Majalah JejaringKu Edisi 1

Page 1

majalah

jejaringKu

-- 20 Mei s.d 20 Juni 2010 -- Tahun 1 GRATIS

#1

sharing.writing.connecting.blogging

PENEMUAN UNIK DI KOMPASIANA


AYO NGEBLOG DI KOMPASIANA.... BIARKAN HIDUPMU LEBIH BERARTI BERBAGI DAN BERJEJARING

2

Majalah JejaringKu Mei ‘2010


daftar isi KOLOM: Etika dan Moral Menulis....5

GURU NGEBLOG: Pengangguran Terdidik.....6

MENUTAMA: Kompasiana, Tempat Berbagi dan Berinter aksi.....................7

MENUTAMA: 7 Tips Ngeblog dari 3 Seleb Blogger.....................9

EDUKASI: Kebangkitan dari Kampung...................11

EDUKASI: Labschool, Sekolah Perintis Pendidikan Karak ter............................14

KAMPUSIANA: Membaca Lahirkan Peradaban....................................16 EUREKA-BLOG: Penemuan Unik di Kompasiana.................................17 PENDAPAT: Abad Jurnalisme Lher.........................................................19 SASTRA: Kopi Susu Wanita Bercadar......................................................23 FALSAFAH: Menjadi Nabi dan Tuhan.....................................................24 KREATIVA: Mutiara2 Kompasiana Segera Tancap Gas...........................25 SEX ON THE NET: Perempuan Seksi di Mata Pria Penuh Cinta.............26 KOMUNITAS: Berkarya Ala Sunan Gunung Djati...................................29 JEJARINGKU: Yuk Ngeblog!!!!...............................................................30

majalah

Penasihat Redaksi: Pepih Nugraha, Wijaya Kusumah. Pemimpin Redaksi: Sukron Abdilah. Redaktur Pelaksana: Ibn Ghifarie. Kontributor: Masim Vavai Sugianto, Kate Raj, Mariska Lubis, Iden Wildensyah, Noviyanto Aji, Kali Siregar, Ragile, Rovi’i, Feri Anugrah. Keuangan: Sitta Resmiyanti. Desain dan Lay-out: sukronism. Alamat Redaksi: Jln. AH Nasution Gg Kujang No. 61B Rt 04/Rw 05 Cipadung Bandung 40614. No Kontak: 081322151160 [Sukron Abdilah]. Donasi silakan kirim ke rekening 0021481178 BNI Cabang Ahmad Yani Bandung a.n Sitta Resmiyanti. Situs: http://issuu.com/majalahjejaringku

jejaringKu

Mei 2010 Majalah JejaringKu

3


BERANDA REDAKSI

N

Majalah JejaringKU

geblog bagi kami ialah soal hobi. Soal kreativitas. Soal interaktivitas. Soal kepuasan eksistensial. Dan, soal berbagi informasi (information sharing) secara tulus-ikhlas. Kami sadar dikarenakan biaya yang terbatas keinginan menghadirkan versi cetak karya blogger memang penuh liku. Majalah JejaringKu adalah media ecek-ecek, yang diterbitkan secara swadaya oleh kami. Secara praktis, kami mengambil postingan seorang blogger untuk dimuat di media ini. Untuk sementara, majalah JejaringKu diterbitkan dengan Versi digital. Anda dengan mudah dapat mengunduh atau sekadar membaca isi majalah JejaringKu di laman situs http://issuu.com/ majalahjejaringku.

kewajibannya ini. Kabar gembira, dalam majalah ini kami menerbitkan sebulan sekali tulisan-tulisan dari mbah kompasiana, Pepih Nugraha dan Omjay. Kompasiana merupakan blog social network raksasa di Indonesia. Besutan kawan-kawan di Kompas.com ini menjadi ikon pergaulan blogger baik di ranah online maupun offline. Sejumlah rubrik dalam Majalah JejaringKu ini, memuat berbagai artikel dan berita yang berkaitan dengan media sosial, internet, blog, situs jejaring, dan produk teknologi informasi lainnya. Kami berharap, dengan terbitnya majalah JejaringKu, tiap blogger dapat terpacu untuk terus memperkaya konten weblognya dengan analisa yang tajam. Kami melihat ada potensi pasar bagi Majalah JejaringKu untuk berkreasi dan berekspresi di dunia nyata. Semoga dengan penerbitan Majalah JejaringKu ini dapat menjadi “corong terdepan” kebebasan menghadirkan pendapat ala blogger di dunia nyata. Sekali lagi kepada kontributor, baik tetap maupun tak tetap, kami ucapkan terima kasih banyak atas peran sertanya menyumbang konten sehingga edisi pertama ini dapat dipublikasikan.

Majalah JejaringKu terbit karena kami memiliki keinginan kuat untuk melakukan konvergensi. Dunia maya dikonvergensi dengan dunia nyata. Teks digital dikonvergensi dengan teks cetak. inilah salah satu bentuk respon kami terhadap kemajuan teknologi berbasis media 2.0. Artinya, konten Majalah JejaringKu semuanya berasal dari blogger. Soal hak cipta, untuk edisi pertama kami mengambil secara acak postingan dari berbagai weblog dengan mencantumkan sumber. Karena kami mendirikan Majalah JejaringKu dengan Terima kasih…wassalam biaya seadanya, perkara honorarium belum dapat kami penuhi. Mudah-mudahan setahun ke depan, Majalah JejaringKu dapat menunaikan

4

Majalah JejaringKu Mei ‘2010

Redaksi


KOLOM

Etika dan Moral Menulis Oleh PEPIH NUGRAHA Kompasiana, 4 April 2010

R

abu, 31 Maret 2010 lalu saya berkesempatan berbicara di depan mahasiswa pada acara Pekan Komunikasi FISIP Universitas Indonesia di Kampus UI Depok. Saya bicara soal citizen journalism atau jurnalisme warga dengan contoh konkret Kompasiana sebagai social blog terkemuka di Indonesia. Hadirin antusias mendengarkan, sementara dengan tenang saya menjelaskan. Pada sesi tanya jawab, satu pertanyaan mahasiswa yang saya ingat: apakah seorang jurnalis warga harus punya kode etik dalam menulis agar tulisannya bisa dipercaya khalayak pembaca? Apakah kode etik untuk jurnalis warga sudah tersusun? Serta merta saya menjawab: tidak perlu menunggu lahirnya kode etik jurnalis warga, gunakan saja etika dan moral dasar Anda sebagai makhluk sosial! Mengapa saya lantang menjawab pertanyaan ini? Sebab, terus terang saja masih terngiang di telinga saya saat Jakob Oetama, pemimpin umum Harian Kompas, menegaskan perlunya etika dan moral dasar dalam menulis, saat berbicara pada Kompasiana Monthly Discussion, empat hari sebelumnya atau 27 Maret lalu. Etika dan moral dasar itu perlu dimiliki siapapun, tidak terkecuali jurnalis warga dalam hal ini Kompasianer yang biasa menulis dan menuangkan gagasannya di Kompasiana. Tentu saja Jakob Oetama tidak merinci satu persatu apa itu etika dan moral dasar yang berlaku pada masyarakat secara universal. Etika dan moral dasar itu sama saja dengan yang berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai makhluk sosial. Dalam konteks menulis juga etika dan moral dasar yang paling penting adalah: tidak boleh berbohong, tidak boleh menghina/merendahkan/mendiskreditkan/memfitnah seseorang/sekelompok orang atau lembaga, tidak boleh menghina dan mempertentangkan SARA, serta tidak boleh pornografi dan judi. Itulah modal dasar bagi penulis, baik penulis profesional maupun penulis amatir (independen) seperti jurnalis warga di Kompasiana. Akan tetapi, saya masih menjumpai segelintir penulis di Kompasiana yang justru sama sekali tidak memiliki etika dan moral dasar ini, yang sesungguhnya sangat diperlukan seorang penulis untuk bergaul dan memperbanyak kawan diskusi serta wahana dimana si penulis itu dihormati pembaca karena martabat (etika dan moral dasar) yang dimilikinya. Menghina dan mendiskreditkan seseorang tanpa dasar, tanpa sebab dan tanpa akibat (baca: tidak ada hujan atau angin), memunculkan pertanyaan; ada apa dengan pikirannya? Seakan-akan tidak ada topik lain yang lebih bermanfaat

yang dibahas dalam tulisan-tulisannya di Kompasiana selain mencaci-maki dan menyudutkan seseorang tanpa ampun? Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan pernyataan Jakob Oetama saat diskusi itu, yakni pesan universal yang mestinya berlaku di manapun dan untuk segenap usia apapun. Saat itu Jakob Oetama menjawab pertanyaan apa syarat penting seorang jurnalis warga seperti Kompasianer dalam menulis artikel-artikelnya. “Selain membaca dan belajar dari kehidupan,” kata Jakob Oetama, “Kita semua harus memegang etika elementer (dasar) saat menulis!” Mungkin ada pertanyaan, tidak siapkah Kompasiana menegakkan demokrasi dan diskusi sehingga tulisan SARA dan menghasut seseorang saja menjadi takut. Tunggu dulu! Demokrasi macam apa yang dikehendaki penulis? Demokrasi yang sebebas-bebasnya? Di Amerika saja yang dikenal sebagai “mbah”-nya demokrasi, pasti ada batasannya. Jika masih punya pemikiran waras, tidaklah mungkin seseorang yang diundang baik-baik ke Gedung Putih hanya untuk menghina dan mencaci-maki Presiden Barack Obama tanpa dasar! Sedemokratis dan seliberal apapun, tetaplah etika dan moral dasar harus dimiliki, di Amerika sekalipun. Mungkin bisa saja seseorang mengembangkan apa yang disebutnya “demokrasi murni” sebebas mungkin tanpa batasan ketika orang itu mengembangkannya di Planet Mars dan Bulan yang hening, atau kalau tidak mau jauhjauh, di hutan belantara yang hanya berpenghunikan tumbuhan dan hewan! Untuk itulah, Kompasianer tidak perlu takut dan khawatir menulis selama etika dan moral dasar Anda miliki. Kami, Kompasiana, menyediakan server yang besar agar bisa menampung seluruh tulisan Anda dari awal Anda register sampai saat iini, kami membeli bandwidth yang besar agar kecepatan mengakses Kompasiana tetap terjaga, dan kami menyediakan sumber daya manusia demi menjamin keberlangsungan Kompasiana ini. Semua itu memerlukan biaya yang tidak sedikit dan konsentrasi yang tidak mudah bagi pengelolanya, Toh Kompasiana menyediakan semua kemudahan itu dengan harapan menjadi ajang belajar dan diskusi yang sehat dan bernalar. Syaratnya mudah saja: pegang etika dan moral dasar dalam menulis!

