Teknologi Baterai

Page 1


Kata Pengantar Ide untuk menulis buku tentang baterai awalnya muncul ketika saya ingin belajar mengenai baterai. Sebagai orang yang malas belajar tentang detail suatu hal, saya cukup menghindari belajar suatu hal dari textbook impor yang tebal. Jadi saya ke mencari buku ringan berbahasa Indonesia mengenai baterai di bukalapak, tokopedia, gramedia, dan togamas. Hasilnya nihil. Jadi, saya pikir, kenapa tidak saya coba menulis tentang baterai untuk orang-orang seperti saya? Kemudian pada bulan Agustus, dosen saya Pak Ferry Iskandar menawarkan opsi untuk menulis buku ini. Jadi ya sudahlah, apa salahnya mencoba. Saya sebagai orang yang tidak pernah menulis buku sebelumnya hanya bermodalkan nekat, memutuskan untuk menulis. Yang ada dalam otak saya hanyalah: Tulis 1 bab per minggu. Saya belum benar-benar memahami apapun tentang baterai. Sama sekali tidak ada pikiran mengenai software-software seperti endnote, tidak ada pikiran mengenai layout, penerbitan, kosakata yang benar, cara mencantumkan gambar dan sitasi yang benar, atau apapun. Yang saya tahu hanyalah, tulis 1 bab per minggu. Pada akhirnya, hari ini tanggal 8 Desember 2018, buku sederhana ini selesai dengan total 12 bab. Masing-masing bab ini bercerita dengan singkat mengenai baterai, tidak sampai aspek teknis yang benar-benar mendalam. Saya tidak mau menulis sesuatu yang hanya orang-orang tertentu yang mau membaca. Harapan saya, buku ini bisa dibaca oleh orang-orang dari jurusan apapun yang memiliki minat untuk sedikit tahu mengenai baterai. Terima kasih untuk ayah dan ibu yang selalu mendukung apapun minat saya dan menyediakan saya fasilitas yang cukup. Terima kasih juga ke Pak Ferry Iskandar yang mau memberi saran dan masukan mengenai buku ini. Terima kasih kepada Annalyce S.A. yang mau membuatkan cover, dan semua teman-teman saya yang selalu memberi saya support. Terakhir, terima kasih kepada Anda, pembaca buku ini. Andalah tujuan penulisan buku ini. Selamat membaca dan semoga buku ini bermanfaat!

Desember 2018, Penulis

1


Daftar Isi Kata Pengantar ........................................................................................................................... 1 Daftar Isi .................................................................................................................................... 2 Bab 1. Teknologi Penyimpanan Energi dalam Kehidupan Manusia ......................................... 3 Bab 2. Sejarah Singkat, Status, dan Prospek Baterai ................................................................. 7 Bab 3. Bagian-Bagian dan Prinsip Kerja Baterai..................................................................... 10 Bab 4. Parameter-Parameter Baterai ........................................................................................ 16 Bab 5. Cara Pengukuran Baterai .............................................................................................. 22 Bab 6. Cara Pembuatan Baterai ............................................................................................... 31 Bab 7. Jenis-Jenis Baterai ........................................................................................................ 37 Bab 9. Baterai All Solid State .................................................................................................. 49 Bab 10. Baterai Litium Sulfur .................................................................................................. 54 Bab 11. Baterai Metal-Air ........................................................................................................ 59 Bab 12. Bonus: Tips Merawat Baterai Laptop dan Handphone .............................................. 64 Bibliografi ................................................................................................................................ 68 Tentang Penulis ........................................................................................................................ 71

2


Bab 1. Teknologi Penyimpanan Energi dalam Kehidupan Manusia Apa itu Energi dan Apa Pentingnya? Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari energi. Kita selalu menggunakan handphone, laptop, motor, jam tangan, televisi, lampu, dan peralatan lainnya. Untuk bekerja, alat-alat tersebut membutuhkan energi. Energi secara fisika adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk melakukan kerja. Satuan internasional energi adalah Joule, tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih sering menggunakan kWh, misalnya di meteran listrik rumah. Satu kWh adalah besar energi yang dihasilkan ketika daya listrik 1kW dinyalakan selama 1 jam. Daya listrik sendiri adalah besar energi per satuan waktu, dengan satuan watt. Satu watt berarti 1 Joule/detik. Selain untuk menjalankan peralatan sehari-hari, energi juga dibutuhkan manusia untuk hidup. Manusia menggunakan energi untuk memompa darah dengan jantung, untuk menggerakkan otot, dan bahkan untuk berpikir. Rata-rata, manusia dewasa membutuhkan energi sekitar 10.000 kJ/hari, yang berarti daya rata-ratanya ialah sekitar 115,7 W[1] . Dalam fisika terdapat hukum kekekalan energi, yang menyatakan bahwa energi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan, tetapi bisa dikonversi dari suatu bentuk ke bentuk lainnya. Misal motor elektrik, mengonversi energi listrik menjadi kinetik. Lampu, mengonversi energi listrik menjadi cahaya. Kendaraan bermotor, mengubah energi kimia dalam bensin menjadi energi kinetik. Terdapat dua jenis energi, yaitu energi primer dan sekunder. Energi primer adalah energi yang secara alami terdapat di bumi tanpa campur tangan manusia. Contohnya ialah batu bara, minyak bumi, cahaya matahari, dan angin. Manusia tidak secara langsung menggunakan energi primer tetapi mengubahnya ke energi sekunder yang bisa dimanfaatkan. Contoh energi sekunder adalah bensin dan listrik. Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, energi juga digunakan dalam industri dan transportasi. Tingkat konsumsi energi suatu negara bisa mencerminkan tingkat kesejahteraan atau seberapa maju negara tersebut. Misal, pada tahun 2016 Amerika mengonsumsi energi sebesar 4.147 TWh, lebih dari 20 kali konsumsi energi Indonesia yaitu 225 TWh[2]. Apa Masalah yang Ada? Pada zaman modern ini, sulit untuk membayangkan hidup tanpa laptop, tanpa handphone, tanpa bioskop, tanpa proyektor, tanpa motor. Energi sudah menjadi kebutuhan manusia untuk hidup sejahtera. Namun begitu, energi yang merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia saat ini masih memiliki beberapa masalah. Masalah yang pertama adalah masalah supply-demand. Seiring perkembangan populasi manusia dan tingkat kesejahteraannya di bumi, maka kebutuhan energi di dunia selalu meningkat. Menurut BP Energy Outlook, konsumsi energi manusia akan meningkat hingga 37% di antara tahun 2013 hingga tahun 2035[3]. Yang terjadi jika peningkatan demand ini tidak 3


diimbangi dengan supply, harga akan meningkat menjadi mahal, seperti krisis minyak yang terjadi pada tahun 1970an. Masalah yang kedua adalah, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Pada tahun 2012 saja, konsumsi energi primer manusia yang berupa fosil ialah sebesar 81,7%[2]. Energi fosil ini memiliki dua kekurangan utama. Yang pertama, intensitas konsumsi manusia jauh lebih tinggi daripada intensitas pembentuk bahan bakar fosil secara alami. Yang kedua, pembakaran bahan bakar fosil ini menimbulkan gas buangan berupa CO2, yang merupakan salah satu gas rumah kaca. Gas rumah kaca ini menimbulkan efek rumah kaca, yang akibatnya merugikan manusia seperti dunia semakin panas, ekosistem terganggu, cuaca tidak tentu, pulau-pulau kecil tenggelam, dan sebagainya.. Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, dunia memang sudah menganggap bahwa energi ini merupakan suatu prioritas sehingga merupakan salah satu SDGs, tepatnya nomor tujuh. Untuk mengatasi kedua masalah di atas, manusia berlomba-lomba untuk menemukan energi yang murah, yang ramah lingkungan, dan tidak akan habis. Oleh karena itu, tren perkembangan dunia saat ini memang menuju kepada era energi terbarukan seperti matahari dan angin. Apa Peran Teknologi Penyimpanan Energi? Teknologi penyimpanan energi adalah teknologi yang digunakan untuk menyimpan energi (tentu saja). Contohnya ialah bensin, baterai, dam air, dan sebagainya. Mereka digunakan supaya alat yang memerlukan energi bisa dijalankan walapunn tidak ada pembangkitan listrik dari energi primer. Kalau kita lihat subbab sebelumnya, disebutkan bahwa tren perkembangan dunia saat ini adalah menuju era energi terbarukan. Perusahaan-perusahaan besar dunia seperti Google, Apple, dan Microsoft tergabung pada komunitas RE100, yaitu komunitas yang berisikan perusahaanperusahaan yang menyatakan akan menggunakan 100% energi terbarukan pada tahun tertentu. Kemudian, di US sudah mulai populer mobil listrik yaitu Tesla, tinggal menunggu waktu hingga Indonesia juga memakai mobil listrik. Masalah utama energi terbarukan saat ini, selain tentunya harga, ialah teknologi penyimpanan energinya. Sebutkan saja dua energi terbarukan yang paling populer, yaitu matahari dan angin. Keduanya bersifat sangat intermitten, yaitu berubah-ubah tergantung dengan cuaca. Misal saat mendung, panel surya tidak dapat menghasilkan listrik dengan optimal, begitu juga dengan turbin angin saat angin hanya bertiup pelan. Padahal, dalam pembangkitan listrik, dibutuhkan daya yang stabil. PLN sangat tidak menyukai jika terdapat IPP (Independent Power Producer) yang bersifat intermitten karena akan merusak sistem pembangkitan. Oleh karena itu, dalam energi terbarukan, idealnya digunakan teknologi penyimpanan energi. Teknologi ini masih banyak memiliki kendala, misal kita ambil kasus baterai pada panel surya. Kita menginginkan baterai yang tahan lama, minimal setara dengan umur panel surya. Namun, kenyataannya, baterai secara umum (accu/lead acid) ataupun yang sekarang sedang mulai booming (Li-Ion) hanya memiliki umur sekitar 5-10 tahun. Artinya, setelah umur tersebut mencapai batasnya, baterai perlu diganti. Padahal, panel surya sendiri bergaransi 20 tahun dan berumur bisa hingga sekitar 40 tahun. Secara harga pun, penyebab energi terbarukan mahal bukan hanya dari teknologi pembangkit listriknya, tetapi dari baterainya. Misal, liburan 2017 lalu penulis memasang panel surya sendiri 4


di rumahnya dengan dana sekitar Rp13.000.000. Biaya tersebut sekitar Rp4.000.000 habis hanya untuk baterai saja, sedangkan panel surya sebanyak Rp5.000.000. Kemudian, jika kita melihat mobil listrik, banyak sekali space dalam mobil yang habis untuk baterai saja. Bahkan, komponen yang membuat mobil listrik masih sangat mahal ialah motor listrik dan baterainya. Diinginkan baterai dengan energy density tinggi (menyimpan banyak energi dalam volume dan massa kecil), power density tinggi, awet (cycle number banyak), dan juga murah. Jenis-Jenis Teknologi Penyimpanan Energi Berikut ini adalah jenis-jenis teknologi penyimpanan energi yang umum digunakan[4]. 1. Penyimpanan energi mekanik Jenis teknologi ini contoh-contohnya ialah dam air, udara terkompresi, dan flywheel. Dam air menyimpan energi dengan cara menyimpan air pada ketinggian tertentu sehingga memiliki energi potensial yang sewaktu-waktu bisa digunakan. Udara terkompresi menggunakan prinsip termodinamika, di mana udara akan melakukan usaha ketika volumenya mengembang. Udara yang terkompresi ini menyimpan energinya dengan tekanan yang dia simpan, dan siap dipakai dengan mengembangkan udara tersebut ke lingkungan untuk melakukan kerja. Flywheel menyimpan energi dalam bentuk energi kinetik. 2. Penyimpanan energi panas Energi disimpan dalam bentuk energi panas biasanya dengan medium air. Contoh aplikasinya adalah pada sistem solar thermal, yang memfokuskan energi matahari menggunakan cermin parabola atau lensa yang sangat besar. 3. Penyimpanan energi elektrokimia Secara umum, penyimpanan energi elektrokimia ini berbentuk baterai. Baterai memiliki bermacam-macam jenis, misal ialah lead acid/accu, redox flow battery, dan baterai litium. Sampai saat ini, baterai yang paling banyak dipakai di berbagai bidang mulai dari handphone, laptop, hingga mobil listrik adalah baterai litium. Pada dasarnya, baterai menyimpan energi dalam bentuk kimia. Namun, karena baterai secara khusus menghasilkan tegangan tertentu sesuai dengan materialnya, maka ia digolongkan sendiri sebagai penyimpanan energi elektrokimia. 4. Penyimpanan energi elektromagnetik Teknologi penyimpanan ini adalah termasuk yang paling jarang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Energi disimpan dalam bentuk energi magnet menggunakan bahan superkapasitor dan superkonduktor. 5. Penyimpanan energi kimia Berbeda dengan penyimpanan energi elektrokimia, penyimpanan energi kimia ini tidak menggunakan dua jenis elektroda seperti baterai. Energi benar-benar tersimpan dalam ikatan kimianya, bukan muncul akibat beda potensial antara dua logam. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah fuel cell hidrogen.

5


Setiap jenis penyimpanan energi tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Misalnya, penyimpanan energi mekanik secara umum memiliki kapasitas dan efisiensi yang tinggi, tetapi pembangunannya cukup sulit mempertimbangkan biaya awal pembangunan dan juga faktor geografisnya. Dengan begitu, setiap jenis penyimpanan energi memiliki perannya masing-masing. Dalam kehidupan sehari-hari kita, jenis teknologi yang paling akrab kita gunakan ialah jenis penyimpanan energi elektrokimia yaitu baterai, yang menjadi topik utama dalam buku ini.

6


Bab 2. Sejarah Singkat, Status, dan Prospek Baterai Awal Mula Baterai Orang mengenal Alessandro Volta sebagai penemu pertama baterai. Ia merupakan orang Italia dan lahir pada tanggal 17 Februari 1745[1]. Termasuk salah satu ilmuwan fisika besar di dunia, ia tak hanya menemukan baterai. Ia merupakan penemu gas metana yang berasal dari rawarawa, remotely operated pistol (yang menjadi permulaan telegraf), dan penemuannya yang paling terkenal adalah Voltaic Pile atau sel Volta. Namun, terdapat sedikit fakta unik tentang sejarah baterai. Pada tahun 1930, ditemukan sebuah artefak di Khujut Rabula, Bhagdad. Artefak itu terdiri atas silinder tembaga, batang besi, dan aspal disusun dalam sebuah guci dari tanah liat. Artefak itu diperkirakan berusia sekitar 20005000 tahun. Awalnya, tidak diketahui artefak ini berfungsi untuk apa. Baru kemudian, ilmuwan menyadari bahwa ketika guci tersebut diberi larutan asam sulfat, maka akan muncul tegangan listrik 1,5 volt selama kurun waktu 18 hari [1]. Penemuan ini berarti, sebelum Volta, sudah ada orang yang membuat alat yang bisa menghasilkan listrik dari reaksi kimia. Walau pada zaman itu mungkin sains tentang kimia dan elektromagnetisme belum mapan, unik bahwa orang bisa mendesain alat semacam ini. Lebih lanjut lagi, mungkin banyak artefak-artefak kuno yang kalau diteliti bisa memberikan ide bagi manusia modern untuk membuat teknologi baru. Sebelum Volta juga, terdapat seorang ilmuwan bernama Luigi Galvani, yang juga orang Italia. Ia terkenal atas eksperimen yang ia lakukan ke kaki katak pada tahun 1780. Ketika kaki katak diberi kontak kepada dua jenis logam yang berbeda, kaki tersebut akan bergerak. Galvani menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa terdapat suatu karakteristik di dalam katak yang mengandung listrik, ia namakan “inherent animal electricity� [2]. Namun, bagaimanapun, penemuan baterai yang diakui oleh dunia adalah yang ditemukan oleh Alessandro Volta. Ia tidak setuju dengan penjelasan Galvani yang menyatakan adanya “inherent animal electricity�. Ia menunjukkan dengan voltaic pile-nya, bahwa yang menyebabkan munculnya listrik adalah sebuah rangkaian yang terdiri dari dua logam berbeda dan sebuah elektrolit. Pada kasus katak Galvani, kaki katak berperan sebagai elektrolitnya. Voltaic pile tersusun atas dua logam berbeda, yaitu tembaga (copper) dan seng (zinc) yang dipisahkan oleh sepotong kain baju atau kardus yang direndam bersama brine. Brine ini berperan sebagai elektrolit, salah satunya adalah asam sulfat (H2SO4). Alat ini memang memiliki beberapa kelemahan seperti kurang stabil dan berbahaya karena menggunakan asam sulfat cair. Kemudian, kekuatan sel selalu berkurang seiring waktu karena gas hidrogen hasil reaksi tidak dapat dilepaskan dan malah menumpuk membentuk penghalang antara logam dengan elektrolit. Voltaic pile ini diakui oleh dunia sebagai baterai pertama di dunia, yang kelak merupakan salah satu sumber listrik yang dapat diandalkan. Atas penemuannya, nama Volta diabadikan sebagai satuan tegangan yaitu volt.

7


Gambar 1. Skema voltaic pile[3]

Perkembangan Baterai Pasca Volta Perkembangan selanjutnya ada pada tahun 1836, yaitu sel Daniel yang dinamakan atas penemunya, John Fredrick Daniell [4]. Perbedaannya dengan voltaic cell adalah sel Daniel tidak menggunakan kain atau cardbox yang direndam asam sulfat sebagai elektrolit. Elektrolit murni menggunakan cairan, yaitu larutan zink sulfat dan tembaga sulfat. Plat tembaga diletakkan di dasar botol lalu diisi dengan larutan tembaga sulfat hingga setengah penuh botol. Kemudian, diletakkan plat zink, kemudian ditambah larutan zink sulfat hingga penuh. Karena kedua larutan memiliki massa jenis yang berbeda, mereka tidak bercampur satu sama lain. Sel Daniel ini menjadi sumber energi utama untuk bel rumah dan telepon sebelum sistem pembangkitan listrik menjadi semakin sempurna. Setelah itu, pada tahun 1839 ditemukan fuel cell oleh William Robert Grove, yang menghasilkan listrik dari hidrogen dan oksigen. Sampai saat itu, baterai yang ada hanyalah baterai primer, yang sifatnya sekali pakai dan tidak dapat dicas. Baterai sekunder yang bersifat dapat dicas, ditemukan pertama kali oleh Gaston Plante, seorang Perancis, pada tahun 1859[5]. Baterai sekunder pertama yang ditemukan tersebut adalah lead-acid battery, atau yang kita kenal sehari-hari sebagai accu. Lead-acid battery ini sampai sekarang masih digunakan pada mobil, pada motor untuk starter. Lalu, pada tahun 1866 ditemukan sel Leclanche Carbon-Zinc oleh seorang Perancis (lagi) bernama Georges Leclanche. Katodanya berupa mangan dioksida, anoda berupa batang zinc, dan elektrolit berupa larutan ammonium klorida. Leclanche kemudian mengembangkan selnya menggunakan pasta ammonium klorida (padat), yang menjadi baterai kering pertama di dunia, sebuah jenis baterai yang dengan aman dapat dibawa ke mana-mana[6]. Selanjutnya, pada tahun 1898 muncul baterai komersial pertama yaitu Colombie Dry Cell yang dijual di Amerika. Perusahaan yang memproduksinya adalah National Carbon Company yang kemudian berubah nama menjadi Eveready Battery Company, yang memperoduksi merk Energizer[6]. Beberapa perkembangan selanjutnya adalah penemuan baterai Nikel cadmium (1899), penemuan baterai alkalin oleh Thomas Alva Edison (1901), lalu baterai NiMH.

8


Baterai Sekarang dan Prospek Baterai ke Depan Saat ini, fokus riset baterai ada pada baterai yang berbasiskan litium. Baterai ini pertama kali dikomersialisasi Sony pada tahun 1991[6]. Baterai ini digunakan di mana-mana mulai dari hp, laptop, kamera digital, peralatan medis, kendaraan listrik, dan satelit. Hal ini disebabkan karena baterai litium memiliki rapat energi yang besar, proses pengecasan simpel, tidak butuh perawatan yang rumit, dan berbagai alasan lainnya yang akan dibahas detail di satu bab sendiri mengenai baterai litium ion. Fokus riset tersebut tentu bertujuan untuk mencari baterai dengan rapat energi yang lebih besar, umur yang lebih panjang, keamanan yang lebih terjamin, dan proses pengecasan yang lebih cepat. Riset tentu masih banyak dilakukan untuk meningkatkan performa baterai litium, utamanya riset mengenai material katoda, anoda, dan elektrolitnya. Selain material komponen baterai, riset juga berusaha mengembangkan jenis baterai baru misal baterai lithium-air, baterai allsolid-state battery, LiS, dan banyak lainnya [6]. Sedikit fakta di sini adalah, untuk memahami baterai, tidak cukup hanya dengan fisika saja. Dalam memahami baterai atau jika ingin melakukan riset mengenai baterai, diperlukan juga ilmu kimia. Hal ini disebabkan karena risetriset mengenai baterai pada dasarnya adalah berfokus pada materialnya. Pada bab-bab selanjutnya, pembahasan tentang baterai hampir pasti tidak akan terpisah dari material-material dan reaksi kimianya.

9


Bab 3. Bagian-Bagian dan Prinsip Kerja Baterai Baterai, secara umum memiliki empat buah komponen utama yaitu katoda, anoda, separator, dan elektrolit[1]. Mari kita bahas satu per satu.

