7 minute read

How Fortunate Is It On Being A Buddhist?

Oleh: Venessa Chai – FKUI 2019

Advertisement

Pernahkah Anda merasa beruntung terlahir sebagai seorang Buddhis? Lantas, bagaimana cara kita mengoptimalkan hidup yang singkat ini? Apakah ada cara mengontrol diri menuju kesuksesan menurut pandangan Buddha?

Lahir sebagai manusia tidaklah mudah, apalagi bisa menjalaninya dengan baik dan bertemu dengan ajaran yang benar.

Dalam agama Buddha, kelahiran sebagai manusia diibaratkan sebagai kura-kura di dasar samudra yang muncul ke permukaan setiap 100 tahun sekali, dan kepalanya harus bisa masuk ke tengah lubang di sebuah kayu yang mengapung di samudra.

Mereka yang berhasil terlahir sebagai manusia pun belum tentu dilahirkan sempurna.

Terdapat 3 jenis manusia menurut patisandhi citta, yaitu ahetuka manussa, dvihetuka manussa, dan tihetuka manussa.

Ahetuka manussa merupakan jenis manusia yang dilahirkan cacat sejak lahir, terdiri dari buta tuli, cacat penciuman, bisu, bodoh luar biasa, banci, berkelamin dua, tidak mempunyai kelamin, dan gagap.

Dvihetuka manussa merupakan jenis manusia normal yang sulit memahami dan merealisasikan dhamma sehingga hidupnya sulit untuk berbahagia.

Tihetuka manussa merupakan jenis manusia yang dilahirkan normal dan mudah memahami serta merealisasikan dhamma sehingga hidupnya lebih bahagia.

Jenis manusia yang manakah Anda?

Setiap harinya kita akan pergi untuk bekerja atau bersekolah, kemudian bertemu dengan kesulitan, amarah, dan kesedihan. Ketika akhir pekan tiba, kita akan merasa senang karena dapat bersantai hingga bepergian.

Siklus ini akan terus berulang tanpa henti hingga akhir hayat. Hidup hakikatnya adalah rangkaian dari melihat, mendengar, mencium, mengecap, meraba, dan berpikir yang silih berganti dan berkesinambungan sejak lahir hingga parinibbana.

Lantas, apakah Anda sudah merasa bahagia dengan siklus hidup yang seperti ini?

Untuk mencapai kebahagiaan, Anda perlu memiliki tujuan/arah hidup yang jelas. Dalam agama Buddha, kita semua pasti mengetahui bahwa tujuan akhir hidup adalah untuk mencapai Nibbana. Namun, tidak semua manusia dapat menjadi Bhikkhu.

Manusia memiliki kewajiban untuk memberi makan keluarganya, bekerja mencari nafkah, menyembuhkan pasien, dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, Sang Buddha sebenarnya tidak hanya mengajarkan kita untuk mencapai Nibbana, tetapi juga mengajarkan kita untuk memiliki cita-cita atau tujuan yang boleh diimpikan dan diraih.

Lima cita-cita wajar tersebut yaitu, memiliki umur panjang, tubuh rupawan, kemasyuran, kebahagiaan, dan dilahirkan di surga.

Kelima cita-cita ini akan menuntun manusia menuju sukses dan kebahagiaan.

Dalam mengupayakan cita-cita dan menjalani kehidupan, tingkah laku manusia terbagi atas manussa niraya, manussa peta, manussa tiracchana, manussa manussa, dan manussa deva/brahma.

Manussa niraya merupakan manusia yang pikirannya seperti makhluk neraka, selalu diliputi ketidaksenangan, kebencian, dan derita tanpa akhir.

Manussa peta merupakan manusia yang selalu serakah seperti setan kelaparan.

Manussa tiracchana merupakan manusia yang bertingkah laku seperti binatang, tidak dapat membedakan mana yang baik dan buruk.

Manussa manussa merupakan manusia yang bertingkah laku layaknya manusia, menjalankan kehidupan sesuai moral dan tata tertib.

Manussa deva merupakan manusia yang bertingkah laku mirip makhluk surgawi, yaitu sangat murah hati, sabar, berpengendalian diri, bermoral, dan senang berlatih samadhi.

Lalu, bagaimanakah tips and tricks yang dianjurkan oleh Sang Buddha agar cita-cita yang diinginkan dapat tercapai?

Berdasarkan Aṅguttara Nikāya 8.54. Dīghajāṇu, resep mencapai cita-cita yang diinginkan adalah dengan berperilaku rajin, semangat, ulet, waspada/ hati-hati, memiliki relasi yang baik, dan hidup dengan seimbang.

Perilaku rajin dapat timbul apabila seseorang memiliki tujuan dan motivasi yang jelas.

Berperilaku ulet artinya tidak mudah menyerah dan selalu bersemangat walaupun mengalami berbagai kesulitan.

Ketika memperoleh hasil yang diinginkan (sebagai contoh kesehatan, jabatan, gelar, kekayaan, dan lainlain), seseorang wajib waspada dan berhati-hati dalam menjaga pencapaian tersebut agar tidak terjadi penurunan.

Oleh sebab itu, kita memerlukan relasi yang baik (surround yourself with good people). Contohnya, jika sedang malas, bergaul-lah dengan orang-orang yang rajin dan hebat sehingga kita dapat termotivasi untuk menjadi lebih baik.

