La Kasbah Maret 2013

Page 1

Membangun Benteng Kreatifitas


Berita Utama: 01 Laporan Utama: 06 Pojok Pesantern: 10 Opini: 13 Tokoh Utama: 17 Resensi: 20 Islamologi: 23 Cerpen: 29

Penasehat : Husnul Amal Mas’ud,MA. Prabowo Wiratmoko Jati. Pembina: Muannif Ridwan Pemimpin Redaksi : Dwi Anggraeni, Lc. Redaktur pelaksana : Khoirun Nasihin. Keuangan : Muhammad Nurul Alim Sidang Redaksi : Mahfudz Daud Syahid, Aqiel Maiyatullah. Editor : Durrotul Yatimah Desain & Lay out : Kusnadi El-Ghezwa


SEKAPUR SIRIH Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan taufiqnya kami bisa menyelesaikan “Buletin la Kasbah edisi II �. Buletin yang sederhana ini kami maksudkan untuk sosialisasi kancah keilmuan dan kebudayaan sebagai esensi dari sebuah keberadaan dan kiprah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Maroko 2012 - 2013 yang telah dilantik pada acara konferensi I Nahdlatul Ulama Cabang Istimewa Maroko pada tanggal 15 Juli 2012 di Auditorium Institut Pos dan Telekomunikasi Nasional, Rabat-Maroko. Sebagaimana diketahui oleh khalayak umum, Maroko merupakan saksi kegemilangan peradaban islam yang pernah terbit di negeri dengan sebutan matahari terbenam ini, berpadu dengan corak peradaban Andalusia di eropa. Hal itu bisa kita rasakan dalam bentuk arsitektur bangunan, masjid, benteng, dan ornamen lain yang masih dipelihara dengan baik. Oleh sebab terkait, pada edisi ke II kali ini kami jajaran redaksi "La Kasbah" ingin mengulas kembali sejarah islam di bumi 1000 benteng ini, untuk dijadikan pembahasan utama dengan judul : "Mengulas peradaban Islam Maroko". Pada edisi kali ini, buletin la kasbah juga menampilkan suasana baru dengan adanya tambahan edisi "Ma'haduna (Pondok Kita)", serta penulisan kolom "Ulamauna (Ulama Kita)" dan "resensi" yang ditulis dengan dua bahasa asing (Arab / Inggris). Khusus buat penambahan kolom "Ma'haduna" dan "Ulamauna" dimaksudkan untuk mengenalkan beberapa pondok pesantren dan ulama Indonesia kepada khalayak pembaca non - Indonesia. Selain, sebagai bentuk upaya memberikan wadah kepada "Remaja Nahdhiyin" Maroko untuk mengekpresikan kemampuan bilingual mereka dalam bidang tulis menulis bahasa asing. Disamping hal itu semua, kami jajaran redaksi memohon seribu maaf atas keterlambatan terbitnya buletin untuk edisi kali ini. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor internal dari para jajaran redaksi, dan faktor eksternal yang tiap kali membuat beberapa aktivitas terbengkalai. Namun, kami berjanji untuk menerbitkan edisi selanjutnya dengan fase waktu yang telah ditetapkan, dan dengan tampilan yang semakin baik pula.

Akhirnya, kami menyampaikan terima kasih kepada seluruh pengurus NU cabang istimewa Maroko yang telah memberikan kepercayaan kepada kami selaku Lajnah Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) untuk menyelesaikan tugas ini. Mudah-mudahan Buletin ini dapat bermanfaat adanya. Kami sangat menantikan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca yang budiman untuk perbaikan edisi selanjutnya. Wabillahi al-taufiq wa alhidayah. Tanger, 10 Maret 2013/ 12 Rabiu Tsani 1434 H PENGURUS CABANG ISTIMEWA NAHDLATUL ULAMA MAROKO Lajnah Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam)


Oleh: Durrotul Yatimah dan Alvian Iqbal Zahasfan Kisah panjang lika-liku perjuangan menuju tegaknya Syariah Muhammadiyah di Afrika Utara diwarnai derasnya peluh dan silih berganti pemegang tampuk kekuasaan. Membawa panji Islam melebar dari Mesir; benteng terdekat menuju Maghrib, terhadang kontur alam yang tak mudah ditembus. Terbukti, jalan panjang menuju islamisasi Magrib nyatanya cuma bisa diretas melewati garis pantai laut Mediterania. Namun, pesisir adalah wilayah kuasa Romawi. Pasukan islam dijepit dua kekuatan besar, alam yang ganas dan tentara Romawi yang terlatih. Lalu apa yang dipilihkan khalifah untuk para mujahidnya?. Esai ini akan mengetengahkan periodeisasi masuknya Islam dan faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap pasang surut gerakan Islamisasi Maghrib. A. Masa Pra Islam. Sumber daya alam selalu menjadi pemikat utama untuk berhijrah ke wilayah baru dan asing. Jauh sebelum ekspedisi kafilah Schouten dan Maire yang berangkat dari Amsterdam berhasil melewati Cape Horn di ujung Amerika Latin menuju tanah Asia, pesisir Maghrib Arabi--yang mencakup Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libia-sudah kerap disambangi bangsa-bangsa dari benua Eropa. Ikan yang melimpah ditambah dataran hijau yang subur menjadi alasan yang kuat untuk menguasai wilayah ini. Bangsa Finiqi yang mula-mula hijrah ke wilayah ini. Kemudian bangsa Kartago menguasainya selama hampir 700 tahun sejak 814-146 SM. Setelah itu ganti Romawi menancapkan kekuasaannya selama VI abad, terhitung sejak tumbangnya Kartago tahun 439 M saat tentara Vandal dari pesisir laut Baltik yang beringas berhasil menjatuhkan Romawi. 94 tahun berselang saat Bizantium berhasil memukul mundur penguasa Vandal dan memegang tampuk kekuasaan di utara Afrika sampai tahun 646 M. Special Edition, Maret 2013

-01


Di Pesisir Mediterania, semenjak zaman pertengahan, penduduk Mesir sudah mengenal suku kulit putih yang mendiami hampir seluruh wilayah utara benua Afrika. Orang Mesir kuno menyebut mereka Libu sementara bangsa Romawi mengenal mereka dengan sebutan Berber atau Amazigh. Banyak pendapat mengenai asal nenek moyang usul suku ini. Perbedaan yang dipicu oleh perbedaan karakter fisik, pola hidup dan bahasa yang digunakan. Bahasa Tamazigh sendiri terdiri dari 45 dialek yang berbeda-beda. Mereka yang tinggal di lereng pegunungan Atlas tidak akan paham dialek yang dipakai oleh Amazigh pesisir. Bangsa Amazigh yang mendiami utara Afrika adalah induk dari 3 suku utama; Zenata, Masmuda dan Lawata. Zenata punya sub suku besar yaitu Miknasa, Maghrawa dan Bani Yafran. Suku Zenata adalah bangsa Amazigh yang mendiami Aljazair, Tunisia, Libia, daerah Rif dan wilayah selatan gunung Altas di Maroko. Orang Zenata punya pola kehidupan nomaden dan menggembala, persis seperti bangsa Arab di semenanjung Jazirah Arabia. Hal ini yang kemudian menjadikan banyak peneliti menasabkan nenek moyang suku ini kepada bangsa Yaman dan Himyar yang mengembara ke Afrika. Adapun Amazigh Masmuda adalah penduduk Bilad Sus, Altas Kecil, Altas Besar dan Rif bagian barat. Ada tiga sub-suku utama bangsa Masmouda: Pertama, Burgwata yang menempati wilayah antara sungai Om Rabi’ dan Bouregreg. Kedua, Ghumara yang mendiami daerah Rif dan pegunungan. Ketiga, Doukkala, penghuni wilayang antara sungai Om Rabi’ dan Tensift. Masmouda adalah Amazigh yang bukan nomaden, mata pencaharian utama mereka terfokus pada pertanian dan peternakan. Karenanya penisbatan suku ini pada nenek moyang Arab dibantah oleh Ibnu Hazm. Diperkirakan asal muasal mereka adalah bangsa Geto dan Arya yang menyeberang dari dataran Eropa sekitar tahun 1600 SM. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat kedekatan posisi geografis antara Afrika Utara dan Eropa. Mereka yang menempati daerah Sahara Barat yang melintang dari Maroko hingga Senegal disebut orang Sonhaja. Adapun Jazuli, Lamta serta Lamtuna adalah sukusuku Sonhaja yang utama. Dari pemuka-pemuka Sonhaja, kerajaan Bani Ziri dan Murabitin dirintis. Kebanyakan peneliti menisbatkan bangsa ini kepada nenek moyang Arab. B. Islamisasi Maghrib (Adna, Ausath dan Aqsha). Tahun 22 H, saat Amr bin Al-Ash sukses menganeksasi Tripoli, segera ia berkirim surat kepada Umar bin Khattab, Khalifah kedua. Mengabarkan bahwa pasukan yang dipanglimainya mampu menembus ke arah barat menuju bumi Afrika dalam hitungan 9 hari. Sayangnya Khalifah tegas menahan, dalam balasan yang ia kirim, nyata titahnya bahwa tak ada yang boleh melakukan Fath ke Afrika selama ia hidup. Katanya, wilayah barat Tripoli bukan negeri Afrika, tapi alam buas tak tertembus, liar dan menyesatkan yang belum pernah ada yang bisa menaklukkannya. Special Edition, Maret 2013