Gambar 2. Komponen-komponen utama baterai [2]

1. Katoda Katoda adalah kutub positif dari baterai. Secara umum, katoda didefinisikan sebagai tempat pada sel elektrokimia di mana terjadi proses reduksi, yaitu proses penangkapan elektron. Pada kasus baterai yang termasuk sel volta, katoda merupakan kutub positif. Namun, misal pada kasus sel elektrolisis, katoda merupakan kutub negatif. 2. Anoda Anoda adalah kutub negatif dari baterai. Kebalikan dari katoda, secara umum anoda didefinisikan sebagai tempat pada sel elektrokimia di mana terjadi proses oksidasi, yaitu proses pelepasan elektron. Pada kasus elektrolisis, anoda merupakan kutub positif. Jadi, ketika baterai disambungkan dengan rangkaian eksternal, elektron akan mengalir dari anoda ke katoda. Dengan kata lain, arus mengalir dari katoda ke anoda, sehingga katoda merupakan kutub positif dan anoda kutub negatif. 3. Separator Separator adalah pemisah antara katoda dan anoda. Baterai bertugas untuk mengalirkan elektron hanya melalui rangkaian eksternal, jadi diperlukan komponen baterai untuk mencegah aliran elektron dari anoda ke katoda di dalam baterai. Itulah tugas separator. Separator memiliki sifat isolator untuk elektron, tetapi konduktor untuk ion. Ketika logam anoda teroksidasi melepaskan elektron, ia akan menjadi ion logam. Ion tersebut akan mengalir menuju katoda melalui separator, sedangkan elektron akan mengalir menuju katoda melalui rangkaian eksternal. 10


4. Elektrolit Elektrolit adalah suatu zat yang terlarut dalam bentuk ion-ionnya dan merupakan konduktor yang baik. Elektrolit biasanya berfasa cair, bisa berupa garam, asam, basa, atau senyawa kimia lainnya. Dua contoh elektrolit yang sering dipakai dalam baterai adalah larutan LiPF6 dan larutan NaCl. Elektrolit juga bisa berbentuk jel, polimer, atau keramik. Namun, saat ini bentuk elektrolit padat masih jauh dari sempurna dan di pasaran elektrolit paling sering dipakai memang dalam bentuk cair untuk baterai sekunder. Keempat komponen di atas adalah komponen utama baterai. Namun, bukan berarti tidak ada komponen baterai lainnya. Terdapat komponen-kompenen lain yang pada umumnya bekerja sebagai pelengkap. Misalnya, current collecting rods adalah batang yang bertugas mengumpulkan arus yang mengalir melalui rangkaian eksternal karena proses redoks baterai. Kemudian, terdapat coating yang bertugas melindungi elektroda dari kontak langsung dengan elektrolit. Elektroda pada umumnya mengandung unsur logam reaktif seperti litium, sehingga tidak boleh terkena kontak langsung dengan cairan karena bisa terreduksi dengan mudah oleh larutan dan mengeluarkan panas atau bahkan api. Kemudian, terdapat juga case yang menjadi bagian luar baterai sebagai pelindung yang meminimalkan kerusakan dari luar [3]. Lalu, bagaimana baterai bekerja? Pada dasarnya, baterai bekerja sesuai dengan sel Volta awal, yaitu suatu material dapat mengalami reaksi redoks ketika terhubung dengan rangkaian eksternal dan dipisahkan dengan suatu separator yang sudah diberi elektrolit. Pada buku ini, akan dibahas lebih khusus pada baterai sekunder, yaitu baterai yang dapat diisi ulang. Dengan kata lain, baterai ini bisa mengalami dua jenis proses yaitu proses pemakaian yang selanjutnya disebut discharge, dan proses pengecasan yang selanjutnya disebut charge. Baterai sekunder adalah tipe baterai yang dipakai pada handphone, laptop, mobil listrik, serta barang-barang lain yang bisa dicas. Baterai menyimpan energi dalam bentuk energi kimia, dan dapat mengalirkan listrik karena ada beda potensial antara katoda dan anoda. Ketika katoda dan anoda disambungkan melalui rangkaian listrik eksternal, arus listrik akan mengalir karena beda tegangan tersebut. Arus tidak akan mengalir di dalam baterai karena adanya elektrolit dan separator, yang berperan sebagai konduktor untuk ion tetapi isolator untuk elektron.

11


Gambar 3. Skema kerja baterai litium ion [4]

Mari kita ambil satu contoh, yaitu baterai litium ion. Pada umumnya, dalam baterai litium ion digunakan anoda berupa litium yang menempel pada karbon sehingga anoda memiliki rumus kimia LixC6. Lalu, elektrolit biasanya berupa larutan LiPF6, dan katoda berupa molekul yang mengandung kobalt, misal Li1-xCoO2. Pada saat discharge, anoda akan teroksidasi dan melepaskan elektron. Reaksi yang terjadi pada anoda saat discharge adalah LixC6 → xLi+ + C6 Elektron akan mengalir keluar dari baterai melewati rangkaian eksternal, sedangkan ion Li+ akan mengalir melalui elektrolit menuju katoda. Sebaliknya, katoda akan terreduksi serta menangkan ion litium yang melewati separator, yaitu reaksinya sebagai berikut. Li1-xCoO2 + xLi+ → LiCoO2 Dari kedua reaksi di atas, kita mulai bisa membayangkan tentang kapasitas. Baterai akan dibilang sudah habis atau perlu dicas, saat litium di anoda sudah teroksidasi semua dan berpindah ke katoda. Untuk bisa memakainya lagi, kita perlu mengecas baterai, yang pada level mikroskopis berarti mengoksidasi ion litium di katoda dan memindahkannya lagi ke anoda. Pada saat proses charge, aliran elektron dipaksa berbalik arah sehingga elektron akan mengalir dari katoda melewati rangkaian eksternal menuju anoda. Kemudian, ion litium dari katoda akan mengalir ke anoda melalui elektrolit. Dari sini, kita bisa lihat bahwa terjadi reaksi yang terbalik dari reaksi-reaksi sebelumnya. Reaksi saat proses charge dapat ditulis sebagai berikut.

12


Anoda

:

xLi+ + C6 → LixC6

Katoda

:

LiCoO2 → Li1-xCoO2 + xLi+

Pada ilmu kimia, semua reaksi di atas disebut reaksi redoks, yaitu reaksi reduksi-oksidasi. Suatu material dikatakan teroksidasi jika ia melepaskan elektron, sedangkan dikatakan reduksi ketika ia menangkap elektron. Ketika reaksi reduksi dan reaksi oksidasi yang masing-masing merupakan persamaan setengah reaksi, kedua reaksi bisa digabung menjadi reaksi redoks. Dengan begitu, pada baterai litium ion reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut. Discharge

:

LixC6 + Li1-xCoO2 → LiCoO2 + C6

Charge

:

LiCoO2 + C6 → LixC6 + Li1-xCoO2

Hal yang perlu diperhatikan adalah proses discharge terjadi secara spontan, sedangkan proses charge tidak bisa terjadi secara spontan. Secara kimia, proses kimia terjadi secara spontan jika dan hanya jika energi bebas Gibbsnya mengalami penurunan (ΔG < 0). Energi bebas Gibbs sendiri adalah suatu besaran kimia yang didefinisikan untuk mengecek apakah suatu proses bersifat spontan atau tidak. Untuk tekanan dan suhu konstan, perubahan energi bebas Gibbs dirumuskan sebagai berikut [5]. đ?›Ľđ??ş = đ?›Ľđ??ť − đ?‘‡đ?›Ľđ?‘†

(3.1)

Keterangan: đ?›Ľđ??ş

: Perubahan energi bebas Gibbs (J)

đ?›Ľđ??ť

: Perubahan entalpi (J)

�

: Temperatur (K)

��

: Perubahan Entropi (J/K)

Kemudian, jika dikaitkan dengan potensial standar, terdapat persamaan sebagai berikut[2]. Δđ??ş 0 = −đ?‘›đ??šđ??¸ 0

(3.2)

Keterangan: đ?›Ľđ??ş0

: Perubahan energi bebas Gibbs (J)

đ?‘›

: Jumlah elektron yang terlibat dalam reaksi (mol)

đ??š

: Konstanta Faraday (96.500 C/mol)

đ?›Ľđ??¸ 0

: Potensial standar (V)

Potensial standar didefinisikan sebagai potensial listrik yang muncul ketika suatu material mengalami reduksi[4] dibandingkan dengan potensial hidrogen pada konsentrasi 1M, tekanan 1 atm, dan suhu 250C. Yang dimaksud dengan potensial standar adalah potensial standar dari material aktifnya. Misal, pada reaksi Zn → Zn2+ + 2e-, material aktifnya adalah Zn. Berikut adalah contoh nilai potensial standar dari beberapa material[6]. 13


Tabel 1. Data Potensial Standar Beberapa Material

Potensial Standar E° (volts)

Reaksi Li+(aq) + e- -> Li(s)

-3,04

K+(aq) + e- -> K(s)

-2,92

2+

-

Ca (aq) + 2e -> Ca(s)

-2,76

Na+(aq) + e- -> Na(s)

-2,71

2+

-

-0,76

2+

-

Cu (aq) + 2e -> Cu(s)

0,34

O3(g) + 2H+(aq) + 2e- -> O2(g) + H2O(l)

2,07

Zn (aq) + 2e -> Zn(s)

-

-

F2(g) + 2e -> 2F (aq)

2,87

Dari persamaan (3.2) dan fakta bahwa proses kimia spontan terjadi saat ΔG<0, maka suatu reaksi pada baterai akan terjadi secara spontan ketika total reaksi pada sel memiliki potensial standar > 0. Mari kita ambil contoh yang paling sederhana, yaitu sel volta dengan konfigurasi sebagai berikut. Anodanya berupa logam Zn, katodanya berupa logam Cu. lalu elektrolitnya berupa ZnSO4 dan CuSO4. Pada proses discharge, reaksi yang terjadi adalah Zn(s) + Cu2+(aq) → Zn2+(aq) + Cu(s) sedangkan pada proses charge, reaksi yang terjadi adalah Zn2+(aq) + Cu(s) → Zn(s) + Cu2+(aq) Pada proses discharge, reaksi dapat dipecah menjadi berikut dan nilai E0 mengikuti tabel 1. Anoda : Zn(s) → Zn2+(aq) + 2e-

E0 anoda = 0,76 V

Katoda : Cu2+(aq) + 2e- → Cu(s)

E0 katoda = 0,34 V

Potensial standar sel dapat diperoleh dengan E0sel = E0 anoda + E0 katoda = 1,1V. Maka, pada proses discharge, ΔG0 bernilai negatif menurut persamaan (3.2). Dengan cara yang sama, pada proses charge, diperoleh ΔE0sel = -1,1V sehingga ΔG0 bernilai positif. Reaksi tidak spontan. Selain menentukan apakah suatu reaksi spontan atau tidak, kita sudah melihat bahwa besar potensial standar dari katoda dan anoda baterai akan menentukan nilai tegangan baterai secara keseluruhan, minimal secara teoretik. Ketika memiliki nama material anoda dan katoda, serta memiliki data nilai potensial standarnya, kita bisa mengetahui secara pasti tegangan sel yang akan muncul.

14


Namun, kenyataannya tidak. Tegangan baterai pada sel lead-acid battery / accu misalnya, akan menurun ketika kapasitas baterai akan habis. Oleh karena itu, nilai tegangan sel yang diperoleh dengan cara tadi hanyalah merupakan hasil perhitungan teoretik yang pada praktiknya tidak selalu sesuai.

15


Bab 4. Parameter-Parameter Baterai Untuk mengetahui performa suatu baterai dan memahami karakteristik baterai tertentu, kita perlu mengetahui parameter-parameter yang terkait. Misal untuk mengetahui berapa banyak energi yang bisa disimpan, kita perlu tahu berapa tegangan nominal dan kapasitas baterai. Untuk mengetahui seberapa lama usia suatu baterai bisa dipakai, kita perlu tahu jumlah siklusnya untuk depth of discharge dan temperatur tertentu. Berikut adalah parameterparameter baterai.

1. Tegangan Besar tegangan kerja yang dikeluarkan oleh baterai disebut sebagai tegangan nominal. Untuk baterai yang dijual di pasaran misalnya lead acid battery, tegangan nominal biasanya kelipatan 12V, paling umum yaitu 12, 24, dan 48V. Perlu diperhatikan bahwa tegangan yang terjadi pada praktiknya tidak selalu sama dengan tegangan nominal baterai. Tegangan pada praktiknya akan bergantung kepada usia baterai, kepada state of charge, dan temperatur [1]. Secara fisika, tegangan merupakan potensial listrik. Ketika suatu muatan q diletakkan pada tegangan V, maka muatan tersebut memiliki energi potensial sebesar qV. Lalu, tegangan 1V didefinisikan besar tegangan yang ketika ada muatan 1C diletakkan, akan memiliki energi 1J. Beberapa besar tegangan yang umum pada kehidupan kita sehari-hari adalah besar tegangan listrik PLN, yaitu sebesar 220V AC. Lalu, besar output charger handphone biasanya adalah 5V DC. Perlu diperhatikan bahwa baterai merupakan sumber tegangan DC, di mana potensial listrik selalu konstan dan memiliki arah yang selalu sama. Sedikit fakta unik mengenai tegangan adalah, tegangan listrik di kereta api yang digunakan untuk lampu tidaklah 220V tetapi sekitar 110V[2]. Hal ini dimaksudkan supaya lampu kereta api ketika dicuri tidak akan bisa dipakai di luar kereta karena tidak bisa menggunakan 220V. Sedikit fakta lagi mengenai tegangan adalah, manakah yang berbahaya? Tegangan atau arus listrik tinggi? Yang berbahaya adalah arus tinggi, tetapi arus yang dihasilkan berbanding lurus dengan tegangan sehingga tegangan tinggi juga berbahaya karena berpotensial mengalirkan arus listrik tinggi. Arus sebesar 40mA sudah mulai membuat manusia terasa tersetrum, sedangkan arus sebesar 1A jika mengalir lewat tubuh manusia sudah bisa membunuh manusia. Secara umum, tegangan di atas 30V sudah termasuk tegangan berbahaya[2]. Fakta unik lainnya adalah, petir memiliki tegangan sekitar 100.000.000 V dan menghasilkan arus 5.000-250.000 A[2].Parameter tegangan lainnya adalah sebagai berikut[3]. Tabel 2 Parameter-parameter tegangan lainnya

No Nama 1 Tegangan terminal 2 3 4 5

Pengertian Tegangan baterai saat sedang ada beban listrik yang digunakan Tegangan open circuit Tegangan saat baterai sedang tidak ada beban listrik yang digunakan Tegangan cut off Tegangan baterai saat muatan pada baterai sudah digunakan semua (Depth of Discharge 100%) Tegangan charge Tegangan untuk melakukan proses charging Tegangan float Tegangan charging untuk menjaga muatan baterai saat kondisi full

16


2. Kapasitas Kapasitas merupakan banyaknya muatan yang tersimpan dalam baterai, biasanya ada dalam satuan Ah (Ampere-hour). Satuan SI untuk muatan adalah Coulomb, tetapi pada teknologi baterai lebih sering digunakan satuan Ah. Karena 1 C = 1 ampere-second, maka 1 ampere-hour (Ah) = 3600 C. Perlu diperhatikan bahwa kapasitas baterai tidak sama dengan banyaknya energi yang dapat disimpan oleh baterai. Banyaknya energi yang dapat disimpan oleh baterai dirumuskan sebagai berikut [1]. đ??¸đ?‘?đ?‘Žđ?‘Ą,đ?‘š = đ??śđ?‘?đ?‘Žđ?‘Ą Ă— đ?‘‰

(4.1)

Keterangan: Ebat,m : Energi maksimum yang dapat disimpan baterai (Wh) Cbat

: Kapasitas baterai (Ah)

V

: Tegangan nominal baterai (V)

Dari rumus tersebut, belum tentu baterai dengan kapasitas lebih besar akan memiliki kapasitas energi maksimum yang lebih besar daripada baterai dengan kapasitas yang lebih kecil, tetapi tegangannya lebih besar. Kalau dilihat dari strukturnya, tegangan baterai dipengaruhi oleh jenis material katoda dan anoda yang digunakan. Di lain sisi, kapasitas ditentukan secara langsung oleh kuantitas katoda dan anoda yang digunakan. Oleh karena itu, untuk jenis katoda dan anoda yang sama, secara umum baterai yang lebih besar akan memiliki kapasitas baterai yang lebih besar tetapi tegangannya sama. Seiring penggunaan baterai dan berjalanannya waktu, nilai kapasitas baterai akan berkurang dikarenakan material anoda dan katoda tidak bisa benar-benar kembali ke semula saat proses charging. Kemudian, temperatur juga memiliki efek yang cukup signifikan. Pada temperatur tinggi, zat-zat kimia dalam baterai menjadi semakin aktif sehingga kapasitas baterai akan meningkat. Hal ini bisa dilihat saat kita kecil, mencoba menjemur baterai yang sudah habis di bawah sinar matahari. Tiba-tiba baterai tersebut menjadi bisa dipakai lagi. Ini bukan disebabkan oleh terjadinya proses charging oleh sinar matahari seolah-olah setiap baterai adalah sel surya. Ini disebabkan, menjemur baterai menyebabkan naiknya temperatur baterai. Lalu, naiknya temperatur tersebut menyebabkan kapasitas maksimum baterai meningkat dan secara praktis, kita akan merasa baterai menjadi terisi kembali. Hal lain yang mempengaruhi kapasitas adalah seberapa cepat kita melakukan discharge. Semakin besar discharge yang dilakukan (fast discharge), semakin sedikit kapasitas full dari baterai yang bisa dimanfaatkan [1].

3. Efisiensi Baterai Dalam teknologi baterai, biasanya efisiensi yang dimaksud adalah round-trip efficiency, yaitu perbandingan antara output energi tersimpan dengan input energi yang masuk[1]: đ?œ‚đ?‘?đ?‘Žđ?‘Ą =

đ??¸đ?‘œđ?‘˘đ?‘Ą Ă— 100% đ??¸đ?‘–đ?‘› 17

(4.2)


Keterangan: Ρbat

: Round-trip efficiency baterai (%)

Eout

: Besar energi tersimpan dalam baterai yang siap menjadi output (Wh)

Ein

: Besar energi input yang masuk untuk mengisi baterai (Wh)

Sebagai contoh, kita mengecas handphone dengan total energi listrik PLN yang terpakai sebesar 20Wh. Lalu, baterai handphone dengan tegangan nominal 5V hanya dapat menyimpan muatan sebanyak 3000mAh. Artinya, efisiensi round-trip baterai adalah 75%. Lebih detail lagi, round-trip efficiency bisa dijabarkan menjadi perkalian antara efisiensi voltaic dan efisiensi coulombic, yang masing-masing didefinisikan sebagai berikut. đ?œ‚đ?‘‰ =

đ?‘‰đ?‘‘đ?‘–đ?‘ đ?‘?â„Žđ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘”đ?‘’ Ă— 100% đ?‘‰đ?‘?â„Žđ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘”đ?‘’

(4.3)

đ?œ‚đ??ś =

đ?‘„đ?‘‘đ?‘–đ?‘ đ?‘?â„Žđ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘”đ?‘’ Ă— 100% đ?‘„đ?‘?â„Žđ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘”đ?‘’

(4.4)

Keterangan: ΡV

: Efisiensi voltaic (%)

Vdischarge

: Tegangan rata-rata baterai saat sedang proses discharge (V)

Vcharge

: Tegangan rata-rata baterai saat sedang proses charge (V)

ΡC

: Efisiensi coulombic (%)

Qdischarge

: Total muatan yang keluar dari baterai dari keadaan full hingga habis (Ah)

Qcharge

: Total muatan yang masuk ke baterai dari keadaan habis hingga full (Ah)

Dari kedua besaran tersebut, Ρbat dirumuskan sebagai đ?œ‚đ?‘?đ?‘Žđ?‘Ą = đ?œ‚đ?‘‰ Ă— đ?œ‚đ??ś

(4.4)

4. State of Charge (SoC) dan Depth of Discharge (DoD) Jika semua parameter sebelumnya adalah parameter-parameter yang terhadap waktu nilainya cenderung tetap, SOC dan DOD adalah parameter yang menunjukkan keadaan baterai pada waktu tertentu. SOC menggambarkan seberapa banyak muatan yang tersedia di dalam baterai dibandingkan kapasitasnya, sedangkan DOD menggambarkan seberapa besar discharge atau seberapa banyak baterai sudah dipakai. Satu sama lain, SOC dan DOD saling komplementer. Kedua besaran tersebut dirumuskan sebagai berikut[1]. đ?‘†đ?‘œđ??ś =

đ??¸đ?‘?đ?‘Žđ?‘Ą Ă— 100% đ??śđ?‘?đ?‘Žđ?‘Ą đ?‘‰

18

(4.5)


đ??ˇđ?‘œđ??ˇ =

đ??śđ?‘?đ?‘Žđ?‘Ą đ?‘‰ − đ??¸đ?‘?đ?‘Žđ?‘Ą Ă— 100% đ??śđ?‘?đ?‘Žđ?‘Ą đ?‘‰

(4.6)

Keterangan: SoC

: State of Charge (%)

Ebat

: Energi yang tersimpan dalam baterai (Wh)

Cbat

: Kapasitas maksimum baterai (Ah)

V

: Tegangan nominal baterai (V)

DoD

: Depth of Discharge (%)

Misal baterai yang memiliki kapasitas 4.000 Ah sudah dipakai sebanyak 1.000 Ah. Baterai tersebut berarti sedang memiliki SoC sebesar 75% dan DoD sebesar 25%.

