bebas dari segala kesulitan, bebas dari pikiran tentang istrinya. Tidak! Tidak! Aku harus selesaikan sendiri semua. Semua! Semua! Ia meronta bangun, dengan langkah tegap menaiki jenjang ruang belakang, langsung menuju kamar. Didapatinya Mardinah telah bertiduran di ranjangnya. Dengan langkah tegap itu pula ia langsung menghampiri Mardinah. “Orang kota, bangun! Menurut ukuran orang kampung tidaklah sopan tidur di tempat orang lain tanpa ijin.” Mardinah tertawa dan bangkit sendiri. “Rupa-rupanya kau bisa menggeletak dan terlentang di mana - mana, di mana saja.” Ternyata Mardinah kebal tusukan kata. Ia masih juga tertawa. Dan tanpa terduga oleh Gadis Pantai keluar kata-katanya: “Ini, Mas Nganten,” sambil menunjuk-nunjuk dadanya sendiri, “tak lain dan tak bukan adalah tubuh sahaya sendiri. Terserah pada sahaya di mana sahaya taruh dan sahaya geletakkan.” “Tidak. Tidak terserah padamu semata-mata. Keluar kau dari kamar ini! Jangan masuk lagi. Keluar!” Lenyaplah tawa dari wajah Mardinah. Dengan mata berapi api ditantangnya Gadis Pantai dan dengan suara mengancam ia menyatakan, “Tidak mungkin orang kampung memerintah anak priyayi. Tidak bisa. Tidak mungkin.” Tapi Gadis Pantai telah menudingnya tepat pada matanya. “Keluar!” Mardinah dengan kasar melemparkan lengan yang menudung matanya. Tapi Gadis Pantai menuding dengan tangannya yang lain. Kemudian, “juh!” dan sepercik ludah bertengger pada hidung Mardinah. Tidak kurang dari seminggu lamanya Mardinah tak pernah muncul di kamar Gadis Pantai. Ia tinggal di dapur. Dan karena bukan seorang pekerja dapur, ia hanya duduk-duduk di sana sambil mengobrol dengan para pekerja dapur. Saban pagi Gadis Pantai turun dari kamarnya, memasuki dapur dan mengawasi santapan yang akan dihidangkan pada suaminya. Ia cicipi semua untuk menentukan baik tidaknya dihidangkan, kemudian ia tutup meja, setelah itu membatik. Dalam seminggu ini bila ia masuk ke dapur, matanya tajam mengikuti segala gerak-gerik pelayannya. Tapi tiada sepatah Gadis Pantai | 99