5 minute read

Pandemonium: Tumpukan Kesalahan Manusia Oleh Vandana Budhi (FT-2017)

Perkembangan teknologi sering dijadikan bukti tak langsung bahwa manusia adalah makhluk tercerdas di Bumi. Hal tersebut didukung oleh fakta bahwa kita, manusia, merupakan makhluk yang tetap “menginvasi Bumi" selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Hal ini terlihat dari banyaknya spesies hewan yang telah punah akibat perburuan dan juga sumber daya alam yang habis dieksploitasi. Sangatlah wajar jika dikatakan bahwa moral manusia semakin buruk seiring dengan majunya peradaban. Kemajuan peradaban tidak didukung oleh penggunaan nurani, melainkan dipupuk oleh keserakahan sehingga mengesampingkan akibat yang dapat terjadi. Bahkan dengan jumlah populasi yang lebih dari 7 miliar, lebih banyak lagi hal negatif yang dapat terjadi di masa depan.

Di masa ini, manusia juga semakin dimanjakan oleh kemudahan dan kestabilan. Semuanya menggandrungi halhal cepat dan praktis, terlebih lagi di era persaingan bebas. Lambat laun, manusia menjadi ketagihan untuk mendapatkan kestabilan dalam berbagai bidang, khususnya bagi generasi muda. Saat ini pun, manusia sudah mulai lupa bahwa tidak ada hal berkondisi yang bertahan selamanya. Contoh konkretnya ada di tahun 2020 ini. Di tahun ini, banyak berita buruk yang muncul secara alami maupun akibat campur tangan manusia. Kebakaran besar di Australia, ancaman perang dunia ketiga, banjir di penjuru Indonesia, kerusuhan di India, dan menyebarnya pandemi COVID-19 adalah sedikit dari berbagai kejadian menyedihkan yang kita rasakan. Kejadiankejadian tersebut sukses mengguncang kestabilan manusia dan mengajarkan kembali arti penting dari ketidakpastian yang pasti selalu membayang seiring berjalan waktu.

Advertisement

Ketika merasakan kejadiankejadian tersebut, mungkin ada sebagian dari kita yang mempertanyakan mengapa hal itu dapat terjadi, mengapa tidak ada prediksi sebelumnya atau bahkan siapa lagi yang patut disalahkan. Padahal bila kita berkaca pada diri sendiri, kita turut berkontribusi dalam kejadian tersebut. Secara sadar maupun tidak, kita semua bertanggung jawab dalam menciptakan pandemonium kita sendiri, menciptakan kekacauan yang menimpa kita nantinya.

Terlebih lagi, kita dapat menciptakan kekacauan tak terkendali, bahkan sejak hal itu masih berada di pikiran kita. Jangan pernah lupa bahwa pikiran adalah pelopor dan kita adalah pewaris dari karma kita sendiri. Karma di sini akan kita peroleh dalam bentuk kebiasaan dan lingkungan atau didapatkan melalui makhluk lain. Selanjutnya, perlu digarisbawahi pula bahwa setiap individu memiliki kecenderungan yang berbeda sesuai dengan karma dan kondisi batin masing-masing. Sehingga, mungkin saja ada pandemonium personal yang menerpa, yang pasti berbeda bagi setiap individu. Oleh sebab itu, kita harus secepatnya mengikis karma buruk dengan mulai membiasakan diri untuk berbuat baik.

Dalam Buddhisme, kekacauan tersebut juga terjadi akibat adanya kombinasi faktor-faktor lain. Kita pasti mendapatkan buah dari benih karma yang kita tanam, tetapi jangan lupa bahwa tidak ada benih yang dapat tumbuh di udara. Hukum Karma sebagai salah satu hukum alam universal (Panca Niyama*) tak pernah berdiri sendiri. Banyak faktor yang dapat memengaruhi besar kecilnya akibat karma, misalnya: cuaca, iklim, dan bahkan kembali lagi ke perbuatan kita sendiri.

Ketika kita berbicara tentang cuaca dan iklim, tidak salah jika ada yang berkata bahwa kekacauan di tahun 2020 merupakan teguran alam kepada manusia. Alam telah mengajarkan kembali tentang sebab-akibat dari sebuah tindakan yang mungkin bukan dengan cara yang halus. Ketika manusia menebar bibit bencana bertahuntahun lalu, bukankah wajar jika kita memetik buahnya sekarang?

