13 kamis 06 2013 tabagsel

Page 3

L

L

3

KAMIS

13 JUNI 2013

Apa Kata Mereka “Kita sudah masuki proses pemilu sekarang ini. Tentu akal sehat katakan tidak mungkin seorang presiden harus ambil kebijakan kenaikan harga BBM. Tapi risiko politik itu saya ambil. Saya tidak ingin membebani presiden dan pemerintah yang akan datang,”

SIKAP KAMI Germo Cilik PPotret otret Buram PPendidikan endidikan

Kepentingan Asing di Balik Penghargaan Internasional Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono “Tidak ada perlakuan istimewa terhadap jamaah haji plus. Pasalnya, pemotongan 20 persen juga dilakukan secara proporsional antara jamaah reguler dan plus,”

Menteri Agama Surya Dharma Ali “Tidak terpenuhinya keterwakilan perempuan menunjukkan partai tersebut tidak pro pada affirmative action atau tindakan khusus sementara keterwakilan 30 persen perempuan. Publik akan mencatat hal tersebut,”

Direktur Advokasi LBH Keadilan, Halimah Humayrah Tuanaya

Pada Kamis 30 Mei 2013 bertempat di Garden Foyer, Hotel The Pierre, New York, Amerika Serikat, merupakan peristiwa yang tak bisa dilupakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Oleh : Ardi Winangun Pasalnya di hari, bulan, tahun, dan tempat itu dirinya menerima penghargaan World Statesman Award 2013 dari Appeal of Conscience Foundation (ACF). Penghargaan itu sebagai wujud bahwa SBY mempunyai prestasi memelihara perdamaian bersama dan dorongan untuk meningkatkan hak asasi manusia, kebebasan beragam, dan kerja sama antaragama. AFC adalah lembaga yang mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Lembaga itu awal memberi pengganugerahkan penghargaan World Statesman Award pada tahun 1997. “Negarawan Dunia” yang pernah diganjar penghargaan itu adalah Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, Presiden Perancis Nicolas Zarkozy, dan Perdana Menteri Kanada Stephen Harper. Pada tahun ini sebab dirasa SBY diakui dan dianggap sebagai tokoh dunia yang berkontribusi dalam memperjuangkan kebebasan dan toleransi beragama maka ia pun juga diganjar. Bila SBY bergembira ria dengan penghargaan itu, tidak bagi sebagian orang. Penghargaan dan pengakuan SBY yang telah mampu berkontribusi dalam memperjuangkan kebebasan dan toleransi beragama itu diprotes dan ditentang oleh Romo Magniz Suseno, Adnan Buyung Nasution, Yudhi Latief, serta organisasi Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia. Mereka memprotes penghargaan tersebut karena alasan yang berlawanan dengan pengakuan AFC kepada SBY. Kelompok penentang menyebut apa yang terjadi di lapangan berbanding terbalik dengan kriteria syarat seseorang bisa menerima penghargaan World Statesman Award. Penentang menyebutkan selama ini SBY justru membiarkan adanya kekerasan dan intoleransi terhadap berbagai hal-hal yang terkait dengan kebebasan beragama dan berdemokrasi. Pembiaran kekerasan satu kelompok kepada kelompok lainnya yang minoritas terjadi tidak hanya di satu tempat namun di berbagai wilayah. Dicontohkan seperti aksi kekerasan kepada Ummat Syiah di Jawa Timur dan pelarangan pendirian tempat ibadah oleh salah satu ummat beragam. Contoh adanya kekerasan kepada kalangan minoritas dan pelarangan berdirinya tem-