Hidup juga harus seimbang, contohnya menyeimbangkan waktu belajar, bermain, dan beristirahat. Jangan bermain terus tanpa belajar atau belajar terus tanpa beristirahat.

Selanjutnya, bagaimanakah cara untuk meraih cita-cita yang kita impikan dan mempertahankan hasil yang sudah kita dapatkan untuk masa depan?

Kita harus memiliki keyakinan, moralitas, pengorbanan dan kebijaksanaan.

Pertama, kita harus yakin bahwa pada masa depan, kita memiliki peluang untuk sukses dan menggapai impian kita. Dengan begitu, kita akan semakin rajin, semangat dan ulet.

Kedua, moralitas harus selalu dijaga agar hasil yang dicapai tidak menurun atau merosot, sebagai contoh reputasi dan kesehatan seseorang berkurang karena moralnya hancur.

Ketiga, kita harus melakukan pengorbanan. Ibaratnya, ketika kacang yang kita tanam panen, lalu hasil panen kita makan semua, seluruh hasil panen tentunya akan habis. Namun, jika setengah hasil panen kita makan dan setengah sisanya kita tanam kembali, maka kacang yang kita miliki tidak akan habis, tetapi terus ada atau bahkan bertambah banyak.

Begitu juga dengan manusia, kita harus dermawan, bertangan terbuka, senang memberi dan berbagi.

Keempat, setiap usaha dan perbuatan yang kita lakukan harus disertai dengan kebijaksanaan. Selanjutnya, bagaimana bila seseorang terus gagal meskipun sudah berusaha berulang kali?

Seseorang yang terus gagal meskipun sudah berusaha berulang kali seharusnya melakukan analisis penyebab kegagalan tersebut. Hasil analisis kemudian disesuaikan dengan usaha yang telah dilakukan selama ini.

Selanjutnya, implementasikan dan lihat lagi bagaimana hasil dari usaha tersebut. Jika masih gagal, ulangi lagi mulai dari analisis, penyesuaian, dan implementasi.

Sambil melakukan hal ini, seseorang tentunya harus berperilaku rajin, semangat, ulet, waspada, memiliki relasi yang baik, dan hidup dengan seimbang, yang disertai dengan keyakinan, moralitas, pengorbanan dan kebijaksanaan yang telah diuraikan sebelumnya.

Emosi juga sangat berperan penting dalam mencapai kebahagiaan di kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupan sehari-hari, kontrol emosional dapat dipraktikkan dengan menggunakan ABCD.

Pertama, kita amati setiap gejolak di dalam setiap aktivitas kehidupan.

Kedua, kita bangun kesadaran dan pemahaman terhadap gejolak tersebut, apakah terdapat manfaat atau justru kerugian yang terjadi. Jika timbul kerugian, maka cepat lepaskan (let go) dan lakukan daya upaya positif. Daya upaya positif terdiri dari upaya untuk memadamkan hal negatif yang ada, mencegah hal negatif yang belum muncul, meningkatkan hal positif yang ada, dan memunculkan hal positif yang belum pernah muncul.

Sebagai contoh, kita merasa kesal, marah dan jengkel karena harus mengantre toilet yang sangat ramai saat istirahat makan siang. Maka, kita amati apakah ada gejolak batin yang sedang timbul saat itu.

Selanjutnya, kita sadari gejolak ini ternyata tidak menyenangkan dan tidak membantu antrean memendek atau menjadi cepat, malah menyebabkan hubungan pertemanan dengan orang yang mengantre menjadi retak. Karena kita mengetahui gejolak ini tidak berguna, maka cepat lepaskan dan buang gejolak ini.

Kemudian, lakukanlah daya upaya positif dengan cara berkata hal-hal baik, seperti mendoakan buang air menjadi lancar dan semoga berbahagia. Dengan begitu, pikiran orang yang mengantre, orang di dalam toilet dan kita sendiri akan menjadi lebih bahagia dan positif. Pikiran buruk dan kebencian menjadi lebih berkurang.

Oleh sebab itu, mempraktikkan kontrol emosi yang baik dalam kehidupan sehari-hari ternyata dapat membuat batin lebih gembira dan bahagia sehingga mengarahkan kita menuju Nibbana.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca untuk menemukan kebahagiaan dan mencapai impiannya masing-masing.

Penulis dan segenap keluarga KMB BEM IKM FKUI mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada PMd. Ir. Selamat Rodjali CHt®️, CPS®️ yang sudah menjadi narasumber dalam Dhammaclass KMB BEM IKM FKUI yang bertajuk “How Fortunate Is It on Being A Buddhist?” yang dibuka ke publik untuk pertama kalinya.

Tulisan ini dibuat berdasarkan pemahaman penulis terhadap Dhammaclass tersebut sehingga penulis memohon maaf apabila terdapat katakata yang kurang berkenan. Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali seberapa beruntungnya kita dapat terlahir sebagai seorang Umat Buddha.

“Kiccho manussapatilābho, kiccham maccāna jīvitam” “Kiccham saddhammassavanam, kiccho buddhānam uppādo’ti.”

“Sungguh sulit untuk dapat terlahir sebagai manusia, sungguh sulit untuk dapat bertahan hidup, sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Dhamma, sungguh jarang terjadi kelahiran para Buddha.” (Dhammapada Buddha Vagga XIV, 182)

This article is from: