“Lantas kau dapat perintah mengusir aku: Biar Bendoro dapat kawin dengan wanita berbangsa, bukan? Ah, ah. Aku bisa menetap di kampung ini, kampungku sendiri. Kau boleh pulang. Jangan ikut masuk ke kampung.” “Sahaya takut, Mas Nganten.” “Takut? Di mana kelebihan orang kota, orang berbangsa? Orang kampungan seperti aku ini tidak takut.” “Jangan biarkan sahaya seorang diri, Mas Nganten.” “Lebih dua tahun aku tinggal di kota, sampai akhirnya kau datang. Dan baru sekarang ini aku tahu, orang-orang kota, orang-orang berbangsa itu, begitu takutnya kalau orang tidak lagi menghormatinya. Dan mereka begitu takutnya kalau terpaksa menghormati orang-orang kampung.” Hari telah mulai gelap. Dalam kegelapan Gadis Pantai melihat Mardinah hanya menunduk di atas bangku di sampingnya, kepalanya ditumpangkannya di atas kedua belah tangannya. Kedua wanita itu masih muda belia, namun berpengalaman sudah dalam banyak hal, seperti umumnya wanita-wanita di rumah-rumah gedung. Keduanya jadi dewasa dalam gemblengan kesulitan-kesulitan. “Dan Mas Nganten sendiri? Mau kembali ke kampung apa tak takut kehilangan sesuatu?” “Segalanya telah lenyap dari tangan orang seperti aku, semua orang kampungan. Kami cuma dapat mengimpi. Apa lagi yang dapat hilang dari kami? Impian itu?” “Apa yang Mas Nganten impikan?” “Segala-galanya yang tak pernah ada dalam kehidupan kami.” “Lantas, apa saja yang ada dalam kehidupan Mas Nganten?” “Setelah lebih dari dua tahun tinggal di gedung, tahulah aku, kami cuma punya kemiskinan, kehinaan dan ketakutan terutama pada orang kota. Di kampung kami tahu benar tepung udang dibayar sebenggol, padahal mestinya empat sen. Itu tidak layak, tidak adil. Tapi lihatlah diriku ini. Bukan lagi tepung udang. Manusia! Aku tak bisa dipungut begitu saja dari kampung, disimpan di dalam gedung. Kau, kau orang kota, apa yang kau tahu tentang orang kampung?” Mardinah tak menjawab. “Aku kenal seorang wanita tua. Dulu dia layani aku di gedung sejak aku tinggal di sana. Tapi dia diusir karena tuduh agusagus colong duitku.” “Dia harus diusir.” “Mengapa?” Pramoedya Ananta Toer | 120