
5 minute read
KEBERUNTUNGAN: PUNCAK RAPUH GUNUNG ES
Keberuntungan: Puncak Rapuh Sang Gunung Es
Oleh Vandana Budhi - FT 2017
Advertisement
Sejak dahulu, untung dan rugi adalah sepasang fenomena yang sangat menarik untuk dikaji. Nenek moyang kita pun telah mencoba berbagai metode untuk mengungkapkan tabir keberuntungan dengan cara yang umum disebut sebagai ramalan. Meskipun sering dianggap irasional, berdasarkan catatan sejarah, berbagai bentuk ramalan telah dipraktikkan di Tiongkok Kuno, Mesir, Kasdim, dan Babilonia sejak 4000 SM. Sampai sekarang, telah muncul beragam cara meramal seperti astrologi, numerologi, serta pemanfaatan benda-benda seperti kartu remi, daun teh, bola kristal, dadu, api, air, garam, dan lainnya. Malahan, praktik-praktik ini semakin menjamur bersamaan dengan perkembangan teknologi informasi.
Seiring dengan kemajuan di bidang pendidikan, sebuah kejadian pada suatu waktu dianggap mampu diprediksi dengan persentase kemungkinan yang berbedabeda. Sejak SD pun kita telah diajari konsep matematika terkait hal itu. Secara matematis, koin yang dilempar hanya dapat menunjukkan satu dari dua kemungkinan saat jatuh, yaitu antara angka atau gambar. Ketika perkiraan kita sesuai dengan kenyataan yang ada, terlebih lagi apabila kejadian tersebut dirasa sulit terjadi, hal itulah yang disebut dengan keberuntungan. Lantas bagaimana jika koin yang jatuh tidak mengalami salah satu dari keduanya? Bagaimana jika ada potensi kejadian ketiga yang sering diabaikan? Bukankah mungkin sebuah koin menggelinding dan berhenti berdiri setelah dilempar? Kejadian yang tidak terprediksi ini sering disebut sebagai serendipity atau kebetulan tak terduga.
Apabila dilihat dari kacamata Dhamma, sebenarnya keberuntungan dan serendipity tidak pernah berbeda, keduanya dapat dijelaskan berdasarkan hukum karma. Secara sederhana, kedua fenomena tersebut ada akibat dari bertemunya sebab dengan kondisi-kondisi yang tepat, sehingga menciptakan sesuatu yang menyenangkan. Kondisi di sini juga amat bervariasi tergantung pada sekecil apa kondisi tersebut dapat ditelusuri. Jangan pernah melupakan bahwa hal-hal baik, khususnya keberuntungan, merupakan hasil tumpukan karma baik yang mungkin telah dikumpulkan sejak masa yang tak terhitung lamanya. Nahasnya, keberuntungan ini sangat mudah untuk hilang, layaknya puncak gunung es yang terlihat amat indah, tetapi pijakannya tak pernah solid dan mudah hancur, bahkan ketika manusia tidak melakukan apa pun. Dalam masa sulit seperti beberapa bulan ke belakang, sebenarnya manusia tetap memiliki beragam keberuntungan. Entah disadari atau tidak, masih memiliki pekerjaan, mampu makan 3 kali sehari, memiliki lingkungan sosial yang suportif, dan tetap sehat selama pandemi adalah keberuntungan yang sangat berharga. Jika tidak setuju, coba bandingkan kondisi-kondisi tadi dengan pasien COVID-19 atau mereka yang kehilangan pekerjaan dan kesulitan makan selama pandemi berlangsung. Terlepas dari tingkat relativitasnya bagi setiap orang, keberuntungankeberuntungan ini haruslah disyukuri.
Berdasarkan Buddhisme, salah satu keberuntungan bagi seorang makhluk adalah dapat terlahir sebagai manusia. Bagi beberapa kalangan tertentu, perumpamaan dalam Bālapaṇḍita Sutta, Majjhima Nikāya 129 adalah kisah klasik yang sering didengar. Dalam sutta ini, terdapat perumpamaan tentang betapa sulitnya seorang makhluk untuk terlahir kembali sebagai manusia ketika ia terlahir di alam binatang. Dikisahkan ada seseorang yang melemparkan sebuah cincin ke laut dengan angin kencang yang bertiup tak tentu arah, sehingga cincin selalu terombangambing tanpa pernah diam. Kemudian, ada seekor kura-kura buta yang muncul

