ekonomi dan kebijakan dari perubahan demografi seperti itu, diantaranya adalah kebutuhan dan jenis layanan sosial berubah, menjadi lebih ramah (friendly) terhadap penduduk lansia. Pelayanan perlindungan kaum lansia juga pasti berubah, seperti kebutuhan panti lansia, pelayanan kesehatan, transportasi dan lain-lain.
Pada Gambar 1 juga terlihat fenomena bonus demografi (demographic dividend) yang sering menjadi pembahasan serius pada literatur ekonomi pembangunan. Bonus demografi adalah potensi pertumbuhan ekonomi tinggi karena jumlah kelompok pekerja atau usia produktif (15-64 tahun) relatif lebih besar dari kelompok non-pekerja, yaitu penduduk usia muda (0-14 tahun) dan lansia (>65 tahun). Para ekonom menyebutkan potensi pertumbuhan ekonomi karena lebih banyak tenaga kerja tersedia untuk bekerja aktif tersebut hanya berlangsung satu sekali sepanjang sejarah suatu bangsa. Periode bonus demografi di Indonesia diperkirakan akan belangsung pada rentang 2030-2035 atau sekitar waktu tersebut. Bonus demografi akan tergantung pada kualitas pekerja itu sendiri, tingkat pendidikan dan keterampilan serta faktor-faktor lingkungan dan pelayanan terhadap para pekerja. Jika sekian macam prasyarat tersebut tidak mampu dimanfaatkan secara baik, maka potensi pertumbuhan ekonomi tinggi itu tidak akan terjadi,
bahkan menghasilkan persoalan baru yang lebih pelik.
Penyajian data penduduk dan perubahan demografi sering ditampilkan sebagai piramida penduduk Indonesia pada tahun 2020, 2045 dan 2070 pada Gambar 2.
Pada tahun 2020, piramida penduduk Indonesia masih berbentuk cukup umum, bahwa penduduk usia muda cukup besar, bahkan sampai penduduk usia remaja dan dewasa. Tingkat konsumsi atau kebutuhan pangan pada negara berpenduduk remaja ini memang cukup besar, sehingga angka konsumsi beras pada 2020 masih tercatat 29,40 juta ton. Pada tahun 2022, total konsumsi beras masih meningkat hingga 30,21 juta ton, lebih banyak karena jumlah penduduk yang terus naik, walaupun tingkat konsumsi beras per kapital telah turun hingga 94 kg/kapital. Penduduk usia lanjut semakin lama semakin berkurang hingga piramida penduduk pada 2020 berbentuk lancip hingga berbentuk garis lurus.
Tahun 2045 dan tahun 2070, bentuk piramida penduduk Indonesia berubah menjadi berturut-turut lonjong dan bahkan agak lancip di bawah. Piramida penduduk seperti itu menggambarkan kohor penduduk yang bergerak ke usia menengah, bukan lagi usia muda. Pada tahun 2045, tingkat kelahiran bayi berkurang, bahkan semakin banyak pasangan muda yang memilih untuk mempunyai anak 1-2 orang atau bahkan memilih untuk tidak mempunyai anak. Tahun 2070, piramida penduduk Indonesia akan berubah lagi menjadi agak lancip ke bawah dan ke atas, setelah kohor penduduk bergerak ke lanjut usia. Jenis pangan yang dikonsumsi oleh kelompok dewasa dan lansia tersebut pasti berubah. Mereka lebih banyak akan mengkonsumsi pangan segar dan olahan yang banyak bermanfaat bagi kesehatan dan befungsi untuk meningkatkan vitalitas tubuh atau yang dikenal sebagai pangan fungsional.

Gambar 2. Piramida Penduduk Indonesia pada 2020, 2045 dan 2070
Kecenderungan perubahan konsumsi pangan yang mengikuti perubahan demografi atas menjadi peluang besar bagi industri pangan untuk juga bergeser dan fokus untuk memproduksi pangan fungsional.
Industri pangan berbasis perkebunan dan perikanan
Sektor perkebunan dan perikanan menjadi basis utama industri pangan fungsional yang banyak dapat diproduksi di Indonesia. Pangan fungsional ini yang akan menjadi warna penting dari hilirisasi industri pangan Indonesia ke depan. Cikal bakal pengembangan industri pangan fungsional sebenarnya telah mulai dilaksanakan di Indonesia, karena banyak pelaku industri dan pemerintah telah mulai melakukan transformasi strategi pembangunan industri pangan. Nilai tambah yang dapat dihasilkan dari hilirisasi industri atau pendalaman industri agro, terutama yang berbasis perkebunan dan perikanan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dengan industri sederhana atau pengolahan tingkat pertama.
Pada tahun 2023, arah kebijakan pengembangan industri pangan nasional perlu secara sistematis melanjutkan transformasi dan hilirisasi industri, dalam suatu platform sektor hulu dan sektor hilir yang lebih terintegrasi. Industri pangan ke depan wajib terintegrasi dengan sektor hulu atau sektor pertanian, bahkan sejak tahap perencanaan investasi, koordinasi organisasi dan implementasi investasi industri pangan tertentu. Setidaknya terdapat tujuh strategi besar pengembangan industri pangan berbasis agro yang diturunkan dari Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN), sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2015, sebagai berikut: (1) Peningkatan produktivitas dan keberlanjutan pasokan; (2) Tekonologi cerdas dan presisi untuk nilai tambah; (3) Ketertelusuran produk pertanian yang aman dan halal; (4) Perbaikan daya saing agro-industri untuk pasar

