24 METRO RIAU MINGGU, 22 Juli 2012
Profil
GITA WIRJAWAN (Menteri Perdagangan RI ke-31)
Pecinta Jazz dan Produser Modal Asing MUNCULNYA nama Gita Wirjawan dari kalangan profesional pada bursa calon Menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini memang tidak diragukan lagi track record-nya. Nama Gita Wirjawan tentu sudah tidak asing lagi di industri perbankan. Komisaris Pertamina ini sebelumnya pernah menjadi Presiden Direktur JP. Morgan, perusahaan investasi yang kerap mengundang investor asing untuk membawa modalnya ke Indonesia melalui pasar modal. Tak heran pemanggilan dirinya oleh Presiden SBY ke Cikeas, Bogor, Jawa Barat, pada 18 Oktober 2009 lalu, untuk menjalani fit and proper test, yang disinyalir pantas menduduki Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nasional (BKPM). Pemilik nama lengkap Gita Irawan Wiryawan dinilai sebagai sosok profesional masa kini. Di usianya yang masih relatif muda, 43 tahun, Akuntan lulusan University of Texas, AS, telah banyak melintang di industri keuangan dan perbankan. Bungsu dari lima bersaudara pasangan dr. Wirjawan Djojosugito (almarhum) dan Paula Wirjawan ini, memiliki pengalaman kerja selama 15 tahun di sejumlah perusahan papan atas nasional dan internasional. Mislanya, JP Morgan selama empat tahun, di Goldman Sachs empat tahun leb-
ih, di Bahana Securities dua tahun, dan di Citibank lima tahun, plus menjadi akuntan publik di Morrison Brown and Argiz di AS (1989-1992). Selepas dari JP. Morgan, peraih gelar Master of Public Administration dari Harvard University (2000) ini, mendirikan Grup Ancora. Bahkan, melalui perusahannya ini, ia mengakuisisi sejumlah perusahaan pertambangan dan infrastruktur. Melalui bendera Ancora Capital, misalnya, ia mengambil alih utang Bakrie & Brothers kepada JP Morgan senilai US$ 75 juta pada November 2008. Sebagai kompensasinya, Ancora Capital memperoleh 5% saham PT Bumi Resources Tbk. milik Bakrie & Brothers. Ancora Capital didirikan pada awal 2008 telah berhasil menghimpun dana investasi (private equity fund) dari para investor asal Timur Tengah, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang mencapai US$ 300 juta. Private equity fund yang dibentuk Ancora Capital ini merupakan private equity fund pertama yang didirikan dan memenuhi ketentuan syariah (shariacompliant pri-
vate equity fund). Gita berencana agar Ancora dapat menarik modal lebih banyak lagi dari negara-negara Islam di luar Indonesia. Dan, struktur sharia compliance merupakan salah satu caranya. PT Ancora Indonesia Resources Tbk. terafiliasi dengan Ancora Capital Management (Asia) Ltd. (Ancora Capital), perusahaan investasi yang berkedudukan di Hong Kong, di mana Gita adalah salah satu pendiri dan pemilik saham terbesar. Pria yang dikenal ramah ini mengakui tidak tahu pos apa yang akan dijabatnya nanti. Gita Wirjawan yang lahir di Jakarta pada 21 September 1965 adalah pengusaha asal Indonesia. Nama lengkapnya Gita Irawan Wirjawan, putra dari pasangan Wirjawan Djojosoegito (almarhum) dan Paula Warokka Wirjawan. Pada 2008, ia mendirikan perusahaan Ancora Capital (tempo), perusahaan investasi di bidang sumber daya dan pertambangan. Ia mendirikan perusahaan tersebut setelah memutuskan mundur dari kursi Presiden Direktur JP Morgan Indonesia yang dijabatnya pada 2006-2008. Kesuksesannya dalam mengelola perusahaan, berbekal kekuatan relasi yang dibangunnya sejak kuliah di Harvard. Ancora Capital sendiri berfokus pada investasi di sektor energi dan sumber daya alam. Kesuksesan Gita dalam mengelola perusahannya dibuktikan ketika dalam hitungan bulan, Ancora berhasil mengambil alih sebagian saham beberapa perusahaan besar seperti PT Bumi Resources Tbk. Selain itu, ia juga merupakan salah satu komisaris PT Pertamina. Pada 18 Oktober 2011, berkaitan dengan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, Gita Wirjawan diangkat sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Mari Elka Pangestu. Gita menempuh pendidikan S-1 di Amerika Serikat. Ia menyelesaikan kuliahnya di University of Texas, pada 1992. Ia mengambil jurusan administrasi bisnis. Selepas kuliah, ia memulai keriernya dengan bekerja di Citibank. Pada 1999, dia mengambil kuliah S-2 jurusan public administration (administrasi Publik) di Harvard University dan lulus pada 2000. Selesai S-2, ia bekerja di Goldman Sachs Singapura, sebuah bank yang didirikan oleh Marcus Goldman. Gita bekerja di sana hingga 2004. Tahun berikutnya dia pindah ke ST Telekomunikasi sampai 2006 juga di Singapura, Gita kemudian bekerja di JP morgan Indonesia sebagai direktur utama. Gita menjadi direktur di sana pada 2006-2008. Gita mundur dari JP Morgan pada April 2008 dan mendirikan Ancora Capital. Perusahaan barunya ini berfokus pada investasi di sektor energi dan sumber daya alam. Di Ancora, Gita membuktikan kepiawaian dalam mengelola perusahaan yang bergerak di bidang financial. Dalam hitungan bulan, perusahaan ini mengambil alih sebagian saham PT Apexindo Pratama Duta Tbk, PT Bumi Resources Tbk, PT Multi Nitrat Kimia, perusahaan properti di Jakarta dan sebuah perusahaan properti di Bali. Keberhasilan Gita memimpin Ancora adalah berkat banyak mengandalkan koneksinya saat kuliah di Harvard. Gita merupakan pecinta musik terutama jazz. Gita mendirikan mendirikan rumah produksi musik bernama Omega Pacific Production. Album-album yang diluncurkan lebih banyak bercorak jazz.
Ia memproduksi album jazz bagi pianis Nial Djuliarso, grup jazz Cherokee, dan Bali Lounge I dengan vokalis Tompi. Beberapa lagu dalam album-album itu dia tulis atau aransemen sendiri. Selain memproduksi album jazz, Gita mengeluarkan album pop seperti Tompi, Bali Lounge II, dan album Dewi Lestari. Pada akhir 2009, tepatnya pada Rabu, 11 November, Gita resmi bergabung dengan Kabinet Indonesia Bersatu II. Gita memeroleh jabatan baru yakni sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sebagai Kepala BKPM, Gita bertugas membenahi permasalahan permasalahan investasi yang ada di Indonesia. Gita juga merupakan pecinta olahraga golf. Kecintaannya pada golf dia tunjukkan dengan mendirikan sekolah Ancora Golf untuk mencari bibit pegolf muda dari Indonesia. Murid-murid Ancora Golf dididik instruktur dari Singapura untuk dipersiapkan mewakili Indonesia dalam kompetisi internasional. Biaya hidup murid Ancora juga ditanggung Gita. Gita juga menyiapkan asrama bagi anak didiknya. Asrama itu bahkan dilengkapi fasilitas seperti televisi plasma, Wi-Fi dan penyejuk udara.
Gita merupakan pendiri Ancora Foundation, sebuah yayasan yang bergerak di bidang kemanusiaan, khususnya pendidikan. Oraganisasi berfokus pada donasi pendidikan untuk pemuda Indonesia. Yayasan ini telah membuat beberapa program beasiswa antara lain Ancora Foundation Graduate Fellowship Fund di John F. Kennedy School of Government, Harvard University, Ancora Foundation Graduate Fellowship Fund di University of Cambridge, Ancora Foundation Graduate Fellowship Fund di University of Oxford, Ancora Foundation Graduate Fellowship Fund di Sciences Po Paris, Ancora Foundation Graduate Fellowship Fund di Nanyang Technological University, Ancora Foundation Scholarship di Universitas Paramadina, Ancora Foundation Scholarship di Universitas Multimedia Nusantara, The Ancora-Khazanah Scholarship Program, The Ancora Scholarship Program di Jawa Barat Sebenarnya, latar belakang Gita kelu-
ar dari JP Morgan karena ia telah mengetahui lebih dulu mengenai krisis finansial di AS pada 2007. Ia mengetahui bahwa dampaknya akan mendunia. Kala itu ia telah berusaha memberi tahu beberapa ekonom dan pemerintah. Sayang, tidak ada yang peduli. Maka, dari itu, ia mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang investasi. Perusahaan itulah yang bernama Ancora Capital. Perusahaan ini ia siapkan untuk membeli saham-saham perusahaan yang ia perkirakan akan rugi karena krisis keuangan global itu. Dalam hal investasi, Gita meyakini pembangunan di Indonesia masih memerlukan bantuan keuangan. Indonesia sebagai negara berkembang, menurut Gita memerlukan investasi asing (foreign investment) sebagai penunjang kekuarangan modal (capital) yang terjadi. Gita mengumpamakan Indonesia adalah sebuah bangunan yang kekurangan dana
untuk membuat atapnya. Maka dari itu, bantuan dari luar sebaiknya tidak ditanggapi negatif. Dengan sudut pandang positif, bantuan ini harus diartikan sebagai modal untuk membangun kekuatan ekonomi. Dan kebetulan pihak luar negeri memiliki sumber bantuan tersebut. Sebenarya seharusnya memang orang Indonesia sendiri yang mengelola sumber dayanya sendiri, tetapi untuk periode tertentu bantuan masih dibutuhkan. Akan tetapi, Gita tetap mengakui, meminta bantuan dari luar negeri memang dilematis. Sebagian kalangan menilai ini tidak nasionalis dan hanya membahayakan kondisi ekonomi dalam negeri. Bagi Gita, pandangan itu salah. Bantuan dari luar negeri seharusnya diartikan sebagai dukungan untuk membangun ekonomi negara bukan menjual negara. Sekali lagi, ia menegaskan bantuan itu harus ditanggapi dengan pola pikir (mindset) positif. (net/ron)