Mei 2010 Majalah JejaringKu

5


Guru Ngeblog

Pengangguran Terdidik Oleh Wijaya Kusumah Kompasiana, 10 Mei 2010

B

eberapa waktu lalu saya telah menuliskan tentang pengangguran terdidik yang saya kaitkan sedikit dengan sejarah hidup saya secara pribadi. Bagi anda para pembaca kompasiana yang belum membacanya, dapat membacanya di sini. Pengangguran terdidik bukanlah persoalan baru di negeri ini. Hampir setiap tahun pasti kita akan menghadapinya. Hanya saja, solusi yang ditawarkan mungkin masih belum menyentuh dasar persoalan sehingga wajar bila setiap tahun jumlah pengangguran terdidik di negeri yang katanya ajaib ini terus bertambah. Kompas.com edisi, Kamis, 18 Februari 2010, menuliskan bahwa data tenaga kerja tahun 2009 menurut Bappenas menyebutkan, dari 21,2 juta masyarakat Indonesia dalam daftar angkatan kerja, sebanyak 4,1 juta atau sekitar 22,2 persennya adalah pengangguran, yang didominasi oleh lulusan diploma dan universitas dengan kisaran angka di atas 2 juta orang. Melihat fenomena itu tentu kita berpikir untuk mencari solusinya. Sebenarnya kita harus berfokus kepada 5 hal agar generasi penerus bangsa ini tidak menjadi pengangguran terdidik dan memiliki kecakapan hidup di abad 21 ini, yaitu: 1. mampu melek Teknologi dan Media 2. mampu berkomunikasi secara efektif 3. mampu berpikir secara kritis 4. mampu memecahkan Masalah 5. mampu berkolaborasi Saya teringat kembali ketika saya lulus Sekolah Teknologi Menengah (STM). Saya dan teman-teman rasanya tak ada yang menganggur setelah kami lulus. Kenapa begitu? Karena kami semua telah diberikan keterampilan atau skill yang cukup memadai sebagai bekal hidup kami di masyarakat. Bahkan banyak di antara kami yang kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi dan mendapatkan gelar sarjana. Setelah mereka mendapatkan gelar sarjana, banyak di antara mereka yang akhirnya membuka usaha sendiri. Berusaha mandiri dan tidak bekerja kepada orang lain. Ketika saya tanyakan perihal mereka membuka usaha sendiri, mereka mengatakan bahwa lebih enjoy bekerja dari usaha sendiri daripada bekerja kepada

6

Majalah JejaringKu Mei ‘2010

orang lain, karena bisa menjadi bos dari usaha sendiri. Tetapi tantangannya memang tidak mudah. Bila tidak kuat kamu bisa stress. Kita harus kreatif dan mau mencari peluang. Apa yang dikatakan oleh kawan-kawan saya sekolah dulu itu benar adanya. Bila kita tak ingin menjadi pengangguran terdidik, maka kita harus kreatif dan pandai mencari peluang. Seperti halnya industri kreatif yang sekarang ini banyak dikembangkan oleh anak muda lulusan perguruan tinggi. Memang harus diakui, bangsa ini masih sangat kekurangan entreprenership. Kita masih kekurangan pengusaha yang mampu menciptakan peluang usaha sehingga dapat menciptakan kerja bagi orang lain. Mengapa hal itu dapat terjadi? Hal di atas terjadi karena banyak sekolah dan perguruan tinggi yang hanya mempersiapkan tenaga siap kerja, tetapi tak siap menciptakan peluang kerja. Mereka dididik untuk menjadi pegawai dan bukan pengusaha. Inilah sebenarnya kesalahan dari para pembuat kurikulum. Gurupun juga demikian. Para guru takut melawan kurikulum yang berlaku dan menganggap bahwa kurikulum itu seperti kitab suci yang tak bisa lagi dirubah. Sebaiknya kurikulum kewirausahaan sudah diajarkan sejak mereka masih usia dini dan terus dikembangkan ketika mereka melanjutkan ke jenjang SD, SMP, dan SMA. Ketika mereka masuk jenjang perguruan tinggi, mereka tinggal mengasah saja dan langsung mengaplikasikan apa yang didapatkan. Untuk bisa mewujudkannya memang tak mudah, namun bisa dikerjakan. Oleh karenanya mari kita terus perbaiki sistem kurikulum kita dan mempersiapkan peserta didik agar kelak tak menjadi penggangguran terdidik. Mungkinkah ini bisa terjadi?


MENUTAMA

Kompasiana,

Tempat Berbagi dan Berinteraksi

Di Kompasiana, setiap orang didorong menjadi seorang pewarta warga yang, atas nama dirinya sendiri, melaporkan peristiwa yang dialami atau terjadi di sekitarnya.

K

ompasiana adalah sebuah Media Warga (Citizen Media). Di sini, setiap orang dapat mewartakan peristiwa, menyampaikan pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi dalam bentuk tulisan, gambar ataupun rekaman audio dan video. Kompasiana menampung beragam kon-ten yang menarik, bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan dari semua lapisan masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, hobi, profesi dan kompetensi. Keterlibatan warga secara masif ini diharapkan dapat mempercepat arus informasi dan memperkuat pondasi demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kompasiana juga melibatkan kalangan jurnalis Kompas Gramedia dan para tokoh masyarakat, pengamat serta pakar dari berbagai bidang, keahlian dan disiplin ilmu untuk ikut berbagi informasi, pendapat dan gagasan. Di Kompasiana, setiap orang didorong menjadi seorang pewarta warga yang, atas nama dirinya sendiri, melaporkan peristiwa yang dialami atau terjadi di sekitarnya. Tren Jurnalisme Warga (Citizen Journalism) seperti ini sudah mewabah di banyak negara maju sebagai konsekuensi dari lahirnya web 2.0 yang memungkinkan masyarakat pengguna internet (netizen) menempatkan dan menayangkan konten dalam bentuk teks, foto dan video. Kompasianer (sebutan orang-orang yang beraktifitas di Kompasiana) juga diberi kebebasan menyampaikan gagasan, pendapat, ulasan maupun tanggapan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Setiap konten yang Mei 2010 Majalah JejaringKu

7


tayang di Kompasiana menjadi tanggungjawab Kompasianer yang menempatkannya. Selain itu, Kompasiana menyediakan ruang interaksi dan komunikasi antar-anggota. Setiap Kompasianer bisa men-jalin pertemanan dengan Kom-pasianer lain. Mereka juga dapat berkomunikasi lewat email, komentar dan fitur inter-aktif lainnya. Fasilitas dan fitur Kom-pasiana hanya bisa digunakan oleh pengguna internet yang telah melakukan registrasi di www.kompasiana.com/ registrasi. Begitu proses registrasi selesai, pengguna akan mendapatkan blog pribadi dengan alamat http://kompasiana.com/namapengguna. Tanpa registrasi, pengguna hanya bisa membaca konten Kompasiana. Dengan beragam fitur dan fasilitas interaktif tersebut, Kompasiana yang mengusung semangat berbagi dan saling terhubung (sharing. connecting.) telah berwujud menjadi sebuah Social Media yang informatif, interaktif, komunikatif dan mencerahkan bagi setiap orang.

Pada tanggal 1 September 2008, Kompasiana mulai online sebagai blog jurnalis. Pada perjalanannya, Kompasiana berkembang menjadi Social Blog atau blog terbuka bersama para jurnalis harian Kompas dan Kompas Gramedia (KG) serta beberapa orang penulis tamu dan artis. Antusiasme para blogger dan netizen untuk ikut ngeblog di Kompasiana sangat besar sehingga dibuatkan satu menu khusus bernama Public. Pada 22 Oktober 2008, Kompasiana sebagai Social Blog resmi diluncurkan. Dan baru satu tahun berjalan, Kompasiana telah mengalami perubahan besar—baik dari segi tampilan maupun format dan konsep keseluruhan. Dari sebatas jaringan blog jurnalis menjadi sebuah bentuk Social Media baru yang bisa diakses dan dikelola oleh semua orang. Termasuk Anda. Sumber Naskah: www.kompasiana.com

Kompasiana dalam Sejarah

Nama Kompasiana diusulkan oleh Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas yang biasa menulis kolom “Politika”. Nama ini pernah digunakan untuk kolom khusus yang dibuat pendiri Harian Kompas, PK Ojong, berisi tulisan tajam mengenai situasi mutahir pada masanya. Kumpulan rubrik Kompasiana yang ditulis PK Ojong itu sendiri sudah dibukukan. Ide pendirian Kompasiana berangkat dari dari fakta tidak semua jurnalis akrab dengan blog. Jangankan punya, membaca blog orang barangkali belum pernah. Jadi, merupakan langkah maju dan terobosan tak terduga manakala sejumlah jurnalis Kompas menyatakan diri ingin menjadi bagian dari Kompasiana dan bahkan sudah langsung mencurahkan pandangan dan gagasannya.

Awas...virus ngeblog hadir di mana-mana..bersiapsiaplah menyambutnya. Kini, Anda dapat ngeblog sepuasnya. Ikutilah kompasiana blogshop. Informasi klik laman

http://www.kompasiana.com 8

Majalah JejaringKu Mei ‘2010


MENUTAMA

“Mas Pepih menambahkan tips-tips dalam ngeblog, antara lain untuk tetap merespon setiap komentar secara baik, menghargai setiap komentar yang masuk dan tetap menulis secara periodik. Blog yang mendapat komentar namun tidak ditanggapi akan membuat pemberi komentar kapok, sedangkan blog yang tidak update akan ditinggalkan pembacanya.”

7 Tips Ngeblog dari 3 Seleb Blogger REPORTASE Masim Vavai Sugianto Kompasiana, 20 Oktober 2009

H

ari Sabtu tanggal 17 Oktober yang lalu saya kebagian tugas yang baru pertama kali saya lakukan, yaitu menjadi moderator acara talkshow: “Launching Komunitas Blogger Bekasi : Menembus Tapal Batas” yang diadakan di Bekasi Cyber Park, Jl. KH. Noer Alie (Jl. Kalang) Bekasi. Biasanya saya memberikan presentasi berkaitan dengan acara komunitas open source namun kini menjadi moderator dengan nara sumber yang cukup beken. Talkshow menghadirkan 3 pembicara yang merupakan seleb blog yaitu kang Pepih Nugraha admin Kompasiana.com, Pak Chappy Hakim seleb blog di Kompasiana.com dan Paman Tyo (Antyo Rentjoko), blogger senior nan kondang, salah satu pendiri (owner ?) dagdigdug.com. Talkshow sendiri saya arahkan ke pertanyaanpertanyaan yang sifatnya lebih lekat kepada blog dan pandangan para narasumber mengenai issue-issue yang menyertainya. Pertanyaan pertama kepada pak Chappy Hakim mengenai “Alasan Utama Ngeblog” misalnya, dijawab secara panjang lebar oleh pak Chappy Hakim. Mulai dari prinsip dasar untuk berguna bagi masyarakat banyak hingga fenomena teknologi informasi yang harus bisa dikelola dengan baik agar bisa bermanfaat. Pertemuan antara model teknologi informasi yang melahirkan kemudahan-kemudahan dalam berinteraksi ini bertemu dengan keinginan untuk bisa bermanfaat bagi masyarakat banyak dan direalisasikan dalam bentuk penyampaian ide melalui tulisan. Ketika saya tanyakan soal, “Apakah tidak takut dicaci maki atau difitnah, atau mendapatkan tanggapan yang kurang menyenangkan di blog, mengingat sifat blog yang relatif terbuka dan publikasinya luas”, pak Chappy menjawab secara lugas dengan satu kalimat tegas : “Berani karena kita benar”. Kalimat ini kemudian dideskripsikan dalam bentuk contoh bagaimana menanggapi tulisan yang sifatnya menyerang, misalnya dengan tetap menguraikan fakta dan alasan secara jernih tanpa perlu terpancing. Mas Pepih menambahkan tips-tips dalam ngeblog, antara lain untuk tetap merespon setiap komentar secara baik, menghargai setiap komentar yang masuk dan Mei 2010 Majalah JejaringKu