-02


Yang signifikan dari Fath Barqa dan Tripoli yang kini menjadi bagian dari Libya modern adalah bahwa pasukan Amr bin Al-Ash tak berkeinginan untuk menetap disana. Kedua kota tersebut menjadi bagian dari imperium Islam kala itu via sistem perjanjian damai dengan ketentuan bahwa penduduknya akan membayar pajak yang nantinya akan dikirim langsung ke Fustat, Kairo Lama. Dari sini bisa disimpulkan bahwa persinggungan Arab-Berber belum mencapai tingkat kemesraan yang dalam. Relasi yang terjadi baru sebatas antara pusat dan aneks. Fase kedua islamisasi Maghrib adalah saat tampuk kekhalifahan dipegang khalifah Utsman bin Affan. Tahun 27 H, Abdullah Bin Abi Sa’ad membawa pasukan besar yang termasuk diantaranya Sahabat Marwan ibn Al-Hakam, Abdullah Bin Zubair, Abdullah ibn Umar serta Abdurrahman Bin Abu Bakar. Pasukan ini berhasil mengalahkan tentara Bizantium di dekat Kairuwan sehingga Bizantium terpaksa meneken perjanjian damai dengan tebusan 300 qinthar emas. Fase yang berlangsung dari tahun 27 hingga 45 H ini bisa disebut fase persiapan untuk menembus lebih jauh ke Afrika. Pada tahun 49 H Uqbah Bin Nafi’ Al-Fihri yang sudah menjadi panglima kecil semenjak masa Amr Bin Al-Ash diangkat menjadi wali untuk Afrika. Ia kemudian melanjutkan upaya ini dan berhasil menembus hingga ke Libia. Ia juga menjadikan kota Kairuwan sebagai markas besar untuk tentara Islam. Tahun 51 H, Muawiyah Ibn Abi Sufyan menunjuk Salmah Ibn Makhlad Al-Anshari sebagai wali baru untuk Mesir dan Maghrib Arabi. Salmah lantas mengganti Uqbah Bin Nafi’ dengan Abu Muhajir. Penggantian yang dilakukan atas dasar seteru pribadi. Hal ini yang membuat hubungan Uqbah dan Abu Muhajir menjadi buruk. Namun, prestasi yag ditorehkan Abu Muhajir sungguh luar biasa. Ia berhasil masuk ke daerah pedalaman hingga mencapai Tilimsan. Ia adalah panglima islam pertama yang mampu mencapai Maghrib Al-Awsath tanpa adanya perlawanan dari tentara Bizantium maupun Berber. Abu Muhajir bisa mengislamkan Suku Aurobah yang sebelumnya memeluk agama Kristen. Pada tahun 62 H, Uqbah kembali menggantikan Abu Muhajir sebagai Gubernur Afrika. Tentara Uqbah berhasil mencapai Maghrib Al-Aqsho. Namun prestasi ini harus dibayar mahal. Uqbah gugur dalam ekspedisi kali ini. Ia terbunuh oleh Kusailah, kepala suku Aurobah yang sebelumnya sudah diislamkan oleh Abu Muhajir. Kusailah tak bisa menerima perlakuan buruk Uqbah kepada kaumnya dan Abu muhajir. Ia lantas berbalik mengadakan pemberontakan terhadap Uqbah. Musa Bin Nushair diutus untuk menjadi Gubernur di Maghrib tahun 89 H. pada masa Musa tak ada perlawanan yang membahayakan pasukan muslim. Musa berhasil menaklukkan Tanger dan menempatkan Thariq Bin Ziyad sebagai Gubernur Tanger. Bersama Thariq, ditempatkan 27 ribu muslim arab di Tanger. Hal ini karena Musa berkeinginan melanjutkan fath ke Andalusia. C . Faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap gerakan islamisasi Special Edition, Maret 2013

-03


Maghrib. Proses Islam masuknya Islam ke Maghrib berlangsung selama lebih kurang 67 tahun. Ada beberapa hal yang sangat mempengaruhi berhasil dan tidaknya usaha ini. Berikut adalah 1. Karakter bangsa Amazigh . Bangsa Amazigh terkenal sebagai bangsa yang tak suka tunduk di bawah kekuasaan orang lain. Mereka sangat menjunjung tinggi harga diri dan kebebasan. Keberadaan bangsa asing yang silih berganti menancapkan kekuasaan di Magrib dan berusaha mengeruk kekayaan sebesar-besarnya membuat mereka geram. Orang Amazigh juga tak mau dianggap sebagai budak. Seringkali gerakan pemberontakan dilancarkan namun tidak adanya persatuan dari semua suku Amazigh membuat perlawanan mereka mudah dipatahkan. Suku Amazigh juga punya sifat tegas dan berani. Mereka tak segan mencopot pemimpinnya sendiri jika dirasa sudah tak lagi menjalankan pemerintahan dengan benar. Hal ini dialami sendiri oleh Maisara Al-Khofir. Ia dan kelompoknya tak puas dengan pemerintahan penguasa Tanger Umar Al-Marodi. Revolusi terjadi dan Umar digulingkan. Maisara lantas menggantikan posisi Umar. Tak berapa lama berselang, kawan-kawannya tak setuju dengan sistem yang dijalankan Maisara. Ia kemudian dibunuh, posisinya digantikan Khalid Ibn Hamid Al-Zanaty. 2. Lemahnya manajemen tentara Bizantium. Armada Bizantium adalah tentara hebat yang terkenal gagah berani. Mereka menduduki hampir sepanjang pesisir pantai Mediterania. Untuk mengislamkan Afrika, hal pertama yang harus dilakukan tentara muslimin adalah menaklukkan pasukan Bizantium. Tentu tidak mudah, karena jika terdesak Bizantium bisa segera mengirim bala bantuan dari markas besar di Sisilia, sementara jika pasukan muslim yang terdesak, jarak Bagdad ke Maghrib teramat jauh untuk mengirim tambahan pasukan dan perbekalan dalam jumlah yang besar. Namun, tentara muslim diuntungkan oleh lemahnya manajemen pasukan Bizantium selepas kematian Raja Justisian. Tentara Bizantium yang berada di Afrika adalah campuran dari berbagai bangsa. Loyalitas bukan lagi hal utama bagi mereka. Yang paling penting adalah mengeruk kekayaan sebanyak-banyak untuk dikirim ke kampung halaman masingmasing. Hal ini yang menyebabkan turunnya moralitas dan meningkatnya rasio perseteruan antar sesama panglima Bizantium di Afrika. 3. Pola hubungan yang diterapkan oleh wali (penguasa). Seringkali, terdapat perbedaan sistem yang dipakai oleh wali-wali utusan dinasti Umayyah di Afrika dalam menghadapi penduduk lokal. Uqbah Bin Nafi’ dan Musa Bin Nushair misalnya, lebih memilih siasat perjanjian damai dengan ganti upeti dengan membiarkan bangsa Amazigh tetap pada kepercayaannya masing-masing daripada memerangi mereka. Saat Hassan Bin Nu’man mendirikan Jami’ (Masjid) Kairuwan dan membangun kota ini, ia membiarkan penduduknya tetap memeluk animisme dan Kristen. Banyak riyawat yang menyebutkan buruknya perlakuan wali dinasti Umayyah terhadap bangsa Amazigh. Relasi penguasa–budak meyebabkan Special Edition, Maret 2013

