TRANSFORMER EDISI XIV

Page 1

Women’s Question dan Problem Gerakan Perempuan

Kritik Saba Mahmood atas Sekularisme Politik

Hasan Labiqul Aqil

Perempuan, Stereotipe Gender, dan Konstruksi Kecantikan

Wahyu Hidayati

Kritis Transformatif
TRANSFORMER Edisi Ke-XIV/2023

Women’s Question dan Problem Gerakan Perempuan

Perjuangan untuk pembebasan perempuan terus digencarkan hari-hari ini. Konsep-konsep seperti kesetaraan gender, feminisme, dan strategi gerakan perempuan terus dibangun dan diperdebatkan. Namun, sebagaimana gerakan sosial pada umumnya, gerakan perempuan pun menghadapi gejolak identifikasi diri. Standing point yang mereka tawarkan terus dipertanyakan. Kesetaraan seperti apa yang diperjuangkan? Apakah kesetaraan perempuan dan laki-laki? Dalam konteks apa kesetaraan itu dibicarakan? Apakah laki-laki adalah musuh yang dihadapi oleh perempuan? Apakah perempuan memerlukan wadah tersendiri sebagai tempat untuk mereka berjuang?

Dalam peliknya menghadapi pertanyaan di atas, Maria Mies dalam bukunya Patriachy & Accumulation on a World Scale: Women in the International Division of Labour mengajukan tesis bahwa tujuan dari pembebasan perempuan harus diletakkan sebagai sebuah hal yang berada di tingkatan suprastruktur, atau ideologi, atau budaya, dan bukan pada struktur basis ekonomi.

Mengapa demikian? Argumennya, perempuan bukanlah kelompok atau entitas yang terpisah dari struktur kelas sosial. Perempuan juga menghadapi problem ekonomi, sebagaimana laki-laki. Proses pemisahan alat-alat produksi juga terjadi dalam diri perempuan. Patriarki bukanlah konsep yang datang setelah kapitalisme. Ia sudah ada sebelum kapitalisme. Justru kapitalisme lah yang melanggengkan alam pikir patriarki. Apa yang kita lihat pada pembagian kerja secara sosial, pengupahan, dan pembedaan kompas moral antara laki-laki dan perempuan adalah contohnya. Perempuan dianggap sebagai entitas kedua (the second) terjadi secara struktural.

Oleh karena itu, analisis terhadap segala bentuk subordinasi perempuan tidak bisa dilepaskan dari analisis kelas. Analisis kelas menyajikan hukum gerak sejarah yang diwarnai oleh perebutan alat-alat produksi. Siapa yang menguasai alat-alat produksi akan mendapatkan jaminan atas ekonomi, sebagai basis struktur. Dengan demikian, kita perlu melihat motif ekonomi seperti apa yang bersemayam di balik fenpmena eminggiran terhadap perempuan. Lawan yang kita hadapi bukanlah soal perempuan kontra laki-laki. Tetapi, perempuan dan laki-laki tertindas kontra perempuan dan laki-laki penindas. Perjuangan pembebasan perempuan memang harus terus digulirkan. Tetapi, refleksi atas women’s question yang diajukan juga tak kalah penting. Segala kekacauan atas posisi, arah gerak, dan strategi gerakan perempuan terjadi karena keengganan untuk mempertanyakan kembali apa yang sebenarnya mereka perjuangkan. Begitu.

Redaksi

SUSUNAN REDAKSI

Susunan Redaksi - Pembina: Abdul Aziz, M. Psi.- Penanggung Jawab: Dani Firmansyah Kurniawan - Pemimpin

Redaksi: Abdul Manan - Redaktur Pelaksana: Muh. Fauzil Adhim - Penata Letak: Abdul Manan - Editor: Muh. Fauzil Adhim, Rendi Nurdiansyah - Publikasi dan Desain: Wafiq Abdur Rozaq - Perusahaan: Muhammad Affa Nur Fatta - Alamat Redaksi: Masjid Baitu At-Taibiin, Kelurahan Kalisegoro, Kec Gunungpati, Kota SemarangSurel: transformerpmiiunnes@gmail.com - Whatsapp: 0813-3108-3149

Editorial 1 Daftar Isi Editorial______________1 Sisi Lain______________2 Opini________________4 __________10 ______________ 15 Cerpen_______________7 ______________17 Buku________________9 Kajian______________12 Puisi_______________19

Refleksi Diri Pengalaman dalam Keluarga dan Sosialisasi tentang Sosiologi Gender

Saya Retno, anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya laki laki dan sekarang umurnya masih lima Tahun. Pertama saya akan bercerita pengalaman saya yang bisa dikaji dengan konsep gender. Berbicara tentang gender, gender adalah adalah sistem nilai yang melegitimasi persifatan, peran, dan status antara laki-laki dan perempuan. Pembentukan ideologi gender ini didahului pembentukan identitas feminin dan maskulin yang menjadi struktur dan sifat manusia, di mana ciri-ciri dasar dan sifat itu dibentuk sejak masa kanakkanak awal.

Dengan kata lain gender adalah konstruksi sosial. Hal ini terjadi karena masyarakat sendirilah yang membentuknya. Masyarakatlah yang mengkonstruksi persifatan, peran dan status laki-laki dan perempuan sehingga perubahan yang terjadi dalam masyarakat akan memengaruhi nilai-nilai, sikap, ataupun perilaku masyarakat yang bersangkutan dalam memersepsikan relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat.

Semasa saya kecil tidak ada pendidikan tentang seks. Sampai sekarang beberapa pengalaman belajar tentang seks berasa tabu di mata saya. Mungkin karena kurang informasi atau pengalaman yang didapatkan oleh orangtua saya. Sehingga saya pun baru mendapatkan pengetahuan tentang gender dan dan seks sewaktu saya kuliah. Pendidikan seksual sebenarnya sudah bisa dilakukan pada keluarga. Namun masih banyak orangtua pada saat ini, menganggap hal tersebut tabu.

Hal ini terjadi karena ada pengaruh budaya timur (tabu) dan orang melayu yang terkenal dengan kentalnya budaya Islam atau Arab. Pada saat ini proses sosialisasi tentang pelecehan seksual sebenarnya sudah berkembang di tingkat perguruan tinggi, misal, dengan adanya mata kuliah sosiologi gender dan antropologi gender. Dan yang perlu diingat adalah kekerasan seksual dan pelecehan seksual itu berbeda. Kekerasan seksual itu terlihat sedangkan pelecehan itu bersifat terselubung atau tidak disadari. Bersyukurnya dengan mata kuliah ini saya bisa tau dan paham tentang gender. Banyak sekali agen-agen sosialisasi gender. Ada keluarga, teman, sekolah, media massa, agama, negara. Keluarga, sekolah dan media massa merupakan bagian dari agen sosialisasi yang paling saya rasakan.

Di lingkungan sekitar rumah, saya tidak punya teman perempuan. Jadi anak anak seumuran saya itu laki laki semua. Jadi memang dari kecil terutama lingkungan saya, teman saya adalah laki laki semua. Jenis permainan yang saya mainkan pun itu permainkan laki laiki. Contohnya kelereng, ketapel, layang-layang, dan lain lain. Namun dari pihak keluarga terutama ibu selalu memperingatkan saya, beliau berkata: “Kamu perempuan, Dik, jadi jangan terlalu banyak bermain dengan anak laki laki.”

Hal ini dilakukan karena banyak warga di sana punya norma bahwa anak perempuan yang pulang malam atau main sama anak laki-laki itu tidak baik.

Retno Wulan A. S. Alumnus Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Unnes 2018
Sisi Lain 2
Ilustrasi: Freepik

Waktu terus berjalan. Akhirnya saya duduk di bangku SMA saat saya umur 16 tahun. Realitanya dan sudah terbukti bahwa teman saya lebih banyak perempuan daripada laki-laki hal ini terbawa sampai saya masuk di perguruan tinggi. Media sosial. Siapa yang tak kenal. Mulai dari iklan, film, atau yang lainnya, berorientasi bahwa pihak perempuanlah yang selalu teropresi. Iklan sabun kecantikan pun sepertinya lebih menarik jika modelnya perempuan. Bahkan kalau misal kita lihat filmfilm film keluarga “Suara Hati Seorang Istri di Indosiar” terkesan perempuan itu lemah. Teori nurture secara etimologis, berarti kegiatan perawatan/pemeliharaan, pelatihan, serta akumulasi dari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kebiasaan dan ciri-ciri yang nampak. Terminologi kajian gender memaknainya sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat maskulin dan feminin bukan ditentukan oleh perbedaan biologis, melainkan konstruksi sosial dan pengaruh faktor budaya. Dinamakan nurture karena faktor-faktor sosial dan budaya menciptakan atribut gender serta membentuk stereotipe dari jenis kelamin tertentu, hal tersebut terjadi selama masa pengasuhan orang tua atau masyarakat dan terulang secara turun-temurun.

Salah satu alasan saya kuliah adalah ingin membuktikan kepada keluarga bahwa anak perempuan juga bisa hidup mandiri di perantauan terlebih bisa lulus sarjana, karena beberapa pengalaman dalam keluarga saya terlontar kata kata jika kamu tidak ingin hidup susah dan capek mengurus rumah tangga maka sekolahlah yang tinggi nak. Jadi kamu nanti bisa mempekerjakan asisten. Jadi kamu masih bisa bekerja tanpa beban ganda yang berlebihan, dan adalah sebuah motivasi yang masih pegang sampai saat ini.

Aliran feminis liberal ini laki-laki dan

Daftar pustaka

Perempuan diciptakan secara seimbang dan serasi. Aliran ini membenarkan perempuan bekerjasama dengan laki-laki, mereka menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran termasuk peran publik. Caranya adalah dengan melibatkan perempuan dalam berbagai peran seperti peran sosial, ekonomi, dan politik. Organ reproduksi bukan penghalang terhadap peran-peran tersebut, sehingga tidak ada kelompok dominasi jenis kelamin. Jadi feminisme ini mencoba menempatkan perempuan dan laki-laki sejajar, mandiri, dan bekerja sama untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Saat ini banyak perubahan di desa saya, yang dulunya oraganisasi perempuan atau ibu PKK tidak aktif sekarang sudah mulai aktif. Beberapa teman yang di bawah umur saya yang dulunya setelah lulus sekolah langsung menikah, namun sekarang setelah generasi saya sudah banyak orang tua dan remaja yang sadar bahwa pendidikan perempuan itu penting (termasuk saya). Alih-alih jika tak mau sekolah orang tua saya akan menikahkan saya. Hal tersebut membuat saya merasa takut. Feminis Marxis mengidentifikasi bahwa kapitalisme merupakan penyebab opresi kepada perempuan, opresi tersebut merupakan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi. Pekerjaan perempuan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak pernah selesai sehingga terdapat konsepsi pada diri perempuan bahwa jika mereka tidak melakukan pekerjaan seperti itu, maka mereka bukanlah perempuan (Tong, 2009: 35). Over all, cita-citaku setelah lulus kuliah tidak menjadi buruh di perusahaan atau menjadi karyawan. Melihat teori ini dan berbagai ketidakadilan perempuan di dunia kerja membuat saya ingin mendirikan sebuah lapangan pekerjaan sendiri.

• Nur Aisyah. (2013). Relasi Gender Dalam Institusi Keluarga (Pandangan Teori Sosial Dan Feminis) MUW Z H. Vol. 5. No. 2

• Puspitawati, H. (2012) Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. PT IPB Press. Bogor

Rosemarie Putnam Tong. (2009). Feminist Thought: Pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra, hal. 35-49.

• Siti Rokhimah.(2014). Patriarkhisme Dan Ketidakadilan Gender.Jurnal MUW Z H. Vol. 6. No. 1

3

Kritik Saba Mahmood atas Sekularisme Politik

Hasan Labiqul Aqil (Alumnus Ilmu Politik Unnes 2016)

Mendiskusikan soal sekularisme merupakan salah satu topik yang sensitif banget di Indonesia, kontroversial, dan sering bikin masyarakat – terutama kaum muslim – punya konotasi negatif. Bukan cuma karena dianggap hal yang asing, datangnya dari budaya Barat, tapi juga karena dianggap bertentangan sama agama. Konsep sekularisme yang ada di Barat sebelumnya gak dikenal banget dalam tradisi kita di Indonesia. Istilah sekuler baru dikenal waktu orang Eropa mengkolonisasi bangsa kita.

Talal Asad (2003) berpendapat bahwa sekularisme di Barat tidak hanya soal pemisahan agama dari institusi negara yang biasanya dipahami oleh para sarjana. Konsep ini juga ada di kekaisaran Kristen dan Islam di abad pertengahan. Yang berbeda dari sebelumnya, sekularisme ini mengasumsi konsep baru tentang “agama”, “etika”, dan “politik”. Di Barat, sekularisme bukan cuma medium politik yang ngelepasin praktik-praktik yang membedakan individu-individu berdasarkan kelas, gender, dan agama, tapi juga konsep tentang perilaku, pengetahuan, dan selera dalam kehidupan modern. Kata “sekuler” secara konseptual dan etimologis berasal dari bahasa Latin, “saeculum”, yang mulai dipake pada abad ke-4 Masehi, zaman kekaisaran Romawi. Awalnya, “saeculum” merujuk ke waktu atau era, jadi menunjukkan masa hidup seseorang, suatu kota, atau sekelompok masyarakat. Terus kata “saeculum” juga digunakan buat ngomongin periode seratus tahun. Tapi sekitar abad ke-5 Masehi, sewaktu Kekaisaran Romawi runtuh gara-gara serbuan Alaric-Goth, arti “saeculum” berubah. Kata itu sering dipake buat beberapa

pengertian yang berhubungan dengan: pertama, membedakan kehidupan duniawi yangsementara dengan kehidupan akhirat yang kekal; kedua, membedakan antara ruang sekuler (biasa) dengan kehidupan monastik; ketiga, membedakan antara gaya hidup yang dianggap melenceng dari kehendak Tuhan sama kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama Kristen. Meskipun beda-beda, ketiga pengertian kata “saeculum” itu berdasar pada pemisahan dua dunia (surga dan bumi), dan pemisahan kehidupan dunia antara kehidupan keagamaan (gereja) sama kehidupan dunia sekuler (saculum) (Milbank, 2004).

Sumber: Freepik

Perkembangan ilmu-ilmu humaniora, seperti sosiologi, psikologi, sama budaya, membikin analisis tentang agama dan hubungannya sama perubahan sosial semakin bertambah. Pemikir klasik kayak Emile Durkheim, Sigmund Freud, Karl Marx, George Simmel, dan Max Weber udah bener-bener perhatian sama agama dan sekularisme. Terus pemikir di abad ke-20 kayak Robert Bellah (1964), Peter L Berger (1967), Thomas Luckman (1963), David Martin (1978), sama Talcott Parsons (1963) udah ngelakuin penelitian empiris tentang sekulerisasi dengan sistematis.

Baik pemikir klasik maupun yang pada abad ke-20 ini ngembangin suatu pemikiran yang disebut “tesis sekulerisasi”. Meskipun teori-teori mereka beda-beda bahkan kadang saling bertentangan tentang konsep sekulerisasi, tapi mereka punya seperangkat prinsip inti yang sama. Tesis sekulerisasi menurut Casanova (2011) pada dasarnya berdasar pada tiga proposisi yang ngasih tahu kalo transisi dari masyarakat pramodern ke masyarakat

Opini 4

modern bakal bikin: pertama, kepercayaan dan praktik keagamaan menurun; kedua, masyarakat terbagi jadi wilayah agama sama wilayah sekuler; ketiga, agama dianggep sebagai urusan pribadi yang terpinggirkan.

Abdolkarim Soroush (2010), seorang pemikir kontemporer dari Iran, menjelaskan bahwa sebenarnya pengertian sekularisme perlu dibedakan secara filosofis dan politik. Sekularisme dalam pengertian filosofis merupakan pandangan hidup yang didasarkan hanya materi atau fisik semata dan menolak pandangan metafisik agama atau bahkan keberadaan Tuhan, sedangkan yang dibahas di sini adalah sekula Kata itu sering dipake buat beberapa Kata itu sering dipake buat beberapa risme politik yakni kebijakan yang berupaya untuk melakukan pemisahan antara agama dan negara.

Saba Mahmood, seorang antropolog kelahiran Pakistan, dalam bukunya yang berjudul Religious Difference in a Secular Age (2015) berusaha mengkritik sekularisme politik lewat penelitian etnografisnya di Mesir. Dia mulai dengan bertanya, apakah pelanggaran kebebasan beragama atau pengabaian minoritas agama di masyarakat bisa dilihat sebagai tanda kurangnya sekularisme yang sempurna? - jadi solusinya adalah kita nambahin sekularisme itu, dengan lebih keras memisahin agama sama negara. Tapi di bukunya, dia malah ngasih argumen kalo mungkin malah sekularisme yang bikin jurang antara komunitas agama makin lebar. Menurut Saba Mahmood, sekularisme gak netral dan gak memberi kebebasan keagamaan, tapi malah jadi alat buat ngatur, ngontrol, dan ngasih batasan definisi agama.

Kalo kita liat konflik dan ketegangan antaragama serta pelanggaran hak kebebasan beragama yang sering dialamin minoritas agama di Indonesia, sebagian orang berpendapat kalo masalahnya itu negara Indonesia yang kurang sekuler. Jadi mereka usul supaya Indonesia jadi negara yang lebih sekuler.

zaman kolonial Belanda ini yang bikin perbedaan antaragama semakin tajam dan jadi penyebab

konflik serta diskriminasi terhadap minoritas agama?

Sekularisme yang udah jadi ciri tata kelola negara pascakolonial malah bikin ketegangan antaragama semakin parah, batas-batasnya semakin keras, dan perbedaan agama semakin tegas, yang sebenarnya udah ada sejak dulu banget (Bagir, 2021).

Jadi sekularisme bukanlah jawaban, malah nambahin masalah baru – beda dari yang dijanjiin buat menciptakan kesetaraan antaragama.

Selain masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dan hak minoritas agama, sekularisme yang bersifat liberal selalu melihat agensi subjek ada di dalam perlawanan terhadap norma sosial keagamaan, tapi penjelasan semacam itu sebenarnya gak memuaskan, karena mirip dengan upaya buat ngertiin agensi petani dalam kesadaran Kiri Baru, yang melebihi analisis marxis. Juga mirip dengan Proyek Studi Subaltern yang diinisiasi oleh Gayatri Spivak, yang menemukan agensi di antara kelompok subaltern. Saba Mahmood (2005), dengan mengacu pada Foucault, berusaha untuk membangun argumen bahwa agensi subjek bukan cuma tentang perlawanan terhadap norma sosial keagamaan, tapi juga kemampuan bertindak yang mungkin dan diciptakan untuk melakukan tindakan moral.

Saba Mahmood juga membantah gagasan bahwa sejarah itu terdiri dari realisasi nilai-nilai sekuler secara progresif. Dia menolak pemahaman bahwa sekularisme dan modernitas itu sama persis, kayak yang diungkapin Jose Casanova di atas. Dia nanya, apa artinya mengidentifikasi modernitas hanya dengan sekularisme kalo banyak orang yang hidup dalam tradisi agama yang gak bisa dipahami atau dihargai dalam istilah yang disediain oleh sekularisme? Kalo kita mau ngerti tradisi agama, kita harus ngerti nilai-nilainya, cara mereka menilai, pemahaman mereka tentang dunia yang berharga.

Tapi walaupun begitu, Saba Mahmood (2015) kritik terhadap sekularisme gak berarti penolakan total. Seperti modernitas, sekularisme gak bisa diabaikan sepenuhnya. Mengkritik suatu rezim normatif itu beda dengan menolak atau mengutuknya, tapi sebagai upaya buat nunjukin kalo ada sisi negatif dan ketidaknetralan di dalamnya. Dengan pengakuan itu, kita bisa berusaha menciptakan masa depan yang lebih baik.

Tapi, gimana kalo malah sistem sekulerisasi yang dimulai sejak
5

Daftar Pustaka

Asad, Talal. 2003. Formations of the Secular. Christianity, Islam, Modernity. Stanford: Stanford University Press

• Bagir, Zainal Abidin. 2021. Saba Mahmood: Feminisme Non-Liberal dan Kritik atas Sekularisme, dalam Melintas Perbedaan: Suara Perempuan, Agensi, dan Politik Solidaritas. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Casanova, José. 2011. Public religions in the modern world. Chicago: University of Chicago Press

• Mahmood, Saba. 2015. Religious Difference in a Secular Age. Princeton, New Jersey: Princeton University Press

• Mahmood, Saba. 2005. Politics of Piety: The Islamic Revival and The Feminist Subject. Princeton, New Jersey: Princeton University Press

• Milbank, John. 2004. The Gift of Ruling: Secularization and Political Authority. New Blackfriars 85.996: 212-238

Soroush, Abdolkarim. 2010. We Must Have a Referendum in Iran. tersedia di http://www. drsoroush.com/English/Interviews/ diunggah February 2010, diakses 04 Desember 2021

Selamat datang September Kelam...

6
Foto: Kompas.id

Pilihan Anak

Oleh: Rendi Nurdiansyah

“Mengapa anakmu kuliah lagi, Nur? Tidak cukupkah empat tahun yang sudah ia jalani itu?” tanya Tatik pada adiknya.

“Biarlah, Yu. Biarlah dia bertanggung jawab atas masa depannya sendiri. Aku tak memaksanya untuk ini-itu,” jawab Nur.

“Tapi, Nur, kau seharusnya menasihati anakmu, tak perlulah susah payah untuk kuliah lagi.”

“Apa salahnya kuliah lagi, Yu? Bukankah itu baik pula? Ia ingin mengejar apa yang sudah menjadi impiannya sejak kecil. Biarlah, Yu. Biarlah.”

“Nur, anakmu sudah berumur 24 tahun. Dulu, sewaktu umurmu sama dengan anakmu, aku sudah menggendong keponakan, menggendong anakmu. Apa kau lupa semua itu?”

“Aku tak lupa, Yu. Tapi kau yang lupa.”

“Apa yang aku lupa, Nur?”

“Yu Tatik lupa, dulu, aku ingin melanjutkan pendidikan lagi. Aku ingin belajar lagi, mengejar apa yang aku impikan. Tapi, Bapak, tak mengizinkanku untuk melakukan semua itu. Apa kau lupa itu, Yu?”

“Ya, betul, aku tak lupa, Nur. Dulu, Bapak, tak mengizinkanmu karena ia ingin adik kita melanjutkan pendidikan lagi.”

“Mengapa tak aku saja yang kuliah? Aku sudah punya rencana itu sejak awal.”

“Mana cukup uang Bapak, Nur. Kau juga tahu itu, kan?”

“Lalu, apakah Arif mau melanjutkan pendidikan, Yu?

Yu Tatik terdiam. Ia menatap kembang kuning yang sudah mulai keluar dari pohon mangga di depannya. Tapi, tak ada kembang kuning dalam matanya. Ingatannya terpental ke masa silam—waktu Nur tak bisa kuliah lantaran Bapak lebih mengutamakan Arif untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Dan, impian Bapak hancur.

“Kau membenci Bapak, Nur?” tanya Yu Tatik selepas ingatannya buyar.

“Tidak ada anak yang membenci orang tuanya, Yu,” jawab Nur seraya melangkah pergi.

dan melenggang meninggalkan Yu Tatik yang melanjutkan ingatannya kembali.

Nur berjalan ke arah motor yang sudah berisi keranjang di jok bagian belakang. Ia memancal kick starter, menancap gas,

“Nur, anak kau masih kerja?” tanya Nanik.

Nanik hampir setiap hari belanja kebutuhan di warung Nur. Tak sebatas belanja, tapi Nanik dan Nur hampir setiap pagi berbincang. Mereka tetangga dekat, pernah menghabiskan waktu 12 tahun bersama di bangku sekolah.

“Anakku sudah tidak kerja, Nik. Ia keluar,” jawab Nur sembari mengeluarkan belanjaan dari keranjang.

“Kenapa keluar? Enggak betah atau ada masalah lain, Nur.”

“Bukan tidak betah. Juga bukan karena ada masalah, Nik.”

“Lalu, kenapa? Kenapa dia keluar?”

“Dia ingin melanjutkan pendidikan lagi.”

“Aneh-aneh aja, Nur. Kurangkah anakamu untuk sekolah. Dari tingkat dasar hingga atas, lalu lanjut kuliah. Dan sekarang ingin kuliah lagi. Sudah banyak tahun anakmu sekolah. Sudah bukan waktunya lagi untuk sekolah, Nur. Bahkan, anakmu bukan waktunya lagi untuk bekerja.”

“Mungkin menurutnya memang kurang. Aku menyerahkan semuanya pada anakku. Lalu, maksud dari pernyataanmu bukan waktunya kuliah dan bekerja lagi itu apa, Nik?”

“Sudah waktunya ia menikah, Nur. Anak perempuanku yang juga satu angkatan dengan anakmu sudah menikah, bahkan sejak anakmu masuk kuliah. Kau tau itu, kan? Nikahkanlah anakmu.”

“Nik, aku sudah bilang, aku menyerahkan semuanya pada anakku.”

“Tapi kau sebagai orang tua berhak mengarahkan, Nur.”

“Mengarahkan untuk apa? Jalan yang anakku tempuh sudah benar, Nik.”

“Maksudku, apa kau tak ingin sepertiku? Menikmati masa tua? Tak harus capek-capek sepertimu yang setiap pagi ke pasar lalu jaga warung sepanjang hari agar anakmu tetap bisa bertahan hidup di kota orang. Kau tak ingin sepertiku, Nur? Tak lagi bersusah payah mencari makan dan kebutuhan anak-anak. Semua sudah ditanggung suaminya, Nur.”

“Tidak. Aku tidak ingin sepertimu, Nik. Itu sudah tanggung jawabku sebagai orang tua; mencarikan makan, memenuhi kebutuhan.

***
Cerpen 7

Lagipula, aku senang setiap pagi pergi ke pasar, berbincang dengan pedagang maupun pembeli. Itu membuatku senang, Nik.”

“Terserah kau ajalah, Nur. Anakmu yang kedua juga akan kuliah?”

“Ya, Nik. Semua anakku akan aku kuliahkan.”

Kepala Nanik bergeleng-geleng. Heran. ***

Nur mengerjakan pekerjaan yang setiap pagi ia lakukan. Selepas pulang dari pasar, ia menyiapkan berbagai hidangan yang akan disuguhkan di meja warung. Hidangan itu pula yang akan disantap pembeli atau orang-orang yang nongkrong di warung.

Bahan-bahan dari pasar siap ia masak. Setiap hari, Nur menjual berbagai macam gorengan macam ketela, tape, pisang, cemplon, tempe, pia-pia; berbagai macam nasi macam nasi pecel, rames dan nasi-nasi lain; dan berbagai macam jajanan yang banyak rupanya. Berbagai hidangan minuman ia racik pula. Es campur, degan, kopi tubruk, dan berbagai macam minuman saset.

Nur melakukan itu semua setiap pagi, tak ada tanggal merah, tak ada waktu libur. Kalau malam hari, ganti suaminya yang berjaga di warung—sebab pada waktu itulah tetangga yang juga kawan-kawannya ngopi dan berbincang sampai larut malam.

Nur tak sendiri pagi ini. Suaminya menemani ia menjaga warung. Satu minggu sekali suaminya tak bekerja. Ada jatah libur. Selepas menyiapkan hidangan pagi, dan telah beres pula membersihkan pakaian anak dan istrinya, ia bergegas ke warung.

Suaminya memang peracik bumbu yang andal. Tak hanya setiap pagi, sebelum bekerja, tapi malam hari ia juga menyiapkan hidangan untuk anak-istrinya. Mereka berbagi tugas. Urusan rumah, apa pun itu, mereka kerjakan. Tak perlu memerintah dan diperintah.

Di warung itulah, berbagai macam makanan dari berat hingga ringan; berbagai minuman dari alami hingga tak alami, ia jual ke pelanggan. Dari warung itu pula, anaknya bisa kuliah, dan anak keduanya akan melanjutkan pendidikan tinggi pula.

Sayup-sayup obrolan terdengar dari samping warung kala pisang yang dibalut dengan tepung dimasukkan ke dalam wajan berisi minyak goreng. Bunyi minyak beradu dengan sayup-sayup obrolan itu. Tapi sayup-

sayup itu, bagi Nur, bisa terdengar cukup jelas. Suaminya tak menghiraukan sayup-sayup itu. Ia fokus menata dagangan.

Suara yang terdengar menyangkut persoalan Ulyn, anak Nanik. Beberapa hari ini Ulyn tinggal di rumah orang tuanya lagi. Kabar yang beredar, Ulyn berpisah dari suaminya. Sebab itu, ia kembali ke rumah, kembali ke orang tuanya.

Beberapa hari ini pula, Nanik tak belanja ke warung.

“Apa pula gerangan yang menyebabkan Nanik tak ke sini?” gumam Nur.

Beberapa jam kemudian, selepas sayupsayup tak terdengar lagi, dan Nur yang duduk di depan warung sebab tak ada lagi sesuatu yang bisa ia goreng dan siapkan, kawannya, Nanik, datang.

Nur tak menanyakan kebutuhan apa yang akan Nanik beli. Ia ingin mengonfirmasi kebenaran berita yang beredar.

“Ceritanya bagaimana, Nik. Kenapa bisa seperti itu?”

“Cerita apa, Nur? Apanya yang bagaimana? Apanya yang seperti itu?”

“Tentang anakmu.”

“Cerita itu memang benar, Nur.”

“Karena itu kau tak keluar beberapa hari, termasuk tak pernah belanja di warungku?”

“Aku menghindari pertanyaan-pertanyaan tetangga. Menghindari sayup-sayup obrolan tetangga yang sedang bergerombol.”

“Ah, aku mendengar berita dari sayupsayup obrolan itu, Nik.”

“Mereka memang benar, Nur. Anakku tak lagi punya suami.”

“Artinya, kau menafkahi anakmu lagi, dan bertambah menafkahi cucumu juga?”

“Ya. Sebagai orang tua, aku punya kewajiban untuk mencarikan anakku makan, juga cucuku.”

“Lalu, anakmu akan bekerja lagi atau mencari suami lagi?”

“Aku menyerahkan semuanya pada anakku, Nur.”

“Tapi kau sebagai orang tua berhak mengarahkan, Nik.”

“Nur, aku sudah bilang, aku menyerahkan semuanya pada anakku.”

“Terserah kau ajalah, Nik,” ucap Nur tersenyum samar seraya menggeleng-gelengkan kepala. Heran.

Mahasiswa Sastra Indonesia 2019 8

Percaturan Kesetaraan dalam Novel “Cinta dalam Gelas”

Oleh: Afna Sifa Febriana

Novel ini menceritakan seorang perempuan yang memiliki jiwa luar biasa, memiliki jalan hidup. Ketika 13 tahun ia ditinggal mati oleh ayahnya, seorang penambang timah. Perempuan yang bercita-cita menjadi guru Bahasa Inggris itu tidak menuntaskan sekolah dasar. Padahal hanya 4 bulan lagi ia lulus. Enong nama panggilannya dan Maryamah nama aslinya. Ia pergi ke Jakarta untuk bekerja. Namun, umurnya yang masih kecil membuatnya ditolak mentah-mentah di manapun. Akhirnya ia pulang ke Balitong. Setelah itu, Maryamah menjadi penambang timah. Namun, ia diremehkan penambang laki-laki. Hari-hari selanjutnya ia pergi ke hutan mencari timah walau hanya menghasilkan segenggam. Karena masih kecil, ia sering ditipu oleh Bandar timah yang membayar murah. Selain itu, ia pernah dikejar oleh seorang laki-laki dan anjing yang dibawanya.

Bertahun-bertahun ia bekerja sebagai penambang timah. Ia menikah dengan Matarom, master catur saat itu. Sebelumnya, ia telah dilangkahi adik-adiknya yang telah menikah: Ania, Lana dan Ulma. Mereka meninggalkan rumah dan mengikuti suami masing-masing. Sehingga, Maryamah di rumah bersama ibunya. Namun, pernikahannya dengan Matarom tidak bertahan lama. Matarom yang berwatak kasar bercerai dengan Maryamah. Tidak terima atas perlakuan mantan suaminya, Maryamah mengikuti pertandingan catur saat perayaan hari kemerdekaan agar bisa melawan Matarom. Maryamah yang tidak pernah mengenal catur mulai belajar dan dibantu oleh teman-temannya. Di tempatnya, pertandingan catur hanya berlaku untuk kaum adam. Maryamah mengalami kesulitan dan banyak yang menentang. Dengan berbagai pro-kontra, akhirnya Maryamah diperbolehkan mengikuti pertandingan. Dengan kegigihan belajar, tahap demi tahap ia mengalahkan lawannya. Hingga pada babak semi final, ia melawan laki-laki yang pernah mengejarnya di hutan saat

Transformer menerima tulisan resensi bebas dengan panjang 750-1200 kata. Tulisan dikirim dengan format Ms. Word pada surel transformerpmiiunnes@gmail. com. Subjek ditulis dengan format: Rubrik_judul (misal: Opini_Kritik atas Hari Pendidikan Kita.

Sumber: yoursay.suara.com

menambang timah dahulu. Meskipun dengan perasaan trauma ia bisa memenangkan pertandingan tersebut. Di babak final, ia melawan Matarom, sang juara bertahan selama dua tahun, suaminya dahulu..

Pertama, marginalisasi yang disebabkan karena ketidakadilan gender. Dalam novel ini Maryamah merupakan sosok perempuan yang mengalami marginalisasi. Perempuan di kampung di Belitung apabila bekerja sebagai pendulang timah akan dianggap bodoh. Selain itu, marginalisasi terlihat pada tuntutan menikah dengan orang yang tidak dicintai serta larangan mengikuti pertandingan catur bagi perempuan.

Kedua, subordinasi yang memganggap perempuan irasional dan emosional. Perempuan dianggap tidak bisa menjadi pemimpin. Akibatnya, perempuan ditempatkan di posisi yang tidak penting dan lebih rendah dari laki-laki. Dalam novel itu, disebutkan bahwa laki-laki lebih berhak dari perempuan. Perempuan bermain catur adalah tanda hari kiamat sudah dekat. Catur merupakan permainan laki-laki.

Buku
9

Judul: Cinta dalam Gelas

Penulis: Andrea Hirata

Penerbit: Bentan Pustaka

Tahun terbit: 2010

Bahasa: Indonesia

Tebal Buku: 270 halaman

Ketiga, stereotipe atau pelabelan terhadap suatu kelompok. Dalam novel ini, perempuan diharamkan bermain catur. Apabila hal tersebut dilanggar maka wibawa pertandingan catur rontok. Keempat, kekerasan. Kekerasan terbagi menjadi kekerasan fisik dan nonfisik. Menurut Fakih (1999), kekerasan disebabkan oleh berbagai hal. Kekerasan yang dialami oleh Maryamah adalah kekerasan fisik dan nonfisik. Maryamah sering mendapat perlakuan kasar dari Matarom, mantan suaminya. Maryamah hampir diperkosa saat dirinya mencari timah di hutan. Maryamah menghadapi banyak cobaan dalam hidupnya. Maryamah trauma dengan masa lalunya yang kelam dan kesedihan Maryamah melihat ibunya yang renta.

Kelima, beban kerja. Maryamah menjadi tulang punggung keluarga menggantikan ayahnya yang sudah meninggal. Ia berusaha untuk memenuhi segala apa yang diperlukan oleh adik-adiknya. Maryamah bekerja sebagai pendulang timah sejak kecil dan Maryamah berlatih keras bermain catur untuk mengalahkan mantan suaminya. Berdasarkan peristiwa tersebut, Maryamah mampu menjalankan pekerjaan yang bersifat maskulin, umumnya dilakukan oleh laki-laki.

Perempuan, Stereotipe Gender, dan Konstruksi Kecantikan

Wahyu Hidayati

(Alumnus Pendidikan IPS Unnes 2018)

Berbicara mengenai perempuan, ada berbagai stigma serta konstruksi sosial-budaya yang melekat erat. Konteks perempuan selalu berkaitan dengan persoalan kodrat, stereotipe gender, dan konstruksi kecantikan. Sama halnya dengan laki-laki, perempuan juga makhluk ciptaan Tuhan yang setara secara kodrati. Mengutip pendapat Astrid Wijaya dalam Arsip Warta, kodrat ialah segala sesuatu yang diberikan oleh Tuhan yang tidak dapat diubah dan bersifat permanen baik dari waktu ke waktu, lokasi satu dengan lainnya, dan dari generasi satu ke generasi lainnya. Sedangkan gender ialah perbedaan fungsi dan peran sosial yang dibentuk oleh masyarakat kepada laki-laki dan perempuan berdasarkan apa yang dianggap pantas dan tidak pantas dilakukan. Dewasa ini, isu perempuan mulai banyak dibicarakan karena perempuan sering dipandang hanya sebatas objek visual dan

termarginalkan. Konstruksi sosial-budaya dalam masyarakat membuat perempuan menjadi tersubordinasi sehingga pada dirinya tidak mendapatkan penghargaan yang sebanding dengan kaum laki-laki. Hal ini tentu menjadi problem sosial yang menjangkiti perempuan sejak lama. Stereotipe gender yang menganggap bahwa perempuan itu lemah dan tidak dapat memikul pekerjaan-pekerjaan di ranah publik menjadikannya terkurung hanya dalam ruang domestik. Perempuan hanya dianggap sebagai konco wingking dari laki-laki yang menjadi suaminya. Di dalam Fiqih Perempuan karya Husein Muhammad, dalam ruang publik, pekerjaan perempuan sering kali dihargai lebih rendah daripada yang diperoleh kaum laki-laki. Menurut beliau pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepada perempuan sering kali hanya pada sektor-sektor yang tidak membutuhkan

Alumnus Pendidikan IPS 2019
10
Opini

kecerdasan dan keterampilan yang tinggi. Melainkan, hanya pada seputar pelayanan dan penampilan saja. Perempuan yang memiliki karir dan bekerja di ranah publik dianggap sebagai perempuan yang mengingkari kodrat dalam mengurus rumah tangga sehingga bisa menyebabkan keretakan dalam rumah tangga.

Sementara itu, stereotipe gender dan domestikasi, perempuan juga dihadapkan dengan problem konstruksi kecantikan. Prabasmoro dalam Jurnal Audiens, memberikan analisis bahwa wacana kecantikan dan feminitas tidak terlepas dari konstruksi budaya patriarki yang telah memberikan kuasa kepada kaum laki-laki untuk memberikan pengakuan atas feminitas perempuan.

Selain itu, media juga turut membangun standar kecantikan bagi perempuan. Media massa sering kali menampilkan sosok perempuan yang menjadi acuan dan contoh yang digunakan untuk menilai perempuan secara fisik pada umumnya. Hal ini menyebabkan adanya standar-standar kecantikan tertentu dalam menilai perempuan.

Wulan Purnama Sari mengutip Germaine Greer dalam Jurnal Komunikasi yang memberikan pandangan bahwa perempuan akan terjangkiti dengan kebutuhan untuk memenuhi standar kecantikan tertentu. Standar kecantikan ideal yang dibangun oleh media akan memberikan dorongan kepada perempuan untuk mewujudkan gambaran ideal fisik yang cantik bagi perempuan. Stereotipe ini menjadi tekanan pada diri setiap perempuan. Hal ini dapat menyebabkan efek negatif bagi perempuan yang menerima stereotipe ini.

Lebih jauh Sari menjelaskan bahwa stereotipe perempuan cantik dalam iklan digambarkan sebagai perempuan yang memiliki warna kulit putih, halus, dan bersih. Padahal, secara genetika warna kulit perempuan Indonesia ialah kecokelatan karena merupakan bagian dari ras melayu. Sehingga dalam hal ini perempuan kembali menjadi korban atas kapitalisme

produk kecantikan yang mengkampanyekan beauty standard (standar kecantikan) yang dibangun secara subjektif untuk melakukan pemasaran produk agar perempuan menjadi konsumtif terhadap produk-produk kecantikan.

Standar-standar kecantikan yang dibangun dan disebarluaskan melalui iklan telah membudaya kepada masyarakat luas. Akibatnya lingkungan senantiasa menilai perempuan berdasarkan fisik. Perempuan menjadi lebih banyak insecure dan kurang bersyukur karena selalu melihat kekurangan diri dan membandingkannya dengan perempuan lain. Perempuan yang cantik dianggap memiliki privilese yang membuat mereka mudah diterima di dalam masyarakat sehingga perempuan terobsesi untuk menjadi cantik sesuai dengan gambar cantik yang ideal. Padahal, tidak ada ukuran yang jelas mengenai standar kecantikan yang ideal bagi perempuan. Bukan dari warna kulit yang putih, tubuh yang langsing maupun rambut yang lurus.

Berbagai realita tersebut telah mengantarkan pada tuntutan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan. Pada dasa warsa ini isu-isu kesetaraan gender mulai dikampanyekan. Perempuan mulai memberontak dari konstruksi sosial-budaya yang telah mengikatnya sejak lama. Perempuan terus berbenah dan mengaktualisasikan diri dalam berbagai kegiatan di ranah publik. Secara perlahan perempuan mulai menyadari peran penting perempuan di dalam pembangunan. Ada pepatah mengatakan bahwa perempuan adalah tiang negara. Ketika perempuan itu kokoh maka kokohlah negaranya. Sehingga dapat dipahami bahwa perempuan memberikan kontribusi dalam membangun generasi yang baik. Karena perempuan yang baik akan melahirkan generasi yang baik pula. Setiap perempuan adalah cantik menurut versinya. Dan perempuan yang bisa menerima dirinya dan berbahagia atas apa yang ia punya.

Daftar Pustaka: Muhammad, Husein. (2019). Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKIS. • Sari, Wulan Purnama. (2015). Konflik Budaya Dalam Konstruksi Kecantikan Wanita Indonesia Analisis Semiotika dan Marxis Iklan Pond’s White Beauty Versi Gita Gutawa). Jurnal Komunikasi. 7(2): 198-206. Desember, 2015. Sandhy, Area. (2016). Pemaknaan Perempuan Terhadap Mitos Kecantikan di Media Online Femaledaily.com. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. UNDIP. Wijaya, Astri. 2014. Kapan Perbedaan Gender Menjadi Masalah. Arsip Warta. http://kotaku.pu.go.id:8081/wartaarsipdetil.asp?mid=6459&catid=2&.

11

Polemik Edukasi Kesetaraan Gender

Fitrotunnisa

(Alumnus Pendidikan Sosiologi & Antropologi 2018)

Terbiasa membicarakan dan mendalami isu-isu kesetaraan gender, sulit sekali membedakan mana yang memang menyuarakan kesetaraan gender dan mana yang ingin merasa lebih kuat dan dominan. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa perjuangan kesetaraan gender yaitu berlandaskan pada hak-hak setiap individu tanpa memandang atau memberi batasan dengan alasan gender tertentu Rumiati (2016) dalam bukunya menjelaskan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Gender merupakan perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan berdasarkan nilai-nilai dan tingkah laku yang dilakukan keduanya. Misal perempuan dikenal lembut, cantik, emosional, keibuan. Sedangkan laki-laki sebaliknya dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Dengan demikian, gender merupakan konstruksi sosial budaya terhadap jenis kelamin laki-laki dan

Dimensi

Identitas

Gender

perempuan yang berbeda dengan pengertian seks atau jenis kelamin. Konstruksi sosial akan mengalami banyak faktor yang mengubahnya, jadi jika masyarakat memandang gender dengan mengotak-kotakkan berdasarkan jenis kelamin akan menghasilkan pandangan yang kaku.

Organ tubuh dengan masing-masing konsekuensinya tersebut mengonstruksikan keharusan sifat yang perlu dimiliki oleh masing-masing. Perempuan dengan organ yang dimiliki dikonstruksi budaya untuk memiliki sifat halus, penyabar, penyayang, keibuan, lebih lembut dan sejenisnya. Sifat itulah yang kemudian dikenal dengan istilah feminin. Fisik laki-laki yang tidak direpotkan dengan fungsi organ reproduksi dikonstruksikan oleh budaya sebagai fisik yang kuat, kekar, jantan, perkasa, dan bahkan kasar. Sifat-sifat itulah yang disebut maskulin. Berikut tabel perbedaan feminimndan maskulin menurut (Rokhmansyah, 2016) :

Kondisi Fisik Sifat Pemikiran

Feminin Cantik, seksi, menawan, bersuara lembut, manis, kecil mungil.

Maskulin Atletis, besar dan tegap, berotot, tinggi, bersuara tinggi, kuat.

Penuh kasih sayang, penuh rasa simpati, lembut, senditif.

Imaginatif, berdasarkan intusisi, kreatif, artistic, penuh rasa cita.

Selalu ingin bersaing, kurang sensitive, mendominasi, petualang, agresif, berani.

Analisis, hebat dalam urusan angka, pintar dalam memecahkan masalah, pintar dalam memberi alasan, tidak berdasarkan intuisi.

Menurut Handayani (2004) dalam bukunya yang berjudul Kuasa Wanita Jawa menjelaskan bahwasanya stereotipe gender digunakan untuk menguraikan aspek sosiologis, antropologis, atau kultural dari peran maskulin versus feminin. Peran gender ialah apa yang diharapkan, ditentukan, atau dilarang bagi satu jenis kelamin tertentu. Isi dari peran gender pada suatu budaya atau kultur tertentu ini adalah stereotipe gender. Sehingga munculnya

beberapa anggapan maupun harapan bahwa jenis kelamin tertentu harus sesuai dengan stereotipe yang berkembang di suatu masyarakat tersebut jika terjadi penyimpangan maka akan ada omongan yang harus diterima atau anggapan kurang baik dari lingkungan. Banyak stereotipe umum yang bersifat ambigu yang pada akhirnya memberi cap stereotipe sebagai maskulin atau feminin pada individu dapat menimulkan konsekuensi yang signifikan.

Kajian 12

Kepedulian masyarakat mengenai perjuangan gender masih tidak terlalu banyak diminati. Beberapa kali mengunjungi webinar tentang kesetaraan gender pun yang ikut tidak sebanyak pada webinar bisnis, kepenulisan, dan lain-lain. Bahkan kebanyakan masyarakat yang peduli adalah dari perempuan. Apakah masyarakat menganggap perjuangan kesetaraan gender itu hanya memperjuangkan perempuan sehingga hak memperjuangkan kesetaraan gender merupakan ranah perempuan saja? padahal perjuangan ini tidak hanya memperjuangkan satu kelas gender perempuan melainkan gender laki-laki dan perempuan. Pada saat berkumpul dengan teman-teman dan beberapa menyisipkan pembicaraan isu-isu gender pun tidak banyak yang merespon. Beberapa dari mereka masih menganggap pembicaraan soal gender menjadi suatu kekhawatiran perihal melawan kodrat. Mengapa? Serta apa yang menjadikan pembahasan gender dianggap melawan kodrat? Bukankah gender ini merupakan kontruksi sosial yang banyak faktor pengubahnya? Kepenulisan ini barangkali menjadi catatan kecil sekaligus refleksi bagaimana memahami kesetaraan gender dalam kehidupan bermasyarakat.

Perjuangan Kesetaraan Gender bukan

Melawan Kodrat

Di tengah-tengah berbincang dengan teman-teman, saya menyisipkan isu-isu mengenai perjuangan kesetaraan gender. Tidak disangka, saya mendengar ucapan yang cukup membuat saya tertampar perihal ada rasa takut dalam menyuarakan hak perempuan dan memilih keputusan dalam hidupnya karena khawatir dianggap melawan kodrat sebagai perempuan. Saya berpikir begitu keras. Apakah semenakutkan itu memperjuangkan hak manusia sebagai perempuan? Atau ternyata selama ini yang berbincang masalah kesetaraan gender hanya pada kelompok tertentu saja? Saya melihat seperti terdapat dua sisi berlawanan. Satu sisi ingin memperjuangkan kesetaraan gender akan tetapi ada sisi lain yang melanggengkan stereotipe gender yang dibentuk oleh masyarakat.

Wiliam (2016) menerangkan alasan mengapa selama ini orang sering mencampuradukkan pengertian gender dengan kodrat. Penjelasan tersebut mengarah pada perbedaan kodrat yang dimiliki perempuan dan laki-laki. Masyarakat mulai mengkonstruksikan peran

sosial seperti apa dan pada bagian mana yang dianggap sesuai untuk laki-laki serta pantas untuk perempuan. Misalnya, hanya karena kodratnya perempuan memiliki rahim dan bisa melahirkkam anak. Maka kemudian berkembang anggapan umum yang mana masyarakat ikut menilai bahwa perempuan adalah tugasnya mengurus anak. Anggapan tersebutlah yang memandang perempuan lebih pantas di rumah ketimbang bekerja. Menurutnya jika peran gender dianggap sebagai sesuatu yang dinamis dan bisa disesuaikan dengan kondisi yang dialami seseorang, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menganggap aneh seorang suami yang pekerjaan sehari-harinya memasak dan mengasuh anak-anaknya. Sementara istrinya bekerja di luar rumah dan memilih untuk melakukan tugas rumah tangga juga bukan hal yang dianggap aneh. Tidak hanya pada perempuan. Sejak kecil anak laki-laki sudah dipaksa untuk kuat. Mereka dilarang menangis, bersikap lemah lembut, dan pemalu. Kondisi-kondisi tersebut disosialisasikan, dibentuk, oleh masyarakat sehingga menjadi sebuah nilai. Pada akhirnya nilai tersebut membatasi kreativitas. Misalnya teman saya pandai dalam bidang teknik mesin namun tidak dibolehkan oleh orang tua karena dianggap tidak akan mendapat pekerjaan yang mana (pekerjaan itu dalam masyarakat) didominasi oleh laki-laki. Sebaliknya, jika lelaki yang memiliki hobi dalam bidang domestik seperti memasak, menjahit, mendesain baju harus berhadapan dengan rasa minder dan malu ketika masyarakat menganggap itu seharusnya menjadi pekerjaan perempuan. Padahal seperti asumsi yang ada di dalam pemikiran aliran feminisme liberal bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Mereka memiliki hak yang sama dan kesempatan yang sama di dalam masyarakat (Adnyani, 2020).

Edukasi Kesetaraan Gender yang Tidak Merata

Berdasarkan pengalaman yang dialami, permasalahan tersebut muncul karena edukasi gender yang tidak merata. Pembahasan kesetaraan gender hanya pada kelompok-kelompok tertentu seperti kelompok akademis adn kelompok lain yang peduki terhadap isu kesetaraan gender. Sehingga, pemikiran dan tindak lanjut dalam meminimalisasi ketidakadilan gender hanya terjadi pada kelompok-kelompok tertentu. Padahal jika pengertian gender

13

merupakan hasil kontruksi sosial budaya seharusnya dapat berubah jika kontruksi sosial budaya pun mengubah stereotipe yang selama ini dipertahankan. Mengubah sesuatu yang sudah menjadi nilai memang tidak mudah. Implementasi mengenai kesetaraan gender harus disadari oleh lingkungan keluarga, sekolah, dan individu itu sendiri. Dalam upaya menanamkan pendidikan mengenai kesetaraan gender, perlu adanya sosialisasi yang dilakukan baik keluarga sebagai lingkungan pertama seorang individu, lembaga pendidikan sekolah, maupun masyarakat yang mampu menerima nilai-nilai kesetaraan gender. Sistem tersebut harus saling bekerja sama untuk terwujudnya kesetaraan gender.

Dalam hal ini, pendidikan gender di usia dini pun sangat diperlukan seperti yang ditulis oleh Jatiningsih dan Kartikasari (2010) yang menjelaskan cara implementasi kesetaraan gender di dunia pendidikan, diantaranya: anak laki-laki dan perempuan belajar menjadi pemimpin secara bergiliran. Mereka diajarkan untuk berani tampil di publik meskipun tidak dimungkiri adanya perbedaan emosional. Tetapi dengan mengajarkan keberanian serta melatih emosi tersebut maka secara perlahan mereka

Daftar Pustaka:

memahami bagaimana emosi sebenarnya bisa dikontrol. Kemudian pada tingkat guru, kuatnya kontruksi gender tradisional pada guru berdampak pada perilaku subjek yang memunculkan perilaku bias gender ketika berinteraksi dengan peserta didiknya. Calon guru dan guru di sekolah perlu dibekali kompetensi gender. Penting bagi dinas pendidikan untuk merumuskan kebijakan yang operasional untuk diterapkan di sekolah yang mewajibkan sekolah dan guru untuk menyelenggarakan pendidikan yang berspektif gender.

Saat ini, media sosial juga menjadi tempat para pejuang kesetaraan gender melalui media sosial beberapa kelompok mencoba melantangkan perjuangan kesetaraan gender dengan konten-konten yang mereka buat. Seperti pada perkuliahan Sosiologi Gender juga memanfaatkan dengan mengikuti siaran langsung Instagram yang membahas Potensi Kekerasan Seksual pada Perempuan di Tempat Kerja. Pada pembahasan tersebut juga semakin memberikan pemahaman bagaimana pentingnya menghargai kesetaraan gender di dunia kerja. Kemudian akun-akun Instagram juga sudah mulai bermunculan. Mereka sebagai pemerhati terhadap kesetaraan gender.

Adnyani, Kadek Eva Krishna. 2020. Bahasa Jepang dan Gender (Sebuah Pengantar). Bali: Nilacakra

Handayani, Christina. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta : PT Lkis Printing Cemerlang

Jatningsih dan Kartikasari. 2010. Upaya Menyemaikan Nilai-Nilai Kesetaraan Melalui Pendidikan Gender di Taman Kanak-Kanak. Universitas Pendidikann Indonesia.

Rokhmansyah, Alfian. 2016. Pengantar Gender dan Feminisme (Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme). Yogyakarta: Garudhawaca

Ruminiati. 2016. Sosio Antropologi Pendidikan. Malang: Gunung Samudera

Widyatmike dan Rokhmansya. 2018. Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Kalimantan Timur. Yogyakarta: Garudhawaca

William, Dede. 2016. Gender Bukan Tabu (Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi). Bogor: Center For Internatiomal Forestry Research (CIFOR)

14

Suara Perempuan dalam Politik

Politik selalu identik dengan laki-laki. Sebab politik terkenal dengan ketangkasan berpikir dan ketepatan mengambil langkah. Politikus pun kebanyakan laki-laki. Mereka mendominasi parlemen dan saling sikut untuk menduduki kursi jabatan. Mungkin itulah sebabnya banyak yang berpendapat jika perempuan tidak cocok terjun ke bidang ini. Selain tidak cukup cekatan untuk berpikir logis, perempuan dikenal memiliki perasaan yang halus sehingga akan sulit berperang di tengah-tengah perebutan kursi. Namun, di era yang semakin modern ini perempuan bukan lagi menjadi sosok di balik layar, perempuan bisa dan boleh menunjukkan integritasnya di hadapan umum. Perempuan mulai mendapat tempat, termasuk di panggung politik. Sejak era reformasi, nama perempuan mulai terangkat. Di pertengahan tahun 2001, untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa Indonesia, seorang perempuan terpilih menjadi presiden. Perempuan itu sendiri merupakan putri dari presiden pertama Indonesia sekaligus orang yang sangat berjasa dalam proses kemerdekaan Indonesia, Megawati Soekarno Putri. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya keluarlah undang-undang yang mengatur jumlah perempuan dalam keterlibatan politik, seperti UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang di dalamnya juga mengatur pemilu tahun 2009 (Gerintya, 2017).