global; (5) Keterpaduan hulu-hilir melalui sistem logistik efisien, (6) Investasi, produksi agro-industri dan perdagangan; (6) Penyediaan dan pengolahan big data yang komprehensif.
Permasalahan berlarut-larut yang melingkupi sektor hulu, bahkan dapat mengganggu peta jalan (roadmap) pembangunan industri pangan. Industri pangan nasional memerlukan kepastian dan kontinuitas bahan baku dari sektor hulu. Fenomena disrupsi yang terjadi pada sektor hulu, apa pun penyebabnya, pasti akan memengaruhi sektor hilir industri pangan turunannya. Misalnya, industri berbasis kelapa sawit mengalami ketidakpastian sangat tinggi ketika tiba-tiba pemerintah memberlakukan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) pada bulan Mei 2022. Walaupun terjadi hanya satu bulan, larangan ekspor CPO dan produk turunannya tersebut justru telah mengganggu kinerja industri pangan dan perdagangan luar negeri dan lainlain. Demikian juga fenomena buruknya dukungan peningkatan produktivitas perkebunan kakao justru telah

mengganggu kinerja industri cokelat, cocoa butter, dan lain-lain.
Secara singkat, kinerja industri pangan berbasis perkebunan dan perikanan beserta rencana pengembangannya ke depan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1Industri berbasis kelapa sawit.
Pada tahun 2022, luas areal kelapa sawit diperkirakan meningkat melebihi 16,5 juta hektar, dengan produksi 51,3 juta ton CPO atau terdapat peningkatan signifikan dari 46,5 juta ton pada tahun 2021.
Produksi CPO sebesar merupakan setengah lebih dari produksi CPO global, karena Indonesia telah lama menjadi produsen CPO terbesar di dunia. Ketika pandemi COVID-19 melanda ekonomi global, permintaan
CPO sempat lesu sebelum akhirnya
Indonesia menggenjot pengembangan biofuels B-30. Hasilnya ternyata sangat signifikan, karena harga CPO dan harga minyak goreng naik di atas 100%. Pemerintah melakukan intervensi kebijakan untuk stabilisasi harga minyak goreng, walau dengan instrumen kebijakan yang berubah-ubah. Awalnya, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng pada Januari 2022, kemudian berganti menjadi alokasi wajib domestik (domestic market obligation, DMO) dan kewajiban harga domestik (domestic price obligation, DPO). Kebijakan yang tidak terlalu matang tersebut akhirnya justru membuat minyak goreng semakin langka dan harga semakin tidak terkendali. Antrian warga yang ingin membeli miyak goreng terjadi di mana-mana dan sempat menimbulkan implikasi politik yang merisaukan. Pada bulan Maret 2022, kebijakan DMO dan DPO dicabut dan dianggap tidak berlaku. Pemerintah menetapkan HET hanya untuk minyak goreng curah, dengan maksud untuk memberikan subsidi bagi keluarga miskin. Badan

Pengelola Dana Perkebunan Kelapa
Sawit (BPDP-KS) ditugaskan untuk mengganti selisih harga pasar dengan HET pada produsen minyak goreng. Singkatnya, sepanjang tahun 2022, industri berbasis kelapa sawit mengalami drama ekonomi yang sangat dinamis dan berdimensi politik yang sangat kental. Strategi pengembangan sawit berkelanjutan tampak tidak mudah, walaupun ekspektasinya adalah bahwa sawit berkelanjutan akan lebih inklusif dan komprehensif membawa dampak keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan industri pangan berbasis kelapa sawit ke depan diarahkan untuk melakukan diversifikasi industri dan produk hilir andalan, khususnya pangan fungsional berupa oleokimian, asam lemak, vitamin A dan vitamin E, dan lain-lain. Prasyarat untuk melalukan percepatan pembangunan atau debottlenecking untuk menjamin kontinuitas dan kepastian suplai bahan baku adalah reforma total replanting atau peremajaan sawit rakyat, peningkatan status legalformal lahan, terutama yang belum memimiliki status clear and clean untuk dilakukan peremajaan sawit rakyat (PSR).
2Kelapa dalam. Pada 2022, luas areal kelapa dalam sekitar 3 juta ton tersebar di hampir setiap provinsi yang memiliki garis pantai di Indonesia. Produksi kelapa dalam diperkirakan 16,8 juta ton, atau mengalami penurunan dari 17,1 juta ton pada 2021. Tren penurunan produksi kelapa dalam diperkirakan terus terjadi pada tahun 2023 ini. Ekspor kopra sebagai turunan dari kelapa dalam cukup rendah, hanya beberapa puluh ribu ton saja, sangat kontras dibandingkan dengan kelapa sawit yang mendapat perhatian memadai. Kelapa dalam hampir seluruhnya diusahakan oleh petani atau pekebun kecil, sehingga produktivitas kelapa hanya berkisar 5 ton/ha dan nyaris tidak berubah selama beberapa tahun terakhir. Persoalan peremajaan yang lambat terjadi lebih banyak karena kapasitas pekebun, status legalitas lahan dan nyaris tidak terdapat program pemerintah untuk melakukan peremajaan kelapa dalam sebagaimana pada administrasi sebelumnya. Pada bidang pascapanen, tidak banyak aplikasi teknologi modern untuk menghasilkan kopra putih yang berharga lebih mahal. Hingga saat ini, komposisi kopra hitam masih lebih dominan dibandinkan dengan kopra putih.

Tabel 1. Pengembangan Industri Pangan Berbasis Perkebunan dan Perikanan
Komoditas Lokus Prioritas Diversifikasi Industri Produk Hilir Andalan Debottlenecking Hulu, Kontinuitas bahan baku
Kelapa Sawit Sumut, Sumsel, Jatim Pangan Fungsional (Oleokimia fatty acid, Vit A E, dll)
Kelapa Dalam Jatim, Sulut Pangan Fungsional (Medium-chain trigliseride, flour) replanting (PSR), legal, korporatisasi
Peningkatan produktivitas kelapa genjah (hibrida)
Sulut, Maluku, Maluku Utara, Bali, NTT Olahan ikan, Pengalengan ikan
Tuna
Jatim, Sulsel, Jabar, Banten Pangan Fungsional (Minyak, tepung, gelatin, kolagen)
Rajungan Jatim-Jateng
Sultra Olahan rajungan (meat, cake, dll), Pangan Fungsional, Suplemen
Pangan Fungsional (Chitosan, chitin, suplemen), farmasi, kosmetik dll
Sumber: Diolah dari “Roadmap Hilirisasi Industri Pangan 2045” (BKPM, 2022) Verifikasi-validasi asal bahan baku, ketelusuran dan perbaikan dayasaing sektor
Kerjasama investasi, jaringan industri pangan dan pemberdayaan nelayan tradisional
Waspada overfishing, Pantura Jatim-Jateng banyak nelayan tradisional
Dukungan energilistrik, angkutan darat dan laut, dari Muna, Bombana, dll
Roadmap menuju 2045
KEK Sei Mangke, Tanjung Carat, Gresik, Mojokerto
KEK Gresik, KEK Bitung
Peningkatan konsumsi pangan dan kualitas gizi: Kontribusi percepatan penurun stunting
Peningkatan utilisasi industri, kapasitas produksi
KI PIER (PasuruanIndustri Estate Rembang).
Industri Rajungan Rebus dan diawetkan di Kawasn PPS Kendari).
Harga kopra yang stagnan dan rendah menjadi salah satu determinan dari rendahnya kinerja kelapa dalam selama ini. Hal yang cukup menarik adalah bahwa pemerintah saat ini sedang mengembangkan investasi industri pangan berbasis kelapa dalam, khususnya pangan fungsional untuk menghasilkan mediumchain trigeliseride, tepung kelapa (coconut flour) dan lain-lain. Upaya untuk melakukan debottlenecking di sektor hulu melalui peningkatan produktivitas, peremajaan atau revitalisasi perkebunan kelapa, pengembangan kelapa hibrida, dan lain-lain perlu menjadi kebijakan prioritas pada tahun 2023 dan jangka menengah ke depan. Misalnya, pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung dan KEK Gresik ditugaskan sebagai ujung tombak dalam pengembangan industri pangan fungsional berbasis kelapa dalam.
3Tuna-Cakalang-Tongkol. Sampai saat ini, Indonesia sebenarnya masih menduduki peringkat pertama sebagai produsen tuna-cakalangtongkol (TCT) di dunia, dengan kontribusi sekitar 15%, disusul
Filipina 7%, Vietnam 6,6%, Ekuador 6% dan sebagainya. Pada tahun 2022, total produksi sekitar 1,4 juta ton dan masih akan meningkat pada 2023 karena potensi produksinya memang sangat tinggi. Potensi produksi TCT di Indonesia sekitar 3,4 juta ton yang sebagian besar berada di perairan Indonesia Timur dan wilayah lain dengan wilayah pantai dan laut dalam. Sebagian besar atau sekitar 1,2 juta ton (87%) produksi TCT dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik dan sekitar 175 ribu ton sisanya (13%) untuk pasar ekspor. Selama 10 tahun terakhir, Tunisia merupakan negara pengekspor ikan tuna (sektor hulu) terbesar dengan kontribusi 24%, sementara pangsa ekspor tuna Indonesia sangat kecil atau hanya sekitar 0,1% dari total perdagangan tuna global. Pemerintah Indonesia sedang mengembangkan investasi industri pangan berbasis TCT, terutama di Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Bali dan Nusa Tenggara Timur, khususnya untuk industri pangan olahan, pengalengan ikan dan lain-lain. Industri pangan berbasis TCT ini dapat berkontribusi

pada peningkatan konsumsi pangan dan kualitas gizi, serta percepatan penurunan stunting. Industri pangan fungsional berbasis TCT berupa minyak ikan, tepung ikan, gelatin, kolagen dan lain-lain dikembangkan di Jawa Timur, Sulawesi Selatan,
Jawa Barat, dan Banten. Strategi debottlenecking atau pembenahan sektor hulu perikanan, dimulai dari pendampingan dan pemberdayaan nelayan, verifikasi dan validasi bahan baku dalam konteks ketelusuran bahan baku untuk meningkatkan daya saing sektor perikanan dan kelautan secara umum.
4Rajungan. Rajungan adalah bahan industri pangan dengan protein tinggi yang dapat berkontribusi pada peningkatan konsumsi dan kualitas gizi. Produksi terbesar rajungan diperoleh dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 712 yang meliputi Perairan Utara Jawa dan Perairan Timur menyumbangkan produksi rajungan sekitar 47,5% dari total produksi rajungan nasional. Sentra produksi rajungan terbesar selanjutnya yaitu WPP 713 dan WPP 711 yang berada di
Kepulauan Bangka-Belitung, Jawa
Timur, dan Jawa Barat. Produksi rajungan Indonesia tahun 2022 hanya sekitar 100 ribu ton, jauh menurun dibandingkan dengan produksi tahun 2017 yang mencapai 270 ribu ton. Penurunan ini disebabkan dari fenomena penangkapan berlebihan (overfishing) di beberapa perairan dangkal sehingga kemampuan reproduksi rajuangan menurun. Produksi rajungan sebagian besar (71%) untuk konsumsi domestik dan 29% sisanya untuk pasar ekspor. Pangsa pasar ekspor rajungan dari Indonesia mencapai 7,6% atau berada pada posisi ke-4 di dunia. Hal yang menarik adalah bahwa neraca perdangangan internasional Indonesia untuk rajungan tercatat sebesar 24 ribu ton, dengan tujuan ekspor Amerika Serikat (47 persen), Tiongkok (25%) dan Malaysia (14%). Arah kebijakan investasi industri pangan berbasis rajungan pada 2023 adalah pada Kawasan Industri PIER (Pasuruan Industrial Estate Rembang) di Pasuruan, Jawa Timur. Industri pangan fungsional yang dikembangkan adalah kitosan, kitin, suplemen, farmasi dan kosmetik.


Investasi industri rajungan rebus di Kendari dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah rajungan sekaligus untuk menghasilkan produk pangan fungsional, suplemen kesehatan dan lain-lain.
Perubahan kebijakan ke depan
Sebagai penutup, beberapa perubahan kebijakan berikut perlu segera dilakukan untuk mewujudkan arah industri pangan tahun 2023 dan jangka menengahpanjang ke depan. • Pertama, penguatan hilirisasi pangan adalah bagian dari agenda transformasi sistem pangan nasional dan pengembangan pangan fungsional lebih komprehensif. • Kedua, strategi hilirisasi pangan wajib mempertimbangkan potensi sumberdaya dan kearifan lokal,
meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja baru, dan berkontribusi pada pengembangan wilayah dan ekonomi lokal. • Ketiga, hilirisasi industri pangan pangan mensyaratkan kepastian hukum dan iklim usaha dalam suatu tata guna lahan, kejelasan zonasi, keseimbangan ekologis dalam pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan, berbasis “Satu Data
Indonesia” yang bermartabat; • Keempat, dukungan digitalisasi rantai nilai pangan, konsistensi kebijakan dalam negeri dalam pemberdayaan petani dan nelayan kecil, akses pembiayaan, teknologi perlu terintegrasi dengan strategi penguatan hilirasi pangan yang lebih besar.
Tantangan Industri Pengolahan Pangan 2023: Reformulasi
Oleh Purwiyatno Hariyadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB University SEAFAST Center, IPB University Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI)