-04


acap kali terjadi upaya pemberontakan. Kematian Uqbah Bin Nafi’ ditangan Kusailah adalah salah satu episode yang sangat disayangkan dalam upaya penyebaran Islam di Afrika. Disebutkan bahwa alasan utama Kusailah yang waktu itu sudah menjadi muslim untuk melawan Uqbah adalah karena perlakuan buruk Uqbah terhadap suku Aurobah dan juga kepada Abu Muhajir, salah satu panglimanya sendiri yang sudah berhasil menampakkan wajah Islam yang ramah dan santun hingga akhirnya seluruh suka Aurobah masuk Islam. Musa Ibn Nushair walaupun sudah menaruh kepercayaan terhadap suku Amazigh sehingga hampir seluruh pasukan ekspedisi menuju Andalusia adalah Amazighy, bahkan panglima ekspedisi ini pun seorang Amazigh, Tariq Bin Ziyad. Namun tetap mempunyai pola pikir yang sama. Terbukti, lambat laun kepercayaan Musa terhadap Tariq pun pupus. Pamor Tariq yang terus naik adalah salah satu pemicunya. Ia lantas diasingkan ke Andalusia. Jika saja sistem yang diterapkan oleh para penguasa bani Umayyah di Afrika adalah penyebaran Islam dengan jalan damai dan tidak bertentangan dengan ajaran Kitab dan Sunnah, tentu proses fath Afrika tidak akan berlangsung lama. Ketidakadilan yang dialami oleh banyak suku Amazigh dan penguasa yang lebih memilih sistem pembayaran pajak daripada penyebaran agama membuat Islam tak segera diminati di Afrika. Fenomena penyelewengan agama seperti yang di lakukan oleh suku Burghwata yang membuat Qur’annya sendiri serta hanya melakukan shalat 2 kali dalam sehari serta banyaknya praktek sihir adalah salah satu akibat dari penomorduaan peyebaran dan pengajaran Islam yang benar di Maghrib. Dalam konteks Maghrib, setidaknya ada 2 hal yang bisa jadi pelajaran bagi Indonesia, pertama menyangkut desentralisasi dan kedua mengenai moralitas penguasa. Sistem politik yang sehat, sebagaimana menyitir Cak Nun, adalah sistem yg jauh dari bentuk tumpeng, mengerucut di pusatnya. Harusnya ia lebih mengikuti model ambeng, dimana nasi dan lauk ditata melebar dalam wadah, tak ada bagian yg meninggi melebihi bagian sekitarnya. Persamaan dan keadilan menjadi inti. Wallahu a’lam. 1. Ibrahim Harakat; Al-Magrib Abra Tarikh, hal.71

* Mahasiswia s1 universitas Imam Nafie, Tanger.

Special Edition, Maret 2013

-05


Pendahuluan Pembagian nama menjadi Masyriq (Wilayah Timur) Maghrib (Wilayah Barat) dalam kekuasaan islam dimulai semenjak meluasnya agama yang dibawa oleh Muhammad ShallaAllahu ‘alaihi wasalaam, kemudian Maghrib sendiri terbagi menjadi; Maghrib al Adna (Tunis), Maghrib al Awshat (Libya Al jazair) dan Maghrib al Aqsha (Maroko, Muritania).1 Eksistensi Maghrib al Aqsha (Maroko) sebagai suatu kedaulatan yang independen sudah dimulai sejak dinasti Abbasyiah dengan letak geogafis yang strategis Maghrib merupakan pionir penting penyebaran islam di wilayah Afrika dan Eropa. Menurut Ibnu Khaldun dalam magnum opus-nya Al Muqaddimah, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting; kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan kesanggupan berjuang untuk hidup.2 Kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Maroko sebagai mutiara yang terpendam merupakan salah satu bukti dimana keilmuan merupakan asas terpenting pembentukan peradaban. Dinasti-dinasti islam ; peletak batu pertama. Dalam perjalananya, berbagai bangsa yang sempat menduduki Maroko memberikan corak khas sehingga membentuk larik tersendiri dalam tenunan peradaban di Maroko. Di mulai dari peradaban Romawi hingga masuknya islam ke bumi seribu zawiyah 3 ini. Sebagian besar sejarawan berpendapat bahawa penduduk asli wilayah utara Afrika terkhusus Maroko dan Aljazair adalah suku barbar. Asal kalimat “Barbar” menurut Ibnu Khaldun : berasal dari perkataan raja Yaman Ifriqasy bin Shaifi ketika melakukan ekpansi ke wilayah Maghrib dan Afrika saat itu ia mendengar percakapan penduduk asli yang tak dimengerti, kemudian ia berkata “kalian ini banyak sekali barba-rnya”. Barbar/Barbarah bermakna pencampuran suara yang tidak difahami.4 Sedang para orientalis lebih condong berpendat bahwa barbar berarti orang yang Special Edition, Maret 2013

-06


tak memiliki budaya, hidup diluar kekuasaan Romawi, namun penduduk Maroko lebih senang dengan nama Amazigh yang artinya yang merdeka5 dibanding nama Barbar. Berikut beberapa nama peradaban yang sempat menguasai Maghribi sebagai mana yang di utarakan Ibrahim Harakat dalam kitabnya “Al Maghrib ‘abra attarikh”; 1. Bangsa Carthaginian 814-146 SM, bangsa ini memperkenalkan mereka dengan bahasa Phoenicia bahkan ditetapkan sebagai bahasa resmi mereka, selain itu mereka juga dikenalakan dengan sastra dan filsafat yang nantinya akan dikembangkan oleh romawi yang merupakan dinasti setelahanya. 2. Bangsa Romawi barat/Romawi Yunani (146 SM-439M) yang mengenalkan penduduk Maroko bahasa latin, dilanjutkan dengan 3. Bangsa Vandal yang berasal dari jerman bagian timur. 4. Bizantiyum (531-646 M) atau romawi timur yang beribu kota di Konstantinopel merupakan kelanjutan dari kerajaan Romawi barat yang runtuh. 5. Al Adarisah (788-985 M) 6. Al Murabitun (1038-1147 M) 7. Al Muahhidun (1147-1262 M) 8. Al Mariniyyin (1270-1465 M) 9. Al Wathasiyyin (1471-1553 M) 10. As Sa’diyyin (1514-1658 M) 11. Al ‘Alawiyyin (1959 M-hingga sekarang) Masuknya islam ke Maghrib 681-682 M, melalui Uqbah bin Nafi belum memberikan kesempatan untuk mendirikan dinasti sendiri, pada saat itu Maroko masih berafiliasi ke Mesir sebagai wilayah kekuasaan Bani Abbasyiah, lalu ketika terjadi perseteruan antara Abbasiyah- penguasa saat itu- dan Al ‘Alawiyyin6 pada169 H/784 M. Banyak dari mereka yang melarikan diri dari kejaran penguasa, Idris bin Abdullah adalah salah satunya, beliau ini yang nantinya menjadi pendiri dinasti Idrissyah (788-985M), dinasti islam pertama yang berdiri sendiri lepas dari kekhalifahan Abbasyiyah. Layaknya tabiat para pendahulu, dinasti Islam di Maroko yang dimulai sejak dinasti Idrissiyah memiliki peran penting dalam membentuk karakter khas dari peradaban keilmuan di Maroko terutama dalam menjadikan Maroko sebagai basis penerapan madzhab Maliki yang di bawa oleh para ulama lokal saat mereka berhaji selain sebab kedudukan Imam Malik sebagai Mujtahid Mutlaq dan Persamaan keadaan lingkungan antara Maroko dan tanah Hijaz. Dalam sejarahnya kemajuan peradaban keilmuan pada pemerintahan Bani Marin (1270-1465 M), seakan menjadi puncak sedang dinasti-dinasti sebelumya menjadi anak tangga hal ini antara lain disebabkan banyaknya para ilmuan yang bermigrai baik dari Andalusia (Spanyol) maupun Kayrawan (Tunis) dan kondisinya yang relatif lebih stabil. Nama-nama seperti Ibnu batutah, Ibnu Rayid dan al’Abdari merupakan para petuSpecial Edition, Maret 2013

-07


alang yang berasal dari dinasti yang didirikan oleh ini, pada masa ini pula dikenal Al Jurumiyyah karya Abu Abdullah bin Ajurum w733 H, komentar Kitab Sibawaih karya Ibnu Rayid dan Komentar akan kitab Alfiyah Ibnu Malik karya Al Makudi. Ibnu Khaldun pun menyelesaikan kitab Tarikhnya yang berjumlah 7 jilid. Kolonialisme dan Interpretasi baru. Jika Renaisans adalah abad pencerahan bagi Eropa, maka bagi kekhilafaan Islam abad itu merupakan proses kemunduran, setelah lebih dari 7 abad menjadi trendsetter dalam peradaban dunia, tak terkecuali bagi Maroko terutama saat penjajah mulai menggrogoti baik dalam segi fisik maupun mental. Pada abad itu pula mulai terjadi pembagian wilayah menjadi Barat dan Timur, Mutsa’mir (Penjajah) dan Musta’mar (yang dijajah) dimana kebutuhan akan sumber daya alam yang hanya dimiliki oleh wilayah Asia dan Afrika menjadi faktor terkuat terjadinya kolonialisme. Portugal adalah negara yang menjajaki Maghribi dengan membawa bendera kolonialisme hingga dilanjutkan oleh Spanyol dan Francis dengan pembagian wilayah utara Maghribi di kuasai Francis dan wilayah selatan di miliki Spanyo.7 Merupakan suatu kemutlakan jika persentuhan Maghribi dengan peradaban eropa memberikan sedikit banyak pengaruh dalam perkembangan keilmuaan di Maroko, dengan penguasaan akan berbahasa asing arus keilmuaan dari barat mengalir deras terutama dalam sastra dan filsafatnya. Kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan moderen untuk mengimbangi kemajuan Eropa terlebih dalam mliter dan ilmu hitung telah dirasakan semenjak kekuasan Abdurrahma bin Hisyam dari dinasti Al ‘Alawiyyin dan tiga penguasa setelahnya8 ini di buktikan dengan: - Penerjemahan literatur Eropa ke bahasa arab yang semakin gencar - Pengadaan institusi ilmah - Penyesuaian kurikulum - Pengiriman pelajar ke luar negeri Di sisi lain pengaruh Harakah Islamiyyah atau pergerakan islam yang di komandoi Mesir mulai menyebar di wilayah al gharb al islamy, seakan menjadi kutub penyeimbang atas dominasi kolonialism, nama-nama seperti Abu Muhammad al ma`mun bin umar al kattani (w.1892) dan Abu hasan ‘ala bin abdullah alfasi (w.1896) adalah beberapa tokoh pergerakan yang bertujuan mengembalikan kejayaan para pendahulu tanpa mengadopsi produk asing, dengan hunusan pena dan gemuruh khutbah mereka berjuang. Walhasil dua kubu ini menambahkan pattern baru dalam tenunan peradaban keilmuan Maroko yang memungkinkan terjadinya calsh, kolaborasi ataupun evolusi namun tetap memberikan interpertasi baru dalam peradaban keilmuan dunia. Special Edition, Maret 2013

-08


Maroko sebagai Alternatif. Ketika bebicara tentang kemajuan keilmuan pada wilayah Gharb islami atau kebudayaan islam pada masa lalu perlu kita garis bawahi bahwa pada masa itu belum ada dikotomi ilmu, antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini bisa dibuktikan dengan profil para ilmuan Islam pada masa keemasan yang tidak hanya hafal Al Quran dan mengerti agama namun juga pintar dalam mengolah kata dan rumus-rumus hitungan. Dan hal ini yang tengah diterapkan oleh Maroko, dengan mengadopsi sistem pendidikan Francis namun tetap mempertahankan akar panjang tradisi intelektual Islamnya, terbukti kini berbagai tokoh dalam berbagai disiplin ilmu, mulai bermunculan dari negeri yang di Turki terkenal dengan nama Fes ini. Sebutlah Allal al-Fasi (tokoh kemerdekaan dan ensiklopedis keilmuan Islam Maroko), al-Jabiri di kritik nalar, Salim Yafut di epistemologi, Abdussalam Benabdelali di filsafat kontemporer, Abdullah al-Arawi di sejarah, Taha Abdurrahman di filsafat bahasa dan akhlak, Bensalem Himmich (filosof dan sastrawan), ar Raisuni (pakar maqashid), Muhammad ar-Rougi (Faqih), keluarga Bin as-Shiddiq (keluarga muhaddits, tinggal di kota Tanger) dan masih banyak lagi. Hingga kini, dalam mendeskripsikan asas peradaban Maroko dalam bidang keilmuan Maroko menganut madzhab Maliki dalam fiqh, Asy’ariyyah dalam ilmu kalam, dan Imam Junaidi dalam bidang Tasawuf, ditambah dengan keterbukaannya akan ide-ide baru yang menambah nilai plus dalam sekala keilmuan. Penutup. Keberagamaan penduduk Maroko merupakan tata kelakuan melalui jalur inheret dari guru ke murid, dengan memberikan ruang gerak bagi pemeluknya untuk melakukan penghayatan sesuai realitas. 9 Di tambah posisi geo-politik yang di miliki Maghribi, menempatkan nya sebagai kandidat pelopor kemajuan islam dalam bidang keilmuan, meski belum sekaliber Arab Saudi. Yang sempat menjadi kiblat intelektual ulama Nusantara abad ke-17 s/d 19 atau Mesir pada Akhir abad ke-19, namun penulis optimis kedepan Maroko akan menjadi kiblat intelektual ulama Nusantara. 1. Al Hasan assaih, Al Hadarah al islamiyyah fil Maghib, 1986, Dar atsaqafah, maroko, hal. 117 2. The Muqaddimah: an Introduction to history (1978 : 54-57) 3. Zawiyah bermakna tempat berdzikir dan bermujahadah para pengikut tarikat sufi. 4. Ibnu Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun, VI, Dar Kutub al ilmiyyah 1992 hal 176 5. Harakat, Ibrahim, Al Maghrib ‘abra attarikh ,Jilid 2, Dar arrasyad al haditsah, 2009, Maroko, hal. 19. 6. Merupakan sebutan bagi kaum atau sekelompok orang yang memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad. Special Edition, Maret 2013

-09


7. Assarjani, Raghib, Al Mauu’ah al muyassarah fi attarikh al islamy ,Jilid 2, Muassasah iqraa, 2007, Kairo, hal. 289. 8. Mohammad al Mannouni, Madzahir yaqadzat almaghrib al hadits, I, dar algharab al islamy1985. 9. Hammadah, Muntashir, Wahabiyyah fil Maghrib, Dar toubkal li Nashr, 2012, Casablanca, halaman 22.