5. Jumlah siklus Jumlah siklus ini secara praktis menunjukkan seberapa lama “umur� suatu baterai. Secara umum, jumlah siklus didefinisikan sebagai banyaknya jumlah charge dan discharge ketika kapasitas baterai belum drop sampai di bawah 80% kapasitas nominal awalnya[1]. Biasanya, jumlah siklus ini diberitahu oleh pabrik baterainya sebagai suatu angka absolut. Namun, sebenarnya jumlah siklus ini merupakan angka yang bergantung kepada suhu dan DoD. Secara umum, semakin tinggi suhu, maka semakin sedikit jumlah siklus suatu baterai. Secara umum juga, semakin besar angka DoD yang biasa diterapkan, semakin sedikit juga jumlah siklus baterai. Dari fakta ini, jika kita ingin baterai kita awet maka kita perlu menjaga supaya baterai tidak pernah overheating dan menghemat penggunaan baterai.

6. Penuaan Seperti yang sudah dibahas sebelumnya mengenai kapasitas baterai, secara umum performa baterai memang cenderung berkurang seiring berjalannya waktu. Mari ambil contoh misalnya baterai lead acid. Pada baterai ini, efek penuaan disebabkan utamanya oleh fenomena bernama sulphation, yaitu tumbuhnya kristal sulfat pada baterai yang tidak bisa diubah lagi menjadi timbal (lead) atau lead oxide[1]. Penyebab penuaan lainnya adalah korosi timbal pada elektroda. Ketika tadi timbal sudah terkorosi, maka baterai akan memiliki hambatan listrik yang lebih besar yang menyebabkan tegangan baterai akan drop saat baterai sedang digunakan untuk memberi listrik beban. Selain itu, baterai menjadi mudah panas. Pada prinsipnya, baterai mengalami penuaan karena terjadi perubahan struktur kimia di dalam baterai yang sifatnya tidak terbalikkan.

7. C dan E-rates Parameter C-rates menunjukkan seberapa besar listrik yang dapat dikeluarkan saat proses discharge sedangkan E-rates besar listrik yang dapat masuk ke baterai saat proses charge[3]. Baterai yang memiliki C-rates sebesar 1C berarti baterai tersebut bisa mengeluarkan arus paling cepat menghabiskan muatan yang ada di dalamnya dari DoD 0% hingga SoC 0% dalam waktu 1 jam. Misal untuk baterai 100Ah, berarti maksimum arus yang dapat ditarik untuk proses discharge adalah 100A. Misal untuk baterai yang sama C-rates nya ialah C/2, berarti maksimum arus yang dapat ditarik hanyalah 50A dan habis paling cepat dalam waktu 30 menit. E-rates dalam prinsip perhitungannya sama, hanya mendeskripsikan proses charging. 19


8. Internal Resistance Merupakan suatu model yang menggambarkan seberapa besar drop tegangan yang dialami oleh baterai ketika sedang ada beban listrik yang digunakan. Nilai hambatan dalam baterai ini secara umum berbeda saat proses charge dan proses discharge[3]. Idealnya, baterai memiliki hambatan dalam sebesar 0 sehingga tidak ada drop tegangan dan juga tidak ada daya listrik yang terdisipasi. Oleh karena itu, besar hambatan dalam ini berpengaruh langsung terhadap efisiensi baterai. Secara umum, daya disipasi listrik dirumuskan dengan persamaan berikut[4]. đ?‘ƒ = đ??ź2 đ?‘…

(4.7)

Keterangan: đ?‘ƒ

: Daya disipasi listrik yang berubah menjadi panas (J)

đ??ź

: Arus lsitrik yang mengalir (A)

đ?‘…

: Hambatan, yang dalam kasus ini hambatan dalam (â„Ś)

Sedikit hal yang menarik mengenai hambatan dalam ini adalah nilainya bergantung kepada temperatur. Semakin tinggi temperatur, maka semakin besar hambatan dalam baterai. Hal ini menyebabkan semakin banyak daya disipatif yang terbuang sebagai panas menurut persamaan (4.7). Permasalahannya, timbulnya panas ini akan meningkatkan hambatan dalam baterai lagi. Oleh karena itu, terjadi efek domino yang menyebabkan ketika baterai yang panas dipakai, baterai akan semakin panas. Dari sini, bisa kita simpulkan ketika laptop atau handphone kita sedang panas, hal yang paling baik yang dilakukan adalah mematikannya dan menunggunya untuk dingin kembali. Hal ini akan menjaga suhu baterai yang berarti menjaga stabilitas jumlah siklusnya. Ketika kita sering menggunakan baterai yang sedang suhunya naik, maka secara praktis umur baterai kita pasti akan pendek dan cepat rusak.

9. Rapat energi dan energi spesifik Parameter ini adalah salah satu parameter paling penting untuk memilih baterai dalam aplikasi tertentu. Rapat energi merupakan banyaknya energi ada per volume baterai, satuannya Wh/L. Misalkan ada dua baterai A dan B, dan A memiliki rapat energi lebih dari B. Maka, untuk volume yang sama baterai A dapat menampung energi yang lebih banyak daripada B. Kemudian, energi spesifik merupakan banyaknya energi yang ada per massa baterai, satuannya Wh/kg. Pada dasarnya rapat energi dan energi spesifik menyatakan “densitas energi�, hanya penamaan saja, bahwa spesifik berarti per massa. Salah satu alasan baterai laptop dan handphone paling banyak menggunakan litium ion dan bukannya lead acid battery (accu) adalah karena rapat energi dan energi spesifiknya yang lebih baik. Sebagai contoh, baterai panasonic 18650 Li-ion Cells memiliki rapat energi 620 Wh/L hingga 800 Wh/L[4], sementara lead acid battery merk PowerSonic hanya memiliki rapat energi 60-110 Wh/L[5]. Artinya, bisa dibayangkan bahwa untuk volume yang sama, baterai litium ion bisa menampung sekitar 6-8 kali lipat banyak energi daripada baterai lead acid.

20


10. Rapat daya dan daya spesifik Pada dasarnya konsep rapat daya dan daya spesifik sama saja dengan energi spesifik. Rapat daya adalah banyaknya daya maksimum yang dapat dikeluarkan oleh baterai dalam volume tertentu, satuannya adalah W/L. Kemudian, daya spesifik adalah daya maksimum baterai dalam massa tertentu, satuannya W/kg. Rapat daya ini menjadi sebuah parameter yang sangat dipertimbangkan dalam memilih baterai untuk aplikasi seperti mobil listrik dan unmanned aerial vehicle, di mana daya merupakan parameter penting tetapi ukuran baterai juga tidak bisa terlalu besar.

21


Bab 5. Cara Pengukuran Baterai Seperti sudah dibahas di bab parameter baterai sebelumnya, bahwa performa baterai akan menurun seiring penambahan usianya hingga suatu saat baterai perlu diganti. Sebuah fakta yang menarik dalam pengukuran dan testing baterai, adalah perilaku baterai bisa berubah setelah mengalami proses charge, discharge, atau setelah disimpan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, dalam proses pengetesan atau pengukuran baterai perlu diperhatikan juga tentang bagaimana keadaan baterai. Standar seberapa layak atau sehat sebuah baterai disebut sebagai state of health (SoH), yang terdiri dari tiga buah komponen utama[1]: a. Kapasitas baterai, yang menyatakan berapa banyak muatan yang bisa disimpan baterai b. Hambatan dalam baterai, yang merupakan parameter kapabilitas untuk memberi arus c. Self-discharge Dari tiga buah parameter tersebut, yang menjadi parameter paling utama dalam SoH adalah kapasitas baterai. Baterai yang baru seharusnya memiliki kapasitas sebesar 100% kapasitas rated-nya. Misal, sebuah powerbank yang memiliki kapasitas 10.000 mAh berarti bisa mengalirkan arus sebesar 1A dalam waktu 10 jam ketika kapasitasnya 100%. Ketika ia hanya bisa mengalirkan arus sebesar 1A dalam waktu 8 jam lalu baterai habis, berarti kapasitasnya 80%. Pada umumnya, ketika baterai yang baru dibeli memiliki kapasitas baterai di bawah 80% maka produsen baterai biasanya memberikan jaminan garansi[1]. Pada kenyataannya, hampir selalu, baterai yang baru dibeli memiliki kapasitas sebesar 100%. Baterai lead acid ketika awal dibeli memiliki kapasitas sebesar 85% tetapi kemudian meningkat seiring pemakaian awal, dan pada akhirnya mulai menurun terhadap waktu. Baterai litium ion berbeda, cenderung mencapai puncak dari kapasitasnya saat awal pemakaian lalu mulai menurun seiring pemakaian walaupun penurunannya relatif kecil. Sedikit hal yang perlu diingat adalah kapasitas baterai ini berbeda dengan state of charge (SoC). SoC menyatakan seberapa banyak muatan yang tersimpan di baterai sekarang dibandingkan total muatan yang dapat disimpan oleh baterai. Kapasitas baterai adalah seberapa besar muatan yang dapat disimpan oleh baterai tersebut. Namun, kapasitas ini selalu berkurang seiring waktu sehingga yang dimaksud dengan kapasitas 80% tadi adalah besar muatan yang dapat disimpan sekarang dibandingkan besar muatan yang dapat disimpan saat kapasitasnya ada pada puncaknya. Selanjutnya adalah mengenai kapan sebuah baterai sudah dianggap tidak layak pakai dan perlu diganti? Banyak dari organisasi yang bergerak di bidang testing baterai, menyatakan bahwa baterai sudah layak untuk diganti saat kapasitasnya sudah mencapai di bawah 80%. Namun, pengukuran kapasitas baterai tidaklah semudah mengukur tegangan VOC dari baterai sehingga biasanya produsen baterai menyatakan usia baterai dengan melampirkan banyak siklus baterai pada spesifikasinya, bukan kapasitasnya. Testing baterai merupakan perihal yang sangat kompleks, layaknya seorang dokter yang mendiagnosis seorang pasien[1]. Tidak ada satu alat yang bisa langsung membuat dokter paham 22


seluruh keadaan pasien, sama halnya dengan testing baterai. Adalah perihal yang mudah untuk mengecek apakah suatu baterai sudah “dead� atau tidak layak pakai, sama halnya mudah bagi dokter untuk mengetahui apakah seorang pasien sudah meninggal. Namun, tantangan pengukuran baterai dan testing baterai terletak ketika performa baterai sedang dalam rentang 80-100%. Berikutnya mari kita coba bahas beberapa pengukuran dan testing baterai.

Pengukuran Hambatan dalam Baterai Hambatan atau resistansi, seperti yang sudah dipelajari di fisika dasar adalah seberapa sulit arus dapat mengalir pada suatu benda. Hambatan juga merupakan besarnya tegangan yang drop ketika suatu arus mengalir pada rangkaian listrik. Sebenarnya hambatan dalam baterai bukanlah benar-benar sebuah hambatan, tetapi hanya permodelan saja. Oleh karena itu, kita tidak bisa jika ingin mengukur hambatan dalam baterai dengan menggunakan ohmmeter saja. Diperlukan metode khusus untuk mengukur hambatan dalam baterai. Dewasa ini, hambatan dalam baterai relatif stabil walaupun baterai menua, berbeda dengan kapasitas baterai yang semakin lama semakin menua[3]. Hal ini merupakan akibat dari tambahan material elektrolit dapat mengurangi korosi, yang merupakan faktor utama peningkatan hambatan dalam baterai. Gambar berikut merupakan gambar yang menunjukkan grafik hubungan antara kapasitas baterai dan hambatan dalam, dengan umur yang dinyatakan dalam number of cycle[3].

Gambar 4. Hubungan kapasitas dan hambatan dalam dengan banyak siklus baterai

Sedikit hal menarik mengenai hambatan adalah, hambatan tidak selalu bersifat resistif saja. Ada hambatan reaktif juga, yang disebut dengan reaktansi. Reaktansi bisa berupa reaktansi induktif dan reaktansi kapasitif. Masing-masing dari resistansi, reaktansi induktif, dan reaktansi kapasitif besarnya dirumuskan sebagai berikut[2].

23


đ?‘…=

đ?œŒđ?‘™ đ??´

(5.1)

1 2đ?œ‹đ?‘“đ??ś

(5.2)

đ?‘‹đ??ż = 2đ?œ‹đ?‘“đ??ż

(5.3)

đ?‘‹đ??ś =

Keterangan: đ?‘…

: Resistansi bahan (â„Ś)

đ?œŒ

: Resistivitas bahan (â„Ś/m), besarnya bergantung pada jenis bahan

đ?‘™

: Panjang bahan yang sejajar arah arus listrik (m)

đ??´

: Luas penampang bahan yang dilewati arus listrik (m)

XC

: Reaktansi kapasitif (â„Ś)

XL

: Reaktansi induktif (â„Ś)

f

: Frekuensi listrik (Hz)

C

: Kapasitansi bahan (F), kemampuan bahan untuk menyimpan muatan

L

: Induktansi bahan (L), kemampuan bahan untuk menyimpan medan magnet

Dari rumus reaktansi kapasitif dan induktif di atas, jelas bahwa semakin kecil frekuensi listrik, nilai Xc semakin besar sedangkan XL semakin mengecil. Biasanya, setiap bahan memiliki unsur resistif, kapasitif, dan induktifnya sehingga hambatan secara umum disebut dengan impedansi. Oleh karena itu, ketika membicarakan hambatan dalam suatu baterai, sebenarnya lebih tepat untuk membayangkan bukan hanya resistor tetapi juga impedansi secara umum. Salah satu model impedansi baterai yang paling terkenal adalah model Randles. Ia menggambarkan impedansi baterai menggunakan resistor dan kapasitor. Induktor tidak digunakan karena menurut persamaan (5.3), besar reaktansi induktif berbanding lurus dengan frekuensi listrik. Padahal, baterai merupakan sumber tegangan DC sehingga frekuensi listriknya bisa dianggap sangat mendekati 0. Berikut adalah skema model Randles untuk baterai lead-acid[3].

Gambar 5. Skema model Randles untuk baterai lead acid[3]

24


Untuk mengukur hambatan dalam baterai, digunakan berbagai metode. Namun, hal penting yang perlu diketahui adalah tidak bisa mengukur hambatan dalam baterai dengan cara menggunakan ohmmeter layaknya mengukur hambatan suatu komponen pada umumnya. Hal ini disebabkan pada dasarnya hambatan dalam suatu baterai hanyalah suatu permodelan, yang menentukan seberapa besar drop tegangan yang muncul ketika baterai mengeluarkan arus. Permodelan yang dimaksud adalah seperti pada gambar berikut.

Gambar 6. Model baterai dengan hambatan dalam[4]

Kita tidak bisa langsung mengukur hambatan dalam r menggunakan ohmmeter yang ditempelkan pada titik A dan B, karena pada dasarnya di dalam baterai terdapat separator yang merupakan isolator elektron. Jadi, bisa dianggap bahwa di dalam baterai seolah-olah terdapat kabel yang putus, atau hambatannya bernilai sangat besar (→∞) sehingga ohmmeter gagal mengukur hambatan dalam r yang diinginkan. Untuk mengukur hambatan dalam suatu baterai, salah satu metode yang paling reliable dan sangat umum digunakan adalah DC Load Method. Pada dasarnya, metode ini mengukur besarnya drop tegangan yang muncul ketika baterai diberi beban listrik dengan hambatan R tertentu, sama persis seperti gambar 3[3]. Beberapa step utama dalam DC Load Method ialah sebagai berikut. 1. 2. 3. 4.

Ukur dan catat tegangan open circuit (VOC)-nya Letakkan beban listrik dengan nilai R tertentu yang besarnya diketahui Ukur dan catat tegangan baterai sekarang, misal disebut Vf Untuk menghitung besarnya hambatan dalam baterai, đ?‘‰đ?‘‚đ??ś đ?‘&#x; = đ?‘…( − 1) đ?‘‰đ?‘“

Keterangan: đ?‘&#x;

: Hambatan dalam baterai (â„Ś)

đ?‘…

: Hambatan benda yang diketahui besarnya (â„Ś)

VOC

: Tegangan open circuit baterai (V)

VF

: Tegangan baterai setelah disambungkan hambatan R (V)

25

(5.4)


Persamaan (5.4) di atas mudah diturunkan melalui hukum ohm biasa dan juga menerapkan hukum Kirchoff 2. Limitasi atau kekurangan dari metode DC Load ini adalah ia menganggap R1 dan R2 pada model Randle menjadi satu buah hambatan dalam saja dan mengabaikan kapasitornya[3]. Jadi, metode DC Load ini dipakai khusus memang jika hanya ingin menghitung hambatan dalam yang sifatnya resistif saja. Metode pengukuran hambatan dalam baterai yang populer adalah AC Conductance, yang menggunakan sumber listrik AC luar dengan frekuensi tertentu, menghubungkannya dengan baterai, lalu mengukur impedansi dalam baterai. Dengan metode ini, model Randle cocok untuk merepresentasikan baterai. Metode populer yang baru dikembangkan beberapa tahun belakangan ini adalah Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS). Latar belakang digunakannya metode ini adalah besarnya biaya untuk tes-tes lainnya, serta waktu tes yang lama. EIS ini menggunakan prinsip utama beda fasa sinyal listrik (ini juga penyebab ia dinamakan spectroscopy). Impedansi Z, dengan besar hambatan reaktif dan resistif tertentu, akan mengakibatkan arus mendahului atau tertinggal dari tegangan dengan beda fasa tertentu. Lebih jelasnya bisa dilihat pada persamaan ini[5]: đ?‘?=

đ?‘‰(đ?‘Ą) đ?‘‰đ?‘?đ?‘œđ?‘ (đ?œ”đ?‘Ą) = đ??ź(đ?‘Ą) đ??źđ?‘?đ?‘œđ?‘ (đ?œ”đ?‘Ą + đ?œ™)

(5.5)

Keterangan: Z

: Impedansi (â„Ś)

�(�)

: Tegangan sumber AC pada waktu t (V)

đ??ź (đ?‘Ą)

: Arus rangkaian pada waktu t (A)

đ?œ”

: Frekuensi sudut sinyal listrik (rad/s)

đ?œ™

: Beda fasa arus dengan tegangan (rad)

Intinya adalah ketika besar beda fasa diketahui, maka bisa dengan mudah menentukan besar impedansi. Lebih jauh lagi, dari data beda fasa tersebut juga bisa dengan mudah menentukan nilai reaktansi kapasitif dan resistansi hambatan yang ada pada model Randle seperti pada gambar 2.

Pengukuran State of Charge (SoC) Sebagai pengingat, SoC adalah ukuran seberapa persen muatan yang masih tersisa di dalam baterai. Ini adalah indikator yang ada dalam baterai handphone atau laptop ketika. Ketika ia menunjukkan 80%, artinya kapasitas baterai sudah digunakan sebanyak 20% dan tersisa 80%. Ada beberapa cara pengukuran SoC, sebagai berikut. 1. Metode tegangan Ini adalah metode yang paling sederhana. Pada dasarnya, metode ini memanfaatkan fakta bahwa tegangan nominal baterai akan semakin berkurang seiring pengurangan 26


SoC. Yang menjadi masalah adalah hasil pengukurannya tidak selalu akurat karena pengukuran ini sangat dipengaruhi oleh material sel dan juga tegangannya[6]. Faktor utama dari error pengukuran SoC metode tegangan ini adalah ketika baterai baru selesai mengalami proses charge atau discharge. Untuk memperoleh hal yang bagus (tidak dipengaruhi faktor lingkungan seperti temperatur), maka terdapat standar-standar yang harus dipenuhi baterai sebelum dilakukan pengukuran SoC metode tegangan. Contohnya ialah baterai perlu diistirahatkan (dalam kondisi open circuit) selama minimal 4 jam. Tiap-tiap baterai memiliki kurva karakteristik tegangan-kapasitas yang unik. Kebetulan karena sifatnya yang hampir linear pada daerah tertentu, baterai lead-acid sangat cocok diukur metode tegangan ini. Di lain pihak, baterai-baterai seperti Li-manganase, Liphosphate dan NMC memiliki kurva yang cukup datar, hingga SoC mendekati nilai 20%. Berikut adalah gambar beberapa kurva tegangan terhadap besar kapasitas yang sudah didischarge[6].

Gambar 7. Kurva tegangan-discharge baterai Litium Phospate[6]

Di lain pihak, berikut adalah grafik untuk baterai lead-acid.