Sebenarnya, parah atau tidaknya suatu kekacauan bukan karena faktor eksternal. Pandemonium ini terasa parah justru akibat ulah manusia itu sendiri. Pemberitaan yang sangat cepat, penggunaan teknologi informasi, dan kemudahan akses pengetahuan rupanya tidak membuat

manusia mengedepankan logika dan nurani dalam bertindak. Meremehkan, berkata kasar, dan saling menyalahkan adalah hal biasa di media sosial. Tak sedikit pula yang terbuai oleh kepanikan saat kestabilan mereka terancam hancur. Banyak tindakan egois dalam masyarakat yang terlihat jelas, khususnya dalam menghadapi pandemi COVID-19, seperti: panic buying, penipuan, dan penyebaran hoax.

Dalam upaya untuk menghindari sifat-sifat buruk tersebut, pastinya diperlukan latihan peningkatan kedisiplinan dan kemoralan diri. Salah satu caranya adalah dengan melaksanakan Pancasila dengan sungguh-sungguh. Terlihat mudah memang, tetapi apakah diantara kita ada yang pernah melaksanakan Pancasila secara sempurna di waktu biasa? Jika pernah, tentu akan terasa manfaatnya dan pasti bukan termasuk golongan manusia tersebut. Jika belum, inilah saat yang tepat untuk mengubah diri, walaupun tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Bukankah tak ada yang salah dalam memperbaiki diri?

Setelah kita pahami lebih jauh, mungkin akan timbul sebuah pemikiran bahwa pada dasarnya manusia pasti tidak mampu mempertahankan kestabilan yang mereka dapatkan. Secara logika tentu tak salah, namun Dhamma tak melulu tentang logika, bukan? Kesalahan manusia adalah mencari kestabilan di luar diri sendiri. Ketika kita terus berusaha untuk memuaskan nafsu, kita pasti akan menemui kegagalan dan akan semakin menderita. Untungnya, Buddhisme menawarkan sebuah konsep tentang kestabilan yang mampu diterapkan setiap saat.

Empat keadaan batin yang luhur (Brahmavihara), khususnya keseimbangan batin (Upekkha), adalah konsep yang cocok dipergunakan dalam segala kondisi. Upekkha adalah keadaan tidak terganggu terhadap perubahan dari dalam maupun dari luar diri. Upekkha juga meredam reaksi berlebihan terhadap hal yang disukai dan dibenci dengan sama baiknya dan tidak memihak. Dengan mengembangkan Upekkha, kita akan memahami bahwa hanya diri sendiri yang mampu kita kendalikan. Apapun yang kita lakukan tidak akan berdampak kecuali didukung oleh karma dan kondisi yang sesuai.

Dalam Brahmavihara, Upekkha diibaratkan sebagai mahkota di atas Metta, Karuna, dan Mudita. Tanpa adanya Upekkha, tiga keadaan lainnya dapat terpisah, kurang stabil, dan menyusut kualitasnya. Hanya Upekkha yang mampu menyatukan ketiga keadaan tersebut menjadi harmonis, di mana masing-masing keadaan menunjukkan karakteristik terbaiknya dan menghindari kelemahannya sendiri.

Dalam pelaksanaannya, Upekkha tidak dapat dilatih secara cepat. Upekkha dapat dilatih ketika ketiga keadaan lainnya turut dilatih. Karena pada dasarnya mereka adalah sebuah perwujudan batin yang sempurna. Mungkin hal inilah yang menjadi kendala dalam pembelajaran Dhamma di zaman modern ini. Penting untuk diingat jika Dhamma bukanlah mie instan yang dapat disantap dalam waktu tiga menit setelah dimasak. Dhamma adalah harta yang tak ternilai sehingga wajar apabila pembelajaran Dhamma membutuhkan proses panjang yang penuh tantangan.

Sebagai penutup, amat disayangkan jika kelahiran sebagai manusia yang berharga ini hanya diisi oleh kumpulan perbuatan buruk. Jika memang manusia adalah makhluk cerdas yang dapat belajar untuk berpikir dan bertindak benar, maka sudah sepantasnya bagi manusia untuk terus menjaga Bumi. Kita juga harus mengendalikan diri dan terus berbuat baik agar tidak ada pandemonium yang terjadi lagi. Ingatlah bahwa pandemonium tercipta oleh tumpukan kesalahan manusia yang sebenarnya dapat dihindari. Jadi, yuk berubah ke arah yang lebih baik!

Referensi:

https://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/ brahmavihara-empat-keadaan-batin-luhur/ https://tricycle.org/magazine/equanimity-everybite/

(SAL/GRA)

This article is from: