rentetan_bom_di_indonesia

Page 1


2012



KATA PENGANTAR PENERBIT

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang menciptakan dunia dengan penuh kemajemukan. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, insan mulia yang menjunjung tinggi kerukunan hidup bermasyarakat yang penuh perbedaan. Syukur alhamdulillah penerbitan e-book Rentetan Peristiwa Teror di Indonesia: Dari Bom Bali Hingga Bom Buku akhirnya terlaksana. Karya ini adalah bagian kecil dari perjuangan anak-anak bangsa membangun dan memelihara kehidupan harmonis di antara seluruh warga masyarakat Indonesia. Di dalamnya, direfleksikan berbagai aksi teror yang melanda Tanah Air pada dua dekade terakhir dari saat ini. Dari e-book ini diharapkan masyarakat Indonesia selalu sedia dan waspada terhadap ancaman paham radikalisme ataupun terorisme. Naif kiranya menilai karya kecil ini mendekati kata sempurna. E-book ini masih membutuhkan masukan, kritik dan perbaikan. Dengan hati tulus, Lazuardi Birru sangat terbuka untuk menerima kritik yang membangun dari para penikmat e-book ini. Semoga ebook ini bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Terima kasih.


KATA PENGANTAR PENULIS Segala puji senantiasa tercurahkan kepada Allah SWT, yang senantiasa memberikan kepada kita taufiq, hidayah dan inayah-Nya. Salawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, sang pencerah, Nabi Muhammad SAW, semoga kita senantiasa didaku sebagai umat Muhammad dan mendapatkan syafa’at di akhirat kelak. Penulis sangat bahagia dan senang tiada terkira dapat mempersembahkan buah pikiran dan karya berjudul “Rentetan Peristiwa Teror di Indonesia: Dari Bom Bali hingga Bom Buku�. Buku ini merupakan elaborasi penulis dalam menelaah kasus terorisme di Indonesia berikut akar-akarnya. Buku ini muncul untuk ikut hadir memberikan elaborasi mengenai terorisme dan radikalisme beragama (Islam). Terorisme dan radikalisme sungguh sangat tidak kompatibel dengan semangat Islam rahmatan lil alamin. Buku ini muncul dalam suatu momentum yang tepat pada saat kasus-kasus pengeboman, terorisme, intoleransi beragama sering meletup di masyarakat Indonesia. Buku ini terdiri dari lima bab. Bab pertama menerangkan tentang bagaimana sejarah Islam yang damai telah masuk ke bumi Nusantara. Bagaimana medianya, siapa tokohnya dan dari mana asalnya. Bab kedua menerangkan akar radikalisme dan terorisme. Pada studi kasus beberapa kelompok radikal Islam, kedua paham yang berbahaya itu ternyata berakar dari pemahaman yang sempit dan fanatisme buta terhadap teks-teks kitab suci Alquran. Di samping itu, perasaan atas adanya ketidakadilan global juga turut berperan memunculkan gerakan Islam radikal yang melakukan aksi-aksi teror.


Bab ketiga bertema rentetan kasus terorisme di Indonesia. Dalam bab ini penulis melacak peristiwa pengeboman dan berbagai aksi teror lainnya yang bertubi-tubi melanda bumi pertiwi, mulai aksi Bom Bali I hingga Bom Buku di Jakarta. Dalam hal ini, penulis merujuk kepada data-data yang diberikan Badan Nasional Penanggulangan Terosrisme yang dipresentasikan Ketua BNPT, Ansyad Mbai, dalam acara Rakornas Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama Region VI di Magelang pada 29 April 2012 lalu. Bab keempat mengulas tentang peranan generasi Muda dalam mengkampanyekan Islam yang rahmatan lil alamin. Dalam Bab IV ini, penulis mengelaborasikan kondisi psikologis generasi muda yang rawan dibajak paham terorisme dan perspektif idealitas pemuda dalam kampanye Islam rahmatan lil alamin. Bab kelima adalah penutup dan saran. Buku ini penulis persembahkan kepada Abah tersayang, H. Muhsin Ali, yang masih dalam masa penyembuhan dari sakit dan kepada istri, serta si kecil tercinta. Semoga bermanfaat, selamat membaca!

Jepara, 14 Juni 2012

Sholahuddin, M.A


HALAMAN PERSEMBAHAN

• Untuk Abah, semoga sehat selalu • Untuk Istriku, Fidlis Sa’adah • Untuk Putriku, Ahla Alma’ Tsuroyya


DAFTAR ISI SEJARAH ISLAM DAMAI DI INDONESIA ............................................1 A. Teori Datangnya Islam di Indonesia .............................................1 B. Media Dakwah Islam ...................................................................3 C. Faktor Pendorong Islam Diterima Penduduk Nusantara.................8 D. Kesimpulan ..................................................................................8 AKAR RADIKALISME AGAMA .........................................................10 A. Definisi dan Karakteristik Radikalisme ......................................10 B. Sejarah Munculnya Radikalisme ............................................... 12 C. Pandangan Islam terhadap Radikalisme ...................................16 D. Kesimpulan ...............................................................................18 RENTETAN AKSI TEROR DI INDONESIA ............................................19 A. Penyebab Terorisme ....................................................................19 B. Kasus Terorisme di Tanah Air .......................................................20 C. Terorisme dan Jihad .................................................................... 26 RADIKALISME DAN TERORISME MENYASAR GENERASI MUDA A. Masa Muda Masa Mencari Jatidiri ...............................................40 B. Membentengi Pemuda dari Propaganda Terorisme .................... 42 PENUTUP ...................................................................................... 50 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 52 Biodata Penulis ............................................................................... 54


SEJARAH ISLAM DAMAI DI INDONESIA A.

Teori Datangnya Islam di Indonesia

Secara bahasa, kata Islam merupakan derivasi dari kata aslamayuslimu–islaman, yang berarti berserah diri kepada Tuhan, atau bisa juga berasal dari kata salima yang berarti selamat. Bentuk subjek dari kata aslama adalah muslim, yaitu orang yang mempercayai satu Tuhan (monoteisme), yaitu Allah1. Sebagai sebuah agama yang masuk dalam rumpun agama Ibrahim (Abrahamic religion), Islam merupakan agama yang bercirikan kedamaian, hal ini bisa ditengok dari akar kata Islam sebagaimana penulis sebutkan di atas. Berbeda dengan Islamisasi wilayah Persia dan Turki yang banyak melibatkan kekuatan militer, Islam menyebar di kawasan Asia Tenggara dan pada khususnya di Indonesia melalu jalan damai (penetration pacifique)2 . Agen islamisasi pada wilayah ini pada umumnya ialah pedagang Muslim dan guru-guru sufi pengembara, bukan laskar militer yang datang untuk mengekspansi wilayah lain. Konsekuensi atas penyebaran Islam yang seperti itu menghasilkan wilayah regional Selat Malaka dan Nusantara menjadi kawasan berpenduduk Muslim yang relatif tidak ter-Arab-isasi. Mayoritas penduduk di kepulauan Nusantara menerima Islam secara berangsurangsur, bukan secara langsung dan eksklusif menerima Islam yang sangat Arab itu. Dengan demikian, umat Muslim Melayu-Nusantara tidak menerima budaya Arab secara keseluruhan sehingga menghilangkan 1. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 654. 2. Azyumardi Azra, “Bahasa Politik Islam di Asia Tenggara: Pengantar Penjelajahan�, dalam Islamika, No. 5 Juli-September 1994, 33.


budaya lokal mereka. Sebaliknya, warna lokalitas budaya demikian menonjol dalam perjalanan Islam di kawasan ini. Hal ini paling terlihat pada pengalaman dakwah Islam yang dilakukan oleh Walisongo di Pulau Jawa. Meskipun kawasan Indonesia merupakan kawasan yang paling kurang ter-Arab-isasi, Bahasa Arab tetap memainkan peranan yang penting dalam kehidupan sosial keagamaan umat Islam. Salah satu bahasa yang banyak menerima pengaruh Bahasa Arab adalah Bahasa Melayu yang kemudian diadopsi menjadi Bahasa Indonesia. Hasilnya, terdapat banyak kosakata serapan dari Bahasa Arab dalam khazanah sastra Bahasa Indonesia, seperti rakyat (ra’yatun), musyawarah (syuraa), majelis (majlis), wakil (wakiil), umat (ummatun), dan kata serapan lainnya. Ada beberapa teori tentang masuknya Islam ke Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia adalah pada abad ke-7. Hal ini berdasarkan pada catatan Al-Mas’udi, yaitu pada tahun 675 M terdapat utusan dari Kerajaan Arab Muslim di Timur Tengah yang berkunjung ke Kalingga, salah satu kerajaan tua di Nusantara. Dalam catatan itu disebutkan bahwa pada 648 M telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera. Teori yang lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada Abad ke-11 M. Data yang menguatkan hal ini adalah ditemukannya makam panjang di daerah Leran, Manyar, Gresik, Jawa Timur, yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasasti huruf Arab dengan tulisan kaligrafi model Riq’ah yang berangka tahun 1082 M3 .

3. Lihat Diktat Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, kelas IX Madarasah Tsanawiyah, (Jepara: Al-Kautsar, tt), 5-6.


B.

Media Dakwah Islam

Ada beberapa jalan yang dilalui para pedagang Muslim dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Di antaranya adalah sebagai berikut. 1.

Perdagangan

Salah satu alat yang paling efektif dalam penyebaran Islam yang dilakukan oleh para dai pada masa awal Islam di Nusantara adalah perdagangan. Proses islamisasi ini dilakukan oleh para pedagang sekaligus dai dari Gujarat, suatu wilayah di India bagian selatan. Mereka memperdagangkan emas dan rempah-rempah. Para pedagang Muslim itu sebenarnya hanya singgah sementara di Selat Malaka sebelum meneruskan pelayaran ke tujuan selanjutnya, yaitu China4. Karena saat itu sarana transportasi yang digunakan untuk berlayar sangat mengandalkan angin musiman, maka dalam masa persinggahan mereka di Nusantara, mereka memiliki waktu untuk berinteraksi dengan penduduk Nusantara. Para penyebar Islam itu memanfaatkan arah angin muson barat untuk berlayar ke timur, dan memanfaatkan angin muson timur untuk berlayar ke barat. Sedangkan pergantian arah angin muson itu terjadi setiap enam bulan, jadi bisa dipastikan mereka berada di Malaka selama kurang lebih enam bulan itu. Interaksi dan perdagangan pun terjadi antara para pedagang Muslim dengan penduduk lokal, bahkan hal ini menjadi semacam pintu gerbang pergaulan antarbangsa.

4. Para pedagang penyebar Islam itu menjadikan China sebagai negeri tujuan utama selain karena di China terkenal dengan komoditi produk-produk tekstil dan keramik yang bernilai tinggi di pasar internasional kala itu, mereka juga terinspirasi dengan adagium yang populer dalam Islam, Uthlubul Ilma Walau Bisshiin (carilah ilmu walaupun sampai ke negeri China). China menjadi daerah tujuan perdagangan mereka karena China sudah begitu terkenal dengan kemajuannya sejak zaman Rasulullah.


Pergaulan yang saling menguntungkan itu kemudian menyebabkan keakraban yang spesial antara penduduk lokal dengan para pedagang Muslim. Dimulai dari keakraban yang terjalin itu kemudian para pedagang Muslim mengenalkan agama Islam ke penduduk lokal. Awal rintisan agama Islam memang kebanyakan berada di daerah dekat pelabuhan. Seiring waktu berlalu, banyaknya raja dan bangsawan yang menerima Islam semakin memuluskan jalan masuknya Islam di Nusantara hingga ke daerah pelosok. Hal ini sesuai dengan struktur budaya yang berlaku pada masa itu bahwa apapun yang dianut oleh seorang raja akan dianut pula oleh rakyatnya. Itulah sebabnya setelah raja-raja di Nusantara memeluk Islam maka proses Islamisasi ke daerah pedalaman semakin lancar. Dari penyebaran Islam tersebut, pada perkembangan berikutnya tumbuh beberapa kerajaan yang menjadi pusat penyebaran Islam di Indonesia. Dengan adanya perasaan saling membutuhkan secara terus menerus antara para dai Muslim dan penduduk lokal yang belum lama memeluk Islam, maka pencampuran budaya pun terjadi. Para pedagang Muslim yang datang dari negeri asing diberikan hak istimewa untuk menetap dan membentuk perkampungan Muslim baru di sekitar pelabuhan. 2.

Perkawinan

Keberadaan pedagang Muslim yang menetap di Indonesia menyebabkan kerekatan hubungan mereka dengan penduduk lokal semakin kuat. Jalinan perkawinan antara keluarga pedagang Muslim dan penduduk lokal pun tidak terbendung. Para dai dan saudagar Muslim yang rata-rata pria menikahi wanita-wanita penduduk asli tempat mereka singgah. Tidak jarang para saudagar Muslim memperistri putri


bangsawan atau wanita dari kalangan kerajaan. Dari jalinan perkawinan itu, banyak kerabat dari kerajaan kemudian tertarik memeluk Islam. Demikianlah awal dakwah Islam melalui lembaga perkawinan di Nusantara terjadi. Di antara contoh islamisasi Nusantara melalui jalan perkawinan adalah pernikahan Maulana Ishak dengan putri raja Blambangan yang kemudian melahirkan Sunan Giri. 3.

Asimilasi Budaya

Penyebaran Islam di Nusantara juga mengalami keberhasilan melalui jalan dakwah yang akomodatif terhadap budaya lokal. Para pedagang sekaligus dai yang singgah di Nusantara menyiarkan Islam dengan keluhuran budi pekerti. Dalam berdagang dan berinteraksi dengan siapa pun terutama dengan penduduk lokal, mereka selalu bersikap jujur. Jalan dakwah yang mereka tempuh cenderung menampakkan elastisitas serta kesesuaian Islam di mana pun tempat, kapan pun berada, dan kepada siapa pun disampaikan. Para dai melebarkan sayap dakwah dengan strategi asimilasi nilai Islam dengan budaya lokal yang telah mendarah daging dalam diri masyarakat lokal, bukan secara frontal mengabaikannya. Dari kejujuran dan kebaikan hati para dai tersebut, serta dari image betapa akomodatifnya Islam, tersirat keindahan Islam sehingga masyarakat simpatik dan tertarik untuk mengenal Islam. Sebagai contoh model dakwah seperti itu yang menuai kesuksesan adalah dakwah Sunan Kalijaga di Demak yang mengasimilasikan kebudayaan wayang dengan ajaran dan nilai-nilai Islam. Selain itu, di Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645), muncul budaya garebeg yang pada mulanya adalah upacara ritual kerajaan yang sarat dengan kepercayaan Hindu atau Buddha yang telah lama ada


di Nusantara sebelum Islam datang, namun kemudian disesuaikan dengan konsep Islam. Hal yang sama juga terjadi di Kesultanan Yogyakarta, kelanjutan Kerajaan Mataram. Perayaan garebeg di Kraton Yogyakarta merupakan perpaduan apik antara budaya Jawa dan Islam, karena pelaksanaannya dikaitkan dengan moment kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabiul Awal) dan dua hari raya Islam, yaitu Idul Fitri (1 Syawwal) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah)5. Bahkan, khusus pada upacara garebeg mulud, di mana pada bulan Rabiul Awal atau bulan Maulud diselenggarakan tradisi sekaten, yaitu pasar malam yang menyuguhkan hiburan bagi rakyat, kata sekaten itu sendiri berasal dari kata syahadatain (dua syahadat), rukun pertama yang harus dilakukan orang Islam ketika memeluk Islam. 4.

Pendidikan

Penyebaran Islam juga dilakukan oleh para penyiar Islam melalui jalur pendidikan dengan elemen pentingnya, pondok pesantren6 . Model lembaga pendidikan Islam tertua ini didirikan oleh para penyebar Islam mula-mula di Nusantara untuk mendalami ilmu agama. Di samping itu, pondok pesantren juga memiliki peran sebagai lembaga perkaderan juru dakwah yang tidak hanya dibekali oleh kiai dengan ilmu keislaman saja, tetapi juga ilmu sosial kemasyarakatan dan olah kanuragan.

5. Irwan Abdullah, Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Orang Jawa: Analisis Gunungan Pada Upacara Garebeg (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2002), 26-27. 6. Kata “pondok� berasal dari Bahasa Arab “funduq� yang berarti kamar, hotel atau penginapan. Kata ini sangat khas di Jawa. Tidak bisa ditemukan institusi sepadannya di Timur Tengah. Menurut Martin Van Bruinessen, alasan pokok munculnya pesantren adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad lalu. Untuk keterangan lebih lanjut silahkan lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), 17.


Pada masa awal Walisongo, telah tumbuh dan berdiri beberapa pondok pesantren, di antaranya adalah Pondok Pesantren Ampeldenta di Surabaya yang didirikan oleh Sunan Ampel dan Pondok Pesantren Sunan Giri yang didirikan oleh Sunan Giri di Gresik. Menurut Zamakhsyari Dhofier, ada empat pra syarat yang harus ada di dalam sebuah pesantren7. Yang pertama adalah kyai, figur sentral dalam pesantren sekaligus menjadi role model bagi para santri. Kyai berotoritas penuh dalam penentuan ciri khas keilmuan dalam pesantren. Kedua, santri atau siswa yang bermukim selama jangka waktu tertentu di pesantren untuk memperdalam ilmu agama Islam, mulai dari ilmu Bahasa Arab, tauhid, fiqh, ilmu Alquran, ilmu tafsir, hingga tasawuf dan berbagai ilmu lainnya. Ketiga, asrama atau tempat tinggal para santri di dalam kompleks pondok pesantren. Keempat, masjid sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar serta kajian terhadap kitab kuning,8 di samping untuk melaksanakan salat berjamaah. 5.

Tasawuf

Pendekatan tasawuf adalah strategi dakwah yang digunakan oleh para pensyiar agama Islam di Nusantara dengan melakukan “pribumisasi Islam� dalam konteks ke-Indonesia-an. Sebagai contoh, dalam ajaran kepercayaan yang telah dikenal masyarakat Nusantara pra-Islam terdapat konsep tapa brata, yakni menyepi mengasingkan diri dari urusan keduniaan dengan tujuan menyelaraskan diri dengan alam. Ketika Islam datang, konsep yang demikian sedikit demi sedikit disesuaikan dengan ajaran Islam dan diganti dengan konsep khalwat atau uzlah yang diajarkan.

7. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pessantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982). 8. Lihat Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, 71.


dalam ilmu tasawuf, yang prinsip dasarnya juga mengasingkan diri dari urusan dunia tetapi tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, Allah SWT. Demikianlah Islam berkembang di Nusantara juga karena disebarkan oleh para pendakwahnya melalui jalan tasawuf. C.

Faktor Pendorong Islam Diterima Penduduk Nusantara

Proses penyebaran Islam bisa diterima relatif mudah dan cepat oleh penduduk lokal Nusantara disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah: 1. Dalam ajaran Islam tidak ada sistem kasta atau pembedaan derajat manusia sehingga relatif bisa diterima dan dinikmati oleh setiap orang. Manusia di hadapan Tuhan, dalam prinsip Islam, adalah sama dan setara. Yang membedakan derajat manusia antara satu dan lainnya hanyalah tingkat ketakwaannya kepada Allah SWT. Dalam Alquran disebutkan: inna akramakum ‘indallahi atqakum (sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian ialah yang paling bertakwa). 2. Aturan-aturan dalam agama Islam sangat fleksibel dan tidak memaksa. 3. Penyebaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa kekerasan dan disesuaikan dengan budaya masyarakat. 4. Keruntuhan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Secara politik jatuhnya Majapahit juga menjadi faktor pesatnya pertumbuhan Islam. D.

Kesimpulan

Islam masuk ke Nusantara melalui jalur budaya, bukan melalui jalur legal formal yang menekankan aspek fiqhiyyah dan rigiditas teks. Walisongo dengan sangat piawai mampu mensenyawakan nilai-nilai


Islam dan budaya lokal sehingga terjadi proses dialektika yang kreatif antara pesan langit (kitab suci) dengan kebudayaan lokal setempat. Sebuah proses kreatif ini disebut oleh KH. Abdurrahman Wahid atau yang sering disapa dengan Gus Dur dengan pribumisasi Islam. Gerakan radikalisme Islam yang mencuat di era reformasi pada dekade akhir ini bukan saja merupakan gerakan yang ahistoris, tetapi juga kontradiktif dengan spirit yang mendasari berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Spirit kebhinnekaan dan toleransi di antara warga negara ibarat pelita yang harus selalu dijaga nyala apinya agar menerangi bangsa. Spirit ini semakin hari, di era reformasi saat ini, semakin digerogoti oleh cara keberislaman yang ahistoris, yang tidak sesuai dengan konteks lokal budaya Indonesia. Cara keberislaman ahistoris yang pada tahap berikutnya menghasilkan kelompok-kelompok Muslim radikal itu pada dasarnya diimpor dari Timur Tengah, tepatnya Saudi Arabia, dengan ideologi Wahabisme yang secara buta diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat Muslim Nusantara yang sangat lekat dengan budaya asli mereka. Benih-benih wahabisme telah masuk ke Indonesia sejak tahun 1980-an bersamaan dengan maraknya gerakan usrah atau halaqah atau pertemuan keagamaan yang terkonsentrasi di masjid kampus di univeristas-universitas negeri. Gerakan tersebut kemudian ikut dalam proses transformasi politik yang terjadi setelah tumbangnya Orde Baru.


AKAR RADIKALISME AGAMA A.

Definisi dan Karakteristik Radikalisme

Radikalisme dalam beragama merupakan problem kebangsaan di Tanah Air dewasa ini. Paham ini disebut-sebut sebagai satu tahap sebelum terorisme terjadi. Beberapa teror yang terjadi di Tanah Air, mulai dari Bom Bali I sampai dengan teror bom buku yang mengancam keselamatan Ulil Abshar Abdallah (pentolan JIL), Ahmad Dhani (Musisi Dewa 19) dan Gories Mere (Ketua Badan Narkotika Nasional), meresahkan bangsa sekaligus mengingatkan betapa bahaya laten terorisme selalu mengancam keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia. Menghapus terorisme sangatlah mustahil sebelum menghancurkan terlebih dahulu akarnya, radikalisme. Sebagai sebuah gerakan tentu saja radikalisme bertentangan dengan nafas dan ruh Islam Nusantara, yaitu Islam yang sudah bersenyawa dengan lokalitas dan budaya setempat. Menurut sosiolog Marty E. Marty seperti yang dikutip oleh Azyumardi Azra, dengan beberapa modifikasi dari penulis, radikalisme adalah pemikiran atau sikap keagamaan yang ditandai dengan: 1. Paham perlawanan (oppositionalism). Para radikalis sering mengambil bentuk perlawanan, yang tidak jarang mengambil jalan kekerasan, terhadap ancaman yang dipandang membahayakan agama. Apakah hal itu dalam bentuk modernisme, sekulerisme atau tata nilai Barat secara umum. Acuan dasar untuk menilai tentu saja adalah kitab suci (scripture). 2. Penolakan terhadap hermeneutika. Dengan kata lain, kaum radikalis menolak sikap kritis terhadap teks kitab suci dan


interpretasinya. Teks Alquran harus dipahami secara literal sebagaimana apa adanya tanpa memperhatikan kontekstualitas yang terkandung dalam teks itu sendiri, karena nalar dianggap tidak mampu melakukan interpretasi yang tepat terhadap teks kitab suci. Meskipun bagian tertentu dari kitab suci kadang terlihat bertentangan antara satu dengan lainnya, nalar tidak diperbolehkan untuk melakukan semacam “kompromi� terhadap masalah itu.

3. Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum radikalis, pluralisme merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum radikalis langsung dinilai sebagai bentuk dari relativisme keagamaan yang muncul dari intervensi nalar manusia terhadap kitab suci, dan juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali norma-norma agama. 4. Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis agama. Kelompok radikal melihat bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai as it should be, bukan as it is. Dalam prinsip itu, masyarakat yang dituntut untuk menyesuaikan perkembanganya dengan kitab suci. Dari hal itu terlihat bahwa kaum radikalis bersifat a-historis, a-sosiologis dan tanpa peduli menginginkan terbentuknya masyarakat ideal yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.9

9. Azyumardi Azra, “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam: Survei Historis dan Doktrinal�, dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 3 Vol: IV, 1993, 18-19.


Sedangkan menurut Vincenzo Olivetti, ada 6 ciri utama dari radikalisme. 1. Literalis, yang berarti secara harfiah menafsirkan teks-teks kitab suci tanpa kompromi dan tidak melakukan re-interpretasi terhadapnya. 2. Anti terhadap reason (akal) dan filsafat. 3. Anti terhadap kultur atau budaya. 4. Menolak otoritas tradisional. 5. Agresif dan repressive.10 B.

Sejarah Munculnya Radikalisme

Sikap fanatik, intoleran dan eksklusif pertama kali ditampakkan dalam sejarah Islam oleh kaum Khawarij. Pada mulanya, kaum Khawarij merupakan pengikut setia Ali bin Abi Thalib. Sejarah tentang Khawarij berasal dari Perang Shiffin, yaitu pertempuran antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan karena perselisihan politik yang terjadi pada tahun 37 H. Ketika perang berlangsung dan kelompok Ali hampir saja memenangkan perang, Muawiyah menawarkan perundingan atau tahkim sebagai penyelesaian permusuhan. Kesediaan Ali untuk berunding mengakibatkan 4000 pendukungnya memisahkan diri dan membentuk kelompok baru yang kemudian dikenal dengan sebutan Khawarij, orang-orang yang keluar dari kelompok Ali. Mereka menolak perundingan dengan musuh dan mengatakan bahwa permusuhan harus diselesaikan dengan kehendak Tuhan bukan

10. Vincenzo Olivetti, Terror’s Source: The Ideology of Wahhabi-Salafism and Its Consequences, (Birmingham: Amadeus Books, 2002), 43.


dengan perundingan. Karena melawan kehendak Tuhan maka kaum Khawarij kemudian mengkafirkan (takfir) Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Mereka juga mengkafirkan mayoritas kaum muslimin yang moderat dan menuduh mereka sebagai pengecut. Bagi kaum Khawarij, orang kafir, meskipun dia serang Muslim, halal darahnya atau boleh dibunuh. Pada masa berikutnya, kaum Khawarij melakukan teror terhadap umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka memasukkan jihad atau berjuang di jalan Allah sebagai rukun iman. Konon dikabarkan bahwa Ibnu Muljam, pembunuh Ali bin Abi Thalib, juga seorang Khariji atau pengikut Khawarij. Pemikiran keagamaan model Khawarij ini kemudian diteruskan oleh aliran Wahabi di Arab Saudi pada abad ke-12 H/18 M yang dipelopori oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab (17031793 M). Muhammad bin Abdul Wahhab yang banyak dipengaruhi oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ulama ternama pada masanya, telah menggoyang pendulum Islam ke titik ekstrem. Abdul Wahhab berusaha memurnikan ajaran Islam karena menyaksikan berbagai budaya kaum Muslimin yang tidak sedikit telah menyimpang dari ajaran Islam. Kampanye ideologi Abdul Wahhab menjadi lebih kuat di tanah Nejd dengan berkolaborasi dengan penguasa lokal Nejd, Ibnu Sa’ud (W. 1765). Abdul Wahhab secara frontal merespon tradisi masyarakat yang menyimpang dari Islam. Ia dan pengikutnya menyatakan perang kepada masyarakat dan melancarkan jihad terhadap kaum Muslim yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni, yang dalam pandangannya telah banyak melakukan praktik bid’ah, khurafat dan tahayul. Radikalisme Wahabi tidak hanya berupa purifikasi tauhid, tetapi juga penumpahan darah dan perusakan kota Mekkah dan Madinah


yang disertai dengan penghancuran monumen-monumen bersejarah yang dinilai sebagai sumber praktik keagamaan yang menyimpang. Radikalisme Islam yang dipraktikkan oleh kelompok Wahabi ini juga memengaruhi gerakan Padri di Minagkabau, Indonesia. Gerakan Padri bermula dari upaya pembaruan budaya yang dilancarkan Tuanku Nan Tuo pada seperempat akhir abad 18. Oposisi keras dari gerakan pembaru bertemu dengan kegigihan kaum adat dalam mempertahankan tradisi, kedua hal itu merupakan faktor penting yang mendorong terjadinya radikalisasi gerakan Padri di Minangkabau. Gerakan Padri mengalami massifikasi sekembalinya tiga haji (Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang) dari pelaksanaan ibadah haji di Mekkah di mana saat itu gerakan Wahabi berjaya di tanah Arab. Gerakan jihad kaum Padri dilaksanakan melawan kaum Muslim tradisional yang menolak mengikuti ajaran mereka. Di antara pokok-pokok pandangan kaum Padri yang terlihat mengekor ajaran Wahabi adalah perlawanan terhadap bid’ah, khurafat dan pelarangan penggunaan tembakau dan sutra.11 Di era kontemporer ini kita juga melihat bagaimana massifikasi gerakan radikal menitis pada organisasi Majelis Tafsir Alquran (MTA) yang berpusat di Surakarta. Bermula dari pengajian yang hanya diikuti oleh beberapa orang di kampung Semanggi, kampung pinggiran bagian selatan Surakarta, MTA kini tumbuh menjadi gerakan Islam yang terus menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Abdullah Thufail Saputro, pendiri dan perintis pengajian, mengajak umat Islam kembali kepada Alquran, dengan cara mempelajari dan menafsirkan Alquran sebagai dasar untuk mengamalkan ajaran Islam murni agar tidak bercampur

11. Azra, “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam� dalam Ulumul Qur’an, 20.


dengan unsur-unsur dari luar Islam. Kegigihan para aktivis MTA dalam memelihara prinsip pemurnian aqidah Islam mengundang perhatian dan kontroversi umat Islam sejak awal berdirinya hingga saat ini. Perkembangan MTA terus diwarnai ketegangan dan konflik antara pengikutnya dengan umat Islam pada umumnya. Konflik sering kali sampai pada tahap bentrok fisik dan pengusiran warga MTA dari kampung halamannya. Sebagai suatu gerakan keagamaan, eksistensi dan perluasan MTA tidak terlepas dari kepiawaian para aktor gerakan, utamanya pendiri Al-Ustadz Abdullah Thufail Saputro. Ada beberapa faktor yang membuatnya diterima masyarakat luas. Pertama, Abdullah Thufail dikenal sebagai da’i yang piawai memikat pendengar dengan suara lantang, bahasa yang lugas, dan mudah dipahami oleh masyarakat awam. Ceramahnya diperkaya dengan wawasan dan pengalaman dari kegiatan dakwah sambil berdagang batu permata ke berbagai daerah di Indonesia. Kedua, sebelum mendirikan MTA ia telah memiliki jaringan luas dengan berbagai kalangan dan dikenal aktif dalam kegiatan dakwah Islam bersama dengan ulama, aktivis, dan ormas-ormas Islam. Dalam perkembangannya, jalinan kerja sama dan dakwah mereka harus terganggu oleh karena perbedaan paham keagamaan sampai akhirnya sosok Abdullah Thufail Saputro menjadi ulama kontroversial dan berdampak pada perkembangan MTA dengan sejumlah resistensi keras dari kaum Muslim sendiri. Abdullah Thufail Saputro dikenal sebagai mubaligh yang memiliki kemampuan orasi memukau para pendengarnya. Kepiawaiannya dalam berdakwah atau berceramah menarik minat sejumlah organisasi Islam di Surakarta untuk memberinya jadwal ceramah pengajian secara rutin, antara lain ia pernah aktif mengisi ceramah zhuhur seminggu sekali di


Gedung Balai Muhammadiyah Surakarta. Di Muhammadiyah, ia pernah aktif selama beberapa tahun dan menjadi mubaligh yang sangat diminati oleh peserta pengajian. Namun, Abdullah Thufail tidak pernah menjadi pengurus secara formal dalam jajaran kepengurusan di Muhammadiyah karena memilih independen tidak terikat oleh satu ormas apapun. Keterlibatannya di Muhammadiyah turut membentuk corak pemahaman keagamaan yang puritan dan menjadi ruh gerakan MTA di kemudian hari.12 C.

Pandangan Islam terhadap Radikalisme

Setelah kita mengetahui bagaimana radikalisme dan sejarahnya dalam konteks Islam, pertanyaannya adalah apakah Islam memperbolehkan radikalisme? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah jelas, bahwa Islam melarang radikalisme. Radikalime sangat bertentangan dengan spirit damai Islam. Islam sangat menganjurkan kedamaian, keselamatan dan kelenturan. Dalam hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Imam Al-Bukhari, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda “ahabbu al-din ila Allah al-hanafiyyah al-samhah”, yang artinya: Beragama yang paling disukai oleh Allah adalah yang lurus dan mudah. Dalam riwayat yang lain Nabi bersabda “Ursiltu bi al-hanafiyyat al-samhah” (aku diutus [oleh Allah] dengan [sikap] lurus dan mudah). Hadis di atas menjelaskan dengan gamblang kepada kita bahwa Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah dengan membawa syariat yang benar, kelapangan dan juga kemudahan. Radikalisme juga bertentangan

12. Mutohharun Jinan, “Dinamika Gerakan Islam Puritan di Suarakarta: Studi Tentang Perluasan Gerakan Majelis Tafsir Al-Qur’an”, paper dipresentasikan dalam ACIS (Annual Conference on Islamic Studies) di Bangka Belitung, 10-13 oktober 2011, 592.s


dengan spirit Islam yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu spirit Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam. Allah SWT berfirman: “Aku tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat (kasih sayang) kepada seluruh alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Radikalisme, apalagi terorisme, membuat Islam jauh dari watak aslinya sebagai agama pembawa rahmat, serta bisa membuatnya kehilangan tujuan yang hakiki. Tujuan hakiki Islam tidak lain adalah maqashid al-syari’ah, yaitu lima prinsip yang mendasari syariat Islam. Lima dasar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hifz al-nafs (melindungi jiwa). Syari’at Islam bertujuan untuk melindungi keselamatan fisik atau jiwa manusia dari tindak kekerasan di luar ketentuan hukum. 2. Hifz al-din (melindungi keyakinan atau kepercayaan dan kebebasan beragama). 3. Hifz al-nasl (melindungi dan menjaga kelangsungan hidup dan keturunan). Dengan prinsip ini, Islam menjaga agar bumi ini tetap langgeng dan lestari tanpa adanya pertumpahan darah. Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi mempunyai kewajiban untuk memakmurkan bumi Allah dengan segala potensi yang dikandungnya. 4. Hifz al-mal (melindungi hak milik pribadi atau harta dan kepercayaan). Dengan prinsip ini Islam menjamin hak kepemilikan atas barang dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap orang, harta itu tidak boleh dicuri atau dirampas. 5. Hifz al-aql (menjaga dan melindungi pikiran atau akal). Dengan prinsip ini Islam menjamin kebebasan berfikir dan juga berpendapat di muka umum. Dengan prinsip ini pula Islam


mengharamkan mengkonsumsi zat atau obat-obatan yang menganggu otak dan fikiran manusia.13 Dari uraian di atas, sungguh terasa bahwa Islam condong kepada kebaikan. Islam melindungi harkat martabat manusia. Ajaran luhur Islam melarang pembunuhan terhadap jiwa seseorang tanpa alasan yang syar’i. Radikalisme yang merupakan akar terorisme dan gejala pembunuhan jiwa-jiwa manusia dengan alasan yang ilutif, oleh karena itu, sangat terlarang dalam Islam. D.

Kesimpulan

Islam sangat jelas menentang dan menolak radikalisme dan terorisme. Kedua paham itu sangat bertolak belakang dengan nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Kerahmatan itulah yang harus senantiasa diseminasikan dalam kehidupan masyarakat. Di Tanah Air, ada dua organisasi Islam moderat yang selalu menjadi yang terdepan dalam upaya penyemaian nilai kerahmatan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni NU dan Muhammadiyah. Kedua organisasi tersebut menjadi jangkar dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Siapa pun yang ingin merubah Indonesia menjadi negara berbasis agama tertentu pasti berhadapan dengan kedua organisasi Islam moderat itu.

13. Dalam khazanah hukum Islam, akal menempati posisi yang sentral dalam kehidupan seorang mukallaf (orang yang menjadi objek hukum Islam), seseorang akan menjadi objek hukum bila orang tersebut mempunyai akal atau berakal. Akal sangat penting dalam hukum Islam karena menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lain.


RENTETAN AKSI TEROR DI INDONESIA A.

Penyebab Teorisme

Sungguh memprihatinkan ketika kita mengetahui bahwa berbagai peristiwa teror dan kekerasan yang terjadi di Tanah Air dilakukan oleh sebagian umat Islam. Membahas kasus terorisme, dapat dipastikan bahwa tidak ada single factor yang menyebabkan terorisme. Faktor penyebabnya saling berkelindan antara satu dan lainnya. Paling tidak faktor ekonomi, sosial dan politik selalu hadir dan mewujud menjadi penderitaan ketidakadilan dalam arti umum yang dirasakan oleh pelaku teror. Perasaan ketidakadilan itu kemudian dieksploitasi sedemikian rupa dan dikombinasikan dengan ideologi radikal atas nama agama sehingga mampu mencuci otak (brainwashing) umat Muslim serta publik. Strategi cuci otak ini akan bermuara pada dua hal: 1. Pemaksaan satu model kebenaran terhadap mereka yang berbeda. Kelompok radikal dan teroris menganggap bahwa aksi teror yang mereka lakukan adalah ajaran yang benar, bahkan dilegalkan oleh ajaran agama. Ajaran dan kepercayaan yang diyakini oleh orang lain dianggap keliru dan oleh karena itu tidak perlu diakui keberadaannya. 2. Penerapan model ber-Islam yang hanya mengacu kepada praktik beragama di tanah Arab untuk dipaksakan di Indonesia. Cita-cita model ini jelas tidak cocok untuk diimplementasikan di Indonesia sebagai sebuah negara yang multi-agama, budaya, bahasa, suku, dan etnis. Pola keberagamaan yang monolitik jelas tidak sesuai dengan karakteristik khas bangsa Indonesia.


B.

Kasus Terorisme di Tanah Air

Berikut adalah rentetan persitiwa kasus terorisme di Indonesia yang menggemparkan masyarakat. Penulis mendapatkan data aksiaksi teror berikut ini dari bahan presentasi Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, pada Rakornas Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama Region VI di Magelang pada 29 April 2012 lalu. 1.

Bom Bali I 2002

Tiga peristiwa pengeboman terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, Bali. Sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat. Ketiga lokasi pengeboman jaraknya cukup berjauhan. Rangkaian pengeboman ini merupakan aksi teror awalan yang kemudian disusul oleh pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada tahun 2005. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka akibat aksi bom bunuh diri itu. Kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke lokasi wisata tersebut. Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia. 2.

Bom JW Marriott 2003 dan 2009

Hotel JW Marriott sudah berpengalaman dua kali merasakan aksi teror, yakni pada tahun 2003 dan 2009. Pada 5 Agustus 2003 sekitar pukul 12.45 WIB, terjadi ledakan dahsyat bom mobil yang dikendarai oleh pelaku bom bunuh diri, Asmar Latin Sani. Teror


bom mobil tersebut memakan korban tewas 14 orang dan 156 korban luka-luka. Kekuatan ledakan bom di depan hotel bintang lima itu mirip dengan ledakan Bom Bali I. Hotel JW Marriott menjadi target ledakan karena lokasinya strategis di kawasan segitiga emas, dekat dengan kompleks pejabat di Jalan Denpasar dan kompleks kedutaan besar negara-negara asing. Pada tahun 2009 terjadi lagi ledakan bom di Hotel JW Marriott. Kali ini, JW Marriott tidak sendirian menjadi target pengeboman. Hotel Ritz-Carlton yang berada tidak jauh dari JW Marriott juga menjadi sasaran kelompok teroris. Kedua kasus pemboman di Kawasan Mega Kuningan, Jakarta itu terjadi pada hari Jumat 17 Juli 2009. Bom JW Marriott meledak pada pukul 07.47 WIB, sementara bom di Hotel RitzCarlton meledak pada 07.57 WIB. Peristiwa bom bunuh diri ini menewaskan 9 jiwa dan melukai lebih dari 50 orang, baik warga Indonesia maupun warga asing. Selain dua bom rakitan berdaya ledak rendah meledak pada peristiwa tersebut, sebuah bom serupa yang gagal meledak ditemukan di kamar 1808 Hotel JW Marriott yang ditempati sejak dua hari sebelumnya oleh tamu hotel yang diduga sebagai pelaku pengeboman. Bom JW Marriott 2009 terjadi sembilan hari sesudah pemilihan umum presiden dan wakil presiden Indonesia, serta dua hari sebelum rencana kedatangan tim sepak bola Manchester United yang akan melakukan pertandingan persahabatan dengan tim Indonesian All Star pada 20 Juli 2009. Tim klub sepak bola Liga Inggris yang tenar di seluruh dunia itu dijadwalkan menginap di Hotel Ritz-Carlton. Belum sempat menginjakkan kaki di Indonesia,


teror bom mendahului sehingga jadwal MU ke Indonesia batal. Sementara itu, tim Indonesian All Star yang sedang menginap di Hotel JW Marriott selamat dari bom. Setelah penyelidikan, Polri mengumumkan identitas pelaku bom bunuh diri JW Marriott 2009, yaitu Dani Dwi Permana asal Bogor dan Nana Ikhwan Maulana asal Pandeglang, Banten. Polisi mendeteksi ada sebelas orang yang diduga terlibat dalam pengeboman tersebut, termasuk Noordin M Top sebagai otak pelaku utama dan Ibrohim sebagai orang dalam di Hotel Ritz-Carlton yang menyelundupkan bom ke dalam hotel. 3.

Bom Kedubes Australia 2004

Peristiwa ini juga biasa disebut Bom Kuningan. Aksi teror ini terjadi pada tanggal 9 September 2004 di Jakarta. Ini merupakan aksi terorisme besar ketiga yang ditujukan terhadap Australia yang terjadi di Indonesia setelah Bom Bali 2002 dan Bom JW Marriott 2003. Pada peristiwa ini, sebuah mobil pick-up bermuatan bom meledak di depan Kedutaan Besar Australia pada pukul 10.30 WIB di kawasan Kuningan, Jakarta. Jumlah korban jiwa tidak begitu jelas, pihak Indonesia berhasil mengidentifikasi 9 orang namun pihak Australia menyebut angka 11. Di antara korban yang meninggal adalah warga sipil Indonesia yang bekerja sebagai petugas keamanan di Kedutaan Besar Australia, pemohon visa, staf Kedubes serta warga yang berada di sekitar tempat kejadian saat bom meledak. Tidak ada warga Australia yang meninggal dalam kejadian ini. Beberapa bangunan di sekitar tempat kejadian juga mengalami kerusakan.


4.

Bom Bali II 2005

Kasus terorisme ini merupakan seri lanjutan Bom Bali I 2003. Bom bunuh diri yang kedua kalinya menggoyang Bali ini meledak pada 1 Oktober 2005. Terjadi tiga aksi pengeboman; satu di Kuta dan dua di Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang tewas dan 196 lainnya lukaluka. Pada acara konferensi pers, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan telah mendapat peringatan akan adanya serangan terorisme di Indonesia mulai bulan Juli 2005. Namun, aparat mungkin sedikit lalai karena adanya isu kenaikan harga BBM. 5.

Rencana aksi teror bom kelompok Jati Asih, (Target Presiden RI, 2009)

6.

Rencana aksi teror bersenjata oleh Jaringan Aceh, 2010.

Selain aksi-aksi teror yang menggemparkan di atas, pada tahun 2011 juga terjadi beberapa kasus terorisme yang tidak kalah dampaknya untuk meresahkan masyarakat Indonesia. Kegiatankegiatan teror yang dimaksud adalah sebagaimana berikut. a. Januari 2011: Bom berkekuatan rendah meledak di Klaten. Sasaran peledakan adalah kantor polisi, masjid dan gereja. b. Maret 2011 : Empat buah bom buku dan dua bom parsel menteror warga Jakarta dan Tangerang. c. Mei 2011 : Terjadi penembakan terhadap tiga orang polisi di Palu, Sulteng. d. Juni 2011 : Isu rencana pembunuhan kepada polisi dengan racun merebak di Jakarta.


e. Juni 2011 : Bom di Swalayan Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. f. Juli 2011 : Muncul isu rencana penyerangan terhadap kantor polisi dan komunitas Syiah oleh kelompok Abu Omar Jakarta. g. Juli 2011 : Pembunuhan anggota polisi di Bima, NTB. h. Juli 2011 : Ledakan di Pondok Pesantren Umar bin Khattab, Bima, NTB. Oleh Menteri Agama, Suryadharma Ali, pondok pesantren ini dinilai sebagai pondok pesantren yang mengajarkan Islam garis keras. Suryadharma merasa ganjil dengan pesantren tersebut karena pesantren ini tidak mau dimasuki oleh pegawai Kemenag Provinsi dan Kabupaten. Kecurigaan Suryadharma terhadap Ponpes Umar Bin Khattab ini semakin menguat setelah terjadi ledakan yang diduga bom pada Senin 11 Juli 2011 sekitar pukul 15.30 WITA. Ledakan itu menewaskan Ustaz Suryanto Abdullah alias Firdaus, namun anehnya, para penghuni Ponpes menghalang-halangi polisi yang akan melakukan penyelidikan atas ledakan itu.14 i. September 2011 : Bom bunuh diri meledak di gereja GBIS Kepunton, Solo, Jateng. Satu ledakan keras terjadi seusai kebaktian di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton di Jalan Arif Rahman Hakim, Solo. Satu orang tewas di dalam gereja, yakni yang diduga pelaku pengeboman. Terduga pelaku bukanlah warga setempat. Selain menewaskan satu orang, ledakan bom itu juga melukai beberapa jemaat yang sedang khusyuk mengikuti kebaktian. Rasa keamanan warga negara dalam beribadah kembali terusik. Padahal, negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk

14. http://nasional.vivanews.com/news/read/232936--ponpes-umar-bin-khattabajarkan-radikalisme.


menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya masingmasing, sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2. Kawasan Kepunton terkenal aman dan damai, di sanalah berjajar toko-toko yang merupakan tanda geliat perekonomian di Kota Solo. Di samping itu, Solo terkenal sebagai kota dengan slogan The Spirit of Java. Di sana ditemukan berbagai macam khazanah budaya Jawa yang begitu kental. Solo memiliki Kraton Solo dan Pasar Kliwon yang merupakan penanda mengapa Solo dijuluki sebagai jantungnya Jawa (the heart of Java). Orang Solo atau Wong Solo juga terkenal dengan karakter budayanya yang lembut, sopan, santun, dan menjunjung norma-norma sosial. Akan tetapi, menurut pengamat militer MT Arifin, di balik kelemahlembutan itu, Solo menyimpan potensi kekerasan. Hal ini bisa dirunut pada sejarah Solo, yaitu adanya ketidakpuasan politik pasca-perjanjian Gianti serta munculnya industrialisasi dan penanaman modal di wilayah Volstrenlanden yang menyebabkan terjadinya perubahan ekstrem di mana Kraton kehilangan legitimasi serta tercerabutnya kekuasan tradisional oleh kekuatan kolonial. Ketidakadilan politik dan ekonomi ini pada akhirnya membentuk sikap-sikap kekerasan dalam masyarakat. Ledakan bom di Solo ini mengingatkan kita akan bahaya laten terorisme dan kekerasan yang menggunakan label agama. Agama sering dijadikan sebagai alat justifikasi (pembenaran) tindakan radikal. Pengeboman gereja di Solo pastilah tidak berdiri sendiri. Ada rentetan kasus yang sebelumnya telah terjadi. Hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa sejumlah kasus destruktif dan pelanggaran


hak asasi manusia yang dipicu oleh masalah yang menyangkut agama marak terjadi di Solo.15 C.

Terorisme dan Jihad

Dari data dan fakta terorisme sebagaimana diungkapkan oleh BNPT di atas, maka muncul pertanyaan apa sebetulnya definisi terorisme tersebut. Menurut Kamus Wikipedia (ensiklopedi bebas) terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan. Kebanyakan teroris melalukan aksinya tanpa mempedulikan rasa kemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi. Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act, 1984: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear ”16 (Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk tujuan politik dan termasuk di dalamnya adalah kekerasan dengan meletakkan perasaan takut pada setiap warga negara). Terorisme menjadi wacana yang mendunia sejak aksi teror yang dikomandani oleh Osama Ben Laden dengan puncaknya persitiwa 11 September 2001. Dari kasus terorisme yang mencengangkan tersebut, seakan-akan dunia terpola menjadi dua kutub berlawanan; teroris vis a vis non-teroris. Di Barat, usaha universalizing the discourse of terrorism

15. Sholahuddin, “Perlu Deradikalisasi Akar Rumput” dalam Koran Jakarta edisi Senin, 26 September 2011. 16. Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), 35.


sangat terasa, sehingga wacana peng-global-an isu terorisme ini kemudian juga menyentuh Indonesia. Kegiatan terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendak pelaku teror. Kegiatan terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, tetapi perbuatan teror justru dilakukan di mana saja dan terhadap siapa saja. Yang utama dalam aksi teror adalah pesan atau maksud yang ingin disampaikan oleh teroris benar-benar tersampaikan. Jadi, mendapatkan perhatian yang khusus atau dapat dikatakan menguasai imajinasi publik dan target teror sangat dipentingkan dalam aksi teror. Salah satu tujuan terorisme yang terjadi di Indonesia adalah untuk mendirikan Negara Islam atau Daulah Islamiyah yang tidak menghendaki batas-batas geografis dan teritorial. Kelompok teroris yang memperjuangkan hal itu pada akhirnya ingin me-legal formalkan syariat Islam. Adapun langkah yang dilakukan adalah dengan berbagai strategi, termasuk memaksakan konsep-konsep agama Islam agar tampak selaras dengan perjuangan mereka. Di antara ajaran Islam yang mereka kondisikan sedemikian rupa sehingga terkesan Islam melandasi perjuangan teror mereka adalah jihad dan konsep harta fay`i.


Jihad Akar kata jihad adalah dari Bahasa Arab jaahada-yujaahidumujaahadatan yang artinya bersungguh-sungguh dalam melaksanakan sesuatu.17 Dalam Alquran, kata jihad disebut beberapa kali di beberapa surat. Di antara ayat Alquran yang mengandung kata jihad adalah:

Artinya: “Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui� (QS. At-Taubah: 41). Secara umum jihad adalah upaya semaksimal mungkin dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Para teroris keliru dalam mengartikan jihad dengan interpretasi qital atau peperangan melawan orang kafir, yaitu siapa pun yang tidak meyakini Islam. Mereka menganggap bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Barat (terutama Amerika Serikat dan Australia) adalah negara kafir yang legal untuk diperangi. Dampak serius dari pemahaman ini adalah ancaman terhadap 4 (Empat) Pilar Kebangsaan; Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Padahal menurut para ulama, istilah jihad dalam ajaran Islam terbagi ke dalam tiga ranah; jihad melawan musuh yang nyata, memerangi setan, dan melawan hawa nafsu. Dalam tafsir ayat-ayat jihad, istilah jihad tidak serta merta atau selalu diartikan mengangkat senjata untuk memerangi non-Muslim. Syaikh Raghib Al-Asfahani, 17. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidayah Agung, 1990), 92-93.


kitabnya Mu’jam Al-Mufradaat li Alfadz Al-Qur’an menyatakan bahwa aktivitas jihad dibedakan dalam tiga cara: 1. Jihad dengan hati: maksudnya adalah berjihad dengan memerangi hawa nafsu. Hawa nafsu ini hanya bisa ditangani oleh diri seseorang. 2. Jihad dengan harta benda. Yakni mendermakan hartanya di jalan Allah. 3. Jihad dengan nyawa. Pada pengertian pertama, aktivitas jihad berada di ranah internal diri manusia. Dalam jihad ini, setiap diri manusia dituntut untuk memerangi hawa nafsu yang menggejolak dalam diri. Jihad ditafsirkan sebagai upaya individual untuk mendekatkan diri seorang hamba kepada Sang Khaliq, Allah SWT. Dalam pengertian kedua, jihad diartikan sebagai social action manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena kemiskinan yang melanda masyarakat Indonesia, terutama umat Muslim, sangat tepat menjadi contoh ladang jihad yang harus ditempuh dengan strategi jihad dalam pengertian yang kedua, yaitu jihad dengan mendermakan harta di jalan Allah. Hal ini harus menjadi perhatian kaum Muslimin untuk berusaha maksimal agar kemiskinan terhindarkan dari masyarakat. Untuk melaksanakan jihad dengan harta ini, Islam mempunyai pilar prinsip ekonomi, seperti zakat, infaq, sadaqah dan bayt al-mal, yang secara konseptual bisa dijadikan sebagai alat untuk memberantas kemiskinan umat. Adapun pengertian ketiga, jihad diartikan sebagai perang dalam arti sesungguhnya. Perang dalam jihad prinsipnya dua; bellum justum dan bellum pium yakni perang demi keadilan dan kesalehan. Jihad qital yang dilakukan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat memang


terjadi pada era perang. Tanpa menganggap bahwa saat ini dunia telah terbebas dari jerat perang dan konflik, namun dapat dikatakan bahwa kondisi dunia masa kini telah berada pada era damai. Perang Dunia II adalah simbol terhentinya era perang yang sebelumnya menyelimuti dunia. Jika pada era perang segala permasalahan politik luar negeri diselesaikan dengan pertarungan militer antara pihakpihak yang bertikai, pada periode modern negara-negara dunia lebih mengedepankan jalan dialog tanpa kekerasan sebagai pemecah masalah. Kembali pada bahasan jihad qital yang disyariatkan dalam Islam yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW pada masanya, sebagai umat Muslim masa kini kita harus cerdas memahami konsep jihad tersebut. Perang yang dilakukan Rasulullah memang melawan orang kafir, namun isu inti jihad qital yang diteladankan beliau adalah penghentian kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang kafir tersebut. Sekali lagi, inti jihad qital bukanlah permusuhan kepada orang-orang yang memiliki keyakinan lain di luar Islam melainkan permusuhan terhadap kezaliman dan upaya perbaikan atas kezaliman yang terjadi itu. Demikianlah sesungguhnya ajaran jihad yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Jika kita memahami tiga ranah pengertian jihad yang dipaparkan di atas, maka sebagai umat Muslim Indonesia yang hidup pada masa post-modern ini kita harus cerdas menyerap, memahami, dan melaksanakan jihad. Fakta pluralitas yang dikandung oleh setiap peradaban manusia, termasuk masyarakat Indonesia, tidak boleh dilepaskan dalam konteks perjuangan jihad yang kita lakukan. Memandang berbagai aksi teror yang selama dekade akhir ini melanda Indonesia, jika dianalisa secara mendalam, akan didapati bahwa para teroris dengan cerdik memainkan atau memutar balikkan ajaran jihad yang sesungguhnya sangat mulia dalam Islam


sedemikian rupa sehingga seolah-olah aksi-aksi teror yang mereka lakukan tergolong jihad atau minimal terlihat di mata umat Muslim yang awam sebagai jihad. Mereka berdalih bahwa kekerasan dan aksi teror yang mereka lakukan adalah untuk memerangi Barat yang tidak adil terhadap rakyat Palestina, atau untuk memberantas kemungkaran yang telah disebarkan oleh orang-orang Barat. Ini sungguh kesesatan yang nyata dari para kelompok teroris dan kelompok radikal. Memberantas kemungkaran dengan kemungkaran yang baru sama sekali bukanlah jihad. Fay`i Konsep fay`i berlaku dan terjadi dalam konteks kenegaraan. Fay`i secara khusus adalah harta yang didapatkan kaum Muslim dari harta orang kafir tanpa pengerahan kekuatan atau tanpa terjadinya peperangan. Pada masa Nabi SAW, umat Muslim mendapatkan harta fay`i dari umat agama lain lebih cenderung bermakna pajak dari warga kepada negara. Madinah yang saat itu dipimpin oleh Rasulullah adalah kota yang penduduknya sangat plural. Sebagai umat mayoritas, Rasulullah, para sahabat dan umat Muslim secara umum menerapkan prinsip kenegaraan atau pemerintahan berdasarkan norma keadilan. Adil dalam arti pemerintah Madinah yang mayoritas meyakini Islam, bahkan dipimpin oleh Rasulullah SAW, menjamin keamanan dan keselamatan warga Madinah sehingga sudah selayaknya masyarakat secara umum, baik Muslim maupun non-Muslim, berkontribusi terhadap kelangsungan negara yang adil tersebut. Inilah makna harta fay`i yang dimaksud dalam Alquran:


Artinya: “Dan apa saja harta rampasan (fay`i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, Allah-lah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Hasyr: 6). Harta yang diperoleh kaum Muslim dari umat Yahudi Bani Nadlir dan penduduk Fadak, sebagai contoh, tidak didahului dengan peperangan. Harta semacam ini disebut fay`i dan menjadi milik Rasulullah SAW dalam arti dapat beliau belanjakan untuk keperluan dakwah Islam atau digunakan untuk penyediaan amunisi dan senjata untuk berperang di jalan Allah. Praktik pembelanjaan harta fay`i semacam ini diteruskan oleh para khalifah sesudah beliau, Abu Bakar As-Siddiq dan Umar bin Khattab RA. Imam Bukhari meriwayatkan dalam Bab Khumus pada karya monumentalnya, Sahih Bukhari, bahwasanya sahabat Usman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqash meminta izin kepada Khalifah Umar bin Khattab untuk memasuki rumah beliau. Umar pun mengizinkannya. Kemudian mereka duduk dengan tenang. Lalu datang sahabat Ali bin Abi Talib dan Abbas yang juga meminta izin masuk, dan Umar mengizinkan mereka. Ali dan Abbas pun masuk, memberi salam lalu duduk. Abbas berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin berikanlah keputusan antara aku dan orang ini!’ (Ali RA) –kedua orang ini tengah berselisih dalam hal fay`i yang didapatkan pasukan Muslim dari harta Bani Nadlir–.

18. Fay`i ialah harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran. Pembagiannya berlainan dengan pembagian ghanimah. Pengertian ghanimah adalah harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran. Pembagian fay`i seperti yang tersebut pada Ayat 7 Surat Al-Hasyr. Sedang pembagian ghanimah disebutkan pada Ayat 41 Surat Al Anfal.


Mendengar hal itu, Usman bin Affan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, buatlah keputusan di antara mereka agar satu sama lain bisa merasa puas!’ Berkatalah Umar: ‘Kusampaikan kepada kalian dan bersumpahlah kalian dengan nama Allah yang dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi! Tahukah kalian bahwa Rasulullah SAW telah berkata, “Segala sesuatu yang kami tinggalkan tidak diwariskan tetapi menjadi shadaqah”, dan yang Rasulullah SAW maksudkan itu adalah beliau sendiri.’ Berkatalah mereka semua, ‘Memang benar beliau telah bersabda seperti itu.’ Maka Umar berpaling kepada Ali dan Abbas seraya berkata, ‘Bersumpahlah kalian berdua dengan nama Allah, tahukah kalian berdua bahwa Rasulullah SAW telah bersabda seperti itu?’ Mereka berdua menjawab, ‘Memang benar beliau telah bersabda seperti itu.’ Berkatalah Umar, ‘Maka akan kukabarkan kepada kalian tentang hal ini, yaitu bahwa Allah SWT telah mengkhususkan fay`i ini kepada Rasul-Nya dan tidak diberikan kepada seorang pun selain beliau.’ Kemudian Umar membacakan ayat: “Dan apa saja harta rampasan (fay`i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka” - sampai firman Allah: “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” ‘Hal ini menunjukkan bahwa harta fay`i benar-benar menjadi hak Rasulullah SAW. Demi Allah, harta tersebut dihindarkan dari kalian, tidak diwariskan kepada kalian. Rasulullah telah memberikan sebagian dari harta tersebut kepada kalian dan membagikannya di antara kalian, sedangkan sisanya beliau belanjakan sebagian untuk keperluan keluarganya selama setahun dan sisanya beliau jadikan tetap menjadi harta milik Allah. Rasulullah telah melakukan hal tersebut selama hidupnya. Bersumpahlah dengan nama Allah, apakah kalian mengetahui hal itu?’


Para sahabat menjawab, ‘Ya.’ Selanjutnya Umar berkata: ‘Kemudian Allah mewafatkan Nabi-Nya SAW’, maka saat itu Abu Bakar berkata, ‘Saya adalah pengganti Rasulullah SAW.’ Abu Bakar pun menahan harta tersebut dan kemudian melakukan tindakan seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dan Allah mengetahui bahwa dalam mengelola harta tersebut ia berada dalam kebenaran, kebaikan, mengikuti petunjuk dan kebenaran. Kemudian Allah mewafatkan Abu Bakar dan akulah yang menjadi pengganti Abu Bakar. Aku pun menahan harta tersebut selama dua tahun dari masa pemerintahanku. Aku memperlakukan harta tersebut sesuai dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW dan Abu Bakar. Selain itu Allah mengetahui bahwa aku dalam mengelola harta tersebut berada dalam kebenaran, kebaikan, mengikuti petunjuk dan kebenaran.” (HR. Imam Bukhari). Atas dasar itu, harta fay`i yang diperoleh kaum Muslim merupakan milik Allah, seperti halnya kharaj dan jizyah. Definisi kharaj dalam konteks pemerintahan atau kekhalifahan Islam masa itu adalah harta yang diambil oleh negara dari pemilik tanah kharajiyah -(tanah yang hak gunanya dimiliki oleh individu tetapi zat lahannya tetap menjadi milik Baitul Maal atau pemerintah)- dengan kadar atau jumlah yang telah ditentukan besarnya oleh negara sesuai dengan perkiraan produktivitas lahan tersebut. Kharaj dipungut setahun sekali, baik tanah tersebut ditanami atau tidak, serta tanpa melihat tanah tersebut subur atau tidak. Sementara itu, jizyah adalah pajak yang dipungut dari rakyat non-Muslim merdeka, yang dengan pajak itu mereka mengesahkan perjanjian yang menjamin mereka mendapatkan perlindungan dari negara. Dalam konteks kekhalifahan Islam pada masa Nabi dan dilanjutkan para sahabat, harta semacam fay`i, kharaj dan jizyah disimpan di Baitul Maal dan dibelanjakan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim serta memelihara urusan-urusan mereka, berdasarkan keputusan atau ijtihad seorang khalifah.


Harta fay`i juga mencakup tanah yang ditaklukkan dan semua harta yang mengikutinya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

“Apa saja harta rampasan (fay`i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka hal itu adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya� (QS. Al Hasyr: 7). Melihat ayat-ayat dan hadis yang telah disebutkan di atas, terlihat bahwa Khalifah Umar RA tidak membagi-bagikan tanah-tanah subur di Irak, Syam, dan Mesir, meskipun didesak oleh para shahabat. Sementara itu, Bilal RA dan beberapa orang sahabat bersikeras meminta agar tanah-tanah tersebut dibagikan kepada mereka. Perlu diketahui bahwa tanah-tanah tersebut ditaklukkan dengan pengerahan kekuatan militer para sahabat itu. Hal itu dapat diketahui dengan jelas dalam diskusi mereka dengan Umar, yaitu saat mereka berkata kepadanya: “Apakah engkau akan memberikan harta rampasan yang telah diberikan Allah kepada kami melalui pedang-pedang kami kepada satu kaum yang tidak hadir dan tidak juga menyaksikan, kemudian digunakan untuk membangun kaum tersebut, dan untuk membangun rumah-rumah mereka padahal mereka tidak hadir?�


Dalam percakapan Umar dengan 10 orang Anshar juga tampak jelas bahwasanya kharaj dan jizyah termasuk harta fay`i. Beliau berkata: “Aku telah memutuskan untuk menahan tanah rampasan perang dengan penduduknya, kemudian menetapkan kharaj atas mereka (penduduknya) dari tanah tersebut, serta jizyah untuk budakbudak mereka, dan menjadikannya sebagai harta fay`i bagi kaum Muslim, untuk tentara dan keturunannya serta untuk orang-orang yang datang setelah mereka”. (Perkataan Umar ini diriwayatkan dalam hadis riwayat Imam Bukhari). Harta fay`i beserta harta-harta yang mengikutinya adalah sumber pemasukan yang boleh diambil manfaatnya oleh kaum Muslim dalam konteks kekhalifahan Islam saat itu. Harta tersebut disimpan di Baitul Maal. Pembelanjaannya harus bertujuan mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat. Jadi di dalam harta tersebut terdapat hak setiap Muslim, bukan hanya sekelompok atau individu Muslim. Setelah menetapkan kharaj atas tanah Irak, Syam dan Mesir, Umar RA berkata: “Tidak seorangpun dari kaum Muslim kecuali berhak mendapatkan bagian dalam harta ini.” Lalu, Umar membacakan ayat: “Dan apa saja dari harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk suatu negeri” hingga sampai, “dan orang-orang yang datang setelah mereka” (QS. Al-Hasyr: 10). Kemudian Umar berkata, “Harta ini akan aku ambil semuanya untuk (kepentingan) seluruh kaum Muslim, dan sungguh, jika aku menahannya, niscaya akan datang seorang penguasa dengan sarwi Himyar dan meminta bagian dari harta tersebut dengan kening tanpa mengeluarkan keringat sedikitpun“ (Lihat HR. Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughniy).