pat ibadah merupakan kartu truf yang dilempar oleh para penentang pemberian gelar itu kepada SBY. Pemberian gelar dari lembaga-lembaga asing yang bermarkas di Barat kepada seseorang harus diakui memang berdasarkan fakta-fakta yang ada. Dalam Nobel Peace Prize, misalnya, diberikan kepada mereka yang telah melakukan penelitian yang luar biasa, menemukan teknik atau peralatan yang baru atau telah melakukan kontribusi luar biasa kepada ummat manusia. Penghargaan yang dianugerahkan sejak tahun 1901 itu terbagi dalam kategori Fisika, Kimia, Ekonomi, Fisiologi atau Kedokteran, Sastra, dan Perdamaian. Kalau dalam katagori ilmu-ilmu pasti dan alam, seperti Fisika, Kimia, Kedokteran, ukuran ilmu yang ditemukan bisa dipastikan dengan kaidah-kaidah ilmiah, objektifitas, sehingga ilmu yang ditemukan tidak mengandung unsur kepentingan golongan dan kelompok. Penemuan itu berorientasi pada kemajuan teknologi dan peradaban ummat manusia. Misalnya Nobel Prize yang diberikan kepada Wilhelm Conrad Rontgen pada tahun 1901. Fisikawan Jerman itu mendapat penghargaan itu karena berkat penemuan Sinar-X. Dengan penemuan itu maka dimulailah awal ilmu Fisika Modern dan merevolusi Kedokteran Diagnostik. Dengan Sinar-X, ilmu fisika menjadi berkembang sangat luar biasa dan dalam dunia kedokteran membuat jutaan ummat manusia tertolong raganya. Demikian pula yang ditemukan William Ramsay, yakni menciptakan golongan baru pada sistem periodik unsur-unsur, selama beberapa waktu disebut inert atau gas mulia. Dengan penemuan itu ilmu kimia menjadi berkembang pesat. Atas temuan itu dirinya pada tahun 1904 diganjar Nobel Prize. Penghargaan Nobel menjadi masalah bagi kelompok lainnya biasanya terjadi pada katagori Sastra, Ekonomi, dan Perdamaian Dunia. Penghargaan ini menjadi masalah sebab tidak bisa diukur dengan ukuran-ukuran ilmiah dan ilmu pasti namun lebih cenderung pada subjektifitas dan adanya kepentingan pemberi penghargaan (Barat). Penerima gelar Nobel dalam katagori Sastra, Ekonomi, dan Perdamaian Dunia, biasanya segaris, sejalan, dan mendukung pikiranpikiran dan ideologi Barat. Sehingga pemberian Nobel pada katagori ini selalu menimbulkan polemik terhadap kelompok lainnya. Misalnya pemberian Nobel kepada Liu Xiaobo pada tahun 2010 pada katagori Perdamaian Dunia. Bagi Barat Liu adalah tokoh Hak Asasi Manusia dan Prodemokrasi. Sebagai orang

China yang gigih memperjuangkan perubahan di negaranya, Liu tak hanya mendapat Nobel namun ia juga mendapat penghargaan dari berbagai lembaga nirlaba Barat lainnya, semisal Human Right Watch-Hammett Grant, Democracy Education Fund, AS-Prize for Outstanding Democracy Activist, Foundation de France Prize, dan Reporters Without Borders. Bila Liu disanjung-sanjung oleh Barat, tidak bagi negaranya sendiri, China. Pria bertumbuh kerempeng itu adalah musuh negaranya. Apa yang diperjuangkan oleh Liu merupakan perlawanan terhadap dasar dan ideologi negara China. Jadi di sini ada unsur subjektifitas atau pertentangan kepentingan antara Barat dan China. Di satu sisi Barat mendorong kepentingannyanya (demokrasi), di sisi lain China mempertahankan dasar dan ideologinya. Subjektifitas atau dominannya kepentingan Barat dalam memberi penghargaan kepada seseorang tak hanya dilakukan oleh Panitia Nobel namun juga dilakukan oleh Majalah Time. Majalah berbahasa Inggris dan menyebar ke banyak negara di dunia itu ketika menentukan orang-orang berpengaruh, misalnya 100 Orang yang berpengaruh di dunia, pasti akan menempatkan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Korea Utara Kim Jon Un, Presiden Venezuela Hugo Chaves, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Cuba Fidel Castro, sebagai tokoh yang berpengaruh negatif kepada dunia. Mereka disebut sebagai tokoh yang berpengaruh negatif karena pikiran dan kebijakan yang dijalankan tidak sejalan dengan kepentingan Barat. Adanya penghargaan-penghargaan yang demikian memang mampu mempromosikan kepentingan Barat lewat kepala negara, kepala pemerintah, aktivis prodemokrasi, sastarawan, dan budayawan. Dengan gelar yang diberikan kepada mereka seolah-olah melegitimasi bahwa apa yang dikerjakan itu benar adanya dan patut menjadi panutan ummat manusia. Menghadapi hal demikian, baru China yang baru melawannya. Sebagai negara besar secara politik, ekonomi, militer, China memberikan penghargaan Confucius Prize. Pemberian gelar ini sebagai bentuk perlawanan dari pemberian gelar Nobel kepada Liu. Bila penghargaan itu ditradisikan maka akan bisa menyaingi Nobel Prize. Beberapa kali Confusius Prize diberikan, salah satu penerimanya adalah orang yang tidak sejalan dengan kepentingan dan pikiran Barat, yakni Vladimir Putin pada tahun 2011. Nah, kita tidak tahu apa kriteria AFC memberi penghargaan World Statesman Award kepada SBY. Apakah pria asal Pacitan, Jawa Timur, itu sejalan dengan kepentingan dan mendukung (kebijakan ekonomi dan politik) Barat? Pengamat Sosial Politik

KEMUNCULAN sosok dai cilik, penyanyi cilik, atau bahkan dalang cilik tentu membuat banyak pihak bangga. Ternyata bangsa ini memiliki aset luar biasa dan ke depan dapat dipastikan menjadi salah satu penguasa dunia. Tapi ibarat, magnet yang memiliki dua sisi, positif dan negatif, prestasi para anak bangsa di atas juga diwarnai dengan perilaku kurang terpuji bahkan menjurus menyimpang dari generasi sepantarannya. Tilik saja, aksi siswi kelas IX SMP di Surabaya yang sudah sejak usia dini mencurahkan energinya untuk menjadi germo demi mendapatkan imbalan rupiah. Fatalnya, dia merekrut para pelajar lain untuk menjadi pelacur yang dia jajakan ke lelaki hidung belang. Tentu kejadian ini menjadi tamparan bagi dunia pendidikan yang mendapat alokasi dana terbesar di Republik ini. Dan tentu saja bagi para orangtua, guru, tokoh masyarakat, serta generasi di atasnya, yang sudah terbukti tak mampu menanamkan nilai-nilai humanisasi. Bahwa pendidikan memiliki tujuan utama memperbaiki akhlak, melestarikan nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, serta membedakan mana yang baik dan mana yang tidak patut dilakukan. Bukan sekedar mendapatkan nilai bagus dan selembar ijazah untuk syarat melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya atau mencari kerja. Penggalan kisah kelam germo cilik di atas serta ribuan kasus lainnya yang melibatkan pelajar sudah seharusnya membuat kita mendengar kritik filsuf Paulo Freire tentang banking concept of education yang masih diterapkan di Indonesia. Bagi Freire, pelajar tak bisa hanya semata-mata dicekoki ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda, seperti sistem bank. Dia menegaskan, anak didik bukan obyek investasi dan sumber deposito. Sebaliknya, mereka harus dididik menjadi manusia dan memiliki kesadaran. Bukan sekadar kesadaran magis atau kesadaran naif, melainkan sebuah kesadaran kritis. Yaitu, kesadaran yang melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Sehingga menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis, untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat. Dalam kasus germo cilik ini, tentu kita tak dapat menyalahkan pelaku seutuhnya dan di sisi lain tentu juga tak bijak membenarkan tindakannya. Karena bagaimana pun juga dia bukan hanya pelaku, tapi juga korban. Akar persoalan bisa dipastikan muncul dari lingkup keluarga pelaku yang tak mampu menjadi benteng utama dari serbuan informasi serta gaya hidup modern. Tsunami informasi yang disajikan media serta semakin mudahnya fasilitas mengakses sama sekali tak diimbangi peran orangtua untuk menjelaskan mana yang baik dan mana yang tak patut ditiru. Plus kekuasaan untuk melakukan kontrol secara ketat kepada anak. Untuk urusan ini rezim Orde Baru masih jauh lebih baik ketimbang sekarang. Tayangan-tayangan berbau seks dan kekerasan disensor sedemikian rupa, bila ditayangkan pun waktunya pada larut malam. Ukuran-ukuran modern, keren, dan tidak kampungan yang disajikan setiap saat dan setiap waktu diakui atau tidak telah mengubah pola pikir dan pola perilaku anak serta orang dewasa. Standar keren yang ditampilkan di televisi, koran, serta media lain, telah mengubah cara pandang dan cara berperilaku generasi muda. Faham materialisme sungguh sudah merajalela. Akhirnya, sudah saatnya kita memilih menjadi manusia atau binatang. Karena sejatinya manusia adalah hewan yang berakal. Ketika hilang akalnya, maka saat itu juga dia telah menjadi binatang. (*)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.