Meski sudah dikeluarkan berbagai peraturan yang mengatur kebijakan untuk meningkatkan jumlah keterlibatan perempuan dalam kancah politik sampai 30%, tetap saja kuotanya belum pernah tercukupi secara penuh. Hal ini bisa dilihat dari data statistik pada pemilu tahun 2009 dan 2014. Keterlibatan perempuan dalam politik sangat penting terutama jika membahas isu kesetaraan gender. Suara perempuan sangat diperlukan di sini sebab perempuan dalam parlemen akan sangat mewakili perasaan dan pikiran perempuan yang lain.

Laki-laki tidak dapat melakukan ini karena perbedaan pengalaman dan kepentingan sehingga suara perempuan tidak tersalurkan secara baik ke dalam perlindungan Undang-Undang. Di tahun sekarang memang muncul nama-nama perempuan hebat seperti Susi Pudjiastuti, Najwa Shihab, Tri Rismaharini, dan sederet nama lainnya. Namun dibutuhkan regenerasi dan nama-nama lain untuk muncul. Oleh karena itu, perlu sekali edukasi bagi perempuan mengenai bidang perpolitikan dan dorongan agar perempuan berani terjun ke dalam politik untuk mewakili suara kaum mereka.

Muasal Ketidakterlibatan Perempuan dalam Bidang Politik

Saat ini, meski tidak sedikit perempuan yang menyukai pekerjaan kantor untuk menjadi seorang wanita karier, masih sedikit perempuan yang tidak ingin terjun dalam bidang politik. Selain itu, budaya patriarki masih melekat cukup kuat dalam budaya bangsa Indonesia membuat para perempuan enggan untuk memasuki dunia politik atau menduduki kursi di parlemen.

Ibarat sebuah perang, politik merupakan pertempuran untuk mencapai kemenangan baik bagi diri sendiri maupun bagi kelompoknya. Tentu saja, sebelum turun ke medan perang dibutuhkan pengetahuan yang cukup mengenai medan pertempuran tersebut. Misalkan saja seorang perempuan, berminat terjun ke politik tetapi ia tidak tahu apa-apa maka ia akan habis dimanfaatkan oleh orangorang untuk kepentingannya masing-masing sehingga dibutuhkan pengetahuan yang cukup untuk memahami situasi dan kondisi yang ada di medan pertempuran politik. Selain itu, dibutuhkan taktik dan siasat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Setelah memiliki minat dan pengetahuan yang cukup akan politik, maka tahap selanjutnya adalah memiliki modal atau backing up. Percuma saja beraksi namun tidak memiliki kekuatan. Perempuan yang akan terjun ke politik membutuhkan relasi yang cukup dan orang-orang yang akan mendukungnya sebab suara dalam politik memang benar-benar

Opini 15

dibutuhkan. Selain itu, bukan rahasia umum lagi apabila dibutuhkan modal yang cukup besar untuk terjun ke politik seperti modal ekonomi dan mental. Orang yang mentalnya rapuh akan mudah sekali tersingkir dalam dunia perpolitikan.

Peran Perempuan dalam Politik

Perempuan Indonesia lebih banyak bekerja di sektor domestik rumah tangga. Perempuan yang bekerja di ranah publik pada umumnya masih harus mengurus rumah tangga. Walaupun perjuangan emansipasi wanita yang mengupayakan kesejajaran perempuan dengan laki-laki, secara umum perempuan yang bekerja di ranah publik masih berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Perempuan cenderung mempunyai akses terbatas dan kesempatannya untuk mendapatkan jabatan, di samping sering dipandang kurang kredibel dalam memegang pekerjaan-pekerjaan penting (Wahyudi, 2018).

Perempuan sebenarnya memiliki andil yang cukup besar dalam parlemen. Mereka mewakili suara perempuan dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Parlemen adalah tempat membuat perundang-undangan dan seperangkat kebijakan. Maka sudah sepatutnya perancang undang-undang tersebut diwakili oleh masing-masing kepentingan atau golongan,

DAFTAR PUSTAKA

perwakilan tentunya adalah orang yang mengerti betul keresahan atau keinginan orang atau kelompok yang diwakilinya. Jadi, perempuan semestinya juga diwakili oleh perempuan yang memahami betul apa kepentingan dan keinginan perempuan. Laki-laki tidak dapat mewakili suara perempuan sebab mereka memiliki kepentingan dan pengalaman yang berbeda. Misalkan saja, kebijakan cuti kerja untuk perempuan saat hamil. Laki-laki tidak akan memahami rasa sakit dan sulitnya bergerak saat perempuan sedang mengalami hamil terutama hamil tua. Mereka tetap dipaksa bekerja dan disangka hanya mencari-cari alasan karena sedang hamil. Itulah mengapa dibutuhkan pejuang perempuan dalam parlemen untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Perempuan dalam parlemen juga mewakili suara perempuan dalam hal kesetaraan gender. Selama ini kebijakan politik selalu identik dengan maskulinitas dan membuat perempuan seolah-olah menjadi second person yang jarang sekali diperhatikan padahal perempuan juga memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara terutama dalam hal pendidikan dan karier. Di sinilah peran perempuan sebagai seorang yang berjuang mendapatkan hak dan perlakuan yang sama sangat vital. Siapa lagi yang akan memperjuangkan suara perempuan jika bukan dari perempuannya sendiri?

AMR. (2019). Perempuan Caleg Merosot. Dalam L. Kompas, Pemilu 2014 : Perempuan dan Politik (hal. 65-69). Jakarta: Kompas.

• Ana. (2019). Putusan MK Rugikan Caleg Perempuan. Dalam L. Kompas, Pemilu 2009 : Posisi Perempuan di Kancah Politik (hal. 45-48). Jakarta: Kompas.

• Bungaran Antonius Simanjuntak, Iswan Kaputra, Amrin Banjarnahor, Ali Muda Dalimunthe, Armansyah Matondang, Feri Nofirman Tanjung. (2013). Dampak Otonomi Daerah di Indonesia: Merangkai Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia. . Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

• DIK. (2019). Satu Perempuan Tiap Tiga Kursi. Dalam L. Kompas, Pemilu 2009: Posisi Perempuan di Kancah Politik (hal. 49-53). Jakarta: Kompas.

Gerintya, S. (2017, September 7). Kuota 30% Perempuan di Parlemen Belum Pernah Tercapai. Dipetik Juni 17, 2020, dari Trito.id: https://tirto.id/kuota-30-perempuan-di-parlemen-belum-pernah-tercapai-cv8q

Mashabi, S. (2020). KPU Sebut Jumlah Caleg Perempuan di Pemilu 2019 Paling Tinggi. Jakarta: Kompas.

• Mulyono, I. (2010). Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan. Diskusi Panel RUU Pemilu Peluang untuk Keterwakilan Perempuan. Jakarta: Dep. Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak DPP Partai Demokrat. OSA. (2019). Jumlah Perempuan di DPR Berkurang. Dalam L. Kompas, Pemilu 2014: Perempuan dan Politik (hal. 59-63). Jakarta: Kompas.

Shadia Marhaban, Alfan Ramli, Sri Rahmayanti Tiba, F. Wendevid Rakam. (2018). Panduan Pendidikan Politik untuk Perempuan. Yogyakarta: INSISTPress.

• Suwandi, M. (2019). Perempuan dan Politik dalam Islam. Yogyakarta: Deepublish. Wahyudi, V. (2018). Peran Politik Perempuan dalam Perspektif Gender. Jurnal Politea (Jurnal Politik Islam) , 6383.

16

Terima Kasih Telah Pergi

Dengan mobil doplak, aku bawa berkarung-karung beras siap jual ke rumahmu. Rumah paling besar dan megah di Karangsemonjo, desa kelahiran kita ini. Sudah biasa memang, aku antar beras dari resmel ke rumahmu, untuk nantinya kamu salurkan ke koperasi-koperasi di kota. Namun selalu ada rasa yang tak kunjung tuntas di dada, setiap kali satu-satunya kesempatan kita bertemu ini tiba. Kala sore ini mobil doplak-ku mendarat di halaman depan rumahmu, desir jantungku segera tak berirama lagi.

“Sugeng sonten, Mas Karni,” sapa Pak Brengos menyambut.

“Sonten, Pak. Bu Arini sudah pulang?”

“Sebentar lagi pulang, Mas. Monggo masuk dulu.”

“Matur nuwun, Pak. Aku mau nunggu di depan saja. Cari angin.”

“Oh iya, silahkan.”

Aku menepi, duduk di seberang jalan, seberang gerbang besar rumahmu. Memandang sawah-sawah luas yang dulu, biasa ada kita di sana. Dulu, kita biasa mengobrol akrab, dan menghabiskan sore di pematang sawah bersama. Sebagai sepasang sahabat atau bahkan lebih. Kita memang tak pernah membahas apa hubungan kita di masa lalu, hanya saja, dalam anggapan orangorang Karangsemonjo, kita adalah sepasang kekasih. Tak seperti sekarang, kamu sudah jadi orang nomor satu di Karangsemonjo. Namamu begitu dihormati oleh warga desa ini, termasuk olehku. Hubungan kita yang dulu, sudah tak ada. Kini kita sudah tak sepasang lagi.

Hanya beberapa kali saja kamu pulang ke Karangsemonjo. Itu pun tidak menemuiku. Kamu pulang untuk datang ke SMA 1 Kedawuh Kidul, SMA di desa seberang, tempat kita sempat satu sekolah. Memberi motivasi pada anak-anak desa untuk tidak takut bercita-cita. Kamu memprovokasi mereka untuk mengikuti jejakmu, merantau ke kota. Mengejar sukses di sana.

Aku yang mengetahui itu sempat berbalik tidak menyukaimu, atas apa yang kamu lakukan. Menurutku, apa yang kamu lakukan justru akan mendatangkan bencana bagi desa. Bukan cuma Karangsemonjo, tapi

desa-desa di Kedawuh Kidul. Kamu menanamkan paham, sukses harus merantau ke luar kota. Tanpa memikirkan bagaimana nasib desa nantinya. Bagaimana nasib sawahsawah, jika generasi baru petani tidak ada. Jika semua pemuda desa mengikutimu, lalu siapa yang akan meneruskan mengelola sawah-sawah Karangsemonjo?

Misimu sukses, dan aku makin tak suka. Para pemuda desa benar-benar pergi ke kota. Sawah-sawah kehilangan para petani muda. Kekhawatiran akan krisis petani di Karangsemonjo, yang menurutku adalah salahmu, segera jadi desas-desus warga. Kelompok petani, entah di warung-warung kopi atau di pematang-pematang sawah, selalu membahas anak-anak mereka yang tak lagi mau diajak turun ke sawah. Anak-anak mereka selalu bilang ingin sukses di kota, seperti Mbak Arini. Karenamu, Karangsemonjo dilanda rasa takut. Takut semua pemudanya sama sepertimu. Pergi ke kota dan sukses di sana, lalu pulang hanya untuk mengajak pemuda desa yang lain. Terus sampai tak ada pemuda yang tersisa di Karangsemonjo, atau ketakutanku yang lebih jauh, Karangsemonjo kehilangan generasi berpendidikan. Sedang aku yang hanya seorang petani, tak mampu berbuat apa pun.

Ternyata, aku salah. Setelah tujuh tahun perantauanmu, kamu pulang. Kepulanganmu membawa kabar baik dan kabar buruk. Kabar buruk bagiku, kamu pulang ke Karangsemonjo membawa calon suami dari kota. Calon suami yang jika wanita mana

17 Cerpen
Oleh Adhim Fauzil*

pun diminta memilih, tidak akan memilih aku. Calon suamimu lulusan S2 Teknologi Pertanian, sedang aku hanya tahu cara nandur, macul, dan yang semisal itu. Aku merasa sangat kecewa padamu, sekian lama aku menunggu, kamu malah pulang dengan calon suami. Kabar baiknya, kamu dan calon suamimu bertekad untuk tinggal dan memajukan pertanian Karangsemonjo.

Bodoh aku kala itu. Aku pikir, karena sakit hati padamu, aku jadi menentang rencanamu itu. Aku memprovokasi kelompok petani untuk menolak ide-ide yang kamu beri. Kelompok petani sempat setuju. Mereka bahkan naik pitam, karena namamu memang sudah dianggap sebagai pangkal krisis petani desa ini. Mereka tentu tak akan semudah itu menerima bantuan dari seorang yang sebelumnya tak pernah peduli dengan petani Karangsemonjo. Kita sempat bermusuhan karena itu.

Namun kamu memang seorang yang cerdas dan tangkas. Kamu tidak tumbang. Dengan lantang kamu menyuarakan “balik deso, mbangun deso”. Kamu berjanji kepada kelompok petani, akan membawa pulang pemuda Karangsemojo untuk bersama-sama memajukan desa. Lalu berbekal koneksimu di kota, dan pengetahuan calon suamimu, kamu berjanji akan membuat pertanian Karangsemonjo lebih baik, lebih modern, dan lebih berpihak kepada petani.

Tak semudah membalikan telapak tangan memang, awal-awal hanya beberapa petani yang mau bergabung denganmu.

Namun apa yang kamu lakukan dengan sekelompok petani itu sangat mencolok, menarik perhatian. Kamu memperkenalkan bibit padi unggul yang kamu dan calon suamimu silangkan sendiri. Kamu membawa mesin-mesin yang lebih besar dari kerbau-kerbau kami. Lalu mengajari kelompok petanimu untuk menggunakan mesin-mesin itu. Puncaknya, yang membuat banyak petani Karangsemonjo akhirnya luluh, kamu menyalurkan sendiri beras hasil panen ke koperasi-koperasi di kota. Harga jual yang lebih tingggi dan hasil padi yang lebih baik, membuat kami sadar jika kepulanganmu ke Karangsemonjo, benar-benar serius untuk memajukan pertanian desa ini.

Sekian tahun, semakin banyak petani Karangsemonjo yang bergabung denganmu, termasuk aku. Sampai akhirya semua petani Karangsemonjo berbalik ikut dengan kelompok petanimu. Lagi-lagi, misimu sukses. Pertanian Karangsemonjo jadi jauh lebih baik. Petani Karangsemonjo pun lebih baik kondisi ekonominya. Penghasilan dari sawah meningkat. Petani tak lagi berusah payah menghidupi keluarga. Tak kaya memang, tapi warga desa seperti kami cukup dengan penghasilan itu.

Akhirnya, kamu menikah. Pernikahanmu dihadiri oleh semua petani Karangsemonjo. Semua orang di Karangsemonjo menyambut pernikahanmu dengan penuh suka cita. Kamu sudah dianggap orang nomor satu di desa ini. Sedang aku, tak cukup mampu untuk datang ke pernikahanmu. Aku memilih untuk menjauh, mencoba mengubur dalam-dalam harapan untuk bisa sepasang denganmu lagi. Aku berhasil. Kini, sudah tidak ada lagi perasaanku padamu yang dulu. Hubungan kita sudah tuntas. Hanya ada satu rasa yang masih tersisa di dada, rasa terima kasih, yang hingga kini belum pernah kusampaikan padamu. Setiap kali kita bertemu, jantungku selalu berdebar hebat, memaksaku segera menuntaskan hutang kalimat terima kasih itu. Namun batas masa lalu kita, membuatku tak mampu. Padahal aku hanya ingin mengucap terima kasih. Terima kasih karena kamu telah pergi dari Karangsemonjo, meninggalkan aku dan desa ini, untuk akhirnya kembali dan memajukan para petani. Jika kamu tak pernah pergi, mungkin hari ini kita hanya sepasang petani miskin. Lebih baik seperti ini, kita tak sepasang lagi.

18
*Mahasiswa Sastra Indonesia Unnes 2019

Deck Pengingat Pelecehan

Oleh Athia Az-zakia Anwar

Di hamparan laut malam yang gelap

Kududuk di dek kapal yang engap

melamun menatap ribuan penumpang

Teringat satu kisah di kampung halaman

Saat perempuan emas yang kudamba

Dilecehkan oleh si bangsat tua renta

Membawa dalih tak sengaja saat ditanya

Membuat para korban membisu membiarkannya

Aku hanyalah perempuan awam tanpa jabatan

Anak kecil yang lahir dari rahim perempuan

Hatiku menangis mendengar kisahnya

Rasa amarahku ingin menampar busuknya

Kapalku sebentar lagi merapat

Lamunku terbuyarkan oleh klakson mobil roda empat

Meskipun tuk mengenal bangsat itu aku tak sempat

Tapi, pintaku pada Tuhan tetap sama hingga akhir hayat

Agar menjaga perempuan yang selalu memiliki martabat

Selat Sunda, 30 April 2023

Karena aku perempuan

Tutur kata harus kutata

Tingkah laku harus kuatur

Sandang pakaian harus kupanjangkan

Di situlah cermin ajiku

Lalai sedikit, buruklah aku di mata mereka!

Karena aku perempuan

Terlalu lembut diriku untuk marah

Tak tegas aku membuat keputusan

Mengedepankan perasaan ketimbang rasional

Sekalipun bermimpi jadi pemimpin apalagi

penguasa

Itu menyalahi aturan!

Karena aku perempuan

Rumahlah tempatku berkeliaran

Anaklah temanku bercerita

Mencuci dan memasak lah pekerjaanku yang

utama

Suamikulah yang kuturuti semua perintahnya

Melawan sedikit, terlalu banyak taruhannya!

Karena aku perempuan

Harus sucilah aku sebelum dipinang

Rusak sedikit, akan jadi olokan

Apalagi sampai tersebar berita

Buruk nama akan terbawa sepanjang usia

Bahkan bertaubat, nama baik tak akan kembali semula!

Karena aku perempuan

Mulut kututup rapat

Dipaksa diam seribu bahasa

Tak boleh aku bersuara

Menuntut hak apalagi mengadu sengsara

Lakukan sekali, maka akan menggema di udara!

Demikiankah realitasku menjadi perempuan?

Ketika patriarki terus dilestarikan

Subordinasi semakin diwariskan

Keadilan hanya akan menjadi sebuah impian

Lantas, sebagai perempuan, apakah aku harus tetap diam dan bungkam?

Karena Aku Perempuan
19 Puisi
Oleh Rina Novita Dewi
pmiiunnes Alamat Redaksi: Masjid Baitu At-Taibiin, Kelurahan Kalisegoro, Kec Gunungpati, Kota Semarang Surel: transformerpmiiunnes@gmail.com Whatsapp: 0813-3108-3149 “Tanamkan ke kepala anak-anakmu bahwa hak asasi itu sama pentingnya dengan sepiring nasi” Pendekar Pena, Mahbub Djunaidi Ketua Umum Pertama PMII (1960-1967) www.pmiiunnes.or.id
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.