Duta Rimba Edisi 52 - Mei Juni 2014

Page 84

Dok. Humas PHT

RIMBADAYA

Buah jenitri

cokelat. Daunnya bergerigi di sepanjang tepinya dan meruncing di bagian ujung. Di dalam bahasa India, rudraksa berasal dari kata rudra yang berarti Dewa Siwa dan aksa yang berarti mata. Sehingga, arti keseluruhannya adalah mata Siwa. Sesuai namanya, orang Hindu meyakini rudraksa sebagai air mata Dewa yang menitik ke bumi. Tetesan air mata itulah yang lalu tumbuh menjadi pohon rudraksa. Di Indonesia, biji tanaman yang konon titik air mata Dewa Siwa itu populer dengan nama ganitri, genitri, atau jenitri. Indonesia merupakan negara pengekspor dan produsen jenitri terbesar di dunia. Indonesia memasok 70% kebutuhan jenitri dunia, yang diekspor dalam bentuk butiran biji. Sebanyak 20% pasokan lainnya berasal dari Nepal. Sedangkan India, negara paling banyak menggunakan rudraksa, hanya memproduksi 5%. Di

82 DUTA Rimba

Indonesia, pohon jenitri atau bahasa latinnya Elaeocarpus ganitrus banyak ditanam di Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Timor. Namun, sejumlah warga yang membudidayakan pohon berbuah kasar tersebut segera mengatakan, investasi untuk menanam pohon jenitri mereka lakukan sendiri. “Investasi kami itu tanpa campur tangan pemerintah,” kata sejumlah warga. Mereka yang menanam dan merawat pohon jenitri hingga berbuah itu mengaku dari mendapatkan informasi secara gethok tular (informasi dari orang ke orang, red). Tanpa komando dan tanpa didahului program, mereka jalan sendiri. Tetapi bagaimana cerita sebenarnya hingga jenitri begitu membudaya di Kebumen? Masyarakat Kebumen menyebutkan pohon jenitri itu dibawa orang

India asli. Sekitar 150 tahun lalu ada perantau India ke Kebumen dan tinggal di Kauman, Kebumen. Ia membawa pohon jenitri dan menanam di Karang Anyar. Ia menitipkan pohon jenitri yang telah ditanam tersebut kepada seorang santri yang tengah mengaji di masjid di daerah Kauman. Orang India itu lalu memberikan bimbingan cara mengelola jenitri, mulai menanam pohonnya hingga panen buah jenitri. Orang India itu juga menampung buah jenitri untuk dibawa ke negaranya. Satu butir jenitri dihargai dengan harga begitu tinggi. Lama kelamaan, warga yang menanam pohon jenitri itu bertambah banyak dan lahannya kian luas. Masyarakat Karang Anyar pun kemudian beramai-ramai menanam jenitri. Hal itu berlanjut hingga sekarang. Jadi, kondisi daerah itu seperti hutan jenitri.

NO. 52 • TH. 9 • MEI-JUNI • 2014


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.