9


tetap menulis secara periodik. Blog yang mendapat komentar namun tidak ditanggapi akan membuat pemberi komentar kapok, sedangkan blog yang tidak update akan ditinggalkan pembacanya. Paman Tyo menjawab pertanyaan saya mengenai bagaimana mencari ide mengenai suatu tulisan dengan menampilkan slide presentasi yang menunjukkan ada demikian banyak sumber isi untuk blog. Bisa dalam bentuk berita terkini, respon pada suatu isu, perkembangan suatu kota, informasi mendetail mengenai suatu prosedur hingga catatan sehari-hari yang berguna bagi orang banyak. Tips-tips ngeblog dari narasumber yang berkompeten ini bisa disarikan kedalam 7 tips ngeblog sebagai berikut : 1. Jangan takut pada komentar yang kasar, asusila, caci maki maupun fitnah. Pembaca akan bisa menilai kualitas komentator dari komentar yang ia berikan. Pembaca juga bisa menilai kualitas isi suatu tulisan dari cara si penulis merespon komentar pembacanya. Sebagai blogger, kita bisa berkontribusi bagi kemajuan masyarakat jika tulisan-tulisan kita bermanfaat bagi orang lain. Ukuran dan nilai bermanfaat memang berbeda-beda bagi tiap orang namun tentunya bisa dibedakan mana artikel yang mencerahkan dan mana artikel yang sarkastis. 2. Aktif menanggapi komentar. Blog dan blogger sebagai bentuk nyata citizen journalisme memiliki keunggulan komparatif dibandingkan media mainstream. Keunggulan ini bisa dilihat dalam bentuk interaksi dengan pembaca. Seorang penulis artikel dan opini di media cetak misalnya, tentu tidak mendapatkan respon secepat dan sebanyak media online seperti blog. Jika salah satu posting atau artikel dikomentari, jawablah komentar itu sebagai bagian dari komunikasi antara blogger penulis artikel dengan pembacanya 3. Jangan takut kekurangan ide tulisan. Ada banyak sumber ide tulisan, misalnya hal-hal kecil seperti

  

10 Majalah JejaringKu Mei ‘2010

informasi cara pengurusan izin tertentu di Pemda, saran mengenai perbaikan lingkungan, informasi mengenai suatu daerah atau tempat tertentu, respon pada suatu berita, opini pada suatu isu di masyarakat hingga ide-ide yang mungkin bisa bermanfaat bagi orang banyak. Perubahan ruang, perumahan, mal, minimart, jalan tol dan perubahan sosial bisa menjadi sumber tulisan yang mengesankan 4. Blogger dan Iklan Komersial. Tidak usah khawatir jika blog sudah populer dan ingin disisipkan iklan-iklan komersil. Untuk pertanyaan, apakah mengganggu pembaca atau tidak, blogger harus mengelolanya dengan baik, misalkan mengatur lay-out agar lebih mudah ditempatkan 5. Bergabung dengan komunitas. Relasi pada komunitas seperti Kompasiana.com atau komunitas-komunitas Blogger (seperti Komunitas Blogger Bekasi) akan memberikan kesempatan dalam memperluas jangkauan pembaca dan meningkatkan trafik ke blog. Semakin banyak kenalan semakin banyak peluang agar tulisan, ide dan blog kita dikunjungi oleh orang lain 6. Tulis dalam bahasa, pengetahuan dan sifat yang kita kuasai. Tidak perlu ikut-ikutan. Tidak perlu menjadi sosok yang lain dalam menulis. Kita boleh banyak membaca buku maupun artikel orang lain namun tidak perlu meniru model tulisan mereka apa adanya. Karakter tulisan yang unik dan dengan ciri khas tersendiri akan membuat pembaca bisa membedakan dan mengenali kualitas suatu tulisan. Silakan mengikuti trend sepanjang trend itu baik dan pantas untuk diikuti. Jangan diperdaya oleh trend juga jangan serta merta menolak trend. Orang yang sinis pada blog bisa mengatakan bahwa blog bisa jadi merupakan trend sesaat tapi sepanjang trend itu bermanfaat mengapa tidak ? 7. Jangan selalu bombastis. Judul artikel yang menarik perhatian memang menguntungkan tapi jika isinya tidak sesuai ekspektasi pembaca tentu akan membuat pembaca merasa tertipu dan malas membuka artikel lainnya. Semoga tips-tips diatas menjadi inspirasi dan tambahan ide untuk ngeblog.


edukasi

Kebangkitan dari Kampung

D

unia teks, khususnya buku, menjadi penting untuk dikonsumsi berbagai kalangan. Baik si miskin maupun si kaya. Menengarai kesetimpangan mengakses ilmu dan buku diperlukan program praksis membebaskan. Oleh karena itu, Tepas Institute pada akhir 2007 merancang program pemberdayaan warga di bidang pendidikan dengan mengusung nama “Kampung Belajar”. Kemudian, pada awal 2008 rancangan tersebut direalisasikan. Roni Tabroni (Ketua), Kelik Nursetiyo W (Sekretaris), Dedi Sutrisno AS (Bendahara), Dewi Mulyani (Koordinator Program), dan anggota Tepas Institute bergerak cepat. Nani Rohaeni, Enuy Nurjanah, Ania, dan Isa Nur Zaman dipercayai sebagai koordinator Kampung Belajar di daerah. Encep Dulwahab, Widawati, Purnama Sidik, Teguh Pamungkas, Teguh Santosa, Jamjam A. Yusepa, dan M. Yusuf Hamdani bertugas sebagai relawan yang membuka akses ke dunia perbukuan. Gerakan sadar ilmu yang dinahkodai Roni Tabroni ini, diharapkan dapat menjadi gerbang warga kampung mengukir masa depannya secara gemilang. Dengan biaya swadaya, Kampung Belajar berdiri di Jawa Barat. Lokasinya terletak di

“Kampung Belajar” seperti disampaikan Kang Roni, akan konsisten dengan aktivitas pemberdayaan warga di bidang pendidikan. Tentunya dengan menyertakan partisipasi masyarakat. “Ke depan, program ini kami anggap penting dikembangkan, terutama dalam konteks kemandirian masyarakat guna meningkatkan tarap hdupnya, salah satunya lewat dunia pendidikan.” Mei 2010 Majalah JejaringKu

11


daerah Kabupaten Bandung Barat, Tasikmalaya, dan Kuningan. Kendala pertama yang dihadapi komunitas anak muda ini melahirkan tantangan. Pun begitu dengan yang dihadapi relawan “Kampung Belajar”.

Ketika awal pendirian, koleksi buku yang tersedia baru sebatas pemberian dari personal. Namun kini, bantuan buku yang diperoleh Kampung Belajar, berasal dari beberapa pihak. Di antaranya buku dari Perpustakaan Nasional, Bapusipda Jabar (sebagai mitra), Dirjen PNFI, Universitas Widyatama Bandung, Penerbit Mizan, Humaniora, dan beberapa personal. “Awalnya kami tertantang, bagaimana program ini diterima masyarakat hingga menjadi bagian dari aktivitas. Ini penting agar masyarakat merasa memiliki Kampung Belajar. Sebab, yang merasakan manfaat masyarakat sendiri. Kendalanya, ketika diberikan fasilitas ternyata masyarakat desa sangat semangat belajar tetapi kurang bahan bacaan rutin. Sebab kita tidak punya donatur buku tetap.” Roni Tabroni mengenang awal pendirian Kampung Belajar. Kritik yang digagas Tepas Institute tak sekadar wacana. Terbukti dengan menelorkan pendidikan berbasis komunitas marjinal (warga desa) tanpa subsidi. Tidak melanjutkan sekolah, seperti dikatakan Kang Roni, bagi masyarakat desa bukan persoalan materi. Tetapi sudah menjadi sikap

12

Majalah JejaringKu Mei ‘2010

dan tradisi. Di usia tertentu anak harus bekerja atau perempuan harus nikah. Untuk mengembalikan ke sekolah tidak cukup diiming-imingi SPP gratis atau buku gratis, tapi harus merubah paradigma. Ini (sepengetahuan kami) tidak dilakukan pemerintah. Bahkan berbagai bantuan yang diberikan pemerintah justru membuat tingkat partisipasi masyarakat menjadi rendah. Banyak orang tidak peduli dengan sekolah karena ditanggung pemerintah, sehingga rasa memiliki berkurang. Sementara itu, Kelik Nursetyo W, Sekretaris Kampung Belajar mengatakan, “Kebangkitan Jawa Barat harus dimulai dari desa-desa. Namun kebangkitan itu tidak berarti jika program pembangunan hanya membuat masyarakat ketergantungan. Karenanya proses harus dimulai dari penyadaran bukan pemberian dana yang terkadang menjadi persoalan tersendiri baik di level birokrasi maupun di level bawah.” “Kampung Belajar” seperti disampaikan Kang Roni, akan konsisten dengan aktivitas pemberdayaan warga di bidang pendidikan. Tentunya dengan menyertakan partisipasi masyarakat. “Ke depan, program ini kami anggap penting dikembangkan, terutama dalam konteks


kemandirian masyarakat guna meningkatkan tarap hdupnya, salah satunya lewat dunia pendidikan.� Ujar peraih penghargaan Lelaki Inspirasi 2010 Bentoel Foundation ini. Kini, setelah dua tahun berdiri, Kampung Belajar kerap disambangi stakeholders dari pemerintahan dan pihak terkait lainnya. Komunitas ini pernah menerima kunjungan dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPUSIPDA) Jawa Barat. Selain mengapresiasi kehadiran Kampung Belajar, Bapusipda memberikan masukan dan arahan terkait dengan pengelolaan perpustakaan. “Publikasi kegiatan Kampung Belajar, kami posting di website, yang dibangun pada 2009 lalu. Silakan berkunjung ke http://www.kampungbelajar. com. Di situs tadi kami mencoba berbagi informasi tentang bentuk pembelajaran di komunitas ini (Kampung Belajar).� ujar Kelik berpromosi. REP: Sukron Abdilah, Feri Anugrah

edukasi

Mei 2010 Majalah JejaringKu

13


edukasi

Labschool, Sekolah Perintis Pendidikan Karakter Oleh WIJAYA KUSUMAH Kompasiana, 12 Mei 2010

S

enang sekali saya hari ini. Mengapa? Sebab hari ini adalah hari pelaksanaan ferewell party atau pesta perpisahan anak-anak kelas 9 SMP Labschool Jakarta. Lebih senang lagi ketika bapak wakil Kepala sekolah bdang akademik, Bapak Uswadin mengatakan dalam sambutannya bahwa sekolah kami SMP Labschool Jakarta, hari ini mendapatkan penghargaan sebagai sekolah perintis Pendidikan karakter oleh presiden SBY. Sebagai salah seorang guru di sekolah itu, tentu saya ikut bangga mendengarnya. Apalagi, bapak kepala sekolah kami, H. Ali Chudori mendapat undangan ke istana negara untuk menerima penghargaan itu. Sudah menjadi tekad kami para guru di Labschool untuk mengaplikasikan pendidikan karakter ini ke dalam pembelajaran. Hal ini jelas sejalan dengan tema hari pendidikan nasional 2010, yaitu “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”. Bangsa ini harus kembali kepada bangsa yang berbudi. Mampu memiliki budi pekerti yang luhur yang telah diajarkan oleh para leluhur bangsa. Caranya, dengan mengajarkan pendidikan karakter kepada anakanak mulai dari bangku sekolah. Memberikan mereka pemahaman yang jelas tentang karakter yang harus dimiliki manusia Indonesia di masa depan. Dengan olah rasa, olah raga, dan olah jiwa sekolah kami terus menerus menanamkan nilai-nilai luhur yang harus dimiliki manusia Indonesia. Oleh karena itu, kami mengemasnya dalam berbagai bentuk kegiatan kesiswaan yang dimulai dari saat siswa pertama kali masuk sekolah sampai mereka keluar (lulus) dari sekolah kami. Seperti halnya hari ini, Selasa 11 Mei 2010. Kami para guru , orang tua siswa, dan seluruh siswa kelas 9 berkumpul di Panti Prajurit Balai Sudirman Jakarta Pusat. Kami berkumpul dalam rangka kegiatan Farewell party yang tahun ini bertemakan GDZN Award 2010, sebuah nama dari angkatan ke-16 SMP Labschool Jakarta. Kegiatan ini selalu rutin kami selenggarakan dan telah menjadi salah satu budaya sekolah. Terjadi

