Oktober 2011

Page 21

Karena itu, Gustaff melihat anak muda kita tetap memainkan perannya sebagai agen perubahan.

yang seperti itu sekarang ini. Masa bodo, tidak ada daya jelajah, dan rasa ingin tahu berkurang,” kata Erry. “Inilah yang terjadi pada bangsa Indonesia sekarang. Satu sisi banyak juga anak muda yang cerdas, memenangi lomba ilmu pengetahuan, satu sisi juga masih banyak anak muda yang harus diperhatikan,” tandas Erry. Muhammad Iman Usman, penggagas Parlemen Muda Indonesia, berpendapat senada. “Kita masih lebih banyak pada posisi followers, apa yang berkembang kita ikutin, apa yang hit kita ikutin,” kata Iman. “Culture kita belum sampai pada tahap inisiator, orang yang memulai. This is a breaktrough, ini lho yang mau dibawa... Culture-nya masih kurang, meskipun dalam beberapa hal, dalam beberapa konteks tertentu, it happens, di mana anak-anak muda menjadi breaktrough, menjadi inisiator. Tapi memang, kalau ingin dibicarakan secara general ya culture-nya masih menjadi followers,” tandas Iman. Demikian pula yang dilihat Anita Moran. “Kalau menurut aku mereka lebih cenderung followers, ya. Tapi yang produsen ada, tapi sedikit dibanding yang followers. Tapi masih lebih baik dibanding dulu. Kalau sekarang mungkin angka produsen lebih naik, tapi tetap kalah dengan angka followers,” kata Anita. Sementara, Tarlen menegaskannya dengan menunjuk proses kreatif di lingkungannya. “Dibandingkan tiga tahun lalu, sekarang yang memproduksi sudah jauh lebih banyak dibandingkan yang mengkonsumsi. Meskipun, desainnya masih banyak pengulangan atau peniruan dari cluster-cluster di luar,” kata Tarlen, merujuk aktivitas kreatif di Tobucil & klab Sementara, sastrawan dan budayawan Seno Gumira Ajidarma lebih santai menyikapi semua itu. Menurut Seno, 40

Oktober 2011

proses produksi dan konsumsi itu, termasuk di bidang kebudayaan, tak lepas dari kepentingan. “Apakah mewakili kepentingan mereka atau tidak? Dan ketika mereka sudah memutuskan untuk mengambil dan menggunakannya atas nama kepetingan mereka sendiri, ya artinya mereka sudah menjadi produktif, tepatnya menjadi produsen makna,” kata Seno. “Pokoknya ini pandangan yang sangat optimistiklah...,” tambah Seno. Terlebih, katanya, bila konsumsi tadi dilakukan dengan sukarela. “Mereka tidak terpaksa, secara sukarela, malah sengaja mengikuti, jadi ya bagus.” Bagi Seno, berkaca kepada pengalaman pr ibadi dan dunia kesenian yang ditekuninya, ada perbedaan situasi dan kondisi antara anak muda pada masanya dan anak muda masa kini. “Kalau dulu kuper, lebih sok tahu, dan lebih romantis. Dulu itu, kalau kita enggak punya uang karena berkesenian, itu enggak apa-apa. Seolah-olah malah agak mulia. Oh, dia idealis... Tapi, sekaligus memang kuper dan sok tahu. Dirasa enak, miskin tapi sombong. Sekarang, enggak ada tempatnya itu...,” kata Seno. “Sekarang orang harus kerja. Jadi, romantisisme itu enggak ada. Atau romantisismenya ya workaholic-nya itu. Kalau sekarang ada orang enggak mau kerja, duitnya banyak, orang enggak akan melihatnya hebat,” tambah Seno. Bagi Seno, yang tidak berubah adalah perhatian pemerintah terhadap anak muda. Terlebih, anak-anak muda yang berkecimpung di dunia kesenian. “Enggak ada treatment apa-apa. Kecuali pada presidennya sendiri, yang memakai lagunya sendiri untuk upacara 17 Agustusan di Istana,” kata Seno. Karena itu, ia berwasiat kepada anak-anak muda yang menekuni kesenian dan dunia kreatif OKtober 2011

41


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.