ke permukaan laut setiap satu abad sekali. Pertanyaannya, apakah kura-kura tersebut dapat memasukkan lehernya ke dalam cincin itu? Berapa lama waktu yang diperlukan? Ternyata menurut Sang Buddha, kura-kura itu memerlukan waktu yang lebih cepat untuk memasukkan kepalanya ke cincin tersebut daripada waktu yang diperlukan oleh seorang makhluk dari alam binatang untuk terlahir kembali sebagai manusia.
Fenomena ini dapat terjadi karena tidak ada praktik Dhamma yang dapat dilakukan di alam binatang. Sebagai binatang, hal yang dapat dilakukan hanyalah saling memangsa dan membantai makhluk yang lebih lemah, sehingga ia akan semakin banyak menciptakan karma buruk. Apabila suatu saat nanti ia terlahir kembali menjadi manusia, ia akan lahir dalam keluarga rendah, miskin, selalu kekurangan, hidup dalam kondisi sulit, buruk rupa, cacat, berpenyakitan, dan berperilaku menyimpang. Kemudian setelah melakukan perbuatan menyimpang dan meninggal, ia akan terlahir kembali di alam menderita.
Jika sekarang kita telah lahir sebagai manusia tanpa memiliki atribut-atribut di atas, maka dapat diasumsikan bahwa kita memiliki cukup karma baik dari kehidupan-kehidupan lampau. Jelas dengan “modal” ini kita harus terus berusaha agar menciptakan “keuntungan-keuntungan” lagi. Dikatakan untuk terlahir sebagai manusia yang didukung dengan kondisi baik memerlukan sebab dan kebajikan yang tak terhingga banyaknya, sehingga seseorang perlu mengembangkan moralitas (sila) dan sifat luhur yang sempurna (paramita) dengan tekun.
Kehidupan sebagai manusia bahkan diinginkan oleh para dewa. Dalam Pubbanimitta Sutta, Itivuttaka 83, ketika seorang dewa akan meninggal, dewa lainnya yang mengetahui ini akan mendorongnya dengan ucapan: “Pergilah dari sini, sahabat, ke tujuan yang baik. Setelah pergi ke tujuan yang baik, raihlah apa yang baik untuk diraih. Setelah mendapatkan apa yang baik untuk diraih, mantapkanlah diri di dalamnya.” Sang Buddha menjelaskannya sebagai berikut: “Kehidupan manusia itulah tujuan yang baik. Setelah menjadi

manusia, memperoleh keyakinan dalam Dhamma dan Vinaya adalah hal yang baik untuk diraih. Ketika keyakinan itu mantap dalam dirinya, berakar dalam, kuat, dan tidak dapat dihancurkan oleh makhluk manapun di dunia ini, inilah yang disebut dengan mantap.” Berdasarkan sutta ini, dapat disimpulkan bahwa hanya alam manusia yang mendukung pembelajaran Dhamma karena tidak terlalu menyenangkan maupun terlalu menyedihkan. Lalu, dikatakan dalam Dhammapada 182, tidak hanya sulit untuk dapat terlahir sebagai manusia dan bertahan hidup, tetapi juga sulit untuk dapat mendengarkan Dhamma, terlebih lagi hidup dan belajar Dhamma dalam periode Buddha mengajar. Sebab kelahiran seorang Buddha adalah sesuatu yang paling langka di dunia.
Mari kita renungkan kembali, jika kita melihat ke sekeliling, jumlah manusia lebih sedikit daripada jumlah binatang yang ada, sehingga dapat diasumsikan populasi manusia lebih sedikit daripada binatang. Kemudian dalam populasi manusia, terdapat sekitar 7.000 kematian bayi baru lahir setiap hari, yang merupakan 47% dari semua kematian anak di bawah usia 5 tahun pada tahun 2019 (WHO, 2020). Selanjutnya dari total populasi manusia sekarang, mungkin kurang dari sepersepuluhnya yang berkesempatan untuk mendengarkan Dhamma dan menjadi seorang Buddhis. Apalagi menjadi manusia yang belajar Dhamma selama periode 45 tahun Buddha Gotama mengajar di dataran India, tanpa adanya teknologi informasi yang maju. Meskipun demikian, janganlah bersedih karena kita masih hidup di zaman keberadaan Dhamma. Malahan, Dhamma telah tersebar ke penjuru dunia dan sangat mudah untuk diakses dari berbagai media.
Terlepas dari segala kondisinya saat ini, tubuh manusia yang kita miliki sangatlah rapuh. Walaupun dirawat sebaik mungkin, ia akan terus berderap mendekati kehancuran sebagai sebuah keniscayaan terhadap Sang Waktu. Jika dengan tubuh manusia pun kita masih beralasan tak mampu atau tak sempat untuk belajar dan praktik Dhamma, kapan lagi kita melakukannya? Layaknya sebuah puncak gunung es, tubuh manusia belum tentu akan bertahan lama seperti yang kita perkirakan dan sewaktu-waktu ia dapat mati dan hancur. Terlebih lagi, kondisi yang mendukung pembelajaran juga belum tentu datang setiap saat.
Jika sekarang kita telah memiliki cukup kondisi untuk belajar Dhamma maka lekaslah bergerak. Potensi keberuntungan tak akan pernah menjadi kenyataan apabila tak ada aksi untuk meraihnya. Memang wajar untuk menikmati hidup, tetapi amat salah ketika terbuai dan tidak berpraktik Dhamma. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan ini untuk sekadar lewat bagaikan setetes air di gurun pasir. Segera tentukan ke mana tujuanmu dan selamat berjuang! See you around!
(DAV/JAY)

Referensi : https://www.britannica.com/topic/fortune-telling https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/balapandita-sutta/ https://www.dhammatalks.org/suttas/KN/Iti/iti83.html https://www.accesstoinsight.org/ptf/dhamma/sagga/loka.html https://www.dhammacakka.org/?channel=ceramah&mode=detailbd&id=458 https://dagporinpoche.id/ajaran/tahapan-jalan/menjadi-buddhis/kelahiranmanusia-yang-berharga/ https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/newborns-reducing-mortality