Gambar 8. Grafik pita tegangan terhadap SoC baterai Lead-Acid[6]

27


2. Metode hydrometer Metode ini digunakan untuk baterai yang menggunakan cairan tertentu yang volumenya berubah dengan pengaruh perubahan SoC baterai. Contoh baterai yang dapat menggunakan metode ini adalah flooded lead-acid battery, atau di pasaran sering kita kenal sebagai accu basah. Ketika baterai lead-acid ini dalam proses charge, cairan asam sulfat di dalam baterai akan semakin berat, menyebabkan specific gravity (SG) meningkat[6]. Hal sebaliknya berlaku ketika sedang dalam proses discharge, SG akan menurun. Oleh karena itu, bisa dibuat tabel karakterisasi metode hydrometer seperti contohnya tabel berikut[6]. Tabel 3. Standar BCI (Battery Council International) untuk Aproksimasi SoC

SoC aproksimasi 100% 75% 50% 25% 0%

Rata-rata specific gravity 1,265 1,225 1,190 1,155 1,120

Open circuit voltage (untuk lead Acid 12V) 12,65 V 12,45 V 12,24 V 12,06 V 11,89 V

Specific gravity memang tidak memiliki satuan. Berbeda dengan specific energy yang menyatakan rapat energi per massa benda, specific gravity merupakan perbandingan berat benda sekarang dengan benda tersebut dalam keadaan murni. Misal dalam kasus ini, specific gravity 1,120 berarti elektrolit flooded lead-acid battery memiliki perbandingan berat cairan elektrolitnya dengan air biasa sebesar 1,120 : 1. Lagi-lagi, specific gravity ini dipengaruhi oleh materialnya. Beberapa error yang perlu diperhatikan pada pengukuran ini adalah ketidakseragaman konsentrasi asam sulfat dalam baterai, kemudian ada juga faktor penguapan dan korosi, sehingga pengukuran ini juga masih jauh dari pengukuran yang ideal. 3. Coulomb Counting Coulomb counting seperti namanya, menggunakan pengukuran muatan baterai untuk menentukan SoC dari suatu bahan. Metode ini adalah metode yang umum digunakan dalam pengukuran SoC baterai litium ion, seperti yang ada handphone dan laptop kita. Baterai litium ion memiliki karakteristik yang baik, yaitu self discharge yang sangat rendah sehingga disebut memiliki coulombic efficiency yang tinggi[6]. Oleh karena itu, dimungkinkan mengukur SoC dengan metode Coulomb Counting ini. Pada prinsipnya, coulomb counting ini memperkirakan SoC suatu baterai dengan cara mengukur berapa banyak muatan yang ada di dalam baterai. Hal ini dimungkinkan dengan mengukur arus yang masuk dan keluar dari baterai, lalu mengintegralkannya terhadap waktu sehingga muatan yang masuk dan keluar dari baterai bisa dilacak.

28


Untuk baterai dengan coulombic efficiency rendah, metode coulomb counting ini sangat tidak cocok digunakan.

Pengukuran Kapasitas Baterai Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, kapasitas merupakan salah satu parameter penting State of Health dari baterai. Bahkan, parameter yang paling signifikan berubah setelah banyaknya siklus penggunaan baterai adalah kapasitas. Ketika kapasitas baterai sudah di bawah 80% dari kapasitas awal baterai, sudah sangat pantas untuk mengganti baterai tersebut. Metode pengukuran kapasitas berbeda dengan pengukuran hambatan dalam dan SoC yang relatif sederhana dan dapat dipahami dengan mudah. Pengukuran kapasitas baterai sangatlah kompleks. Bahkan, ketika temperatur dan faktor lingkungan lain sudah terkontrol, lalu orang melakukan tes standar untuk charging dan discharging baterai, hasil yang beda tetap bisa diperoleh[7]. Namun begitu, tidak ada salahnya untuk mencoba sedikit mempelajari metodemetode pengukuran kapasitas baterai satu per satu. 1. Discharge Method Pada prinsipnya, metode discharge ini sangatlah sederhana. Standarnya, baterai 12V dalam keadaan full akan didischarge dengan arus yang steady yaitu 25A. Lalu, waktu diukur hingga baterai dalam keadaan habis, yang distandardisasi ketika tegangan sudah mencapai 10,5V atau 1,75V/sel. Kapasitas ini oleh SAE (Society of Automotive Engineer) disebut dengan Reserve Capacity. Terdapat juga nama-nama atau istilah keren terkait kapasitas baterai yang misal diberikan oleh DIN (Deutsches Institut fur Normung) dan IEC (International Electrochemical Comission). Namun, poin inti dari discharge method adalah mengukur waktu yang dibutuhkan baterai dari full hingga habis ketika dilakukan proses discharge dengan besar arus tertentu. Namun begitu, hasil discharge method ini tidaklah selalu stabil. Misal pada gambar di bawah merupakan hasil riset Cadex lab pada tahun 2005, yaitu discharge method yang dilakukan kepada 91 buah baterai starter (baterai untuk menyalakan motor atau mobil) yang diulang sebanyak dua kali. Sumbu horizontal menyatakan kekuatan baterai, sedangkan sumbu vertikal menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan muatan di dalam baterai (reserve capacity). Kedua tes tersebut dilakukan pada tempat dan faktor lingkungan seperti temperatur yang dibuat sama, dalam rentang waktu satu hari. Namun, hasil yang diperoleh tidaklah sama, rata-rata memiliki perbedaan 15% dalam perolehan kapasitas yang diperoleh. Laboratorium lain pun juga mencoba hal yang sama, dan memperoleh juga bahwa hasil kapasitas yang diperoleh tidak sama walaupun faktor lingkungan yang sama[7]. Oleh karena itu, dewasa ini riset mengenai metode pengukuran kapasitas lumayan sering dilakukan.

29


Gambar 9. Fluktuasi kapasitas pada dua buah tes discharge identik 91 baterai starter oleh Cadex pada tahun 2005 [7]

2. Non-invasive Method Maksud utama dari non-invasive di sini adalah kita tidak perlu melakukan discharge atau charge hingga habis atau penuh, tetapi hanya mengukur biasa saja layaknya mengukur tegangan dengan voltmeter. Metode ini adalah metode yang sangat ideal, karena bisa mengukur dalam waktu singkat, mudah, dan tidak boros energi. Detail dari metode ini di luar dari jangkauan buku ini yang hanya berfokus pada pengenalan baterai saja. Namun, pada intinya, baterai dimodelkan dengan permodelan kompleks, lalu dilakukan pengukuran electrochemical impedance spectroscopy (EIS). Dari pengukuran EIS tersebut, bisa diperoleh parameter-parameter state of health yang penting seperti kapasitas, CCA, dan SoC. Pada intinya, suatu sinyal listrik AC dengan tegangan kecil (orde mV) dengan variasi frekuensi tertentu dimasukkan ke baterai. Lalu, respon baterai dilihat dan bisa diperoleh parameter-parameter di atas tadi. Hal ini dilakukan dengan menggunakan plot bernama Nyquist plot yang ditemukan oleh Harry Nyquist (1889-1976) di Bell Lab [7]. Plot tersebut menvisualisasikan respon frekuensi dari suatu bahan dalam beberapa parameter.

30


Bab 6. Cara Pembuatan Baterai Jenis-Jenis Proses Manufaktur Baterai Proses manufaktur baterai termasuk litium ion pada umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu proses pembuatan elektroda, proses pembuatan sel baterai, dan proses pembuatan pak baterai. Elektroda adalah anoda dan katoda dari baterai, sel baterai adalah ukuran terkecil dari satu buah baterai, sedangkan pak baterai adalah sel-sel baterai yang telah disusun menjadi satu. Perbedaan ketiganya bisa dilihat pada gambar-gambar berikut.

Gambar 10. Elektroda baterai [1]

Gambar 11. Sel baterai [2]

Gambar 12. Pak baterai [3][4]

Dapat dilihat bahwa terdapat macam-macam jenis sel baterai. Ada yang berbentuk silinder, ada juga yang berbentuk prisma. Selain yang tercantum pada gambar 3.2 di atas, terdapat juga bentuk-bentuk lain misal koin. Bentuk baterai pak pun bermacam-macam. Pada gambar 3.3, gambar kiri adalah contoh pak baterai yang sering digunakan pada mobil listrik sedangkan gambar kanan adalah contoh pak baterai yang digunakan untuk UAV. Pada dasarnya pembentukan pak baterai hanyalah menyatukan sel-sel baterai menggunakan alat-alat secara mekanik, sehingga pada subbab selanjutnya hanya akan dijelaskan proses pembuatan elektroda dan pembuatan selnya saja.

31


Proses Pembuatan Elektroda

Gambar 13. Diagram alir pembuatan elektroda [5]

Gambar di atas adalah skema diagram alir proses pembuatan elektroda, di mana pembuatan anoda dan katoda secara umum sama, hanya berbeda material saja. Yang pertama ialah membuat slurry, semacam bubur campuran antara material yang dipakai untuk membuat elektrode dengan pengikatnya. Kemudian, slurry tersebut dimix, diaduk hingga rata, lalu menjalani tahap coating. Pada tahap ini, slurry dioleskan ke foil berupa tembaga atau alumunium yang sangat panjang. Setelah itu, ketebalan elektroda diatur secara presisi dengan proses copmpressing. Kemudian, lembaran foil yang sangat panjang itu akan diletakkan pada oven untuk melewati proses drying. Setelah siap, elektroda akan melewati proses slitting yaitu pemotongan sesuai dengan ukuran yang diinginkan, yang merupakan proses terakhir dari proses produksi elektroda.

32


Proses Pembuatan Sel Baterai

Gambar 14. Diagram alir pembuatan sel baterai [9]

Gambar di atas adalah skema diagram alir proses pembuatan sel baterai bentuk prismatic dan cylindrical. Untuk membuat sel, maka anoda, separator, dan katoda sudah ahrus siap. Secara umum, prinsip pembuatannya adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah menyatukan anoda, separator, dan katoda dengan proses stacking/winding, penyatuan menggunakan clamp, dan memasukkan stack atau jellyroll sebagai case. Setelah itu, dilakukan proses sub assembly yaitu penambahan komponen-komponen seperti koneksi, terminal, vents, dan peralatan keamanan. Lalu, semua komponen tadi disegel menggunakan heat seal atau weld. Proses selanjutnya adalah penambahan elektrolit, yang dilakukan di dry room. Awalnya, dilakukan vacuum heat dryingyang berfungsi untuk menghilangkan kandungan cairan atau udara yang berada di dalam baterai. Lalu, elektrolit ditambahkan dalam proses vacuum fill. Setelah itu, case disegel sehingga bagian dalam baterai benar-benar tidak berada dalam kontak 33


dengan lingkungan sekitarnya. Tahap terakhir adalah proses-proses seperti pemberian label untuk identifikasi, lalu melakukan tes-tes kelayakan seperti charge discharge, storage aging,dan acceptance testing.

Proses Manufaktor Baterai Litium Ion dari Elektroda hingga Sel di Pacific Northwest National Laboratory Berikut adalah beberapa gambar yang diambil dari proses pembuatan baterai litium ion di Pacific Northwest National Laboratory pada tahun 2016 [6].

Gambar 15. Tahap pembuatan slurry [6]

Gambar 16. Tahap coating [6]

34


Gambar 17. Tahap coating selanjutnya [6]

Gambar 18. Tahap slitting [6]

Gambar 19. Tahap compressing [6]

35


Gambar 20. Tahap pengisian elektrolit [6]

Gambar 21. Tahap sealing [6]

36


Bab 7. Jenis-Jenis Baterai Baterai terbagi secara umum menjadi dua jenis, yaitu baterai primer dan baterai sekunder. Baterai primer adalah baterai yang sekali pakai, sering disebut juga dengan disposable battery atau single-used battery. Jenis baterai ini adalah yang paling mudah didapat di pasar, sering kita pakai untuk jam dinding, remote televisi, dan senter. Baterai sekunder adalah baterai yang dapat dicas, sering disebut dengan rechargable battery. Baterai ini adalah yang sering digunakan pada handphone, laptop, dan kamera. Mari kita bahas satu persatu baterai primer dan baterai sekunder.

Baterai Primer Keuntungan utama menggunakan baterai primer adalah sederhana, mudah digunakan, tidak membutuhkan perawatan, dan ukurannya yang beragam. Tak hanya itu, baterai primer juga memiliki densitas energi dan densitas daya yang cukup besar, dan juga harga yang wajar[1]. Hingga tahun 1940, baterai primer yang digunakan paling banyak hanyalah baterai ZincCarbon dengan kapasitas sekitar 50 Wh/kg. Pasca perang dunia kedua, perkembangan baterai semakin pesat dan kapasitas baterai sudah mencapai angka 500 Wh/kg (baterai litium dan zincair). Usia baterai pun berkembang, dari yang hanya sekitar 1 tahun, berkembang mencapai 2 hingga 5 tahun. Baru sekitar tahun 1970-1990, baterai Zinc-Carbon mulai tersaingi oleh baterai alkalin dan belakangan baterai litium dan zinc-air. Berikut adalah grafik perkembangan baterai primer pada abad 19.

Gambar 22. Perkembangan baterai primer pada abad 19 [1]

Kita akan bahas beberapa baterai primer satu per satu sekarang. Di baterai-baterai berikut yang akan dibahas, nama baterai menunjukkan nama anoda dan katodanya. Misal baterai Cadmium/Mercuri Oxide, berarti baterai tersebut menggunakan anoda berupa cadmium dan katoda merupa mercuri oxide.

37


1. Zinc-carbon Battery (Sel Leclanche) Baterai ini adalah baterai primer yang paling tua, tetapi sampai saat ini masih sering digunakan di berbagai aplikasi. Hal ini utamanya disebabkan harganya yang murah, dan ketersediaan material yang melimpah, dan performa cukup baik. Seperti namanya, baterai ini tersusun dari anoda berupa zinc dan katoda berupa karbon. 2. Zinc/Alkaline/Manganese Dioxide Battery Sejak sekitar 20 tahun lalu, baterai ini lebih dipilih dibandingkan dengan zinc-carbon karena performanya yang lebih baik pada arus tinggi dan temperatur rendah. Harganya memang lebih mahal dibandingkan baterai zinc-carbon, tetapi lebih cost effective untuk aplikasi yang menarik arus banyak atau aplikasi pada temperatur rendah. Selain itu, usia (shell life) dari baterai alkalin ini juga lebih baik daripada baterai zinc carbon sehingga cocok untuk aplikasi yang menuntut usia lama. Contoh aplikasi baterai ini adalah flashlight dan alarm detektor asap. 3. Zinc/Mercuric Oxide Battery Kelebihan dari baterai ini adalah densitas energinya yang cukup tinggi, digunakan untuk aplikasi peralatan seperti tombol yang kecil, kalkulator, alat pendengaran, dan lainnya yang ukurannya kecil. Namun, saat ini penggunaan baterai dengan merkuri ini tidak terbuka untuk sembarang konsumen karena masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh merkuri (raksa). Oleh karena itu, untuk aplikasi divais kecil sekarang lebih sering digunakan baterai litium atau zinc-air. 4. Cadmium/Mercuric Oxide Battery Sama seperti sebelumnya, aplikasi untuk konsumen tidak terbuka lagi karena raksa yang menimbulkan efek lingkungan yang tidak baik. Namun, baterai ini sempat digunakan karena tegangan yang dihasilkan stabil, usia baterai yang mencapai 10 tahun, serta performa yang cukup baik pada temperatur rendah. 5. Zinc/Silver Oxide Battery Baterai ini memiliki kelebihan yang sama dengan Zinc/Mercuric Oxide Battery, yaitu densitas energinya yang tinggi sehingga memungkinkan untuk aplikasi di divais-divais elektronik kecil. Terlebih lagi, baterai ini tidak mengandung merkuri yang bersifat tidak ramah lingkungan. Namun, kekurangan dari baterai ini adalah harganya yang mahal karena menggunakan silver atau perak. Hal ini menyebabkan aplikasi dari baterai ini sangat terbatas, khususnya digunakan pada aplikasi militer. 6. Zinc/Air Battery Ini adalah salah satu baterai jenis terbaru dan masih dikembangkan. Baterai ini tidak menggunakan material logam padat sebagai katoda. Baterai ini menggunakan zink sebagai anoda, tetapi katodanya berupa udara biasa. Oleh karena itu, baterai ini memiliki densitas energi yang sangat besar dan sangat cocok untuk aplikasi-aplikasi divais elektronik kecil. Saat ini, yang menjadi penghambat perkembangan baterai zincair dan tidak digunakan pada aplikasi yang luas adalah limitasi performanya, seperti sensitivitas kepada temperatur yang ekstrim, kelembaban, dan faktor-faktor lingkungan

38


lain. Namun begitu, densitas energinya yang sangat tinggi menyebabkan baterai ini sudah digunakan pada bidang militer. 7. Baterai magnesium Magnesium memiliki beberapa sifat elektrokimia yang menarik untuk dijadikan material aktif elektroda baterai, seperti menghasilkan densitas energi yang tinggi secara teoretis. Namun, saat ini baterai magnesium tidak menarik untuk aplikasi komersial karena pada proses discharge terbentuk gas hidrogen dan kemampuan penyimpanan yang jelek untuk sel yang tidak terisi penuh. Namun begitu, magnesium masih suka diteliti sebagai material baterai hingga saat ini. 8. Baterai alumunium Sama dengan magnesium, alumunium juga memiliki beberapa sifat elektrokimia yang menarik untuk dijadikan material elektroda baterai di mana secara teoretis akan menghasilkan densitas energi yang sangat tinggi. Namun, kekurangan dari baterai alumunium adalah adanya polarisasi dan korosi parasitik sehingga tidak (atau mungkin belum) dijadikan produk komersial. 9. Baterai litium Baterai litium merupakan perkembangan baterai yang cukup baru, yaitu pada tahun 1970. Selain memiliki densitas energi yang besar, baterai litium juga memiliki spesifik energi (energi/satuan massa) yang besar. Selain itu, baterai litium juga memiliki usia yang baik dan range temperatur operasi yang luas. Baterai litium primer terbagi menjadi tiga jenis [1]. Jenis-jenis tersebut adalah low-power solid-state batteries, solid-cathode batteries (untuk jam tangan, kalkulator), dan soluble-cathode batteries. 10. Baterai elektrolit solid Baterai ini seperti namanya, menggunakan material padat untuk elektrolitnya. Umumnya baterai ini memiliki power yang rendah, tetapi umur baterai yang sangat lama dan memiliki range temperatur operasi yang besar[1]. Dari semua baterai primer di atas, baterai yang paling populer adalah baterai alkalin. Baterai primer memiliki ukuran-ukuran baterai yang standar, misalnya baterai alkalin seperti berikut[2]. Tabel 4. Tipe ukuran baterai primer [2]

Tipe baterai

Tegangan Kapasitas Tegangan C-rate nominal (V) (mAh) cut-off (V) 9V 9 570 4,8 0,025 AAA 1,5 1.150 0,8 0,017 AA 1,5 2.870 0,8 0,007 C 1,5 7.800 0,8 0,005 D 1,5 17.000 0,8 0,002 Baterai 9V adalah baterai yang berbentuk kotak besar, sedangkan AAA adalah baterai silinder yang ukurannya paling kecil dan semakin ke bawah (menuju D) ukurannya semakin besar.

39


Baterai Sekunder Secara sederhana, aplikasi dari baterai sekunder (rechargable) terbagi menjadi dua[1]. Yang pertama adalah aplikasi untuk menyimpan energi hasil konversi sumber energi primer, misal PLTS atau PLTB. Yang kedua adalah untuk sumber energi listrik divais-divais elektronik (layaknya baterai primer) tetapi bisa diisi ulang. Contoh aplikasi yang kedua ini adalah pada mobil listrik, handphone, dan laptop. Terdapat juga berbagai jenis baterai sekunder, tetapi setidaknya empat buah yang paling umum ialah lead-acid battery (accu), NiCd, NiMH, dan litium ion. Dari tipe-tipe baterai sekunder tersebut, tidak ada baterai yang “paling baik� di antara semuanya. Yang ada adalah baterai mana yang cocok untuk aplikasi yang mana[3]. Terdapat baterai yang didesain untuk memiliki umur yang panjang, tetapi memiliki kekurangan berupa ukurannya yang besar. Ada juga baterai yang didesain untuk memiliki ukuran kecil dan kapasitas besar, tetapi umurnya sangat kecil. Kemudian, ada juga baterai yang memiliki performa bagus dari segi kapasitas, ukuran, dan usia serta memiliki properti tertentu yang diinginkan, tetapi harganya mahal. Inilah alasan kita sering mendengar berita mengenai baterai yang sangat kecil dan bisa dicas dengan cepat, atau berbagai performa hebat lainnya, tetapi tidak terlihat pada kehidupan sehari-hari. Sekarang mari kita lihat satu persatu baterai sekunder. 1. Baterai NiCd (Nickel Cadmium) Teknologi sudah matang, tetapi memiliki rapat energi yang relatif rendah. NiCd digunakan untuk aplikasi divais yang membutuhkan umur baterai panjang, discharge rate tinggi dan murah. Contoh-contoh aplikasi baterai NiCd adalah pada radio, kamera video profesional, dan peralatan medis. Namun, saat ini baterai ini tidak beredar secara bebas karena mengandung cadmium yang bersifat berbahaya untuk manusia dan tidak ramah lingkungan[3]. 2. Baterai NiMH (Nickel-Metal Hydride) Memiliki densitas energi yang lebih tinggi dibandingkan NiCd, tetapi umur (banyak siklus baterai)nya lebih sedikit. NiMH tidak mengandung material yang berbahaya. Namun, sedikit kekurangan dari baterai ini adalah memiliki self discharge yang tinggi[4]. Contoh aplikasi baterai NiMH adalah pada handphone dan laptop. 3. Baterai Lead Acid (Accu) Merupakan baterai sekunder yang paling populer terlepas sudah ada sejak abad 19. Kita dapat melihat accu pada kendaraan-kendaraan seperti motor, mobil, dan bus. Hal ini disebabkan harganya yang murah, umur (jumlah siklus sel) yang baik, serta relatif aman (dibanding Litium Ion). Kekurangannya adalah densitas energi dan energi spesifiknya yang buruk. Namun, hal ini tidak menjadi masalah untuk aplikasi di mana tidak membutuhkan faktor ukuran ataupun berat sebagai pertimbangan penting.

4. Baterai Litium Ion (Li-ion) Baterai ini saat ini adalah baterai yang berkembang paling pesat dan sering kita jumpai sehari-hari selain accu. Baterai ini adalah pilihan utama ketika rapat energi dan energi spesifik (ukuran dan berat) menjadi pertimbangan utama. Aplikasinya, dapat kita lihat bahwa kebanyakan handphone dan laptop sekarang menggunakan baterai berupa litium 40


ion. Sedikit kekurangan dari litium ion adalah harganya yang masih cukup mahal, serta faktor keamanannya yang membutuhkan rangkaian proteksi. 5. Baterai Litium Ion Polimer (Lipo) Menggunakan polimer. Memiliki rapat energi dan energi spesifik yang juga tinggi, walapunn masih di bawah litium ion. Kelebihan baterai ini dibanding litium ion biasa adalah dari segi keamanan, baterai ini lebih baik. 6. Next Generation Battery Merupakan baterai yang baru dikembangkan dan diharapkan bisa menggantikan baterai litium ion sebagai baterai yang paling banyak digunakan saat ini, karena baterai litium ion sudah hampir mencapai limit perkembangannya. Sebagai ringkasan, berikut adalah perbandingan beberapa baterai sekunder yang populer digunakan. Tabel 5. Perbandingan baterai sekunder[3]

Rapat energi (Wh/kg) Umur siklus (hingga mencapai 80% kapasitas) Self discharge/bulan Tegangan sel (V) Kebutuhan maintanance

NiCd 45-80

NiMH 60-120

Lead Acid 30-50

Li-ion 110-160

Lipo 100-130

1.500

300-500

200-300

500-1.000

300-500

20%

30%

5%

10%

10%

1,25

1,25

2

3,6

3,6

30-60 hari

60-90 hari

3-6 bulan

-

-

Untuk baterai jenis litium ion yang merupakan baterai yang lumayan sering dipakai sehari-hari, akan dijelaskan lebih lanjut pada bab-bab selanjutnya. Begitu juga dengan next generation battery.

41


Bab 8. Baterai Litium Ion Seperti sudah dibahas sebelumnya, baterai tipe secondary memiliki berbagai jenis. Ada leadacid battery atau yang sering dikenal sebagai accu, kemudian ada NiCd, NIMH, litium ion, litium ion polimer, dan berbagai baterai lainnya yang tidak begitu terkenal. Di antara jenisjenis tersebut, baterai yang saat ini paling popular dipakai di berbagai bidang terutama handphone dan laptop adalah baterai litium ion. Terdapat setidaknya empat alasan yang menjadikan litium ion ini popular digunakan di berbagai bidang. Yang paling utama ialah ia memiliki rapat densitas (energy density) dan rapat daya (power density) yang sangat tinggi, seperti pada gambar berikut.

Gambar 23. Grafik yang menunjukkan rapat energi dan rapat daya untuk berbagai teknologi penyimpanan energi [1]

Yang kedua ialah litium ion memiliki self discharge yang kecil, yaitu hanya sekitar 5% per bulannya[1]. Keuntungan ini merupakan poin yang juga penting, karena terdapat baterai lain misal NiMH dengan self discharge yang tinggi sehingga tidak bisa dipakai untuk kebutuhan menyimpan listrik yang lama. Penyebab litium ion populer yang ketiga adalah tidak memiliki memory effect, yaitu karakteristik baterai yang mewajibkan untuk men-discharge habis baterai sebelum dicas kembali, tidak seperti NiCd. Penyebab popularitas utama yang terakhir adalah cukup awet, ditandakan dengan jumlah siklus yang cukup banyak yaitu sekitar 400-1200 siklus. Misal pada baterai HP yang menggunakan litium ion, jika dalam satu hari melewati satu siklus cas das discharge, maka baterai HP bisa digunakan untuk sekitar 1,5 hingga 3 tahun. Baterai litium ion saat ini menjadi pilihan utama di berbagai bidang mulai dari laptop, HP, ataupun mobil listrik karena rapat energi dan rapat daya listriknya yang tinggi. Namun, bukan berarti baterai ini tidak memiliki kelemahan. Saat ini, hampir seluruh baterai litium ion yang beredar di pasaran menggunakan elektrolit berupa LiPF6 yang sifatnya mudah terbakar. Oleh karena itu, sedang populer riset tentang baterai all solid state di mana menggunakan semua komponen termasuk elektrolit dalam bentuk padat. Ini diharapkan menjadi salah satu solusi dari masalah keamanan LiPF6.

42


Selain itu, di bagian anoda dan katoda, material utamanya yaitu litium adalah logam alkali yang bersifat sangat reaktif. Artinya, jika segel baterai terbuka dan air masuk, logam langsung terreduksi dan baterai akan terbakar hebat. Banyak video di youtube yang mendemonstrasikan beberapa percobaan liar dengan baterai litium ion. Kemudian, di sisi katoda, material yang digunakan biasanya mengandung kobalt, yang merupakan material yang cukup langka di bumi[2] . Pemasok utama kobalt untuk seluruh industri baterai litium ion di dunia adalah Republic of Congo. Hal ini menjadi salah satu penyebab baterai litium ion memiliki harga yang relatif mahal jika dibandingkan misalnya dengan baterai lead acid (accu). Selain material pada gambar 2.1, katoda-katoda yang sering digunakan pada baterai litium ion adalah LFP (Lithium Iron Phosphate), LMO (Lithium Manganese Oxide), NCM (Nickel Cobalt Manganese), NCA (Nickle Cobalt Aluminum Oxide), LCO (Lithium Cobaltate). Setiap jenis memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sehingga digunakan di tempat-tempat yang berbeda. Misalnya, baterai pada mobil listrik Tesla yang membutuhkan rapat energi besar menggunakan NCM, sedangkan baterai yang digunakan pada PowerWall Tesla yang mengutamakan harga lebih murah adalah NCA[3]. Dalam sebuah baterai, besar energi yang tersimpan bisa dioptimasi dari beda tegangan elektrodanya, massa reaktan per elektron yang bersirkulasi seminimal mungkin, serta menghindari defisiensi elektrolit karena bereaksi dengan unsur lain dalam baterai[4]. Syarat ketiga ini dipenuhi hanya oleh baterai NiMH terbaru dan baterai litium ion. Baterai litium ion pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan Amerika Profesor John Goodenough pada tahun 1980[5]. Ini merupakan lompatan besar dalam perkembangan baterai karena litium merupakan elemen yang sangat ringan dari tabel periodik dan juga memiliki potensial elektrokimia yang sangat besar, sehingga sangat ideal untuk dijadikan baterai. Saat ini, baterai litium ion di pasaran menyimpan energi sekitar 180Wh/kg, 5 kali lebih besar daripada baterai lead acid[4]. Baterai litium ion pertama kali dikomersialisasi oleh Sony pada tahun 1991, dengan anoda berupa grafit (LixC6) dan katoda dengan layer logam transisi-oksida (Li1-xTMO2)[4]. T bisa berupa kobalt, nikel, mangan, atau campurannya. Pertama kali menggunakan katoda litium kobalt oksida, terjadi banyak kasus baterai terbakar. Namun, Profesor Goodenough pada tahun 1990an kembali menemukan lompatan besar dalam teknologi baterai menggunakan lithium iron phosphate (LiFePO4). Untuk bagian-bagian dan cara kerja litium ion, sudah dijelaskan di bab 3 buku ini. Intinya, pada saat proses discharge ion litium akan bergerak dari anoda grafit ke katoda yang bisanya berupa senyawa litium dengan oksida logam transisi. Lalu, proses charge terjadi sebaliknya, ion litium bergerak dari katoda ke dalam anoda yang berbentuk layer-layer grafit. Proses masuknya sesuatu (litium) ke dalam suatu layer senyawa kimia ini disebut dengan proses interkalasi. Pencarian material-material anoda dan katoda salah satunya berfokus kepada material yang bisa melakukan proses interkalasi ini dengan konsisten, tidak berubah sepanjang umurnya sehingga bisa memperpanjang usia baterai[33]. Saat ini, terdapat berbagai jenis dari litium ion (berdasarkan materialnya), yang akan kita bahas satu per satu sebagai berikut[7].

43


1. Lithium Cobalt Oxide (LiCoO2) Baterai ini dinamakan sesuai dengan material katodanya, sedangkan anodanya berupa grafit. Kelebihannya ialah energi spesifiknya yang besar, sehingga menjadi pilihan populer untuk handphone, laptop, dan kamera digital. Kekurangannya ialah umur dan stabilitas termalnya serta daya spesifik yang relatif biasa saja. Faktor utama yang menimbulkan batas usia baterai ialah anodanya yang tersusun atas grafit. Grafit memungkinkan perubahan solid electrolyte interface (SEI), yaitu penebalan pada anoda oleh plat litium pada saat fast charging, di atas batas C-ratingnya. Misal, sebuah sel 18650 dengan kapasitas 2.400 mAh seharusnya hanya boleh didischarge dengan arus sebesar 2,4A. Lebih dari itu, akan mempersingkat usia baterai.

Gambar 24. Struktur katoda baterai LCO[7]

Gambar di atas adalah struktur katoda dari baterai LCO. Saat ini, Li-cobalt sudah kalah populer dengan Li-manganese, lalu NMC dan NCA. Cobalt merupakan material yang tidak semelimpah logam-logam lain seperti alumunium, sehingga harga cobalt relatif mahal dibandingkan material penyusun baterai lainnya.

2. Lithium Manganese Oxide (LiMn2O4 / LMO) LMO pertama kali dipublish di Materials Research Bulletin pada tahun 1983. Kemudian, baterai ini pertama kali dikomersialisasi sebagai material katoda litium pada tahun 1996 oleh Moli Energy. Satu kelebihan menonjol dari LMO adalah hambatan dalam sel yang rendah dikarenakan strukturnya yang berupa spinel, sehingga memungkinkan fast charging dan high-current discharging. Kemudian, LMO memiliki stabilitas termal yang relatif baik dan lebih aman daripada LCO. Walau begitu, LMO memiliki energi spesifik yang lebih rendah daripada LCO (lebih rendah 1/3 kapasitas). Aplikasi dari baterai ini pada masanya adalah pada peralatan yang membutuhkan daya cukup besar, misal instrumen medis dan kendaraan listrik. Namun, saat ini LMO murni 44


sudah jarang digunakan. Saat ini jauh lebih sering digunakan Li-manganese yang dicampur dengan nikel atau kobalt sehingga memberikan energi spesifik yang cukup baik, tetapi juga daya spesifik yang tetap baik.

Gambar 25. Struktur katoda Li-manganese berupa spinel

3. Lithium Nickel Manganese Cobalt Oxide (LiNiMnCoO2 atau NCM) Ini adalah salah satu katoda sistem baterai litium ion yang “suksesâ€? hingga saat ini. Katodanya tersusun dari nikel, mangan, dan kobalt yang dicampur dengan perbandingan tertentu. Kunci dari kesuksesan baterai NCM ialah kombinasi nikel dan mangan. Seperti tadi disebutkan, mangan menyebabkan baterai memiliki daya spesifik yang besar tetapi energi spesifik yang biasa saja. Lalu, nikel menyebabkan sifat rapat energi yang tinggi, tetapi stabilitas rendah. Kombinasi keduanya ditambah kobalt mengakibatkan sistem baterai memiliki sifat-sifat yang diinginkan. Salah satu perbandingan yang umum dan sukses ialah 1-1-1. 1/3 nikel, 1/3 kobalt, dan 1/3 mangan. Perbandingan lainnya yang sukses ialah 5-3-2, yaitu ½ nikel, 3/8 kobalt, dan 1/5 mangan. Semakin sedikit unsur kobalt yang digunakan, harga baterai cenderung semakin murah karena kobalt adalah logam yang paling mahal. Saat ini, NCM menjadi pilihan utama material baterai litium ion untuk mobil listrik karena rapat energinya (dan energi spesifiknya) yang sangat baik, serta daya spesifiknya yang juga baik. Saat ini, baterai NCM merupakan jenis baterai litium ion yang paling sukses dan masih berkembang di pasaran. 4. Lithium Iron Phosphate (LiFePO4) Pertama kali ditemukan pada tahun 1996 di University of Texas. Katoda ini merupakan perkembangan yang dicatat sejarah karena memiliki kestabilan elektrokimia yang baik dan hambatan dalam baterai yang sangat rendah. Keuntungan-keuntungan utama dari material katoda jenis ini ialah memungkinkan high current rating, umur siklusnya yang sangat tinggi, stabilitas termal yang baik dan safety yang baik. Kemudian, dibandingkan material-material katoda lainnya, Li-phosphate adalah yang paling toleran jika berada dalam kondisi full. Baterai lainnya, jika disimpan dalam waktu lama, perlu disimpan dalam storage voltage, yaitu tegangan tertentu di bawah tegangan maksimumnya.

45


Beberapa kekurangannya ialah nominal voltage yang lebih rendah daripada material lainnya, sehingga berkurangnya energi spesifik. Lalu, Li-phosphate juga memiliki self discharge yang relatif lebih buruk dibandingkan material lainnya. Karena rapat dayanya yang tinggi, salah satu aplikasi utama dari Li-phosphate adalah menggantikan lead acid sebagai starter kendaraan bermotor. 5. Lithium Nickel Cobalt Aluminum Oxide (LiNiCoAlO2 / NCA) Baterai jenis ini sudah dipakai di berbagai aplikasi sejak tahun 1999. Ia memiliki kemiripan dengan NCM dalam hal energi spesifik yang tinggi, daya spesifik yang tinggi, serta umur siklus yang lama. Sedikit kekurangan NCA adalah masalah safety dan harga. Penambahan unsur alumunium dalam katoda menimbulkan stabilitas kimia yang lebih baik.

6. Lithium Titanate (Li4Ti5O12 /LTO) Berbeda dengan baterai-baterai sebelumnya, titanat di sini merupakan material anoda, menggantikan grafit sebagai material anoda yang paling populer. Baterai litium titanat ini menggunakan katoda berupa LMO atau NCM. Kelebihan utama dari litium titanat adalah memiliki discharge rate yang sangat tinggi, bisa mencapai 10C. Walau begitu, usia jumlah siklusnya juga lebih baik daripada baterai litium ion yang lain. Hal ini disebabkan LTO memiliki sifat zero-strain, tidak terbentuknya SEI ataupun lapisan litium yang tidak diinginkan pada saat proses charge maupun discharge. Kekurangannya ialah rapat energinya yang masih cukup rendah serta harganya yang masih mahal.

46


Berikut adalah kesimpulan perbandingan dari performa beberapa baterai yang sudah dibahas satu per satu tadi. 1. Lithium Cobalt Oxide (LiCoO2)

4. Lithium Iron Phosphate (LiFePO4)

Gambar 26. Grafik spider hexagonal LCO[7]

2. Lithium Manganese (LiMn2O4)

Gambar 29. Grafik spider hexagonal LiFePO4[7]

Oxide 5. Lithium Nickel Cobalt Aluminum Oxide (LiNiCoAlO2)

Gambar 27. Grafik spider hexagonal LMO[7] Gambar 30. Grafik spider hexagonal NCA [7]

3. Lithium Nickel Manganese Cobalt Oxide (LiNiMnCoO2 atau NMC)

6. Lithium Titanate (Li4Ti5O12)

Gambar 31. Grafik spider hexagonal Litium titanate [7]

Gambar 28. Grafik spider hexagonal NCM[7]

47


Jika dibuat tabel perbandingan antara material-material di atas, hasilnya adalah sebagai berikut [7] . Tabel 6. Perbandingan beberapa material litium ion

Nama

C-rate

Siklus

Aplikasi

Komentar

LCO

Energi spesifik (Wh/kg) 150-200

0,7-1

LMO

100-150

0,7-1

5001.000 300-700

NCM

150-220

0,7-1

1.0002.000

LiFePO4

90-120

1-25

1.0002.000

Energi spesifik tinggi, daya spesifik normal, kobalt mahal. Daya spesifik tinggi, energi spesifik lebih rendah Energi dan daya spesifik tinggi, jenis baterai litium ion paling populer di pasaran Kapasitas rendah, discharge rate tinggi, safety baik

NCA

200-260

0,7-1

500

Handphone, tablet, laptop Instrumen medis, motor listrik E-bikes, instrumen medis, mobil listrik Peralatan listrik yang butuh arus tinggi dan ketahanan Instrumen medis, industri, tesla powerwall

LTO

50-80

1-5

3.0007.000

UPS, EV, baterai lampu solar jalan

Energi spesifik sangat tinggi, sangat cocok untuk aplikasi yang membutuhkan ukuran kecil Umur sangat panjang, charging cepat, energi spesifik rendah, mahal

Perlu diperhatikan bahwa pada tabel di atas, tidak disampaikan informasi mengenai harga, safety, rapat daya, dan banyak hal lainnya. Selain itu, kita baru membahas 5 macam katoda dan juga 1 anoda selain grafit karbon. Masih banyak jenis-jenis katoda dan anoda baterai litium ion, tetapi tidak dalam bahasan buku ini. Untuk elektrolit sendiri, terdapat juga beberapa jenis yang bisa dipakai. Namun begitu, saat ini di pasaran jenis elektrolit yang beredar lebih dari 90% hanyalah LiPF6, berbentuk cair. Hal ini menjadi salah satu masalah utama baterai litium ion, yaitu menggunakan cairan padahal mengandung salah satu logam alkali paling reaktif, yaitu litium. Ketika litium bertemu dengan air, ia bisa dengan mudah teroksidasi dan menimbulkan api. Oleh karena itu, saat ini populer dikembangkan baterai solid state, di mana seluruh bagian baterai menggunakan zat padat. Saat buku ini ditulis (2018), Prof. Goodenough sang penemu litium ion juga masih aktif meneliti material solid state untuk elektrolit baterai litium ion.


Bab 9. Baterai All Solid State Jika di bab sebelumnya kita sudah membahas baterai paling populer di masa kini, mulai bab ini kita akan membahas the next generation battery, atau baterai-baterai yang berprospek di masa depan menggantikan baterai litium ion. Litium ion sendiri pada dasarnya sudah memiliki rapat energi dan rapat daya yang sangat baik. Namun, manusia ingin mencapai lebih. Mulai dari menginginkan baterai yang rapat energinya lebih tinggi, rapat dayanya lebih tinggi, atau misal tingkat keamanan dan umur siklusnya yang lebih tinggi. Terutama dari segi keamanan, baterai litium sangat mudah terbakar karena tersusun dari litium yang merupakan logam alkali sangat reaktif. Ditambah lagi, elektrolitnya juga terbentuk dari LiPF6 yang tidak boleh terkena udara. Terdapat banyak next generation battery, tetapi yang akan dibahas pada buku ini adalah baterai all solid state, baterai litium sulfur, dan baterai metal-air. Baterai all solid state adalah baterai yang semua material penyusunnya berada dalam bentuk padatan, termasuk elektrolitnya yang biasanya berbentuk cair. Kemudian, baterai litium sulfur adalah baterai litium yang menggunakan senyawa sulfur sebagai material anodanya. Terakhir, baterai metal-air adalah baterai yang anodanya berupa logam (misal litium) dan katodanya berupa udara, sehingga memiliki rapat energi yang sangat besar. Baterai all solid state disebut-sebut sebagai salah satu new generation untuk teknologi penyimpanan energi[1]. Keunggulan-keunggulan dari baterai all solid state ini adalah memiliki rapat energi yang besar (ukuran sangat kecil) dan keamanannya karena menggunakan elektrolit padat. Elektrolit padat sangatlah menguntungkan dibandingkan dengan elektrolit cair, misal pada kasus Samsung Galaxy Note 7 pada tahun 2016. Baterai tersebut cacat karena desain yang kurang rapi dan menyebabkan konslet. Akibat konslet, muncul panas dan elektrolit cair ini sangat sensitif terhadap panas dan paparan udara luar, sehingga akibatnya baterai tersebut mudah terbakar. Elektrolit padat tidak semudah elektrolit cair untuk terbakar. Aplikasinya misal pada mobil listrik yang membutuhkan banyak baterai. Penggunaan baterai litium konvensional dengan elektrolit cair memaksa desain mobil untuk menambahkan komponen-komponen yang menyerap panas sehingga baterai tidak terbakar. Dengan baterai all solid state, komponen pendingin tersebut tidak diperlukan seperti pada baterai litium konvensional. Kemudian, rapat energinya yang besar sangat menguntungkan karena menghemat ruang pada mobil. Keunggulan lain dari baterai all solid state dibandingkan baterai litium konvensional adalah umur (jumlah siklus) yang sangat besar. Jika baterai litium ion konvensional bertahan hanya sekitar 2 tahun, baterai all solid state bisa bertahan hingga 10 tahun[2]. Perkembangan baterai all solid state dan keuntungan-keuntungan yang ditawarkannya tentu sangat menggiurkan, membuat perusahaan-perusahaan mobil berlomba-lomba untuk menggunakan baterai ini. Contohnya, Toyota pada tahun 2017 mengumumkan rencananya untuk menggunakan baterai all solid state untuk mobil listriknya pada tahun 2020[2]. Namun, baterai ini belum sampai pada tahap komersialisasi hingga saat ini, dan tidak ada jaminan akan mulai terkomersialisasi pada tahun 2020[2]. Satu buah fakta menarik dari baterai all solid state ialah, salah satu peneliti yang giat menekuninya adalah John Goodenough (sekarang umur 95 tahun), penemu baterai litium ion yang hingga saat ini aplikasinya ada di mana-mana. Ia menyatakan pada sebuah papernya 49


bersama Braga dkk[3] yang berjudul Nontraditional, Safe, High Voltage Rechargeable Cells of Long Cycle Life pada tahun 2018, menyatakan baterai ini bisa memiliki rapat energi dua kali baterai litium biasa, serta memiliki keunikan. Kapasitas baterai meningkat seiring jumlah proses charging dan discharging[3].

Gambar 32. Grafik peningkatan kapasitas baterai seiring siklus baterai[3]

Beberapa klaim paper tersebut yang lain adalah, • • •

Merupakan baterai yang benar-benar all solid state tanpa elektrolit cair yang merupakan penyebab utama baterai litium mudah terbakar Tidak menggunakan cobalt, material penyusun baterai litium ion yang semakin mahal karena kelangkaannya di bumi Memiliki umur dengan jumlah siklus 23.000 kali (ini sangat banyak, dibandingkan baterai litium biasa sekitar 1.000 kali.

Namun begitu, perkembangan baterai yang sangat mengagumkan ini ditanggapi secara skeptis oleh komunitas peneliti baterai. Misal oleh Axios, peneliti-peneliti mempertanyakan mengenai beberapa hal seperti • • •

Konstanta dielektrik relatif yang terlihat lebih besar daripada material apapun Self discharge, apakah baterai bisa mempertahankan keadaan state of charge-nya jika tidak di-discharge sama sekali Kebenaran peningkatan kapasitas seiring jumlah charge dan discharge yang dilakukan, karena 6 peneliti Axios melakukan percobaan yang sama tetapi diperoleh penurunan kapasitas ketika baterai mengalami siklus[4].

50


Terutama di poin terakhir, Venkat Viswanathan (Carnegie-Mellon University) langsung mengatakan hal tersebut tidak masuk akal. Ini sama halnya ketika menggunakan mobil listrik yang awalnya sekali cas bisa menempuh 200 mil, lalu setelah 5 tahun bisa menempuh 800 mil[4]. Professor-professor dari berbagai universitas lain juga menyatakan keraguannya atas validitas data paper Braga. Namun, Braga merespon, “There are a lot of interests. But time will be on our side. Data is data and we have similar data from many different cells, in four different instruments, different labs, glove box. And at the end of the day, the LEDs are lit for days with a very small amount of active material after having cycled for more than 23,000 times[4].” Di lain sisi, Goodenough tidak berkomentar sama sekali[5]. Namun begitu, semoga saja paper Braga dan Goodenough ini dapat menunjukkan hasilnya di masa depan. Bagaimanapun, walau tidak dianugerahi penghargaan Nobel Goodenough adalah seorang penemu baterai litium yang dipakai di hampir seluruh barang elektronik yang kita pakai sehari-hari. Semoga saja keskeptisan para penliti ilmuwan saat ini terhadap papernya, sama seperti keskeptisan para peneliti etika penemuan bumi mengelilingi matahari atau ketika orang bermimpi membuat besi bisa terbang. Pada awalnya orang juga tidak percaya. “We’ll see,” kata sang master[5]. Terlepas dari penelitian Braga dan Goodenough yang dibahas di atas, baterai all solid state memang merupakan salah satu baterai next generation yang paling berprospek. Bagaimanapun, benar bahwa baterai litium dengan elektrolit cair mudah terbakar dan baterai all solid state dengan elektrolit padat relatif lebih aman. Kemudian, secara teori baterai all solid state memang memiliki umur siklus yang lebih lama dan rapat energi yang lebih besar[1]. Dengan begitu, kemungkinan penggunaannya di masa depan beragam di berbagai divais elektronik, terutama pada mobil listrik dan handphone, yang membutuhkan rapat energi dan keamanan yang tinggi. Sekarang mari kita sedikit masuk pada aspek teknis mengenai baterai all solid state menurut satu buah review paper[1]. Namun, bagaimanapun baterai all solid state ini masih sangat jauh dari tahap komersialisasi karena sulitnya mencari material padat yang cocok untuk elektrolit. Pertimbanganpertimbangan utama menentukan pilihan material elektrolit padat ialah yang memiliki konduktivitas ionik tinggi, sifat mekanik yang baik, serta kompabilitas yang baik dengan material elektroda. Hingga sekarang, beberapa material elektrolit padat yang digunakan ialah tipa perovskite (Li(La)TiO3), tipe NASICON (LATP, LAGP, dll), tipe garnet (Li7La3Zr2O12), nitrida, glass-ceramics nitrida atau sulfida, dan beberapa material polimer atau koloidal lainnya. Dari material-material inorganik, sulfida memiliki beberapa keuntungan secara konduktivitas ioniknya yang tinggi dan kemudaan model strukturnya, tetapi memiliki sifat higroskopik dan stabilitas kimianya yang buruk. Pada beberapa tahun ke belakang, Li-X garnet menarik perhatian karena konduktivitas ion yang tinggi dan memiliki kestabilan yang relatif baik. Namun, dari material-material apapun yang jelas masih ada beberapa tantangan yang menghambat aplikasi dan komersialisasi dari baterai litium all solid state ini sebagai berikut[1].

1. Kurangnya konduktivitas ionik dari elektrolit. Elektrolit yang sering digunakan pada baterai litium ion konvensional adalah elektrolit organik cair seperti LiPF6 yang memiliki konduktivitas listrik sekitar 10-2 S/cm. Namun, elektrolit-elektrolit padat seperti keramik memiliki konduktivitas pada range 10-5 – 10-3 S/cm, yang masih sangat jauh di bawah konduktivitas elektrolit organik cair

51


2. Kurangnya kecocokan interfacial antara elektrolit dengan elektroda. Disebabkan pertemuan interfacial pada sambungan elektroda-elektrolit, tegangan mekanik muncul saat proses lithiation/delithiation yang menyebabkan nilai resistansi listrik yang tinggi. Ditambah lagi selain itu, interface interfacial yang diinginkan pada perbatasan elektrolit dan elektroda sulit sekali dibentuk karena struktur dari elektrolit padat yang seringkali mengandung boundary dan void, disebabkan kompresi dari powder-nya. 3. Kurangnya pemahaman secara dasar sains mengenai proses interfacial pada proses charge atau discharge. Pergerakan ion litium dan evolusi interfacial sangat penting dalam proses operasi baterai all solid state. Namun, masih belum dipahami dengan baik bagaimana proses ini terjadi dalam skala mikroskopik, bagaimana struktur kristal dan elektron pada saat proses elektrokimia charging dan discharging berlangsung. 4. Kurangnya optimisasi desain sistem dan performa. Dengan desain sistem seperti yang ada sekarang, interface yang tajam dari elektrolit mungkin menyebabkan laminasi atau regangan mekanik yang besar pada saat siklus terjadi. Desain yang baik dari penyusunan elektrolit dan elektroda dan optimasi material elektroda untuk material elektrolit tertentu, masih kurang. Untuk mengatasi tantangan-tantangan di atas, beberapa riset yang baik untuk dilakukan pada bidang baterai all solid state ini ialah sebagai berikut[1]. 1. Fokus meningkatkan konduktivitas ionik elektrolit padat. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan meningkatkan kristalinitas dan membentuk interface solid berukuran nano. Selain itu, konduktivitas pada perbatasan elektrolit dan elektroda bisa ditingkatkan dengan menurunkan ukuran grain menjadi pada skala nano. Beberapa metode yang bisa digunakan lainnya untuk meningkatkan konduktivitas ionik ini adalah efek SCL (Space Charge Layer), strain effect, dan curvature effect. 2. Mengoptimasi struktur dan komposisi elektrolit. Pada saat buku ini ditulis, proses penelitian material elektrolit padat masih ada pada tahap trial-and-error. Pendekatan yang digunakan tidak jelas dan secara umum bisa dibilang hanya buang-buang waktu. Seharusnya, peneliti memulai dari first principle, dari teori dasar fisika dan kimia. Misalnya menggunakan density functional theory (DFT) yang dikombinasikan dengan teknik tingkat tinggi seperti material screening berupa materials libraries dan desain kombinatorikal. Hal itu, walau mungkin lebih melelahkan di awal, jauh lebih dibutuhkan daripada sekedar mencoba material secara sembarang, lalu trial-and-error.

3. Modifikasi struktur interfacial untuk mengurangi hambatan interfacial Proses rekayasa grain boundary dan modifikasi interfacial adalah sebuah langkah yang sangat taktis untuk meningkatkan konduktivitas ionik dari baterai. Hal ini dilakukan dengan mengubah arsitektur dari permukaan elektrolit dan memaksimalkan akses area interfacial sehingga mengurangi sesuatu yang menghambat laju aliran ion litium. Satu contoh pendekatan yang efektif telah dilakukan oleh Hu dkk[6], yang membentuk lapisan sangat tipis (ultrathin) ALD coating menggunakan Al2O3 pada elektronit

52


garnet. Contoh strategi lainnya ialah meningkatkan temperatur supaya pergerakan ion bisa lebih cepat. Ini dilakukan oleh Huang dkk[7] untuk semua baterai Na+ion 4. Penelitian lebih lanjut mengenai dasar-dasar teori yang terkait Hal ini sangatlah penting untuk meningkatkan performa material, komponen, dan sistem secara keseluruhan dan menghindari proses trial-and-error. Teori-teori mengenai elektrolit dan interfacialnya sangat dibutuhkan, dan itu harus mengombinasikan perhitungan hasil eksperimen dan secara teoretis sehingga baik untuk dipakai secara praktis. Karakterisasi untuk optimasi struktur material dan menghindari kegagalan performa perlu dilakukan, salah satunya yang paling populer ialah TEM untuk mengidentifikasi proses perubahan interface pada saat proses charge dan discharge. 5. Menstabilkan anoda litium Litium memang logam yang sangat ideal sebagai elektroda baterai karena beratnya yang sangat ringan dan juga potensialnya elektrokimia yang sangat baik untuk baterai. Namun begitu, masih diperlukan proteksi yang efektif untuk logam litium pada baterai litium terutama pada kelembaban tertentu. 6. Mengoptimasi desain baterai dan operasinya. Misalnya, bentuk konfigurasi baterai yang monolithic atau simetrik sangat efektif untuk menurunkan resistansi interfacial dan biaya manufakturing. Selain itu, proses manufakturing yang modern seperti 3D-print bisa digunakan untuk mendapatkan microstructure optimal dengan hambatan kecil. Selain itu, bisa juga digunakan divais seperti MEMS (Micro-Electro Mechanical System) sehingga membuat baterai all solid state lebih fleksibel dan dapat digunakan di aplikasi yang lebih luas. Jadi, jika disimpulkan, baterai all solid state ini adalah salah satu baterai next generation yang memiliki keunggulan utama berupa lebih aman dibandingkan baterai dengan elektrolit cair yang mudah terbakar. Selain itu, keunggulan yang ditawarkan adalah rapat energi yang lebih tinggi dan jumlah siklus yang lebih banyak. Namun, permasalahan utama yang menghambat perkembangan baterai all solid state ini adalah konduktivitas material elektrolit padat yang masih di bawah konduktivitas material elektrolit cair yang biasa digunakan. Oleh karena itu, fokus-fokus riset mengenai baterai all solid state adalah bagaimana untuk meningkatkan konduktivitas ionik material elektrolit padat yang akan digunakan, entah itu mulai dari materialnya, desainnya, struktur interfacial-nya, atau mempelajari teori yang mendasarinya.

53


Bab 10. Baterai Litium Sulfur Sekarang kita akan membahas baterai next generation berikutnya yang memiliki prospek menggantikan baterai litium ion, yaitu baterai litium sulfur (Li-S). Pada dasarnya, kelebihan utama baterai litium sulfur ialah energi spesifiknya yang sangat tinggi secara teori, yaitu 2.500 Wh/kg[1]. Nilai ini lima kali lebih besar daripada baterai litium ion yang ada di pasaran, dengan katoda LiCoO2 dan anoda grafit. Selain itu, baterai litium sulfur memiliki kapasitas spesifik secara teoretik sebesar 1.672 mAh/g. Oleh karena itu, baterai litium sulfur ini sangat berprospek ke depannya dijadikan teknologi penyimpanan energi di mana saat ini dibutuhkan baterai dengan energi spesifik tinggi, misalnya untuk mobil listrik. Namun begitu, kelebihan baterai litium sulfur juga dibarengi dengan beberapa kekurangan. Dua kekurangan utamanya adalah jumlah siklus (umur baterai) yang rendah dan ketidakmampuannya untuk mempertahankan kapasitas baterai, dan dua kekurangan inilah yang sampai sekarang menahan baterai litium sulfur dari status terkomersialisasi secara luas. Walau begitu, memang ada beberapa industri yang mulai mengomersialisasi baterai litium sulfur, misal perusahaan di British, Oxis Energy[2]. Namun, performa baterai yang diproduksi masih cukup rendah. Dari energi spesifik teoretis 2.500 Wh/kg, Oxis Energy baru menyatakan dapat memproduksi sel dengan energi spesifik sebesar 500 Wh/kg pada tahun 2019. Untuk mengatasi masalah-masalah yang ada pada baterai litium sulfur, diperlukan dan sudah dicoba berbagai material untuk anoda, katoda, elektrolit, dan separatornya. Mari kita sedikit kembali kepada baterai litium ion. Baterai yang sudah mendominasi market baterai sekunder sejak tahun 1990 itu saat ini telah hampir mencapai batas performanya. Misal, kapasitas baterainya sudah sangat dekat dengan kapasitas secara teoretik. Dengan begitu, kita bisa bilang baterai litium ion ini sudah mencapai tahap kematangan secara pengembangan teknologi, atau setidaknya ruang untuk pengembangannya sudah sangat kecil. Padahal, aplikasi-aplikasi masa kini seperti mobil listrik membuat manusia ingin memiliki baterai yang memiliki performa jauh lebih baik dari segi kapasitas, rapat energi, dan harga yang murah. Lithium memiliki keelektropositifan (kecenderungan melepaskan elektron) yang sangat tinggi dan memiliki rapat massa paling rendah dari semua logam yang ada. Hal ini menyebabkan litium memiliki kapasitas spesifik tertinggi (3.861 mAh/g) dari semua material yang ada dan diakui sebagai material terbaik untuk anoda baterai sekunder. Di lain pihak, sulfur memiliki kapasitas spesifik secara teoretis sebesar 1.673 mAh/g, yang juga tinggi. Dengan begitu, kombinasi keduanya secara teoretik dapat mencapai rapat energi gravimetrik dan volumetrik berturut-turut sebesar 2.500 Wh/kg dan 2.800 Wh/L (asumsi reaksinya sempurna untuk Li2S). Selain itu, baterai litium sulfur juga lebih murah dibandingkan baterai litium ion konvensional dikarenakan kelimpahan sulfur di alam. Dari segi keamanan, baterai litium sulfur juga lebih baik daripada baterai litium ion konvensional karena tiap selnya beroperasi pada rentang lebih rendah, yaitu 1,5-2,5V. Terlebih lagi, baterai litium sulfur tidak bersifat toxic. Oleh karena itu, dari kelebihan-kelebihan yang disebutkan, baterai litium sulfur sangatlah berprospek dalam menggantikan baterai litium ion konvensional, dan membantu dunia dalam mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Satu kekurangan material sulfur adalah secara natural, sulfur bukan merupakan konduktor yang baik. Konduktivitasnya hanya sebesar -5 Ă— 10-30 S/cm pada suhu 25°C. Selain itu, peristiwa 54


larutnya polisulfida menyebabkan kehilangan sulfur sehingga kapasitas baterai litium sulfur bisa berkurang, seperti telah disebutkan sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini, usaha yang telah dilakukan adalah memfabrikasi material menjadi berukuran nano. Material berstruktur nano, yang misalnya dikombinasikan dengan carbon nanotubes (CNT) dapat meningkatkan kemudahan ion-ion untuk mengalir, yang berarti meningkatkan konduktivitas ioniknya. Dengan pondasi berpikir dasar seperti itu, teknologi nano sangatlah penting dalam pengembangan baterai litium sulfur. Walau material dengan struktur nano (nanostructured material) sulit untuk dipersiapkan dan terdapat banyak tantangan, peneliti-peneliti baterai litium ion sudah mencapai beberapa perkembangan yang baik. Misalnya, ada peneliti yang bisa mempertahankan kapasitas baterai litium sulfur dengan baik hingga jumlah siklus mencapai 1.000 kali.

Prinsip Kerja Baterai Litium Sulfur Sama seperti baterai yang lain, tiga komponen utama baterai litium sulfur adalah katoda, anoda, dan elektrolit non-aqueous. Lalu, katoda dan anoda dipisahkan oleh separator yang direndam di dalam elektrolit, sehingga mengizinkan ion mengalir tetapi bersifat isolator untuk elektron. Saat proses discharging, ion mengalir dari anoda ke katoda sedangkan saat proses charging sebaliknya. Berikut adalah skema proses charging dan discharging.

Gambar 33. Skema discharging (A) dan charging (B) baterai litium sulfur [1]

Reaksi kimia yang terjadi pada kedua proses di katoda adalah sebagai berikut[1]. Discharging: S8 → Li2S8, Li2S6, Li2S4 → Li2S, Li2S2 Charging:

Li2S/Li2S2 → Li2S8, Li2S6, Li2S4 → S8

Dari gambar 1, terlihat dengan jelas apa yang menyebabkan baterai litium sulfur disebut baterai litium sulfur, yaitu material katodanya yang berupa S8 atau disebut cyclooctasulfur. Kemudian, dari reaksi discharging yang ditulis di atas, bahwa S8 tidak bisa langsung berubah menjadi Li2S dengan satu buah reaksi secara langsung. Di antaranya, reaksi kimia akan membentuk polisulfida-polisulfida terlebih dahulu dengan rumus Li2Sx, 4 ≤ x ≤ 8. Senyawa kimia polisulfida ini bersifat mudah terlarut. Lalu, pada akhirnya barulah katoda menjadi berbentuk Li2S2, kemudian Li2S saat discharge lebih jauh lagi.

55


Satu fenomena yang menarik dalam baterai litium sulfur adalah fenomena shuttling. Pada saat proses discharge, senyawa polisulfida yang bermuatan negatif larus ke dalam elektrolit organik yang berfasa liquid, lalu mengalami pergerakan shuttling disebabkan potensial kimia dan konsentrasi yang berbeda antara katoda dan anoda. Fenomena ini diteliti lebih lanjut oleh Mikhaylik dkk. dan ditemukan bahwa pada suhu ruang, sel litium sulfur memiliki dua kurva tegangan datar, yaitu saat 2,3-2,4V dan sekitar 2,1V. Hal ini disebabkan sulfur hanya menangkap ½ elektron per atom sulfur sehingga membentuk Li2S4. Selain proses charging dan discharging, ada beberapa reaksi kimia lain yang berperan dalam performa baterai litium sulfur (dibahas lebih lanjut nanti). Satu hal penting dari proses operasi baterai litium sulfur ini adalah terbentuknya layer solid electrolyte interphase (SEI) pada anoda litium. Ion litium dapat melewati layer SEI dan mencapai anoda, sedangkan layer SEI yang stabil menyebabkan polisulfida di elektrolit tidak bisa bereaksi dengan anoda. Oleh karena itu, layer SEI bersifat menguntungkan untuk kapasitas dan efisiensi coulombic dari baterai litium sulfur.

Tantangan Baterai Litium Sulfur Jika ditilik sejarahnya, ternyata baterai litium sulfur sudah mulai dipelajari oleh manusia selama sekitar 5 dekade (mulai dari 1960an). Namun, perkembangannya hingga sampai saat ini belum memungkinkan untuk komersialisasi besar-besaran seperti baterai litium konvensional. Setidaknya, hal-hal berikut adalah penghambat dari perkembangan baterai litium sulfur. Yang pertama adalah sifat alamiah dari sulfur yang merupakan isolator. Produk elektrokimianya hanya mengizinkan difusi ion dan elektron pada permukaannya saja. Jadi, diperlukan doping material yang konduktif untuk dicampurkan ke katoda sulfur sehingga meningkatkan konduktivitasnya. Masalah yang kedua adalah mengenai baterai senyawa polisulfida yang terbentuk sebagai senyawa antara sebelum mencapai senyawa Li2S. Senyawa-senyawa polisulfida tersebut bisa larut pada elektrolit organik cair, sehingga menyebabkan berkurangnya material aktif sulfur pada katoda. Hal ini menyebabkan turunnya kapasitas baterai litium sulfur. Selain itu, polisulfida yang terlarut juga dapat berdifusi ke anoda dan menyebabkan reaksi parasitik yang tidak diinginkan. Hal ini menyebabkan peningkatan hambatan ion di anoda, dan menyebabkan rusaknya membran sel jika senyawa polisulfida terus berkembang. Dengan begitu, akan muncul masalah keamanan pada baterai. Masalah utama ketiga pada baterai litium sulfur adalah besarnya ekspansi volume sulfur hingga mencapai 80% pada proses seiring berjalannya siklus baterai. Sulfur akan mengalami ekspansi saat proses discharging dan kontraksi pada proses charging. Kontraksi ini cukup berbahaya karena bisa menyebabkan terlepasnya material katoda dari current colector, dan pada akhirnya turunnya kapasitas secara drastis. Jadi, pada akhirnya untuk mengembangkan baterai litium sulfur, diperlukan reliabilitas dalam siklus supaya kapasitasnya tidak berkurang drastis, diinginkan baterai yang stabil dan aman, dan tantangan utama dari baterai sulfur adalah tiga buah yang telah disebutkan di atas.

56


Material untuk Baterai Litium Sulfur Yang pertama adalah material katoda. Pada dasarnya, material katodanya adalah sulfur, tetapi diperlukan material lain yang fungsi utamanya adalah meningkatkan konduktivitas dan mencegah ekspansi-kontraksi dari sulfur itu sendiri. Seperti disebutkan sebelumnya, untuk katoda ide utamanya adalah dengan menggunakan nanostructured material yang memiliki sifat-sifat yang diinginkan. Material nanostructured sendiri bisa direkayasa menjadi berbagai bentuk/morfologi seperti porous carbon, komposit sulfur, dan sulfur-containing nanotubes. Bentuk-bentuk tersebut memiliki lebih banyak ruang kosong sehingga dapat mengantisipasi masalah variasi volume saat proses siklus. Dari situ, masalah internal strain dan pulverization dapat teratasi dan tercapai kestabilan siklus yang lebih tinggi. Selain itu, penggunaan material dengan ukuran nano dapat meningkatkan kemampuan baterai dalam discharge dan charging rate. Ini unik karena pada umumnya, kapasitas sel yang tinggi dibarengi dengan kemampuan discharge dan charge yang rendah. Namun, tidak dengan baterai litium sulfur yang katodanya menggunakan nanostrucutred material. Kemudian, mengurangi dimensi elektroda yang berarti meningkatkan surface-to-volume ratio dapat menyebabkan pemendekan jalan ion dan elektron saat sedang mengalir, yang berarti menguntungkan. Selain itu, ruang kosong pada katoda dapat menampung lebih banyak lagi sulfur yang secara langsung berarti meningkatkan kapasitas sel. Katoda baterai litium sulfur yang memiliki kapasitas tinggi dan kestabilan siklus yang baik harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut, 1. Jumlah sulfur yang cukup 2. Konduktivitas ionik yang baik, misal dengan mencampurkan material konduktif ke katoda 3. Struktur yang fleksibel untuk menahan perubahan volume yang drastis 4. Memiliki mekanisme pemerangkapan senyawa polisulfida di katoda Untuk itu, hingga saat ini terdapat setidaknya tujuh buah nanosized & nanostructured katoda yang dikembangkan pada baterai litium sulfur, yaitu 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Zero dimension porous carbon-sulfur composites One dimension sulfur containing nanotubes/nanofibers Graphene-sulfur electrodes Three dimensional (3D) nanostructured sulfur composites Core/yolk-shell structure for sulfur cathodes Polymer-sulfur nanocomposites Li2S cathodes

Material porous, terutama microporous dan mesoporous dengan konduktivitas elektronik yang tinggi adalah material yang menjanjikan untuk hosting sulfur di katoda. Material tersebut bisa membagi-bagi sulfur menjadi berukuran pada skala nano dan menyebabkan celah untuk elektrolit merembes masuk. Keduanya baik untuk memperpendek jarak difusi ion dan membuat elektrolit menjadi siap sedia, mengoptimasi reaksi pada katoda.

57


Sifat open ends dari nanotubes/fibers, serta sifat alamiah dari graphene yaitu non-closure (tidak tertutup), membatasi aplikasi keduanya sebagai material katoda baterai litium sulfur. Kecuali, ditemukan cara untuk memfabrikasi mereka menjadi memiliki struktur spesial misal menjadi tertutup, serta memfabrikasi interaksi kuat antara mereka dengan polisulfida. Dibandingkan material-material yang open ends, struktur core-shell dan yolk-shell lebih baik sebagai tempat menyimpan sulfur dan mencegah proses terlarutnya senyawa polisulfida. Polimer merupakan material yang luas digunakan untuk mengurangi pelarutan polisulfida, sehingga memiliki peran penting dalam katoda sulfur. Polimer bisa direkayasa menjadi crosslinked dengan sulfur atau bisa juga di-coating ke permukaan sulfur. Lebih jauh lagi, polimer self-healing dapat digunakan untuk mengatasi masalah perubahan volume sulfur yang drastis dan kerusakan katoda sulfur. Menurut review paper yang ada[1], kunci pengembangan baterai litium sulfur ini adalah riset lebih lanjut mengenai mekanisme self-healing dari polimer ini. Terakhir, material yang lumayan menjanjikan juga sebagai katoda dari baterai litium sulfur adalah litium sulfida. Katoda litium sulfida dapat dipasangkan dengan material metal free dan anoda dengan energi tinggi misal silikon dan timah. Namun begitu, diperlukan lebih banyak riset dan pengembangan supaya untuk mengatasi masalah sifat isolator dari litium sulfida, serta pencegahan pelarutan polisulfida.

Material-Material Komponen lainnya Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu masalah utama baterai litium sulfur adalah pelarutan polisulfida di elektrolit yang juga bisa merembet hingga merusak anoda. Oleh karena itu, solusi dari masalah ini tidak hanya berada pada katoda tetapi juga pada komponen-komponen baterai lain seperti anoda dan elektrolitnya. Sayangnya, riset mengenai anoda dan elektrolit untuk baterai litium sulfur masih kurang dibandingkan dengan riset katoda yang dilakukan. Untuk anoda, sebenarnya cukup jelas seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa litium adalah material terbaik untuk anoda baterai, hingga saat ini karena rapat energi gravimetriknya yang paling tinggi di antara semua logam yang ada. Namun, anoda berupa litium sangat reaktif terhadap elektrolit cair, juga termasuk dengan polisulfida terlarut di dalam elektrolit baterai litium sulfur. Selain bisa menimbulkan panas, reaksi anoda litium dengan senyawa polisulfida menimbulkan passivating layer dan fenomena shuttle. Lebih bahaya lagi, dapat terbentuk dendrit litium yang dapat menembus separator dan mengakibatkan short circuit, baterai menjadi terbakar. Jadi sebenarnya, hal utama yang dapat dioptimasi untuk anoda adalah mengenai masalah keamanannya. Upaya-upaya yang dilakukan misalnya dengan menambahkan protection layer pada permukaan anoda litium. Untuk elektrolit, pada dasarnya diinginkan elektrolit yang dapat mengatasi masalah pelarutan polisulfida supaya tidak menimbulkan masalah-masalah pada baterai. Saat ini, elektrolit yang paling sering dipakai berbentuk elektrolit organik cair (liquid). Beberapa elektrolit lain yang bisa menjadi alternatif untuk mengatasi masalah pelarutan polisulfida ialah solid state electrolyte, gel polymer electrolyte, ionic liquid electrolyte, dan menggunakan beberapa electroyte additives seperti LiNO3, toluen, dimetil metil fosfonat, dan fosforus pentasulfida.

58


Bab 11. Baterai Metal-Air Sewaktu menulis judul bab ini, saya sedikit tertawa memikirkan terjemahan yang tepat untuk frasa metal-air. Metal adalah logam, dan air adalah udara, berarti terjemahannya jika digabungkan adalah baterai logam-udara (?). Namun begitu, banyaknya kosa kata dalam bidang baterai yang belum ada terjemahan bahasa Indonesia yang tepat mungkin mencerminkan kurangnya penguasaan bangsa kita akan teknologi ini. Salah satu teknologi penyimpanan energi yang cukup populer dikembangkan selain baterai ialah fuel cell. Secara ringkas, fuel cell adalah teknologi penyimpanan energi yang menyimpan energinya dalam bentuk gas hidrogen[1]. Fuel cell berbeda dengan bensin biasa (fuel) dalam hal produk konversi energinya. Bensin dibakar dan berubah menjadi energi panas, sedangkan fuel cell mereaksikan gas hidrogen dengan oksigen menggunakan katalis, menghasilkan energi listrik. Kelebihan utama fuel cell dibandingkan baterai ialah rapat energinya yang sangat besar. Namun, fuel cell memiliki kelemahan yaitu sulitnya memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan gas H2 sehingga membutuhkan desain sel yang rumit dan mahal[2]. Baterai metal-air ini bisa kita anggap sebagai setengah baterai dan setengah fuel cell. Baterai metal-air terdiri dari anoda logam dan katoda berupa udara terbuka. Dari material katodanya yang hanya merupakan udara dari luar, dapat ditebak kelebihan utama dari baterai metal-air ialah rapat energinya yang sangat besar, sama seperti fuel cell. Sebagai contoh, dengan anoda berupa litium, baterai lithium-air (metal-air dengan anoda litium) memiliki rapat energi teoretis sebesar 13.000 Wh/kg[3]. Kelebihan lainnya dari baterai metal-air ini adalah tidak dibutuhkannya material katoda yang sulit seperti kobalt pada baterai litium, karena katoda metal-air hanyalah udara terbuka sangatlah banyak, gratis, dan tidak memerlukan casing untuk menyimpannya dalam baterai[4]. Berikut adalah perbandingan rapat energi spesifik secara teoretik dan praktikal beberapa teknologi penyimpanan energi.

Gambar 34. Perbandingan rapat energi beberapa teknologi penyimpanan energi [2]

Namun begitu, kelebihan berupa rapat energi yang besar ini juga dibarengi dengan kelemahan yaitu rapat dayanya yang rendah. Jadi, aplikasi baterai ini akan terbatas kepada sistem-sistem yang membutuhkan daya kecil saja, kecuali baterai metal-air dihibridisasi dengan misalnya 59


superkapasitor. Saat ini, baterai metal-air yang paling dikembangkan ialah baterai zinc-air[3]. Kekurangan lainnya adalah stabilitas siklusnya yang rendah sehingga umur baterai metal-air sangatlah singkat, dikarenakan pembentukan dendrit pada baterai saat siklus berlangsung[4]. Walapunn kekurangannya yang cukup menyedihkan, kelebihan baterai metal-air terutama dari segi rapat energinya, sangat menarik perhatian berbagai kalangan. Salah satu perusahaan yang tertarik dengan baterai metal-air ini adalah Tesla, karena mobil listrik sangat menginginkan baterai dengan ukuran sekecil mungkin[4]. Saat ini, mobil listrik Tesla memiliki banyak sekali persentasi volume dan berat yang diokupasi oleh baterai. Dikarenakan rapat energi baterai metal-air secara teoretis dapat menyaingi bensin, tentu saja Tesla mengingkannya[4]. Namun begitu, dengan pace perkembangan baterai metal-air yang sekarang, masih sangat jauh sebelum ia bisa dipakai pada mobil listrik[4]. Terdapat berbagai kontroversi dan debat mengenai prospek baterai metal-air di masa depan. Contohnya, pada tahun 2012 IBM sangat percaya dengan prospek baterai litium ion yang memiliki rapat energi teoretik sama dengan bensin. Namun, General Motors (GM) tidak begitu percaya dengan prospek baterai ini. “From General Motor’s perspective, we are not investing in this technology because it’s not providing a substantial benefit,” ungkap Thomas Grezler, manager dari grup desain sel pada lab. electrochemiclal energy research pada saat battery symposium yang diselenggarakan Lawrence Berkeley National Laboratory pada tahun 2012 [5].

Cara Kerja Baterai Metal-Air Seperti telah disebutkan, baterai ini memiliki anoda logam dan katoda berupa udara terbuka. tepatnya oksigen. Elektrolit yang digunakan biasanya adalah elektrolit cair seperti baterai litium konvensional. Pada saat proses discharging, anoda berupa logam akan teroksidasi membentuk ion logam yang akan berpindah melalui elektrolit ke katoda. Ion ini akan bereaksi dengan oksigen membentuk oksida logam. Berikut adalah reaksi proses discharging yang disimplifikasi pada baterai metal-air untuk logam berelektron valensi 1[6]. Anoda

: M(s) → M+(aq) + e-

Katoda

: M+(aq) + xO2 (g) + e- → MO2X

Reaksi total

: M(s) + xO2 → MO2X

Untuk proses charging, reaksi yang terjadi adalah sebaliknya.

Tantangan Baterai Metal-Air Seperti baterai lainnya, terdapat tantangan-tantangan yang menyebabkan aplikasi dari baterai metal-air masih sangat terbatas dan belum mungkin mencapai tahap komersial. Setidaknya untuk baterai metal-air, terdapat empat buah tantangan[6]. Yang pertama adalah anoda logam yang bereaksi dengan elektrolit akan membentuk layer passivation yang disebut solid electrolyte interphase (SEI). Lapisan SEI ini akan menyebabkan pengurangan performa baterai yang sangat besar. Yang kedua adalah resiko short circuit dari baterai yang berakibat pada ledakan, disebabkan oleh tumbuhnya dendrit pada anoda. Pertumbuhan dendrit ini adalah hasil dari pelarutan yang tidak terkontrol dan deposisi dari anoda logam pada elektrolit. Ketika ion dari katoda berdifusi kembali ke anoda pada proses charging, ion bisa saja terdeposisi tidak pada tempatnya

60


sehingga membentuk dendrit pada elektrolit. Selain resiko short circuit, pertumbuhan dendrit juga menyebabkan penurunan performa dari baterai. Yang ketiga ialah sulitnya mendapatkan elektrolit yang memiliki seluruh sifat yang diinginkan seperti stabilitas tinggi, volatilitas rendah, tidak beracun, solubilitas tinggi untuk oksigen, serta electrochemical window yang luas. Jika belum pernah dengan, electrochemical window adalah range tegangan di mana suatu material tidak teroksidasi atau terreduksi. Yang keempat ialah mengenai stabilitas material tempat reaksi katoda terjadi. Biasanya, digunakan material karbon dan kurang stabil pada tegangan di atas 3,5 V. Ketidakstabilian ini menimbulkan reaksi sampingan yang menjadi penyebab utama turunnya performa dan rendahnya jumlah siklus baterai metal-air.

Apa Kabar Baterai Metal-Air Sekarang? Dibanding fuel cell, baterai metal-air sebenarnya memiliki kelebihan yang menarik berupa kelimpahan logam-logam seperti Zn, Al, dan Mg. Logam-logam tersebut jauh lebih murah dan mudah didapatkan dibandingkan dengan pendesainan sel fuelcell yang digunakan untuk menyimpan gas H2 di dalamnya. Dari seluruh baterai metal-air, baterai tipe primer sudah banyak mencapai tahap komersialisasi. Misalnya, Zinc-air primer sudah umum digunakan pada aplikasi bantuan pendengaran. Kemudian, baterai primer Al-air dan Mg-air juga digunakan pada aplikasi militer seperti propulsi dalam laut, dan sebagainya. Kemudian, untuk baterai metal-air yang sekunder sendiri masih belum mencapai tahap komersialisasi untuk yang dapat fully recharge layaknya baterai litium ion. Namun, saat ini baterai Zn-air, Al-air, dan Mg-air bisa di-“recharge� dengan cara mengganti anoda logam yang telah didischarge dan elektrolit yang sudah terpakai dengan anoda logam dan elektrolit yang baru, seperti seolah-olah “mengisi bensin�. Lebih lanjut lagi, elektrolit bekas yang mengandung oksida logam dan oksida hidroksida bisa di-recycle dan di-regenerate menjadi bentuk logam menggunakan elektrolisis atau bahkan dekompisisi solar termal[2]. Namun, bukan berarti tidak ada baterai metal-air tipe sekunder (jika tidak, tentu tidak akan dimasukkan ke buku ini). Pada tahun 1996, Abraham dan Jiang melaporkan sukses melakukan recharge baterai Li-O2. Baterai tersebut menggunakan anoda litium, katoda berupa komposit karbon, dan membran elektrolit berupa polimer organik konduktif Li+. Lalu, pada tahun 2006 Bruce dkk bisa melakukan siklus baterai Li-O2 sebanyak 10 kali (pada masa itu merupakan pencapaian yang besar)[2]. Dari keempat tantangan utama baterai metal-air yang telah disebutkan di atas, sebetulnya tantangan yang paling utama ialah yang keempat, yaitu katodanya yang digunakan untuk tempat reaksi dengan udara. Lebih spesifik, masalah utamanya terdapat pada reaksi antara logam dengan oksigen yang berlangsung lama, overpotensial, dan reversibilitas yang rendah. Reaksi-reaksi yang terjadi merupakan proses yang kompleks, dan diperlukan katoda dengan desain yang tepat. Jika kita ingin memaksimalkan potensial baterai metal-air, hal utama yang harus diatasi adalah memahami dengan detail bagaimana oksigen bereaksi dan mencari material air-cathode yang bisa mempercepat oxygen reduction reaction (ORR) atau oxygen evolution reaction (OER).

61


Lebih Jauh Mengenai Baterai Metal-Air‌ Dalam baterai metal-air, terdapat alternatif elektrolit yang digunakan selain elektrolit cair, yaitu elektrolit aprotik. Larutan aprotik ialah larutan yang tidak berikatan hidrogen dengan dirinya sendiri, walapunn bukan berarti ia tidak mengandung gugus O-H atau N-H. Saat ini, terdapat empat buah grup material yang menjadi fokus riset untuk katoda baterai metal-air. Di antaranya adalah logam atau campuran logam, karbon alternatif, oksida logam, dan komposit organik-inorganik. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, serta terdapat berbagai demonstrasi mengenai mekanisme elektrokatalisis, faktor-faktor yang menentukan sifat katalisnya, serta performanya sebagai elektroda. Tadi juga sempat disebutkan mengenai pentingnya pemahaman mengenai reaksi yang terjadi antara oksigen dengan logam. Lebih detail sedikit, kenyataannya memang pemahaman ilmuwan mengenai aspek-aspek fundamental reaksi kimia oksigen belum bisa dipahami dengan baik. Sebagai contoh, diperlukan pemahaman yang penting mengenai mekanisme reaksi oksigen yang elusif (transpor 2e vs. 4e, dan ada atau tiadanya Li2O2), bagaimana elektrokatalisis bekerja, dan lainnya yang merupakan syarat utama mendapatkan air-electrode berefisiensi tinggi. Teori baik yang bisa menghasilkan prediksi yang bermanfaat biasanya merupakan kombinasi antara analisis eksperimental, studi secara teoretik, serta modelling atom yang baik. Selain pemahaman dasar-dasar kimia yang kuat, penting juga untuk mengembangkan material katalis yang efisiensinya tinggi, murah, dan ramah lingkungan untuk mempercepat reaksi reduksi oksigen yang berlangsung sangat lambat. Kembali ditegaskan, masalah utama baterai metal-air adalah overpotensial dan kinetika yang lambat pada reaksi katoda. Solusinya jelas adalah menggunakan katalis yang sangat efisien. Material yang digunakan pada baterai akan menentukan sifat-sifatnya. Untuk air-electrode, terdapat berbagai kandidat material yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah elektrokimia oksigen, sehingga bisa dimonitor katalis yang cocok untuk suatu aplikasi yang spesifik. Dari empat kategori material yang paling sering digunakan sebagai material airelectrode, Pt-based noble metal family adalah yang secara umum memiliki keaktifan yang tinggi serta stabilitas yang baik, tetapi memiliki masalah pada harga dan kelangkaan materialnya. Solusi yang digunakan saat ini adalah mengombinasikannya dengan logam transisi murah. Rasio performance to cost yang ditawarkan oleh katalis Pt-based kelihatannya merupakan yang paling baik untuk material baterai metal-air sekunder[2]. Di lain pihak, terdapat material carbonaceus, oksida logam transisi, dan material komposit polimer yang berlimpah di alam dan murah harganya. Material karbon sendiri memiliki banyak variasi nanostructure, di antaranya yang menarik nanosheet graphene dan n-doped carbon nanotube karena sifat-sifatnya seperti konduktivitas listrik yang baik serta stabilitas kimia yang tinggi. Oksida logam transisi seperti Mn-based spinels dan perovskite menawarkan aktivitas yang tinggi dan ketahanan yang kuat di dalam elektrolit alkalin, juga bisa digunakan sebagai katalis untuk reaksi metal-air baik ORR dan OER. Arah riset material logam katalis untuk baterai metal-air di masa depan setidaknya ada tiga. Yang pertama adalah mengeksplorasi dan memahami efek-efek dari variasi parameter fisiokimia seperti komposisi, fasa, struktur, defek, morfologi, ukuran, luas permukaan, konduktivitas, dll terhadap aktivitas katalisis material. Yang kedua adalah meningkatkan 62


densitas dari lokasi aktif dan utilisasinya melalui inovasi desain material dan struktur. Yang ketiga adalah mengembangkan strategi dan kondisi untuk sintesis katalis misal prekursor, suhu, durasi, dan prosedur untuk mendapatkan aktivitas dan stabilitas yang lebih baik[2]. Saat ini, nanomaterial memang menjadi salah satu teknologi yang sangat disyukuri karena material nanostructured membuka gerbang yang besar untuk pengembangan material katalis. Selain itu, pengembangan katalis untuk proses ORR dan OER juga bisa memperoleh inspirasi dari alam. Sebagai contoh, beberapa enzim di alam dapat secara efisien mengkatalisis reaksi kimia dengan menyediakan redox active sites serta intermolekuler/interfacial jalan elektron untuk transport. Active sites pada enzim biologi biasanya memiliki redox sites dengan fleksibilitas geometri yang lebih tinggi dibandingkan permukaan yang rigid dari katalis padat inorganik. Untuk desain struktur air-electrode, prinsip dasarnya ialah diprioritaskan untuk memastikan terbentuknya interfacial contact yang tinggi sebagai sarana elektrokatalisis untuk oksigen. Hal ini sesuai dengan yang dipelajari pada kimia SMA, bahwa suatu reaksi akan berlangsung lebih cepat jika reaktannya memiliki luas permukaan yang besar. Contohnya, gula pasir bisa larut lebih mudah daripada gula batu karena memiliki luas permukaan yang lebih besar. Selain itu, untuk melakukan difusi dan transpor oksigen yang cepat, diperlukan rekayasa dalam sifat-sifat hidrofobik atau hidrofilik, porositas, serta distribusi katalis dalam air-electrode. Kemudian, untuk mengembangkan struktur air-electrode juga bisa menggunakan ide dari fuel cell, misalnya struktur bipolar. Pada akhirnya, untuk mendapatkan performa yang baik dari baterai metal-air, tidak hanya diperlukan pengembangan katodanya saja. Anoda logam, separator, dan elektrolit juga merupakan komponen penting baterai metal-air. Untuk anoda, logam seperti Al dan Mg sangat rentan terhadap korosi oleh elektrolit sehingga menimbulkan masalah self discharge yang serius. Hal ini bisa diatasi dengan pengembangan material logam untuk anoda atau pengembangan elektrolit yang bisa mengatasi masalah korosi logam anoda tersebut. Untuk anoda litium, masalah yang muncul adalah timbulnya dendrit yang menyebabkan performa siklus yang buruk serta resiko short-circuit, seperti yang merupakan resiko baterai litium konvensional pada umumnya.

63


Bab 12. Bonus: Tips Merawat Baterai Laptop dan Handphone Walapunn judul dari bab ini adalah tips merawat baterai laptop dan handphone, sebenarnya mungkin lebih spesifik jika diberi judul tips merawat baterai litium ion. Ini disebabkan hampir seluruh baterai laptop dan handphone saat ini berupa baterai litium ion. Yang dimaksud dengan merawat di sini adalah menjaga performa baterai, terutama pada segi kapasitas baterai. Normalnya, baterai litium ion untuk laptop dan handphone didesain untuk memilii jumlah siklus sekitar 300-500[1]. Artinya, setelah dicas dari 0 hingga 100% sebanyak 500 kali, kapasitas baterai akan drop menjadi sekitar 80% kapasitas awalnya. Drop kapasitas hingga sebesar 80% ini standarnya sudah merupakan waktu yang tepat untuk mengganti baterai menjadi yang baru. Dalam bab ini, tidak akan kita bahas mendetail mengenai penyebab turunnya kapasitas baterai tersebut atau jumlah siklus yang hanya sekitar 500 kali tersebut. Dalam bab ini, saya ingin mencoba menyangkal beberapa mitos mengenai perawatan baterai handphone dan membahas beberapa hal yang bisa dilakukan untuk merawat baterai laptop dan handphone supaya awet. Kita mulai dari mitos-mitos dulu. 1. Kalau mau mengecas laptop atau handphone, harus tunggu sampai 0% dulu Kita sering mendegar saran seperti ini untuk mengecas laptop atau handphone. Katanya, jika handphone atau laptop dicas sebelum baterainya habis, bisa membuat baterai menjadi rusak. Apakah benar hal ini terjadi? Ternyata, hal ini benar pada masanya. Sebelum litium ion, baterai sekunder yang paling populer adalah NiCd dan NiMH. Terutama NiCd, ia memiliki suatu sifat yang disebut memory effect[2]. Ini adalah asal muasal dari mitos “tunggu 0% dulu baru cas�. Memory effect adalah sifat baterai yang unik, yaitu ketika mulai dicas saat pada saat X%, X% itu dianggap menjadi state of charge 0% oleh si baterai. Jadi, misal kita memiliki baterai NiCd dengan kapasitas 1.000 mAh. Ketika kita menggunakannya hingga tersisa charge 200 mAh lalu kita cas, sisa charge 200 mAh itu tidak akan bisa lagi diakses oleh kita. Dengan kata lain, kita telah “membuang� 200 mAh tersebut secara sia-sia[3]. Oleh sebab itu, untuk baterai yang memiliki memory effect memang diwajibkan untuk menggunakan baterai sampai habis baru dicas. Namun, baterai litium ion untungnya tidak memiliki memory effect[3]. Jadi, sangatlah aman dan tidak berbahaya sama sekali untuk mengecas baterai litium ion tidak dari 0%. Bahkan, untuk mengoptimasi jumlah siklus baterai, terdapat trik mengenai kapan saat yang tepat untuk mengecas baterai (akan dibahas nanti). 2. Fast charging pasti buruk untuk baterai Suatu perkembangan di suatu bidang, pasti menimbulkan kemunduran di suatu aspek, kata orang. Misal ketika kita menggunakan fast charging, pasti akan ada kemunduran di aspek lain, misalnya dalam keawetan baterai. Jadi, tidak mungkin fast charging hanya memberikan keuntungan bagi manusia, kata orang. 64


Namun, bagaimana kenyataannya? Seperti sudah kita bahas di bab mengenai parameterparameter baterai, pada dasarnya setiap baterai memiliki C-rates dan E-rates masingmasing. Sedikit penyegaran, C-rates adalah seberapa besar arus yang dapat dikeluarkan saat proses discharging sedangkan E-rates adalah seberapa besar arus yang dapat ditarik saat proses charging. Jadi, pada dasarnya, selama fast charging, ultra charging, atau apalah itu namanya ada pada rentang E-rates dari baterai, sama sekali tidak masalah. Namun begitu, satu indikator yang jelas menandakan masalah adalah ketika fast charging ini menimbulkan panas. Ini jelas akan menimbulkan efek pada kesehatan baterai dan mengurangi jumlah siklusnya, karena baterai yang bekerja dalam suhu panas akan mengalami penurunan jumlah siklus[4]. Namun, seberapa besar penurunan usia yang dialami, tidak bisa diprediksi dengan tepat. Jadi, tidak ada masalah sama sekali dengan fast charging jika spesifikasi baterai memang mendukung, dan yang penting jangan sampai baterai panas. 3. Ketika hendak lama menonaktifkan handphone, baterai perlu dalam keadaan 0% Mitos ini entah muncul dari mana, tapi seringkali kita dengar. Bahaya kalau kita meninggalkan baterai dalam keadaan terisi ketika akan lama tidak digunakan. Kenyataannya adalah tidak demikian. Baterai justru idealnya tidak boleh sampai pada keadaan 0%, atau benar-benar tidak ada muatan tersisa, state of charge 0%. Untungnya, handphone dan laptop saat ini sudah didesain supaya tidak mungkin mencapai keadaan state of charge 0%. Indikator baterai 0% yang ditunjukkan oleh layar handphone atau laptop tersebut berarti state of charge sudah hendak mencapai 0%. Kalau baterai benar-benar mencapai keadaan 0%, malah ada kemungkinan baterai tidak bisa lagi digunakan[3]. Yang menjadi masalah di sini adalah, setiap baterai memiliki mekanisme self-discharge, yaitu berkurangnya muatan dalam baterai dengan sendirinya seiring waktu. Memang ada baterai-baterai yang memiliki self-discharge lebih besar daripada yang lain seperti NiMH[2], tetapi secara umum semua baterai memiliki sifat selfdischarge, tidak terkecuali baterai litium ion. Baterai litium ion memiliki self-discharge sebesar sekitar 5% per bulannya. Oleh karena itu, persentase state of charge yang direkomendasikan adalah 40%. Pada tingkat tersebut, tegangan baterai litium ion memang berada pada nilai tegangan storage, yaitu sekitar 3,8 V per sel. Pada tegangan storage ini, self discharge baterai berada pada nilai minimumnya[5]. 4. Jangan meninggalkan baterai yang dicas semalaman dengan tidur Orang mungkin berpikir, bahaya jika baterai yang sudah penuh masih dicas. Kenyataannya ialah, saat ini desain handphone dan laptop cukup pintar untuk mencegah arus yang mengalir ke dalam baterai, jika baterai sudah penuh[4]. Jadi, sangatlah aman untuk meninggalkan baterai yang dicas kalau hanya semalaman. Lain halnya jika berbulan-bulan, maka baterai memang perlu disimpan dalam keadaan tegangan storage seperti dibahas sebelumnya.

65


Oke, lalu apa gerangan yang bisa kita lakukan untuk merawat baterai laptop dan handphone kita? Sedot, gan. 1. Pakai charger original (atau sesuai standar merk baterai) Serius. Ini adalah tips paling utama dan paling praktis yang bisa kita pakai jika kita memang serius ingin merawat baterai. Mungkin kita pernah mengalami charger bawaan handphone atau laptop yang hilang, lalu kita ingin mencari charger yang murah, yang penting bisa dipakai. Ini merupakan kesalahan besar jika kita ingin merawat baterai kita. Dampak buruk yang mungkin ditimbulkan jika menggunakan charger KW di antaranya adalah mempersingkat usia baterai, membuat baterai menjadi panas, atau paling buruk bisa kejadian meledak[6]. Satu hal yang mungkin menjadi trade-off memang adalah harga. Charger handphone KW dijual biasanya di harga di bawah Rp70.000,00, sedangkan charger handphone original memiliki harga sekitar Rp150.000,00 atau lebih. Namun, jika berpikir jangka panjang, resiko yang ditimbulkan dari menggunakan charger KW tidaklah sebanding dengan selisih harganya dengan charger original. Jadi, pakailah charger original. Sedikit tips mengenai mencari charger yang original, sangatlah direkomendasikan untuk pergi ke service center nya secara langsung. Charger yang dijual di bukalapak atau tokopedia, juga charger yang dijual di banyak kios handphone, walapunn embel-embelnya original, belum tentu benar-benar original dari merk handphone. Paling aman beli langsung ke service centernya. Lebih lanjut lagi, jangan cuma charger tetapi juga power bank. Perlu diperhatikan apakah merk yang digunakan memang terpercaya, bukan yang asal dan memiliki rating arus yang berbeda dari spesifikasi baterai. 2. Jangan gunakan baterai dan jangan mengecas saat suhu sedang panas Lagi-lagi soal suhu, seperti sudah dibahas pada bab mengenai parameter-parameter baterai. Ketika dalam keadaan panas, baterai yang digunakan akan mengalami pengurangan performa. Selain itu, hambatan dalam baterai akan semakin meningkat yang menimbulkan panas. Inilah sebabnya ketika handphone yang sedang panas kita gunakan untuk main game, yang terjadi adalah handphone semakin panas. Ketika handphone atau laptop sedang panas entah itu karena terlalu lama membuka aplikasi berat, diamkan saja dulu hingga suhunya mereda. Lebih baik tidak digunakan dan tidak dicas, karena penggunaan baterai pada saat itu akan mengurangi performa baterai dan terutama meningkatkan hambatan dalam baterai. 3. Jangan gunakan baterai hingga keadaan 0% Yah, memang kenyataannya indikator baterai di layar 0% bukan berarti state of charge benar-benar 0%, dan desain laptop dan handphone sekarang memang membuat kita sedikit bisa tenang. Namun, terdapat beberapa keuntungan jika kita mulai mengecas baterai sebelum mencapai 0%, misalnya saat 20%. Yang pertama, jumlah siklus yang dapat dicapai baterai menjadi meningkat. Kalau normalnya menggunakan sampai 0% baterai bisa awet hingga 1,5 tahun, kalau kita menggunakannya hanya sampai 20%, baterai mungkin bisa

66


awet hingga 2 tahun. Hal ini disebabkan jumlah siklus merupakan fungsi dari depth of discharge, seperti yang sudah dibahas pada bab mengenai parameter baterai. 4. Gunakan aplikasi sewajarnya Perhatikan bahwa judul poin ini bukanlah “Nonaktifkan wifi, nonaktifkan bluetooth, nonaktifkan bla�, karena bagi saya hal itu adalah aneh. Kenapa kita harus menurunkan performa dari laptop dan handphone kita untuk menghemat baterai, jika itu memang diperlukan? Hal yang lebih tepat adalah, gunakan semua aplikasi itu sewajarnya. Karena memang kenyataannya, semakin banyak yang dilakukan oleh laptop dan handphone, jelas baterai akan terkuras semakin cepat. Jadi, misal saat kita menggunakan laptop, jangan terlalu banyak multitasking, kemudian gunakan pencahayaan secukupnya. Lalu, uninstall program tidak perlu yang jalan di background, seperti antivirus yang kebanyakan. Di handphone pun juga demikian, jika ada aplikasi yang tidak dipakai lebih baik diuninstall, apalagi jika aplikasi tersebut jalan bahkan ketika tidak dibuka. Bukan berarti tidak boleh main game berjam-jam atau memiliki aplikasi yang banyak. Poin dari tips ini hanyalah sesimpel seperti menggunakan lampu. Matikan lampu jika tidak digunakan :)

67


Bibliografi Bab 1 [1] A. Smets, K. Jäger, O. Isabella, M. Zeman, R. van Swaaij, Solar Energy: The Physics and Engineering of Photovoltaic Conversion, Technologies and Systems, UIT Cambridge2016. [2] I.E. Agency, Key World Energy Statistics, France, 2018. [3] B. Dudley, dkk, BP Statistical Review of World Energy, UK, 2018. [4] L. Yao, B. Yang, H. Cui, J. Zhang, J. Ye, J. Xue, Challenges and progresses of energy storage technology and its application in power systems, Mod. Power Syst. Clean Energy DOI (2016). Bab 2 [1] J. Enterprise, Teknik Menghemat Baterai, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2010. [2] Anonim, The Voltaic Pile, MIT Libraries. [3] Nebzies, Pile de Volta, 2018. [4] M. Bellis, History and Timeline of the Battery, ToughtCo., 2018. [5] M. BRAIN, C.W. BRYANT, C. PUMPHREY, Battery History. [6] M. Armand, J.M. Tarascon, Building better batteries, Nature, 451 (2008) 652-657. Bab 3 [1] T. Reddy, Linden's Handbook of Batteries, 4th Edition, McGraw-Hill Education2010. [2] D. Washington, Components of Cells and Batteries, Depts Washington, 2018. [3] D.J.E.S. Deng, Engineering, Li‐ion batteries: basics, progress, and challenges, 3 (2015) 385-418. [4] S. Yuvaraja, R.K. Selvan, Y.S. Lee, An overview of AB2O4- and A2BO4-structured negative electrodes for advanced Li-ion batteries, Royal Society of Chemistry, 6 (2016) 21448-21474. [5] S. Khan, Gibbs free energy and spontaneity, Khan Academy, 2009, pp. October 11, 2018. [6] C.R.R. Nave, Standard Electrode Potentials, HyperPhysics, 2017. Bab 4 [1] A. Smets, K. Jäger, O. Isabella, M. Zeman, R. van Swaaij, Solar Energy: The Physics and Engineering of Photovoltaic Conversion, Technologies and Systems, UIT Cambridge2016. [2] T.D. Rachmildha, Kelas Kuliah EP2274 Teknik Tenaga Listrik ITB, 2017. [3] M.E.V. Team, A Guide to Understanding Battery Specifications, MIT, 2008. [4] Panasonic, Panasonic Develops New Higher-Capacity 18650 Li-Ion Cells; Application of Silicon-based Alloy in Anode, Green Car Congress, 2009. [5] PowerSonic, PS,PSG and PSH General Purpose, powersonic.com, 2018. Bab 5 [1] I. Buchmann, BU-901: Fundamentals in Battery Testing, Battery University, 2011. [2] D. Halliday, R. Resnick, J. Wakler, Fundamentals of Physics, Wiley, USA, 2010. [3] I. Buchmann, BU-902: How to Measure Internal Resistance, Battery University, 2011. [4] eafindme, HOW TO MEASURE THE INTERNAL RESISTANCE OF A BATTERY?, instructables, 2018. [5] G. Instrument, Basics of Electrochemical Impedance Spectroscopy, GI, 2018. [6] I. Buchmann, BU-903: How to Measure State-of-charge, Battery University, 2011. [7] I. Buchmann, BU-904: How to Measure Capacity, Battery University, 2011.

68


Bab 6 [1] Targay, Battery Electrodes for Energy Storage Technologies. [2] Alibaba, Search result for "rechargeable lithium-ion battery 5v" 2018, pp. October 7, 2018. [3] A.P.P. Corp, Category : Li-Ion/Polymer Battery Packs. [4] Evva-Tech, iSPIDER 22.2V 16000mAh 15C Lithium ion UAV Battery Pack. [5] Electropedia, Lithium Battery Manufacturing. [6] P.N.N. Laboratory, How to Make a Battery in 7 Easy Steps, Youtube, 2016. Bab 7 [1] T. Reddy, Linden's Handbook of Batteries, 4th Edition, McGraw-Hill Education2010. [2] I. Buchmann, BU-106: Advantages of Primary Batteries, Battery University, 2017. [3] I. Buchmann, What’s the Best Battery?, Battery University, 2018. [4] A. Smets, K. Jäger, O. Isabella, M. Zeman, R. van Swaaij, Solar Energy: The Physics and Engineering of Photovoltaic Conversion, Technologies and Systems, UIT Cambridge2016. Bab 8 [1] C. Sun, J. Liu, Y. Gong, D.P. Wilkinson, J. Zhang, Recent advances in all-solid-state rechargeable lithium batteries, Nano Energy, 33 (2017) 363-386. [2] A. Vandervell, What is a solid-state battery? The benefits explained, Wired, 2017. [3] M.H. Braga, C.M. Subramaniyam, A.J. Murchison, J.B. Goodenough, Nontraditional, Safe, High Voltage Rechargeable Cells of Long Cycle Life, Journal of American Chemical Society, 140 (2018) 6.343-346.352. [4] S. LeVine, Battery pioneer unveils surprising new breakthrough, Axios, 2018. [5] D. Sigler, John Goodenough’s Counterintuitive Battery, Sustainable Skies, 2018. [6] X.G. Han, Y. Gong, K.Fu, X.F. He, G.T. Hitz, J.Q. Dai, A. Pearse, B.Y. Liu, H. Wang, G. Rubloff, Y.F. Mo, V. Thangadurai, E.D. Watchsman, L. Hu, N. Mater, DOI (2017). [7] T. Wei, Y. Gong, X. Zhao, K. Huang, Adv. Func. Mater, 24 (2014) 5380-5384. Bab 9 [1] C. Sun, J. Liu, Y. Gong, D.P. Wilkinson, J. Zhang, Recent advances in all-solid-state rechargeable lithium batteries, Nano Energy, 33 (2017) 363-386. [2] A. Vandervell, What is a solid-state battery? The benefits explained, Wired, 2017. [3] M.H. Braga, C.M. Subramaniyam, A.J. Murchison, J.B. Goodenough, Nontraditional, Safe, High Voltage Rechargeable Cells of Long Cycle Life, Journal of American Chemical Society, 140 (2018) 6.343-346.352. [4] S. LeVine, Battery pioneer unveils surprising new breakthrough, Axios, 2018. [5] D. Sigler, John Goodenough’s Counterintuitive Battery, Sustainable Skies, 2018. [6] X.G. Han, Y. Gong, K.Fu, X.F. He, G.T. Hitz, J.Q. Dai, A. Pearse, B.Y. Liu, H. Wang, G. Rubloff, Y.F. Mo, V. Thangadurai, E.D. Watchsman, L. Hu, N. Mater, DOI (2017). [7] T. Wei, Y. Gong, X. Zhao, K. Huang, Adv. Func. Mater, 24 (2014) 5380-5384. Bab 10 [1] L.C.L.L. Shaw, Recent advances in lithiumesulfur batteries, Journal of Power Sources, 267 (2014) 770 - 783. [2] G. Aldridge, Li-S Lithium Sulfur: An Energy Revolution, 2018.

69


Bab 11 [1] R.S. Khurmi, R.S. Sedha, Materials Science, S. Chand Limited2008. [2] F. Cheng, J. Chen, Metal–air batteries: from oxygen reduction electrochemistry to cathode catalysts, Chem Soc Rev, 41 (2012) 2172–2192. [3] D. Georgi, Metal Air Batteries, Half a Fuel Cell?, 42nd Power Sources Conference, 2010. [4] K. Fehrenbacher, What’s a metal air battery and why is Tesla interested in it?, GIGAOM, 2013. [5] U. Wang, Why the lithium air battery is over hyped, GIGAOM, 2012. [6] I. Abate, Metal-Air Batteries: Promises and Challenges, Stanford University, 2016. Bab 12 [1] I. Buchmann, BU-808: How to Prolong Lithium-based Batteries, Battery University, 2011. [2] A. Smets, K. Jäger, O. Isabella, M. Zeman, R. van Swaaij, Solar Energy: The Physics and Engineering of Photovoltaic Conversion, Technologies and Systems, UIT Cambridge2016. [3] S. Jary, How to Properly Charge a Phone Battery, Tech Advisor, 2018. [4] J. Hildenbrand, Best tips for extending the life of your phone's battery, Android Central, 2017. [5] I. Buchmann, BU-702: How to Store Batteries, Battery University, 2011. [6] A.W. Putra, Inilah Bahayanya Charge Smartphone Memakai Charger Palsu!, Gadget Tren, 2017.

70


Tentang Penulis M. Syahman Samhan menempuh pendidikan di SD Muhammadiyah Sokonandi, SMP Negeri 5 Yogyakarta, dan SMA Negeri 5 Yogyakarta. Saat ini Samhan sedang menempuh semester 5 di program S1 jurusan Fisika, Institut Teknologi Bandung. Ia merupakan anggota aktif di Energy and Environmental Material Laboratory, ITB. Selain itu, ia aktif di tim Phiwiki ITB sebagai anggota latex codewriter dan Dewan Perwakilan Anggota di HIMAFI ITB. Samhan memiliki minat kepada energi terbarukan. Hingga saat ini, ia telah mengikuti lebih dari 5 konferensi nasional dan internasional mengenai energi terbarukan. Pada tahun 2017, ia mendesain dan memasang sistem panel surya untuk kebun ayahnya di Yogyakarta. Samhan percaya bahwa energi terbarukan adalah masa depan, dan masalah terbesar energi terbarukan adalah penyimpanan energinya. Cita-cita Samhan adalah mengembangkan industri baterai Indonesia yang menggunakan 100% sumber daya alam Indonesia.

71


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.