Beralih ke masa kekinian dan dalam konteks ke-Indonesia-an, konsep Islam tentang harta fay`i sedikit banyak telah diselewengkan oleh kelompok teroris untuk menghalalkan aktivitas perampokan terhadap non-Muslim, bahkan terhadap sesama Muslim sendiri yang tidak sejalan dengan ide atau pendapat mereka. Para teroris menghalalkan perampokan toko emas, bank, dan sumber-sumber harta yang mereka anggap sebagai simbol Barat, demi pengembangan negara Islam atau Daulah Islamiyah yang mereka cita-citakan. Mereka meyakini bahwa umat Muslim di Indonesia adalah umat mayoritas yang berhak memerintah atas segala urusan kenegaraan Indonesia. Dalam pemikiran mereka, umat non-Muslim wajib tunduk kepada umat Islam yang mayoritas. Namun, karena kondisi tidak memungkinkan, dalam arti umat Muslim Indonesia tidak seluruhnya mendukung semangat mereka, maka mereka melancarkan aksi pemaksaan kehendak. Harta orang-orang non-Muslim mereka halalkan untuk dirampok. Umat Muslim yang tidak sependapat dengan mereka juga mereka legalkan untuk diambil hartanya. Tentu saja hal ini adalah penafsiran yang salah atas konsep fay`i sebagaimana penulis jelaskan di atas. Jamaah Islamiyah dan Al-Qaeda Bicara tentang Jihad Dalam buku Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia yang disunting oleh A. Maftuh Abegebriel dan Ahmad Yani Abeveiro, disebutkan bahwa organisasi Jamaah Islamiyah (JI) dan Al-Qaeda muncul dikarenakan perasaan keterpurukan umat Islam akibat konspirasi jahat anti-Islam orang-orang Barat dan kaum orientalis. Kemunduran peradaban Islam bagi kelompok-kelompok teroris itu dimulai pada 23 Mei 1924, yaitu runtuhnya Dinasti Usmaniyah (rezim terakhir model


pemerintahan khilafah) di Turki dan adanya penerapan sekularisasi oleh Kemal Attaturk. Langkah modernisasi dan sekularisasi Attaturk tersebut berakibat pada terjadinya proses pemisahan simbol-simbol keagamaan dari ruang publik. Dalam pandangan JI dan Al-Qaeda, fenomena keruntuhan era khalifah yang digantikan dengan era demokrasi, westernisasi merebak di seluruh dunia, paham penyingkiran keterlibatan agama dari urusan kenegaraan melanda semua bangsa, dan konspirasi Barat untuk menghancurkan Islam semakin menjadi-jadi, kesemua hal itu diperparah dengan dikuasainya Masjid Al-Aqsa oleh kekuatan salibis dan zionis. Oleh karena itu mereka menyerukan perang suci, yaitu jihad. Ideologi jihad versi mereka diperkuat dengan apa yang disuntikkan oleh Abdullah Azzam,19 tokoh intelektual Al-Qaeda yang berpengaruh. Nama yang terakhir disebut ini mengatakan bahwa jihad adalah qital atau perang total, bukan yang lain. Seluruh kaum Muslimin wajib mewakafkan jiwa dan hartanya untuk melaksanakan perang suci melawan orang kafir. Di antara strategi jihad dalam pemikiran AlQaeda, terorisme adalah hal yang sangat dibolehkan. Amrozi, terpidana mati kasus terorisme Bom Bali I, menilai bahwa seluruh aktivitas teror dan seluruh penyerangan kepada musuh-musuh Islam adalah juga menunjukkan sifat rahmatan lil alamin Islam. Pada bagian inilah dapat dirasakan bahwa pemahaman mendasar mereka tentang jihad sangatlah keliru. Penafsiran mereka sangat menyimpang sebab jihad yang mereka tampakkan sama sekali tidak bernilai rahmat atau kasih kepada alam semesta beserta penghuninya. Tafsiran jihad 19. Abdullah Azzam atau Abdullah Yusuf Al-Azzam dikenal sebagai Syekh Al-Azzam. Ia salah satu figur utama pergerakan Islam era modern. Tulisan dan pidatonya sangat mampu membangkitkan semangat jihad di kalangan umat Islam. Ia pernah berkiprah di Afghanistan. Fatwa-fatwanya tentang jihad selalu dinantikan kelompok-kelompok radikal.


mereka sangat terkesan dipaksakan dengan mengkampanyekan jihad yang utama adalah memerangi umat non-Muslim serta menegasikan ajaran-ajaran kasih sayang atau rahmat dalam Islam. Dari perjuangan menampakkan kerahmatan Islam versi mereka, Islam malah terlihat sangar, tidak bersahabat dengan umat agama lain dan kejam. Inikah sifat rahmatan lil alamin yang dikandung Islam? Pertanyaan ini adalah tamparan atas pemahaman keliru kelompok-kelompok teroris yang tidak bertanggung jawab itu.


RADIKALISME DAN TERORISME MENYASAR GENERASI MUDA A.

Masa Muda Masa Mencari Jatidiri

Terorisme adalah bentuk kejahatan yang sangat kompleks. Di Indonesia, paham terorisme terkadang tumpang tindih atau sangat dekat hubungannya dengan ideologi agama. Seringkali kasus-kasus terorisme yang melanda negeri ini terlihat merepresentasikan agama tertentu, yakni Islam, sebab para pelakunya mengatasnamakan ajaran jihad sebagai dasar legal formal atas aksinya. Menanggapi isu terorisme, pemerintah, negara, dan seluruh elemen Negara Kesatuan republik Indonesia harus bersatu padu menangani dan mencegah kejahatan tidak berperikemanusiaan ini. Penanganan dan pencegahan terorisme adalah dua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan satu dan lainya. Pemuda sebagai bagian dari bangsa Indonesia juga wajib berkontribusi dalam memutus mata rantai kejahatan terorisme yang meresahkan seluruh masyarakat. Salah satu fenomena yang cukup mengejutkan dunia adalah fakta bahwa sebagian pelaku kejahatan terorisme di berbagai negara, termasuk Indonesia, adalah generasi muda belia. Bahkan, di Indonesia beberapa pemuda yang pernah terjerat kasus terorisme, atau sebut saja mantan teroris, setelah lepas dari hukumannya ternyata kembali lagi menjadi teroris dan sama sekali tidak berkurang derajat radikalismenya. Muda adalah masa atau tahapan kehidupan yang pasti dilalui oleh setiap manusia. Pada jenjang masa muda itu, setiap individu manusia melalui proses pengenalan atau pencarian jati diri. Eksplorasi atas segala hal yang dapat membuat mereka mengenali diri, menyadari kemampuan diri, memiliki identitas atau jati diri menjadi ciri kunci tahapan kehidupan masa muda.


Mengaitkan bahasan pemuda dan terorisme, kita akan teringat pada beberapa pemuda penuh harapan yang sayang sekali karena teracuni paham terorisme maka jiwanya terkorbankan. Jangankan merelakan diri untuk berurusan hukum dengan petugas keamanan negara, merelakan nyawa mereka untuk meledakkan diri dengan bom berkekuatan besar pun mereka lakukan. Khusus dalam aktivitas bom bunuh diri, para pemuda yang bersedia melakukannya mempunyai julukan tersendiri di kalangan kelompok teroris, yaitu pengantin.20 Kita tentu masih ingat dengan Bom JW Marriott yang dilakukan oleh pemuda yang baru saja lulus sekolah bernama Dani Dwi Permana. Masih segar juga dalam ingatan kita bom bunuh diri Cirebon yang dilakukan oleh pemuda yang bernama M. Syarif di Masjid Adz-Dzikra di Kompleks Mapolres Cirebon. Pertanyaannya, mengapa harus generasi muda? Mengapa pemuda begitu mudah tercekoki ide terorisme? Mengapa anak muda begitu mudah menjadi sasaran empuk bagi perkaderan anggota organisasi teroris? Sebenarnya perihal pemuda rentan direkrut menjadi teroris itu wajar saja, mengingat masa muda merupakan masa di mana manusia sedang berusaha menemukan kebenaran atau hakikat atas segala sesuatu, sehingga segala macam ide dapat dengan mudah tertanam. Masa muda kental ditandai dengan kepribadian yang labil, mudah naik atau turun secara ekstrem. Anak muda belum mempunyai prinsip diri dan pegangan yang cukup untuk membentengi diri dari pemahaman yang tidak benar. Pendoktrinan atas segala macam ajaran, termasuk terorisme, oleh sebab

20. Orang yang rela melakukan bom bunuh diri disebut pengantin karena mereka dijanjikan dengan pahala surga serta bidadari yang cantik jelita di sana.


itu berjalan sangat lancar, ditambah lagi dengan kemampuan para teroris dalam memprogandakan atau memprovokasi pemuda untuk menjadi kader teroris. Oleh karena itu, generasi muda harus berkesadaran untuk membentengi diri dengan berbagai pengetahuan keislaman yang toleran dan moderat untuk menangkal propaganda terorisme. Negara dan masyarakat secara umum juga wajib membantu generasi muda agar tidak mudah terjerat rayuan kelompok teroris. Penguatan generasi muda ini penting karena di tangan merekalah kemajuan bangsa dan kehancurannya berada. Dalam sebuah sya’ir dikatakan:

Artinya: “Pemuda hari ini ialah pemimpin hari esok.� Pemuda menjadi tulang punggung bangsa. Kemajuan dan kemakmuran akan diraih oleh bangsa yang generasi mudanya bekerja keras menghasilkan kemaslahatan bagi masyarakat. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Setara Institute di Jawa Tengah dan DIY pada tahun 2012 ini, tersimpulkan bahwa mahasiswa dan pelajar merupakan segmen sosial remaja yang sangat rawan terbajak menjadi “pengantin� atau pelaku bom bunuh diri. B.

Membentengi Pemuda dari Propaganda Terorisme

Beberapa langkah yang penting untuk dilakukan dalam rangka antisipasi gerakan terorisme bagi generasi muda adalah sebagai berikut.


1.

Keadilan Pendidikan bagi Generasi Muda

Generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa harus dibekali dengan ilmu. Pembekalan ilmu kepada generasi muda membutuhkan kebijakan yang adil mengenai sistem pendidikan bagi mereka. Pendidikan berkeadilan bagi pemuda akan menghasilkan generasi bangsa yang menguasai berbagai skill, keterampilan dan ilmu pengetahuan yang menyangkut kehidupan nyata mereka. Masa muda adalah fase kehidupan yang sarat akan percobaan halhal baru. Jika pendidikan bagi pemuda hanya menekankan sisi kognitif serta mengabaikan karakteristik umum masa muda yakni percobaan hal baru, maka dapat diprediksikan bahwa besar kemungkinannya ide radikalisme dan terorisme menjadi sangat menarik bagi mereka. Pemuda bernama M. Syarif ialah contoh yang ideal mengenai masalah keadilan pendidikan dalam kaitannya dengan terorisme. Syarif ialah pelaku bom bunuh diri di Masjid Adz-Dzikra Kompleks Mapolresta Cirebon. Ia dikenal pendiam. Pendidikan yang dienyamnya sangat minimal. Ia seorang pekerja serabutan, tidak punya pekerjaan tetap. Kebutuhan hidup diri dan keluarganya yang selalu mendesak semakin memojokkannya. Karena tiada pekerjaan yang tetap dan sering menganggur maka dengan mudah Syarif tercuci otaknya oleh jaringan teroris yang sukses membujuknya menjadi pengantin bom. Bagi Syarif, meninggalkan kehidupan dunia yang fana ini, apalagi di dunia ia merasakan berbagai macam ketidakadilan, maka iming-iming pahala syahid dan surga beserta bidadari cantik yang akan menjadi pengantin bersamanya sangatlah ia harapkan.


Pembekalan pendidikan dan keterampilan hidup bagi pemuda sungguh penting. Dengan pendidikan dan keterampilan pemuda mampu bersaing dalam dunia kerja sehingga mampu mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Peran pembekalan generasi muda bangsa dengan pendidikan dan keterampilan secara umum memang menjadi tanggung jawab pemerintah. Akan tetapi, masyarakat secara umum, terutama umat Muslim, juga harus berkesadaran untuk berkontribusi mengenai masalah ini. 2.

Diseminasi Wacana Islam Moderat bagi Generasi Muda

Organisasi massa berbasis Islam yang mendakwahkan nilai-nilai moderatisme Islam dan toleransi di Indonesia yang direprsentasikan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga sangat diperlukan dalam program besar membentengi kaum muda dari propaganda radikalisme dan terorisme. Organisasi-organisasi yang independen dan murni bersumber dari inisiatif masyarakat tersebut sangat diharapkan perannya dalam penyemaian atau diseminasi wacana-wacana Islam yang toleran, terbuka dan menghargai perbedaan kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Kontribusi organisasi seperti NU dan Muhammadiyah mendakwahkan ajaran tasamuh (toleransi) dan mensyiarkan Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam sangat strategis dan efektif membantu negara menjaga generasi muda dari serangan paham radikalisme dan terorisme. Pasalnya, NU dan Muhammadiyah adalah representasi mayoritas umat Muslim Indonesia yang sangat memegang teguh empat pilar kebangsaan; setia kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedua organisasi itu mewakili dua


tipologi kelompok masyarakat yang berbeda. NU berasal dari social origin yang tradisional sedangkan Muhammadiyah berasal dari social origin masyarakat kota. Pengaruh keduanya telah terpancang kuat di masing-masing locus sosialnya. Oleh sebab itu, tentu saja melalui kedua ormas ini upaya membentengi generasi muda bangsa dari radikalisme dan terorisme menjadi lebih mudah. Salah satu bukti sejarah mengenai peran ormas Islam dalam membendung arus radikalisme dan terorisme yang penting disebutkan dalam buku ini adalah dikeluarkannya Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, yang kemudian menstimulasi kaum muda di Surabaya di bawah komando Bung Tomo untuk mengusir penjajah. Isi dari Resolusi Jihad itu adalah: 1. Kemerdekaan RI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 adalah sah. 2. RI sebagai satu–satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan. 3. Semua musuh-musuh RI, yakni Belanda dan semua sekutunya yang membantu Belanda, dalam hal ini termasuk tentara Inggris yang datang dengan alasan akan melucuti tentara Jepang, wajib dilawan. 4. Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (fardlu ‘ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak diperbolehkanya meng-qasar salat), dan yang gugur dalam perjuangan ini dinilai mati syahid. 5. Mereka yang berada di luar radius tersebut tidak wajib berperang (hukumnya fardlu kifayah), tetapi berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang sedang berjuang


menghadapi musuh, dan dosa besar bagi mereka yang tidak bersedia memberikan bantuan bagi mereka yang sedang berjuang.21 Dokumen resolusi jihad tersebut menyampaikan ajaran jihad yang sejati bagi umat Muslim Indonesia. Jihad yang terjadi saat itu benar-benar bermakna qital (perang) dan dalam konteks negara yang sedang berperang melawan penjajah. Makna jihad qital, jihad menggunakan harta serta jihad melawan nafsu benar-benar sangat relevan untuk dilakukan saat itu. Sementara itu, ketika negara sudah merdeka, bebas dari penjajahan dan peperangan, dokumen fatwa jihad dalam arti perang tentu saja secara otomatis tidak berlaku dan tidak diberlakukan. Pasca-kemerdekaan, fatwa dan anjuran yang dikeluarkan oleh organisasi massa Islam seperti NU dan Muhammadiyah adalah ajakan kepada anggotanya agar bersama-sama dan bersatu padu memelihara kemerdekaan serta menjaga keutuhan negara dan bangsa. 3.

Deradikalisasi Melalui Pendekatan Budaya

Untuk membentengi pemuda dari propaganda radikalisme dan terorisme, langkah yang juga perlu dilakukan adalah upaya deradikalisasi. Menurut Petrus Reinhard Golosse dalam bukunya, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput, terdapat tiga hal yang penting untuk dilaksanakan guna menangkal radikalisme dan terorisme. Pertama, pendekatan

21. Diktat materi Aswaja Kelas X Madrasah Aliyah diterbitkan oleh Pengurus Wilayah Ma’arif Jawa Tengah.


kepada masyarakat umum ataupun kepada masyarakat yang sudah terjangkiti paham radikal dengan pendekatan yang sesuai dengan nilai kemanusiaan. Upaya deradikalisasi harus dilakukan dengan cara persuasif, lembut dan tidak mengedepankan militerisme. Hal ini bisa diperankan lembaga-lembaga sipil dan ormas keagamaan yang moderat, laiknya NU dan Muhammadiyah. Keduanya bisa memainkan peranan sebagaimana disitir dalam Alquran: “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. ...” (QS. Ali Imran: 110). “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah22 dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik! Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl: 125). “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu,23 kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkal-lah kepada Allah! Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imran: 159).

22. Hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil. 23. Maksudnya dalam urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.


Kedua, komunikasi yang baik, mendidik dan tidak intimidatif. Kelompok radikal atau teroris yang sangat jahat sekalipun, mereka tetap manusia yang berhak dimanusiakan. Guna meredakan ide radikalisme dan terorisme yang bergejolak dalam pemikiran mereka, komunikasi yang bersahabat dengan pihak-pihak yang terkategorikan radikal sangatlah penting. Hal ini berfungsi untuk menjaga citra baik masyarakat dan negara sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya pihak-pihak yang terkategorikan radikal juga merupakan bagian dari masyarakat. Ketiga, membangkitkan simpati sebagian warga yang terjangkiti virus radikalisme. Langkah ketiga ini membutuhkan peran ulama, kiai dan tokoh masyarakat. Para tokoh masyarakat harus menjadi garda terdepan dalam menyebarkan nilai-nilai kerahmatan Islam. Mereka berkewajiban meluruskan kembali ajaran-ajaran Islam yang telah diselewengkan oleh kelompok radikal dan teroris yang tidak bertanggung jawab. Ketiga langkah deradikalisasi di atas harus dilakukan dengan pola pendekatan budaya (cultural approaches). Pendekatan ini sesuai dengan kondisi multikultural bangsa Indonesia. Pola dakwah kultural dahulu juga digunakan oleh Wali Songo dalam mensyiarkan Islam di Jawa dan hasilnya sangat efektif. 4.

Peningkatan Peran Masjid dan Lembaga Pendidikan

Upaya membentengi generasi muda Muslim dari rayuan radikalisme dan terorisme juga harus dilaksanakan melalui peningkatan peran masjid dan lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah, pesantren dan sekolah Islam. Rata-rata masjid di Indonesia


hanya digunakan sebagai tempat salat lima waktu. Padahal, idealnya masjid selain berfungsi sebagai tempat beribadah umat Muslim juga sangat efektif untuk menjadi pusat aktivitas sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, kesehatan dan berbagai aktivitas masyarakat lainnya. Hal ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika membangun peradaban di Madinah. Saat itu hal pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid sebagai pusat peradaban masyarakat Madinah. Pada era modern saat ini, umat Muslim di Indonesia perlu merevitalisasi fungsi masjid sehingga dapat menjadi pusat kegiatan hablun minallah, melalui kegiatan keagamaan, sekaligus pusat kegiatan hablun minannas yang dapat memberdayakan serta memakmurkan masyarakat. Ketika masjid menjadi pusat peradaban masyarakat, maka paham radikalisme dan terorisme tidak akan bisa meracuni generasi muda Muslim. Sedangkan mengenai lembaga pendidikan Islam, perlu kiranya dilakukan standarisasi kurikulum berbasis Islam yang rahmatan lil alamin. Hal ini sangatlah penting mengingat beberapa kali sudah masyarakat dan negara kecolongan dengan berdirinya pesantren yang melahirkan alumni-alumni radikal, bahkan di antara mereka ada yang menjadi teroris.


PENUTUP Pada tataran ideal, Islam sebagai agama yang kehadirannya adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), sangat menentang radikalisasi nilai-nilai keagamaan apalagi pembawaan ajaran agama sebagai dasar aksi kekerasan. Hal ini disebabkan karena paham radikalisme bertolak belakang dengan semangat dan nilai-nilai Islam. Agama Islam mendidik umatnya agar menumbuhkan semangat tasamuh atau toleransi dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat yang sarat akan kemajemukan. Alquran menyebutkan bahwa kemajemukan suku, ras, agama, dan bangsa di kalangan umat manusia adalah sunnatullah, ketetapan Allah. Menghadapi fakta pluralitas tersebut, Islam mengajarkan umatnya agar saling menghargai dan membina kerukunan, bukan saling membenci dan menghancurkan. Meskipun demikian, yang tersaksikan di bumi Indonesia saat ini ternyata masih belum sempurna jika dikatakan ideal atau sesuai dengan idealnya Islam yang rahmatan lil alamin. Dalam kondisi negara yang sedang berkembang beserta segala sisi negatif yang menyertainya, seperti pengangguran meningkat dan kemiskinan merajalela, paham radikalisme sangat laku dan disukai oleh sebagian umat Muslim, khususnya generasi mudanya. Politik global dan ketidakadilan dunia juga turut mengkondusifkan iklim di tanah air sehingga generasi muda atau umat Muslim secara umum merasa perlu untuk menjadi radikal, atau lebih jauh lagi, menjadi teroris. Meskipun tugas utama menangani kasus radikalisme dan terorisme berada di pundak negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menghadang laju radikalisme dan terorisme meracuni generasi bangsa, umat Muslim harus bersatu padu mencegah paham radikalisme menyebar.


Pengalaman Indonesia telah menunjukkan bahwa rentetan aksi teror, mulai dari Bom Bali hingga Bom Buku di Jakarta sangat meresahkan bangsa dan mencoreng nama baik Islam serta kaum Muslimin. Kesimpulan yang cukup menarik dari buku ini adalah adanya fakta bahwa generasi muda Muslim merupakan segmentasi yang paling rawan untuk dibajak menjadi teroris. Serangkaian aksi teror yang telah terjadi pada dua dekade terakhir ini membelalakkan mata seluruh bangsa bahwa betapa generasi muda sangat rentan terhadap propaganda kelompok radikal dan kelompok teroris. Sungguh, sikap radikal sangat mencederai keharmonisan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, dan aksi teror adalah puncak dari paham radikalisme. Untuk itu, umat Muslim Indonesia khususnya, serta seluruh bangsa Indonesia pada umumnya, wajib secara bersama-sama bekerja keras membentengi seluruh komponen bangsa, terutama generasi muda, agar tidak terjerat rayuan paham radikalisme dan terorisme. Wallahu A’lam Bi Ashawaab.


DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Orang Jawa: Analisis Gunungan Pada Upacara Garebeg, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2002. Azra, Azyumardi, “Bahasa Politik Islam di Asia Tenggara: Pengantar Penjelajahan” dalam Islamika No. 5 Juli-September 1994. -----------------, “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam: Survei Historis dan Doctrinal”, dalam Ulumul Qur’an No. 3 Vol: IV, 1993. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pessantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982. Jinan, Mutohharun, “Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi Tentang Perluasan Gerakan Majelis Tafsir Al-qur’an”, paper dipresentasikan dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) di Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011. Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Pengurus Wilayah Ma’arif Jawa Tengah, Diktat Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, kelas IX Madarasah Tsanawiyah, Jepara: AlKautsar, tt. -------------------, Diktat Materi Aswaja Kelas X Madrasah Aliyah. Seno Adji, Indriyanto, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001. Sholahuddin, “Perlu Deradikalisasi Akar Rumput”, dalam Koran Jakarta Edisi Senin 26 September 2011.


van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995. Vincenzo Olivetti, Terror’s Source: The Ideology of Wahhabis-Salafism and Its Consequences, Cambridge: Amadeus Books, 2002. Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidayah Agung, 1990. Sumber Online http://dictionary.reference.com/browse/dialogue http://nasional.vivanews.com/news/read/232936--ponpes-umar-bin- khattab-ajarkan-radikalisme



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.