14

Majalah JejaringKu Mei ‘2010

“Dengan olah rasa, olah raga, dan olah jiwa sekolah kami terus menerus menanamkan nilai-nilai luhur yang harus dimiliki manusia Indonesia. Oleh karena itu, kami mengemasnya dalam berbagai bentuk kegiatan kesiswaan yang dimulai dari saat siswa pertama kali masuk sekolah sampai mereka keluar (lulus) dari sekolah kami.”


Pak Sukarman dan Omjay keakraban yang sangat erat antara guru, siswa, dan orang tua. Di acara inilah diumumkan oleh anak-anak guru favorit mereka dan juga guru tergalak. Juga siswa dan siswi terfavorit pilihan mereka sendiri. Pokoknya banyak award yang dibagikan, layaknya kita menonton acara Movie Award beberapa waktu lalu yang diiringi dengan musik dan lagu. Dimainkan dan disajikan oleh mereka dengan gaya yang mempesona. Mungkin anda tak akan menyangka kalau itu adalah anak SMP. Dalam kegiatan perpisahan ini, anak-anak diberikan kebebasan untuk menyusun sendiri acaranya dan mereka dibantu oleh para orang tua siswa untuk mempersiapkannya dengan baik. Khususnya masalah dana yang cukup besar karena menyewa gedung mewah seperti halnya resepsi pernikahan. Alhamdulillah, berkat kerjasama yang erat dari semua pihak dan dukungan sponsor, acara berjalan dengan lancar. Acara ini dimulai pukul 09.00 WIB dan berakhir pukul 18.00 WIB, dengan diakhiri acara perenungan kegiatan angkatan mereka dari mulai masuk sampai mereka lulus saat ini. Terharu sekali saya mendengarnya. Rasanya waktu tiga tahun itu hanya sebentar saja. Kegiatan Farewell Party adalah salah satu contoh kegiatan konkrit pendidikan karakter yang selalu rutin tiap tahun dilaksanakan oleh SMP Labschool Jakarta. Berbeda dengan sekolah-sekolah umumnya, acara perpisahan biasanya dilaksanakan pada malam hari atau di luar kota. Tetapi di sekolah kami acara

di laksanakan di sebuah gedung mulai dari pagi sampai sore hari. Tempat sholat berjamaah pun kami persiapkan, sehingga tak ada siswa yang tak sholat berjamaah. Dalam acara itulah anak-anak dberikan kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya di bidang seni. Para siswa dipersilahkan menyalurkan potensi unik yang ada dalam dirinya untuk menjadi layaknya seorang artis muda yang berbakat, dan dipuja para penggemarnya. Pakaian mereka pun dipersilahkan menggunakan pakaian ala manusia dewasa, dimana para siswanya menggunakan jas dan para siswinya menggunakan gaun indah yang menarik. Membuat mereka gagah dan cantik. Akhirnya, sebagai seorang guru yang juga menjadi blogger narsis, rasanya tidak lengkap bila saya tak meng-upload foto saya sendiri dalam kegiatan ini. Mohon maaf kalau kelihatan norak, hehehehehe.

Mei 2010 Majalah JejaringKu

15


kampusiana Membaca Lahirkan Peradaban! Oleh ROVI’I Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UIN Bandung

“ The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read them “ (orang yang tidak membaca buku bagus tak ada bedanya dengan mereka yang tak bisa membacanya) -Mark Twain-

P

ada dasarnya manusia terlahir dalam keadaan tidak tahu. Kemudian, lahir proses pencarian hingga mengantarkannya pada pengetahuan tentang segala sesuatu. Salah satu pencarian tersebut terdapat dalam aktivitas membaca. Ungkapan Mark Twain di atas sangat jelas, membaca merupakan kewajiban umat manusia yang berperadaban. Ketika kita tak menyukai aktivitas membaca padahal mampu melakukan, posisinya sama dengan orang yang buta huruf. Sederhananya, kalau ingin mengetahui sebuah Negara atau pemikiran seseorang, kita tidak perlu mengunjungi Negara atau orang tersebut, tetapi bisa mengetahui lewat karya tulis yang dibuatnya. Membaca tidak hanya identik dengan buku, ataupun karya orang lain dalam bentuk tulisan, akan tetapi saat kita memperhatikan keadan terus memikirkanya itupun sudah dikatakan membaca yaitu dengan cara membaca situasi dan keadaan. Kalau dikaitkan membaca dengan peradaban, tentunya tidak bisa lepas dari kebudayaan. Sebab kebudayaan melahirkan peradaban. Pun sebaliknya, peradaban adakalanya melahirkan kebudayaan. Seperti dijelaskan Selo Soemardjan dan Soelaeman, kebudayaan ialah karya, rasa, dan cipta manusia. Sedangkan peradaban lebih pada kemajuan dan kesempurnaan. Jelasnya peradaban identik dengan kemajuan yang dihasilkan kebudayaan. Apabila kita hubungkan dengan membaca, sangat erat kaitannya. Karena semua karya, baik itu lisan maupun tulisan akan diketahui dengan membaca. Dan dari budaya membaca ini, setiap manusia berusaha mengukir peradabannya. Betul apabila ada yang mengatakan, membaca