Special Edition, Maret 2013

-10


Special Edition, Maret 2013

-11


Special Edition, Maret 2013

-12


Permasalahan kehidupan yang begitu kompleks telah memberikan warna bagi keadaan dan peristiwa perjalanan kehidupan manusia di muka bumi ini tidak lepas dari ideology, Guna memuluskan jalan menuju kebangkitan peradaban Islam. Peradaban akan terwujud jika manusia memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Sebuah pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana yakni superstruktur dan infrastruktur yang memadai. Berdasarkan pandangan Ibnu Khaldun, bahwa peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu, kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan kesanggupan berjuang untuk hidup. Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen mendasar dalam sebuah peradaban. Suatu bangsa dinyatakan beradab (berbudaya) jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. karna kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Bertolak dari landasan ini, marilah kita bersama-sama mengkaji kembali sejarah Maroko serta peradaban yang dimilikinya. Dimana banyak pelajaran yang perlu digali kembali seperti keilmuan serta para ulama kontemporernya. Para sejarahwan dan geografer pada abad pertengahan menyebut “Al-Maghrib al Aqşá” yang berarti terjauh di Barat untuk merujuk Maroko. Hal ini tidak lepas dari sejarah bahwa Magrib pada permulaan masuknya Islam dibagi menjadi tiga kawasan yakni “Al Magrib al Adna” (Al jazair) dan “Al Magrib al Awsat”(Tunisia). Maroko memilki nama lengkap “Al Mamlaka Al Magribiya”. Sementara dalam bahasa Inggris menyebutnya “Morocco”, dalam bahasa Spanyol “Marruecos “, dalam bahasa Latin pada abad pertengahan menyebut “Morroch”, yang dinisbatkan kepada ibukota dinasty Almoravid and Almohad yakni Marrakesh. Di dalam bahasa Persi dan Urdu, Maroko disebut Marrakesh yang berasal dari bahasa Barbar “ mur n akush” yang artinya Tanah Tuhan. Lain halnya dalam bahasa Turki, Maroko disebut Fez hal ini dinisbatkan kepada ibukota dinasty Idrisid dan Marinid. Itu sejarah ringkas tentang penamaan Kerajaan Maroco. Wilayah yang kini dikenal dengan sebutan Maroko telah dihuni sejak zaman Neolitikum, sekitar 8.000 sebelum Masehi. Di masa itu, kawasan ini tidak setandus yang kita kenal sekarang. Di zaman klasik, Maroko juga dikenal sebagai Mauritania (yang Special Edition, Maret 2013

-13


namanya mirip dengan nama negara di Laut India). Penelitian yang dilakukan selama berpuluh tahun menemukan suku bangsa yang memberikan sumbangan genetik kepada manusia Maroko saat ini, mulai dari Amazir /Berbers yang merupan suku bangsa asli, kemudian Arabs, Iberians, Phoenicians, Yahudi Sephardik, dan Afrika Sahara. Sejarah mencatat bahwa Maroko yang merupakan bagian dari Afrika Utara terintegrasi dengan kawasan perdagangan Mediterania yang dikendalikan pedagang dan pemukim Phoenician pada permulaan zaman kuno. Kehadiran orang-orang Phoenician di kawasan itu memberikan bukti bahwa sejak lama Maroko terlibat aktif dalam perdagangan yang melibatkan Kekaisaran Romawi dan dikenal sebagai Mauretania Tingitana. Di abad ke-5 , bersamaan dengan kehancuran Kekaisaran Romawi, kawasan ini jatuh ke tangan suku-suku Vandals, Visigoths, dan kemudian Yunani-Bizantium. Sepanjang masa ini, kawasan pegunungan Maroko tidak dapat ditaklukkan oleh pendatang. Wilayah di pegunungan Maroko tetap dikusai suku Berber. Di abad ke-7 M, tepanya pada tahun 670 M, pasukan Umayyah yang dipimpin Uqba ibn Nafi menaklukkan Afrika Utara. Orang-orang Arab membawa adat kebiasaan, budaya dan agama Islam. Orang-orang Berber beramai-ramai memeluk Islam dan beberapa kerajaan Islam seperti Kerajaan Nekor dan Kerajaan Barghawata. Di bawah Idris ibn Abdallah, pendiri Dinasti Idrisiyah, kawasan yang telah dipersatukan itu segera memutus hubungan mereka dengan Bani Abassiyah yang berada di Baghdad dan Bani Umayyah di Damaskus yang menguasai kekuasaan Islam hingga Andalusia. Setelah kekuasaan Bani Idrisiyah memudar, orang-orang Arab mulai kehilangan kontrol politik di Maroko. Sementara orang-orang Berber setelah memeluk Islam membentuk pemerintahan dan mulai mengambil alih kekuasaan. Maroko mencapai puncak keemasannya di bawah kekuasaan Berber setelah abad ke-11 M. Dinasti Almoravids, Almohads, kemudian Marinid dan dinasty Saadiyah berusaha mengembangkan pengaruh Maroko ke seluruh Barat laut Afrika. Menyusul pembantaian dan pengusiran di Eropa yang dikenal dengan Reconquista di Semenanjung Iberia, orang-orang Muslim, bersama orang-orang Yahudi, melarikan diri ke Maroko. Prancis mulai memperlihatkan keinginan mereka menaklukkan Maroko pada tahun 1830. Kekuasaan Prancis di Maroko yang diakui Inggris pada tahun 1904, memancing reaksi keras dari Jerman. Krisis yang terjadi di tahun 1905 menghasilkan Konferensi Algeciras di Spanyol pada tahun 1906. Dalam konferensi itu, menyatakn bahwa kekuasaan Prancis di Maroko semakin diakui. Di dalam Perjanjian Fez itu juga disebutkan bahwa bahwa Spanyol memperoleh hak menguasai kawasan selatan Maroko. Special Edition, Maret 2013

-14


Maroko berstatus sebagai sebuah negara yang berada di bawah perlindungan Prancis, namun kehidupan politik di Maroko pada masa itu sangat beragam. Politisi-politisi Maroko memanfaatkan Atlantik Charter yang ditandatangani oleh pemimpin AS dan Inggris yang isinya antara lain memberikan hak bagi setiap orang untuk menentukan kedaulatan. Pada bulan Agustus 1953, Ahmed Belbachir Haskouri, salah seorang tangan kanan Sultan Muhammad V memproklamirkan Sultan Muhammad V sebagai penguasa Maroko yang sah. Pada Oktober 1955, kelompok Jaish al-Tahrir atau Pasukan Pembebasan yang dibentuk oleh Komite Pembebasan Arab Maghrib melancarkan serangan ke jantung pertahanan dan pemukiman Prancis di kota-kota besar di Maroko. Peristiwa di atas, bersama peristiwa lain di masa itu telah meningkatkan solidaritas di kalangan orang Maroko. Masyarakat Maroko mengenal masa itu sebagai masa revolusi yang digerakkan oleh Raja dan Rakyat yang disebut “Taourat al-Malik wa Shaab” dan dirayakan setiap tanggal 20 Agustus. “Al-Garb al-Islami” satu istilah di Maroko yang lazim dipakai untuk menunjuk wilayah yang mewarisi kejayaan peradaban Islam yang berpusat di Andalusia, meliputi Spanyol, Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya dan Mauritania. Dunia intelektual Arab memang mengakui Maroko sebagai gudang para pemikir dan penulis produktif. Nama al-Qurthubi, Ibnu al-Arabi sang Mufassir, Ibnu Arabi tokoh Sufi, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dan as-Syathibi merupakan Ulama-Ulama Andalusia pada masa kegemilangan Islam. Saat ini kita akan mengenal semakin banyak nama pemikiran dan intelektual di Maroko, kita mengenal nama-nama ulama semacam Abu Madyan (sufi amali), Qadli Iyadl (muhaddits, mufassir), Ibnu Abdil Barr (muhaddits), Ibnu Athiyah (mufassir), Imam Sahnun (faqih); atau yang lebih belakangan: Abu Hasan al-Yusi (ensiklopedis, salah seorang pensyarah Jam’ul Jawami’), Thahir Bin Asyur (mufassir), Allal al-Fasi (tokoh kemerdekaan dan ensiklopedis keilmuan Islam Maroko); atau yang lebih gress lagi Ahmad ar-Raisuni (pakar maqashid), Muhammad ar-Rougi (Faqih), keluarga Bin as-Shiddiq (keluarga muhaddits, tinggal di kota Tanger), Syekh Hamzah (guru spiritual Tarekat Qadiriyah Butsyisyiah), Ahmad Taufiq (sejarawan) dan masih banyak lagi. Satu nama lagi yang tidak boleh dilupakan Ibnu Batutah, petualang besar yang mampir dua kali di nusantara dalam perjalanannya ke China dan kembali ke Maroko. Kisah perjalanannya keliling dunia itu, dituangkannya dalam kitab yang berjudul “Rihlah Ibnu Batutah”. Kitab ini sekarang menjadi lebih lengkap setelah di-tahqiq oleh Dr. Abdul Hadi at-Tazi, sejarawan Maroko dan merupakan mantan Duta Besar Maroko di Irak. Special Edition, Maret 2013

