Laporan Khusus
METRO RIAU MINGGU, 18 Maret 2012
Motif Ukiran Melayu
Tradisi Turun Temurun yang Dilupakan
M
otif ukiran Melayu Riau memiliki nilai-nilai luhur sebuah budaya. Dasar inilah, mengapa penempatan motif melayu, menjadi simbol keagungan dari sebuah karya seni yang tinggi. Namun, tradisi turun temurun ini sudah banyak dilupakan generasi sekarang.
Motif atau corak sebuah ukiran dasar dalam tradisi Melayu Riau, ternyata bukan hanya sekedar hiasan belaka. Bentuk itu memiliki fungsi dan falsafah yang patut (pantas) dari sebuah tradisi sejak turun temurun. Tak heran, bila penempatan corak ukiran pada tong sampah, dinilai tak patut? Alasan inilah mengapa Tennas Effendy, tokoh budayawan Riau, dihadapan tim Metro Riau, menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Isyarat ini memberikan arti bahwa lelaki yang dikenal juga mampu merancang sebuah motif ukiran Melayu ini, menjadi pening, mengapa sebuah karya seni yang bernilai luhur justru disalahartikan oleh generasi sekarang, atas penempatan yang salah pada ukiran selembayung di tong sampah. “Bagi orang Melayu, Khususnya Melayu Riau, motif atau corak sebuah ukiran atau tekat tak hanya menjadi hiasan semata, tapi juga dijadikan sebagai lambang yang mengandung makna dan falsafah,” sebut Tennas. Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA) Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau ini, meyakini bahwa penempatan sebuah motif memiliki nilainilai luhur sebuah budaya tempatan. Dasar inilah, mengapa penempatan motif melayu, menjadi simbol keagungan dari sebuah karya seni yang tinggi. Artinya, kedudukan motif tersebut menjadi kokoh dan berfungsi pula sebagai penyebarluasan nilai-nilai luhur sebuah budaya. “Alasan itu mengapa penempatan motif melayu, menjadi simbol keagungan dari sebuah karya seni yang tinggi. Sehingga menjadi satu-kesatuan yang kokoh dan berfungsi pula untuk menyebarluaskan nilai-nilai luhur dari budaya melayu itu sendiri,” terangnya. Motif Miliki Fungsi Ganda Fungsi ganda pada motif, urai Tennas, mengandung arti dan sudah diatur penempatan dan pemanfaatannya oleh adat. Ia mencontohkan bahwa ada yang diperuntukkan bagi hiasan bangunan ada pula untuk tenunan, sulaman, atau pun tekat. Dizaman kerajaan, katanya, ada pula digunakan sebagai lambang. Dan ada pula dapat digunakan dimana saja. “Sehingga penempatan motif sebuah ukiran Melayu sesuai peruntukkannya sehingga dan dikenal seluruh kelompok masyarakat Riau,” terangnya. Makanya setiap motif tersebut, jelas Tennas, juga memiliki nama dan falsafat yang berbeda-beda. Namun ada pula memiliki bentuk dan nama yang sama dari daerah lain. Namun semua motif Melayu Riau, tetap mengacu pada ajaran agama Islam. “Yang penting, setiap motif Melayu Riau, tetap mengacu pada ajaran agama Islam. Artinya, seluruh motif ukiran, baik nama maupun bentuknya yang tertuang dalam adat Melayu Riau, dengan tetap menjunjung dan mengedepankan agama
Islam,” ungkapnya. Nah, alasan inilah, tak jarang dengan perkembangan zaman, saat ini, peruntukkan corak dan falsafahnya semakin punah ranah (hilang). Ini juga didasari dari akibat hilangnya kerajaan Melayu. “Kepunahan berbagai unsur corak maupun maknanya, dapat dibuktikan dengan hilangnya Kerajaan Melayu Riau, sehingga dampaknya pada pemahaman generasi ke generasi semakin hilang pula,” akunya. Hilangnya pemahaman atas nama dan filosofi sebuah motif melayu Riau ini, juga diakui Anas Aismana, tokoh muda Melayu Riau. Lelaki muda yang tunak dengan karya ukiran dan pahat pada motif melayu, ini juga menyebut kurangnya pemahaman pada generasi sekarang terhadap sebuah acara perkawinan melayu Riau. Baik bentuk dan rupa corak ukiran pelaminan maupun dalam pakaian pada pengantin yang dikenakan. “Ya, generasi sekarang memang kurang memahami nama dan filosofi sebuah motif melayu Riau ini. Apalagi motif pada ukiran pelaminan maupun dalam pakaian pengantin yang dikenakan,” akunya kepada Metro Riau. Ditakutkan bila generasi muda sekarang sudah melupakan bentuk motif Melayu ini, maka ‘tak heran’ bila suatu saat nanti bisa saja negara lain akan mengklaim bahwa motif melayu ini menjadi milik mereka. (dors)
ISTANA RAJA ROKAN - Salah satu bentuk motif dan bentuk ukiran Istana Rokan dan beberapa rumah penduduk sekitar ini juga memiliki koleksi ukiran yang sama. Dasar inilah, mengapa penempatan motif melayu, menjadi simbol keagungan dari sebuah karya seni yang tinggi.(int)
Motif Melayu: Sekedar Hiasan atau Dekorasi Semata? PENEMPATAN ukiran tradisional Melayu ini tidaklah sembarangan, setiap motif ukiran memiliki makna dan fungsi yang berbeda-beda. Bergesernya penempatan ini menyebabkan menurunnya nilai ukiran itu sendiri. Seni ukir salah satu budaya Indonesia dijadikan cerminan seni budaya yang terdapat hampir di setiap suku di Indonesia. Berbagai ciri khas yang berbeda-beda tentunya
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, baik untuk dinikmati sebagai benda pakai, maupun sebagai mata pencaharian. Menariknya, seni ukir di Indonesia adalah setiap motif tidak selalu menjadi representasi murni objek yang menjadi acuan. Seringkali objek tersebut diberi makna khusus sesuai dengan asal ukiran, begitu juga dengan ukiran tradisional Melayu.
Seperti tertulis dalam buku Corak dan Ragi: Tenun Melayu Riau, 2003 setebal 220 halaman, bahwa motif ukiran Melayu diambil dari bentuk flora dan fauna, dan ada juga yang berasal dari bentuk alam semesta. Keseluruhan motif ukiran tersebut di terapkan pada bangunan atau benda peralatan lain sesuai dengan penempatan, makna, dan fungsi masing-masing. “Memang, penempatan ukiran tradisional Melayu ini tidaklah sembarangan, setiap motif ukiran memiliki makna dan fungsi yang berbeda yang akan mempengaruhi
penempatannya,” aku Datuk Meiko Sopyan, Pengurus Lembaga Adat Melayu Riau di Pekanbaru. Setiap nama ukiran tradisional Melayu, kata Datuk, melambangkan suatu gejala hidup dalam masyarakat. Apakah gejala itu merupakan gambaran kehidupan alam atau pun melambangkan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Sehingga menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat Melayu. Penggambaran kehidupan gejala alam dapat dilihat dari nama ukiran yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Sedangkan penggambaran sistem nilai-nilai kehidupan manusia dalam masyarakat dapat dilihat dari nama ukiran yang berasal dari kata-kata adat. Dituliskan Yayasan Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Melayu. “Alasan inilah mengapa, kondisi sekarang banyak
generasi muda tidak memahami bentuk motif dan ukiran yang penempatannya tidak sesuai dan layak,” aku Datuk. Bergesernya penempatan ukiran tradisional Melayu menyebabkan menurunnya nilai ukiran itu sendiri. Padahal ukiran yang semula ditempatkan pada rumah, tekat dan benda atau peralatan tradisional, kini tidak mempertimbangkan makna tiap motif pada furnitur. Jika kondisi ini terus berlanjut, ditakutkan motif ukir Melayu hanya akan dipandang sebagai hiasan atau malah sebagai dekorasi semata. Untuk itu perlu disosialisasikan jenis-jenis ukiran Melayu menurut klasifikasi objek acuan serta makna yang terkandung dalam setiap motif. Didalam perancangan ini terdapat tujuan yang ingin disampaikan kepada masyarakat khususnya masyarakat Melayu. Perancangan ini dilakukan untuk menjelaskan macam-macam ukiran tradisional Melayu berdasarkan jenis acuannya. Serta memberikan beberapa contoh penerapan moif ukir pada benda/ peralatan modern yang disesuaikan dengan makna motif. (dors)
RUMAH PANGGUNG- Rumah tradisional melayu berbentuk panggung bercat kuning pudar, terbuat dari kayu beratap seng, masih tersisa di Desa Rantau Bais, Kabupaten Rokan Hilir. (LSoenmi.blogspot)