“The right to food is the most basic right of all. If we are truly committed to the cause of human rights, we must exercise initiative and leadership and work to eliminate world hunger....”.
(Presidential, Commission on World Hunger, Washington, DC. 1980).
Selain udara dan air, pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Makhluk hidup tidak dapat bertahan hidup tanpa pangan (serta udara dan air). UndangUndang Pangan Republik Indonesia (UU No. 18, 2012) bahkan menyatakan bahwa pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jadi, jika kita benar-benar berkomitmen pada hak asasi manusia, maka kita harus sangat serius bekerja untuk menghilangkan kelaparan dunia; yang tidak lain adalah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals)ke- 2(SDG No. 2) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), delapan tahun yang lalu (2015). Secara khusus SDG No. 2 adalah menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang lebih baik serta mempromosikan pertanian berkelanjutan.
Menghilangkan kelaparan
Menghilangkan kelaparan mestinya menjadi komitmen -dan sekaligus misi suci dan mulia- semua pemangku kepentingan bidang pangan. Kenyataannya, sesuai dengan laporan berjudul Food Security and Nutrition in the World yang diterbitkan bersama oleh beberapa badan PBB (FAO, IFAD, UNICEF, WFP dan WHO) pada tahun 2022, diketahui bahwa dunia belum berhasil menjawab tantangan menghilangankan kelaparan ini. Laporan tersebut justru memberikan peringatan, bahwa tantangan itu semakin besar.
Dalam laporan ini, situasi kelaparan global; yang ditunjukkan dengan angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan (prevalence of undernourishment; PoU, %) terangkum dengan jelas pada Gambar 1. Gambar 1 tersebut memperlihatkan adanya tren yang bagus sampai dengan tahun 2014, di mana tercatat dunia mampu mencapai kemajuan signifikan dalam


Gambar 1. Jumlah dan Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan (Prevalence of Undernourishment; PoU) di dunia, 2005 – 2020/2021. Nilai proyeksi untuk tahun 2021 diilustrasikan dengan garis putus-putus. Area yang diarsir menunjukkan batas bawah dan atas dari perkiraan kisaran tersebut. (FAO, IFAD, UNICEF, WFP dan WHO, 2022).
menurunkan angka PoU. Namun mulai tahun 2014, tren turunnya angka PoU ini tidak terlihat lagi. Pada saat itu, khususnya pada tahun 2015, PBB sebetulnya membuat penegasan kembali supaya dunia lebih sungguh-sungguh berupaya menghilangkan kelaparan, dengan menyusun agenda pembangunan berkelanjutan, dan menetapkan 17 SDGs, di mana salah satunya adalah menghilangkan kelaparan di dunia, menuju Zero Hunger (SDG No. 2).
Namun demikian, dengan agenda SDGs yang digaungkan PBB, situasi kelaparan di dunia tidak membaik, tetap stagnan hingga tahun 2018. Bahkan keadaan pangan dunia menjadi memburuk, ditandai dengan angka PoU yang mulai meningkat pada tahun 2018/2019. Pada tahun 2020, meningkatnya angka PoU semakin nyata, menyebabkan jumlah kelaparan menjadi 618.4 juta orang. Semua tren tidak menggembirakan ini terjadi sebelum konflik Rusia-Ukraina, yang mulai pada awal tahun 2022, yang diprediksi dapat lebih memperburuk kondisi pangan dunia.

Dalam hal angka PoU, data dari Badan Pusat Statistik juga menunjukkan fenomena serupa terjadi di Indonesia. Indonesia mengalami penurunan PoU yang melambat dari tahun 2015 ke 2019, dan akhirnya bahkan meningkat pada tahun 2020 (Gambar 2). Kondisi ini, berpeluang menjadi lebih buruk karena adanya konflik dunia, yang dapat memberikan tekanan pada produksi dan logistik pangan, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan angka PoU. Tantangan untuk mencapai SDG No. 2 sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1 dan 2 ini, akan semakin berat karena adanya laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, yang pada akhirnya akan menyebabkan permintaan pangan yang meningkat dengan laju yang lebih besar lagi.
Meningkatkan produksi dan produktivitas
Dengan gambaran tersebut di atas, terlihat bahwa dunia mempunyai tugas untuk meningkatkan produksi


pangan guna memenuhi pertambahan pemintaan karena pertumbuhan populasi. Untuk melakukan itu, dunia juga harus mengatasi beberapa kendala signifikan, seperti (i) ketersediaan lahan yang semakin menurun, (ii) ketersediaan air yang semakin terbatas, (iii) meningkatnya permintaan penggunaan “bahan pangan” untuk energi (biofuel), (iv) perubahan iklim yang semakin memberikan ketidakpastian, serta (v) masih adanya gaya hidup yang tidak berkelanjutan. Bahkan, sejak tahun 2019 sampai saat ini, ketersediaan pangan juga terkendala oleh adanya pandemi COVID-19 dan konflik. Menyadari adanya berbagai kendala tersebut, maka selain tantangan menghasilkan produk pangan lebih banyak, dunia juga perlu meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi dalam seluruh rantai pasok pangan. Gambaran mengenai tantangan di atas perlu dipahami dan dijawab oleh semua insan pangan, di seluruh bagian sistem pangan.
Tantangan ini perlu dijawab pula oleh para ahli teknologi pengolahan pangan, dan khususnya kepada sektor industri pengolahan pangan. Bagaimana sektor industri pengolahan pangan (sebagai bagian dari sistem pangan) dapat berkontribusi menjawab tantangan tersebut? Bagaimana menjamin ketersediaan pangan untuk populasi yang terus bertambah? Itulah sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab oleh sektor industri pengolahan pangan (IPP). Industri tidak hanya perlu menjawab dari segi jumlah (kuantitas), pangan saja, tetapi juga memastikan bahwa pangan yang dihasilkan adalah pangan aman dan bergizi, sehingga
dapat memfasilitasi pola makan sehat penduduk (yang jumlahnya semakin bertambah).
Industri pengolahan pangan (IPP)