-15


Apa yang dilakukan oleh Vasco de Gama dan Christopher Columbus, sebenarnya telah didahului oleh petualangan para pejuang dan ulama Islam. Inilah salah satu sebab, mengapa Islam begitu cepat merambah dunia. Lagi-lagi Maroko menyertakan nama besar dalam bidang ini. Saat ini, Marrakech menjadi salah satu kota budaya dibawah naungan Unesco. Di Marrakakech banyak berdiri masjid serta madrasah peninggalan masa kejayaan Islam antara lain; Masjid Koutoubia, Madrasah Ben Youssef, Masji Casbah, Masjid Mansouria, Masjid Bab Doukkala, Masjid Mouassine, serta banyak lagi yang lainnya. pada eramodern, Fez juga melahirkan banyak cendekiawan. Seperti Alal al Fasi, ahli Ushul Fiqh yang terkenal dengan bukunya, Maqasid as Syariah ai Islamiyyah wa Makarimuha. Juga ada Fatima Mernissi, tokoh feminisme yang sudah tak asing lagi dalam dunia pemikiran Islam kontemporer. Fez pada masa dulu, adalah pusat peradaban Islam dan kota ilmu. Di kota ini, terdapat Mesjid Qurawiyyin. Al Qarawiyyin: Universitas dan Masjid Tertua sepanjang sejarah Islam. Sejarah peradaban Islam di Afrika Utara, termasuk sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh umat Islam, karena banyak yang dapat di ilhami dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di Afrika Utara zaman dahulu bahwa islam pernah Berjaya pada masa khulafaur rasyidin dan masa berbagai Dinasty. Terlebih lagi Afrika Utara merupakan pintu gerbang penyebaran Islam ke Eropa. Dari Afrika Utara lalu ke Spanyol yang termasuk benua Eropa. Penyebaran Islam ke Afrika Utara sudah dimulai sejak khulafaurrasyidin, yaitu pada masa Umar bin Khattab. Pada tahun 640 M Panglima Amr bin Ash berhasil memasuki Mesir. Kemudian pada masa halifah Utsman bin Affan penyebaran Islam meluas ke Barqah dan Tripoli. Demikianlah berbagai muatan nilai yang dapat dipetik dari Maroko, mulai dari penamaan negri “Tanah Tuhan�, letak starategis Maroko sebagai pintu gerbang perdagangan dan hubungan antara dua benua, Afrika dan Eropa, serta nilai-nilai budaya dan sejarah yang menghasilkan para cendekia serta pemikir yang intelek, serta berbagai dinasty yang tumbuh dan berkembang di Maroko dari mulai awal masuknya islam hingga sampai ke Andalusia tidak dapat dinafikan bahwa semua ini merupakan faktor dari beberapa faktor yang menjunjung Maroko sebagai negara yang kaya akan peradaban Islam.

* Mahasiswi s1 universitas Imam Nafie, Tanger.

Special Edition, Maret 2013

-16


Special Edition, Maret 2013

-17


Special Edition, Maret 2013

-18


Special Edition, Maret 2013

-19


Written by : Prof. dr. Syed Muhammad al- Attas “ No civilization can prosper - or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past.” (Islam at the Crossroads, Leopold Weiss) An amazing piece written by a historian from Melayu "Syed Muhammad al-Attas," in which to review the history of Islam in the archipelago. To criticize the justified Islamic history in nusantara which has been considered as patent by most of Indonesian people, the history that sourced from scientists and western historians who cannot escape their political and economic interests. The book is presented in coincide with the inauguration of that intellectual as a great teacher (Professor of Malay Literature at Universiti Kebangsaan Malaysia on January 24, 1973). In this book, Syed Alatas skinning sharply the scientific and engineering views -particularly by orientalisfrom Dutch historians like Van Leur and Snouck Hugronje- for overturning the history of Islam in Indonesia-Malay. The book consists of 70 pages, range from 5 major chapters which will be explained below. Chapter 1 The chapter begins with Voltaire’s statement that said : the fact that is micro point in history can not be used as a benchmark in reading the history of civilization. Despite that remote fact shows and declared to be true and applicable in history, but when we see it from the point view of natural history, it will be a fake and have an antinomy in the philosophy of history. Special Edition, Maret 2013

-20


Chapter 2 Syed Naguib opens with the History of Europe Civilization by Henri Pirenne. The Process of incarnate the spirit of the Middle Ages European is not marked by the conquest of Germans who attacked and conquered Roman Imperium. That's because they can not bring a new culture in the society of Roma. In fact, they must be willing to abandon their native culture i.e. the German culture to apply the Roman’s. They have failed to break the fusion that exists between the West and the East. Despite the upheavals to conquered the country being in theirselves, the people are united in hearts to mixed the bond. Church still maintain and strengthen the Roman influence. This group succeeded in forcing the Germany to admit Christian culture. From the Middle East, Islam came and spread all over the world. After the spread of Islam, a fusion between the Western and Eastern world torn apart. So the spirit of the European Middle Ages began when Islam spread and separate the West and the East. Chapter 3 In this chapter, Syed Naguib detailing Hinduism and Buddhism that arrived earlier before Islam. Hinduism is only embraced by the king, the nobility and the clergy. Meanwhile, as the people do not care about the Hindu, It happens, because the Indonesian people are still applying the ancestor ritual existed before the arrival of Hinduism, and only the literary field are demanded by the public. Furthermore, Buddhism arrived, but the relics of this religion is only can be seen in the architectural field, for example Borodudur temple. It said two Chinese nomads Fa-Hsien (5th century) and I-Tsing (6th century), had stopped in the land of Sumatra and Java. They both have the same opinion, saying Hinduism and Buddhism is muddled . I-Tsing also said the language that used in Java and Sumatra is a foreign language that is Sanskrit language, not Indonesian language. Then he proceed with the description of the arrival of Western colonial around the 19th century. Western colonial who come with it selfishness and carrying the imprealism mindset, considered to have succeeded in modernizing literature of Malay, but the reality is not so. Syed Naguib insisted that only prose that's modern, and not on the content it contains. Chapter 4 and Chapter 5 In this last two chapters, Syed Naguib delivers his inspiration to the people of the Malay archipelago and Indonesia, to be aware and rise up to fighting for the history of the spread of Islam in Southeast Asia. Because the history we learn today comes from the Colonial, then there is some Special Edition, Maret 2013

-21


path of history that is covered. Syed Naguib wants the men of Malay-Indonesian islands to know and be aware of the history of Islam, and not just blindly accept the history we learned today, without any critical of historical review inside it. For example, famous teory said that Islam arrived in Southeast Asia through 3 places, namely India, Arabia and China. However, Syed Naguib insisted that Islam only come from Arab. India and China's are only route of trade traversed by the traders from Arab land. This book is very important to read by the country young men of "Malay Descendants", in particular for Muslims region. To be more able to recognize their identity from a phase of enlightenment, for rationalism and left the phase of aestheticism, for repeating the history of the mother land relied on the language of its natural descendants. Wallahu a'lam Dowload Buku : http://www.ukm.my/penerbit/syed-naquib-sp.pdf

*Anash, Student of Imam Nafie Tanger.