IPP merupakan komponen penting dari sistem pangan, yang menghubungkan sisi produksi dan sisi konsumsi. Peran utama IPP ini adalah mengelola dan mengubah bahan baku dari sisi produksi, mentransportasikan dan mendistribusikan secera efisien ke sisi konsumsi, sehingga setiap individu mendapatkan akses pangan aman, bergizi secara cukup, untuk memungkinkan hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan SDG No. 2; menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang lebih baik serta mempromosikan pertanian berkelanjutan.
Peran ini sangat penting dan strategis untuk menjamin ketahanan pangan suatu negara. Peran strategis IPP ini, antara lain: • Melakukan penanganan pangan dari sisi produksi (mulai dari penanganan pascapanen, penyimpanan, transportasi, dan lain-lain) dengan menjamin keamanan pangan, serta menjaga, meminimalkan penurunan, dan/atau bahkan meningkatkan mutu dan gizi pangan, serta mengurangi jumlah pangan tercecer/hilang (food loss). • Memperpanjang umur simpan pangan supaya tetap aman dan tidak mudah rusak, sehingga akan mengurangi jumlah pangan terbuang (food waste). • Mengembangan sistem transportasi lebih baik, yang pada gilirannya akan memfasilitasi distribusi yang lebih baik pula ke sisi konsumsi. • Mengembangkan produk pangan yang memiliki karakter sesuai dengan tuntutan sisi konsumsi (misalnya tuntutan kemudahan/kepraktisan, selera/kebiasaan, fungsionalitas/ kesehatan, keterjangkauan/harga, penerimaan sosial dan budaya, dan lainnya) sehingga mampu memfasilitasi diet sehat penduduk.
Salah satu peran penting IPP adalah dalam mengurangi jumlah pangan tercecer/hilang dan terbuang (food loss & food waste). Sebagaimana disitasi sebelumnya (Hariyadi, 2022), jumlah pangan tercecer dan terbuang ini cukup
besar, mencapai sekitar 14% tercecer dan sekitar 17% yang lain terbuang siasia. Laporan ReFed, lembaga kolaborasi antara sektor bisnis, lembaga nonprofit dan pemerintah AS, menyatakan bahwa di AS, pangan terbuang ini terjadi di sepanjang rantai pangan. Lebih lanjut dilaporkan bahwa di AS, kegiatan di produksi on-farm ternyata menyumbang 16% dari total pangan terbuang, di pengecer (ritel) sebanyak 40%, dan di rumah tangga konsumen sebesar 43%. Sebagai perbandingan, sektor industri pengolahan pangan bertanggung jawab atas (hanya) 2% dari total pangan terbuang. Hal ini menunjukkan bahwa optimalisasi peran teknologi dan IPP dapat menjadi langkah strategis untuk berkontribusi dalam sistem pangan berkelanjutan, khususnya untuk mengurangi pangan terbuang sehingga lebih memastikan ketersediaan pangan sesuai dengan tuntutan pertumbuhan populasi penduduk dan sumber daya yang menyusut.
Terlepas dari itu, industri pengolahan pangan memiliki tantangan dan kritik keras dari masyarakat luas, sebagaimana telah dihadapi dan terjadi selama satu dekade ini. Kritik ini berkembang karena adanya anggapan masyarakat bahwa pangan olahan hasil IPP kurang “sehat” dibandingkan pangan segar, dan -ada pula anggapan- semakin tinggi tingkat pengolahannya, maka pangan tersebut akan semakin “tidak sehat”. Adanya anggapan demikian, menghadirkan tantangan khusus, tidak hanya untuk sektor pengolahan pangan, tetapi juga untuk sistem pangan secara keseluruhan. Di berbagai media (termasuk di media sosial) banyak dijumpai publikasi mengenai “anggapan” tersebut, sehingga dapat menyebabkan memburuknya citra dan reputasi IPP, yang pada gilirannya dapat menegasikan peran pentingnya dalam pengembangan sistem pangan berkelanjutan.
Citra dan reputasi IPP (dan pangan olahan yang dihasilkannya) dapat semakin buruk dengan adanya sistem klasifikasi NOVA, yang membagi pangan menjadi 4 kelompok, berdasarkan tingkat pengolahannya; yaitu (1) pangan mentah dan pangan dengan pengolahan minimal (unprocessed and minimally processed foods), (2) ingridien olahan untuk kuliner (processed


culinary ingredients), (3) pangan olahan (processed foods), dan (4) pangan “ultra-olahan” (“Ultra-processed” foods, UPF). Klasifikasi dan penamaan ultraprocessed food (UPF) ini diusulkan dan dipopulerkan oleh Carlos A Monteiro, Profesor Gizi, dari School of Public Health, University of São Paulo, São Paulo, Brazil. Sebagaimana namanya, dasar klasifikasi ini adalah tingkat pengolahan, namun deskripsi yang digunakan ternyata tidak demikian. Kelompok UPF dideskripsikan sebagai kelompok pangan yang di dalam daftar bahan yang digunakan mengandung setidaknya satu bahan khasyang mencirikan UPF, yaitu, bahan/ingridien pangan yang tidak pernah atau jarang digunakan di dapur. Bahan khas penciri UPF tersebut adalah sirup jagung fruktosa tinggi (high fructose corn syrup), minyak-minyak terhidrogenasi atau terinteresterifikasi, protein terhidrolisis, dan bahanbahan yang dirancang untuk membuat produk akhir enak atau lebih menarik (seperti perisa, penguat rasa, pewarna, pengemulsi, garam pengemulsi, pemanis, pengental, dan lain-lain). Secara umum, klasifikasi ini kurang akurat dan berpotensi membingungkan atau menyesatkan, khususnya mengenai peran teknologi "pengolahan" pangan.
Dalam klasifikasi ini disebutkan bahwa UPF bukanlah “pangan yang sesungguhnya”, karena diformulasikan menggunakan bahan-bahan yang sering dimodifikasi oleh proses kimia dan kemudian dirakit bersama menjadi produk pangan (makanan dan minuman) dengan menggunakan bahan tambahan untuk menghasilkan pangan yang menarik dan sangat enak, biasanya diproduksi dan dipromosikan oleh perusahaan raksasa transnasional, sehingga menjadi bisnis yang sangat menguntungkan dan secara intrinsik “tidak sehat”.
Terlihat bahwa deskripsi tentang UPF tidak semuanya terkait langsung dengan pengolahan. Namun istilah yang digunakan adalah "ultra-processed", dan jika produk terdeskripsikan atau tergolongkan sebagai UPF maka, serta-merta dilabel sebagai kelompok pangan yang “tidak sehat”. Sehingga, klasifikasi dan penamaan ini berpotensi menegasikan peran teknologi
"pengolahan" pangan. Selanjutnya, klasifikasi ini memungkinkan adanya berbagai produk pangan “sehat”, yang karena deskripsinya akan dimasukkan dalam klasifikasi UPF, dan karenanya dianggap “tidak sehat”. Produk pangan berbasis nabati (plant-based foods), misalnya, berdasarkan pada deskripsinya maka akan dikelompokkan sebagai UPF, dengan sendirinya “tidak sehat” dan harus dihindari. Demikian pula dengan pangan yang diperkaya dengan zat gizi khusus untuk tujuan kesehatan tertentu, atau pangan yang mengandung komponen fungsional kesehatan. Jadi, klasifikasi dan penamaan UPF ini berpotensi menyesatkan dan dapat menurunkan citra, reputasi, dan peran strategis IPP, profesional yang bekerja di IPP, termasuk para ahli teknologi pangan. Lebih lanjut, deskripsi yang kurang tepat ini berisiko mematikan inovasi teknologi pangan menjawab tantangan kebutuhan pangan masa depan yang semakin kompleks.
Reformulasi untuk SDG No. 2
Gambaran itulah yang dimaksud dengan “tantangan” dalam judul artikel ini. Profesional, praktisi industri, dan pakar teknologi pangan harus bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan untuk menjawab tantangan tersebut. Insan pangan harus terus menerapkan prinsip-prinsip ilmu dan pengetahuan tentang penanganan dan pengolahan pangan yang baik secara bertanggung jawab, untuk memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian SDGs, khususnya SDG No. 2. Itulah tantangan keberlanjutan, tidak hanya tantangan untuk menyediakan pangan aman, bergizi dalam jumlah yang cukup, tetapi juga pengaruhnya pada kesehatan dan keberlanjutan sistem pangan.
Jawaban atas kritik dan tantangan tersebut perlu ditunjukkan dengan kontribusi nyata bagi pencapaian ketahanan pangan (memastikan ketersediaan pangan aman dalam jumlah cukup), ketahanan gizi (memastikan terpenuhinya kebutuhan gizi individu) dan pencapaian individu sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Salah satu inisiatif yang segera perlu diambil oleh IPP adalah reformulasi atau redesain, baik untuk produk maupun prosesnya, sesuai dengan kaidah-kaidah terkini ilmu dan teknologi pangan dan gizi, termasuk keilmuan sosial, budaya,