Special Edition, Maret 2013

-22


Sinis, itulah yang akan terjadi pertama kali pada raut muka para pembaca yang budiman ketika membaca judul diatas, khususnya bagi para pembaca dari negeri Arab, atau negeri lain, bahkan mungkin dari orang Indonesianya sendiri, kalau Pembaca dari negeri Arab sinis itu wajar, karena memang Nabi Muhammad dan Agama Islamnya sendiri itu Lahirnya di Negeri Arab, kalau pembaca dari negeri lain sinis wajar juga, karena memang Penulisnya suku bangsanya Indonesia, jadi mungkin dianggap kurang obyektif, lah kalau pembacanya dari Indonesia sinis Saya juga nggak kaget, karena memang karakter Bangsa Indonesia akhir-akhir ini senantiasa merasa minder, loyo, dan nggak pede jadi Bangsa Indonesia jadi wajar kalau sinis ketika membaca judul diatas yang kayaknya nggak mungkin sekali dan dirasa mustahil. Dan penulis setelah ini nggak lagi ‘ngigau’ bercerita tentang keunggulan keislaman di Indonesia dari berbagai aspek yang mungkin akan sulit kita temukan di Negara-negara Besar Islam lainnya baik Saudi Arabia, Mesir, Turki, atau Negara Islam manapun di muka bumi ini. Masyarakat Muslim Indonesia terkenal dengan Akhlakul Karimahnya, Masyarakat Muslim Indonesia terkenal dengan Jiwa sosialnya, Masyarakat Muslim Indonesia terkenal dengan kebersamaan dalam keberagamannya. Akhlakul Karimah Penulis katakan Masyarakat Indonesia terkenal dengan Akhlakul Karimahnya, sebab tiap kali penulis berjumpa dengan orang-orang Arab di Negara tempat penulis sedang melakukan studi, yang telah melakukan ibadah haji dan ketemu langsung dengan jamaah Haji asal Indonesia di Makkah sana, mereka pasti akan katakan kepada penulis: “Akhlakul karimah Orang Indonesia luar biasa”, dan adapula dari mereka yang menambahi dengan kalimat:”Berbeda dengan jamaah dari negaranegara lain” Bahkan sampai ada yang sampai memperagakan dari cara jalannya, ramah tamahnya. Selama ini penulis amati di Negara Arab tempat penulis studi Masyarakatnya sedikit yang menjalankan prinsip Saling Menghormati dan Menyayangi yang mana kata guru saya, Kyai Asep Saifuddin Halim sebagai inti dari Akhlakul Karimah, sesuai hadits Nabi:”Laysa minna man lam yarham shoghirona wa yuwaqqir kabirona” “buSpecial Edition, Maret 2013

-23


kan termasuk golongan kami yang tidak menyayangi kepada yang lebih muda dan yang tidak menghormati kepada yang lebih tua. Sering penulis lihat di Negeri arab anak Balita dibentak-bentak oleh ibunya hanya karena saat dituntun jalannya kurang cepat, sering juga penulis lihat sampai diseret-seret tangannya, pernah juga ada yang sampai dipukul, dan banyak halhal lain yang mengabaikan prinsip-prinsip kasih sayang yang sepertinya sudah membudaya secara turun-temurun dan dinilai sebagai perkara yang biasa, lumrah, dan lazim padahal tanpa mereka sadari dengan cara seperti itu berakibat pada tercetaknya generasi yang sepi dari nilai-nilai kasih sayang dan kelembutan keesokan harinya, perkara-perkara seperti itu sulit ditemukan di Indonesia, karena memang prinsip-prinsip kasih sayang lebih dikedepankan, kalaupun ada itu jumlahnya sedikit dan jadi gunjingan, dan tentu akan kena semprit komisi nasional perlidungan anak, penulis sampai berandai-andai agar ada sosok seperti Kak Seto di Negeri Arab. Begitu juga contoh kecil sikap menghormati kepada yang lebih tua seakan-akan belum membudaya di Negeri Arab, di Indonesia penghormatan kepada yang lebih tua menjadi sebuah kearifan lokal yang harus ditanamkan dan ditekankan sejak dini, mulai dari sikap, cara bicara, bahasa, sampai penyebutan nama, yang mungkin menurut budaya negara lain disepelekan sedangkan di Indonesia hal seperti ini sangat diperhatikan, satu contoh kecil ketika berbicara dengan seseorang yang lebih tua, nada yang tinggi sangat dihindari, agar tidak terkesan menantang dan untuk menjaga perasaan, begitu pula dalam penyebutan nama jika seseorang lebih tua biasa dipanggil ‘Kakak’ atau ‘Bapak’ agar ada bedanya dengan memanggil sesamanya, uniknya kearifan lokal seperti ini ada di dalam Al-Qur’an: ”laa tarfa’uw aswaatakum fawqa shawtinnabiy wa la tajharu lahu bil qawli kajahri ba’dhikum liba’dhin” “jangan mengangkat suaramu lebih tinggi dari suara Nabi dan jangan memanggil Nabi seperti kamu memanggil sesamamu” Ayat ini dulunya diturunkan karena ada sahabat yang berbicara suaranya lebih keras dibanding suara Nabi, adab bicaranya nggak ada bedanya ketika berbicara dengan Nabi dan sesamanya dan perilaku seperti ini terkesan menantang dan takutnya bisa menyakiti perasaan Nabi, lah, sama orang Indonesia adab kesopanan yang pantas kepada Nabi ini dilakukan pula kepada orang yang lebih tua, guru, dan kepada seseorang yang dihormati, untuk menghindari kesan menantang dan menyakiti perasaan. Berbeda dengan yang terjadi di Negeri Arab sering Saya lihat seseorang yang lebih muda meninggikan suaranya walaupun lawan bicaranya lebih tua dan memang terkesan mengejek dan menantang, begitu juga adatnya disini pemanggilan namapun tanpa penambahan ‘Kakak’ atau ‘Bapak’, adat seperti ini, mengabaikan perbedaan antara yang tua dan yang muda sehingga tanpa disadari akan mengabaikan prinsip-prinsip penghormatan “dalam perkara lain” kepada yang lebih tua. Meskipun begitu ada juga diantara mereka yang memegang prinsip-prinsip menghormati dan menyayangi, dan penulis sangat mengaguminya, sehingga mereka Special Edition, Maret 2013

-24


pantas menjadi Uswatun Hasanah bagi masyarakat disekelilingnya sebagaimana Nabi Muhammad menjadi Uswatun Hasanah bagi ummatnya. Jiwa Sosial Rohingya memanas, rohingya bergeming, konflik yang menimpa masyarakat muslim Rohingya Myanmar memaksa mereka mengungsi ke daerah aman, bagaimana mungkin mereka bisa bertahan di tanah mereka, sedang rumah-rumah mereka dirusak, dan dibakar, Merekapun tak luput dari pembantaian, mereka mencoba mengungsi ke Bangladesh yang termasuk Negara Islam, alih-alih pemerintah Bangladesh menerimanya malah mereka ditolak mentah-mentah, setelah gagal mengungsi ke Bangladesh merekapun mencoba mengungsi ke Negara Singapura, dan Sri Langka tapi sikap yang sama diterima oleh para pengungsi Rohingnya, malahan Indonesia yang secara posisi geografis jauh dari Myanmar menawarkan para pengungsi Rohingya untuk mengungsi ke Indonesia, "Kami tidak mendapat pertolongan dimana-mana, di dalam, maupun di luar tanah air kami dan hanya saudara-saudari Muslim Indonesia yang kami lihat ada secercah cahaya harapan dan mengungkapkan persaudaraan kemanusiaan pada kami, yang kami cari selama ini," kata Imam Ahmed pemimpin Etnis Muslim Rohingya yang saya kutip dari situs Republika. Bahkan organisasi pertama yang berhasil masuk ke wilayah konflik pun dari Indonesia, yakni Palang Merah Indonesia (PMI) sehingga dengan masuknya PMI ke wilayah konflik Rohingnya bantuan sosial dan medis yang sebelumnya terhambat akhirnya dapat teratasi, Pernah suatu ketika Kami, Mahasiswa Asing asal Indonesia, dijamu makanan oleh Imam Masjid di rumah beliau, Imam Masjid itu menegur Kami agar tidak sungkan-sungkan dan malu-malu di rumah beliau, beliau bilang:�Jangan malu-malu di rumah saya, Saya membantu kalian seperti halnya kalian telah membantu para pengungsi Rohingya�. Kamipun sontak geer ketika itu. Organisasi Mer-C Indonesia sedang sibuk-sibuknya membangun Rumah Sakit Indonesia di wilayah rawan konflik Gaza Palestina yang dananya berasal dari sumbangan Masyarakat Indonesia, begitu juga relawan-relawannya juga datang langsung dari Indonesia, masyarakat Indonesia nggak tega melihat saudaranya, rakyat Palestina, menjadi korban keberingasan Rezim zionis, meskipun rudal-rudal Israel meledak di kanan-kirinya, tidak melemahkan semangat relawan-relawan dari Indonesia itu untuk segera menyelesaikan Rumah Sakit tersebut. "Mungkin uang yang dikumpulkan rakyat Indonesia tak seberapa nilainya. Tapi ruh perjuangan dan semangat untuk membantu saudaranya di Palestina itulah yang patut kita syukuri,"kata Dr. JoseRizal Pendiri Organisasi Mer-C Indonesia di dalam situsnya. Kebersamaan Dalam Keberagaman Konflik Syiah-Sunni lagi panas-panasnya di Timur Tengah yang Sunni ngebom Special Edition, Maret 2013