keberlanjutan dan lain sebagainya. Dengan kerja sama sistematis antara pakar teknologi pangan dan industri, reformulasi dapat dilakukan dengan tujuan menjadikan pangan lebih aman, bergizi dan lebih “sehat”, namun tetap enak, sesuai dengan kesukaan dan kebutuhan sosial budaya keberlanjutan masyarakat.
Reformulasi dapat dimulai dengan mengurangi kandungan bahanbahan yang perlu dibatasi pada diet masyarakat (constituents to limit) dan/ atau menambahkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memperbaiki mutu diet masyarakat (nutrients to encourage) sehingga dapat menfasilitasi pola diet yang lebih menyehatkan masyarakat. Termasuk dalam constituents to limit ini adalah gula, garam, lemak (GGL), sedangkan nutrients to encourage ini antara lain adalah serat pangan, vitamin, mineral, protein dan bahan fungsional kesehatan lainnya. Hal ini tentu harus didasarkan pada ilmu pengetahuan terkini bidang pangan, gizi, dan kesehatan. Selain reformulasi, IPP juga perlu mengambil langkah-langkah yang lebih proaktif dalam memberikan informasi tentang pentingnya diet sehat, serta bagaimana produk pangan yang diproduksinya dapat digunakan dan berkontribusi pada pencapaian diet sehat tersebut.
Tantangan reformulasi masa depan: 2023 dan seterusnya
Tantangan keberlanjutan adalah tantangan masa depan yang besar dan menguat nyata di IPP saat ini dan seterusnya. Peran IPP untuk menyediakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia akan semakin berat, dan ini harus dilakukan dengan
seminimal mungkin dampak negatif bagi lingkungan; baik lingkungan alam, sosial dan ekonomi.
Bagaimana IPP dapat menjawab tantangan keberlanjutan ini? IPP perlu mencari terobosan kreatif dan inovatif untuk itu. Dalam konteks reformulasi seperti didiskusikan di atas, selain aspek gizi, ada beberapa aspek penting lain yang perlu dipertimbangkan dalam upaya reformulasi oleh IPP, yaitu:
1. Reformulasi untuk meningkatkan penggunaan bahan baku
berkelanjutan. Sumber bahan baku adalah salah satu kunci penting keberlanjutan. Masyarakat konsumen
memerlukan informasi tentang asalasal bahan baku, apakah berasal dari bahan lokal, organik, apakah diperoleh dengan mekanisme perdagangan adil, atau apakah diproduksi menggunakan praktik pertanian berkelanjutan. Semua informasi yang menjawab pertanyaan ini menjadi semakin penting. Secara umum terdapat permintaan kuat dari masyarakat supaya IPP semakin banyak menggunakan bahan lokal, bahan yang dikenal, bahkan bahan yang diproduksi oleh orang/institusi yang dikenal pula oleh konsumen lokalnya.
2. Reformulasi pengemasan.
Dalam kaitannya dengan tuntutan keberlanjutan, penggunaan kemasan pangan perlu mendapatkan perhatian khusus (Hariyadi, 2022).
Masyarakat konsumen semakin menuntut kemasan pangan yang lebih berkelanjutan, lebih dapat didaur ulang, dapat dibuat kompos, lebih ringan, dan semakin dapat digunakan kembali. Inovasi untuk menggunakan kemasan lebih sedikit, tetapi tetap memberikan perlindungan terhadap produk pangan yang dikemas merupakan tantangan berkelanjutan lainnya.
3. Reformulasi dengan pemanfaatan
pangan nabati. Pengembangan sistem produksi pangan berbasis nabati adalah salah satu pendekatan
IPP untuk keberlanjutan dalam sistem nilainya, terutama dengan memanfaatkan sumber daya


tanaman yang selama ini kurang termanfaatkan (underutilized) atau bahkan tersisihkan (neglected).
Banyak sumber daya tanaman lokal yang berpotensi untuk dikembangkan, termasuk budaya dan kebiasaan lokal mengonsumsi pangan nabati.
4. Reformulasi rantai pasok
pangan. Dalam hal ini, IPP perlu pula mereformulasi sistem pangannya, dengan memperkuat jejaring lokal, memanfaatkan potensi bahan lokal, serta terlibat dalam kegiatan penguatan sistem pangan lokal. Sistem rantai pasok demikian berpotensi pula untuk menyederhanakan sistem logistik pangan, mengurangi jumlah pangan hilang dan terbuang, serta menumbuhkan ekonomi lokal dan melibatkan masyarakat lokal, khususnya petani produsen bahan baku pangan.
Akhirnya, sebagai bagian integral dari sistem, IPP perlu bekerja sama dan berkolaborasi dengan semua komponen sistem, petani, konsumen, penyandang dana, pemerintah, bisnis dan LSM, untuk bersama-sama membangun sistem pangan yang berkelanjutan. Idealnya, sistem pangan yang berfungsi secara berkelajutan tidak hanya memasok pangan sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi juga memelihara kehidupan itu sendiri.