-25


Masjidnya Syiah saat Orang Syiah lagi sholat Jumat, lah yang Syiah nggak terima balik ngebom, yang satu Membunuh yang lainnya balas bunuh, konflik-konflik seperti itu parahnya malah dihalalkan oleh Ulama dari masing-masing pihak dan Saya Tanya kepada pembaca:”Siapakah pemenangnya?” jelas, bukan dari kedua belah pihak yang bertikai akan tetapi pihakpihak Asing pemenangnya, dan dengan banyaknya ekstrimis-ekstrimis yang suka ngebom itu berakibat pada kacaunya kondisi Negara sehingga memuluskan langkah Pihak Asing terlebih Amerika yang ngaku-ngaku Polisi Dunia untuk menginvasi dan merampas kekayaan alam Negara tersebut dengan dalih; “memerangi ekstrimis”. Indonesia yang ‘adem-adem ayem’, tentram, damai, menyulitkan pihak Asing untuk meng-Irak-kan Indonesia, atau meng-Afghanistan-kan Indonesia, atau mem-Pakistan-kan Indonesia, makanya kemarin ada konflik Syiah di Madura itu sangat menguntungkan pihak Asing yang berhasrat mengacak-acak Indonesia, mereka tentunya berharap konflik-konflik seperti itu meluas ke daerah-daerah lain sehingga memudahkan langkah mereka menjadikan Indonesia sebagai ‘mangsa berikutnya’,dengan kekayaan alam yang melimpah dan menggiurkan. Tapi sayang impian itu sulit terwujud karena Kyai-kyai Indonesia lebih suka menyelesaikan masalah dengan jalan dialog dan jauh dari tindak kekerasan dan itu berhasil, karena cara seperti itu mengikuti pesan Allah dalam Al-Quran:”ud’u ila sabiili robbika bil hikmati wal maw’idhoh hasanah ” “Ajaklah pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan perkataan yang baik” dan hubungan antara masyarakat dan Kyainya begitu kuat, karena memang kyai-kyai di Indonesia itu membaur, istilah jawanya ‘nggrappyak’ sehingga memudahkan untuk ‘liyundzira Qowmahum’ mengarahkan masyarakatnya. Penulis katakan berhasil karena peran Kyai-kyai di Indonesia mampu mengalahkan Ulama-ulama di Timur Tengah, bayangkan berapa banyak Ulama-ulama di Timur Tengah tapi tidak mampu mengarahkan masyarakatnya menghindari kekacauan di negerinya sana, mulai dari Arab Spring, konflik lintas aliran agama, atau intimidasi terhadap non-muslim, sedangkan Kyai-kyai di Indonesia mampu mengarahkan umatnya untuk menghindari kekacauan-kekacauan dan konflik yang tidak diperlukan seperti itu. Kerja keras Kyai-kyai di Indonesia pun bertambah semenjak masuknya faham-faham Islam garis keras atau istilah kerennya Islam Radikal, yang diimpor ke Indonesia akhir-akhir ini, faham yang mengkafirkan muslim diluar kelompoknya, ada pula yang sampai menghalalkan darahnya, dan bahkan nyawa orang nonmuslimpun dihargai murah dengan diledakkannya bom-bom teror di tempat ibadah, semua itu merubah wajah Indonesia yang awalnya ‘adem-adem ayem’ menjadi mengerikan, dan sekali lagi siapa yang diuntungkan? Siapa lagi kalau bukan pihak Asing. Untuk Apa? Apalagi kalau bukan mengacaukan kondisi Indonesia kemudian mengeruk kekayaan Alam Indonesia seperti negara lain yang sudahSpecial Edition, Maret 2013

-26


sudah. Tapi tetap semua bisa diatasi oleh Kyai-kyai Indonesia yang mampu mengarahkan masyarakatnya, sehingga Indonesia tidak bisa di-Irak-kan, di-libya-kan, atau di-pakistan-kan, apalagi di-afghanistan-kan. Karena itulah Kyai Musthofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus, sering diundang mengisi seminar ke berbagai negara untuk menjelaskan keberhasilan Indonesia menanangkal faham-faham Islam radikal. Penulis sangat mendukung sekali kegiatan-kegiatan ‘Banser’, salah satu badan otonom organisasi masa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, salah satunya menjaga tempat ibadah non-muslim yang memang minoritas dari seranganserangan teror, ketika mereka sedang melaksanakan ibadah, dan perlakuan seperti ini sulit kita temukan di Negara-negara Islam lainnya. Mungkin pembaca bertanyatanya apa saja sih sisi positif kegiatan banser tersebut? dan sayapun balik bertanya kepada para pembaca, bukankah Muslim Indonesia juga memiliki saudara-saudara Islam di Negara-negara lain dan jumlahnya itu minoritas? Kalau Muslim yang memang mayoritas di Indonesia mengintimidasi keberadaan non-muslim yang minoritas, tentu saudara muslim yang minoritas di Negara lain akan diusik pula, begitu juga sebaliknya kalau Muslim Indonesia menghargai dan menghormati mereka yang minoritas di Indonesia, tentu perlakuan yang sama akan diterima saudarasaudara muslim yang minoritas di Negaranya. Penulis mewanti-wanti Muslim Indonesia agar tidak terkikis kearifan lokalnya, sebab kearifan lokal Indonesia itu Kearifan Islam yang diidam-idamkan, dan Masyarakat Muslim Indonesia adalah Masyarakat Muslim yang sebenarnya. Guru saya, Pak Gunawan beliau bekerja di Bank Indonesia bidang Ekonomi Syariah, sering mengisi seminar diberbagai negara, bahkan Eropa sekalipun, pernah beliau mengatakan bahwa beliau punya kawan dari Australia, kawannya sering berkelana mempelajari Islam ke berbagai negara, dan kawannya mengatakan kalau Masyarakat Muslim Indonesia-lah muslim yang sebenarnya. Jadi nggak usah minder-minder lagi, atau ‘melu-melu’ budaya negara lain atau budaya impor, apalagi faham impor, sebab Indonesianya sendiri sudah luar biasa, kearifan lokalnya luar biasa, masyarakatnya luar biasa, Muslimnya luar biasa, memang Indonesia pantas jadi tujuan studi banding Muslim Sedunia.

Penulis : Muhammad (Nama pena), Mahasiswa s1 di Maroko.

Special Edition, Maret 2013

-27


Ilmu Bukanlah Beban Sejalan bergulirnya sang waktu diusia remajamu Hilangkanlah rasa ragu yang ada pada dirimu Hiasilah hari-harimu dengan senyum penuh ceria Sambutlah kehidupan nanti dengan sebuah cita

By: Kusnadi El-Ghezwa.

Rapikanlah pakainmu Tatalah indah rambutmu Siapkanlah mentalmu Bacalah pelajaranmu Jangan berfikir engkau menjadi apa Ataupun dapatkah mendapat kerja Apalagi takut tidak punya harta Hidup miskin penuh cerca dan hina Namun berfikirlah....... Apa yang akan kau perbuat Apa yang akan kau berikan Apa yang akan kau sajikan Apa yang akan kau suguhkan Apa yang akan kau hidangkan Di hari kehidupanmu nanti Cita-cita harus adanya Namun tidak harus menjadi nyata Kegagalan bukan berarti sirna Melainkan kenyataan tertunda Apapun yang terjadi, belajarlah selalu Jangan pernah patah semangatmu Kuatkanlah iman dan taqwa dihatimu Jadikanlah sabar sebagai penawar kegagalanmu Ilmu adalah keadilan dan cahaya Tuhan Jangan kau jadikan beban yang menakutkan Gali dan raihlah meski harus ke negeri senja Semoga Tuhan selalu meridhoi langkah kita Bersama alunan adzan subuh di Hay Riyad, Rabat. Maroko,20, April, 2012.

Special Edition, Maret 2013

-29



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.