16

Majalah JejaringKu Mei ‘2010

merupakan kunci peradaban dan buku sebagai gudang peradaban. Berdasarkan pengalaman, membaca memiliki nilai dan pengaruh pada sikap seseorang. Ketika seorang anak (sebut saja si A) dididik semenjak usia dini untuk membaca, itu akan berbeda dengan si B yang tidak dididik untuk membaca. Tidaklah heran kalau ada anak usia tujuh tahun sampai hapal Al-Qur’an. Itu terjadi karena adanya aktivitas membaca, sehingga membuat anak tersebut menghafalnya. Proses membaca akan mengubah dan merubah pola pikir setiap orang, tanpa memandang usia. Sehingga pempukan gizi intelektual merupakan langkah awal dari tidak tahu menjadi tahu salah satunya de-ngan membaca. Untuk menunjang aktivitas membaca harus ada instrument (pelengkap) yang mendukung, seperti perpustakaan, taman baca, dan sebagainya. Kehadiran “Kampung Belajar” yang digagas Roni Tabroni dkk, merupakan bentuk kerja suci dari segelintir anak muda negeri ini. Dengan menjadikan Kampung Belajar sebagai daerah binaan, ke depan diharapkan akan melahirkan tradisi membaca di kalangan masyarakat marjinal. Dengan memudahkan akses mereka membaca buku, itu cikal bakal melahirkan peradaban gemilang di masa mendatang. Wallahu’alam


Penemuan Unik di Kompasiana

EUREKA-blog

Oleh IDEN WILDENSYAH Kompasiana, 11 Mei 2010

H

arap diwaspadai penyakit ini, unik bin aneh dan berbeda, hanya ada di Kompasiana! Kompasiana sudah menyebarkan beberapa penyakit aneh diantaranya Hypergraphia, Hypercommentgraphia dan Hypercommentfollowergraphia. Penyakit ini ditemukan tanpa sengaja dari banyak pengamatan dan ‘penelitian’. Bukan ‘penelitian’ ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Ini hanya ‘penelitian’ abal-abal. Sama halnya dengan penulis abal-abal yaitu penulis yang tidak peduli topik, tidak peduli HL, tidak peduli terpopuler, tidak peduli siapa yang menulis tetapi isi yang dituliskannya dan tentu saja menulis karena keinginan besar untuk menulis. Kalau kebaikan itu ekses, tulisan yang baik akan menjadi magnet kebaikan lainnya. Baiklah kita coba urai satu persatu gejala tersebut. Gejala pertama adalah Hypergraphia yaitu kecenderungan untuk menulis dan terus menulis tanpa mengenal waktu. Sehari bisa 24 postingan. Sisanya di save atau dipublish cukup 3 sampai 5 saja. Gejala ini menjangkiti beberapa kompasianer yang tak pernah lelah memposting tulisan baik yang lahir dari ide sendiri atau meneruskan ide orang lain, dari berita di kompas, berita yahoo, berita di detik, berita di okezone dan portal-portal berita lainnya. Tidak peduli aturan, selama berita atau ide itu menarik diposting, hajar saja. Itulah gejala Hypergraphia yang harus diwaspadai karena bisa membuat terlena, skripsi anda terbengkalai, thesis anda tertunda, pekerjaan anda akan terlambat beres dan keluarga anda berantakan seharian ‘bercengkrama’ dengan komputer. Untuk yang terakhir, ini sih berlebihan tetapi logis. Kalau kompasianer sudah berkeluarga lalu memposting sebanyak 24 posting setiap hari, kalau berdasarkan ketentuan harus memposting minimal 1 jam 1 postingan berarti 24 jam duduk hanya untuk memposting. Kalau 24 jam memposting maka tidak ada waktu untuk keluarga, kalau tidak ada

waktu untuk keluarga hasilnya istri/suami akan jengkel, kalau jengkel berlebihan kompasianer bisa dituntut di meja hijaukan. Nah lhoo.. Seram bener kan? Tapi jangan berkecil hati dulu, ternyata disi lain ada kelebihan atau nilai positifnya terkena gelaja ini, anda akan kreatif bahkan super kreatif. Otak anda berputar terus menerus menelurkan karya. Seperti sering saya ungkapkan bahwa ide yang tertuang dalam karya akan lebih berguna daripada ide yang hanya diomong-omongkan saja. Anda kreatif, cukup itu saja. Saya mengakui anda yang terkena gejala bersiaplah menjadi penulis paling produktif sedunia. Gejala kedua adalah Hypercommentgraphia, yaitu kecenderungan untuk berkomentar dan terus berkomentar yang tidak ada habisnya. Gejala hypercommentgraphia bisa dilihat dari setiap postingan. Jika menarik kompasianer berdiskusi atau sekedar menghangatkan ‘persaudaraan’ sesama kompasianer, maka postingan tersebut akan banyak komentar. Tetapi komentar yang terjadi bisa hanya dari dua atau tiga orang yang sama. Men-dueng, mempertamax, mem-tap, men-horee yang pertama adalah bukti yang akan membawa pada komentar selanjutnya. Coba saja perhatikan, jika sebuah tulisan di-dueng, maka komentar keduanya baru benar-benar komentar atas postingan. Setelah itu barulah menggelontor seperti arus. Kebaikan gejala ini adalah keakraban. Saya jamin anda menemui keakraban yang tidak Mei 2010 Majalah JejaringKu

17


didapatkan sebelumnya. Keakraban ini yang membuat suasana rumah sehat kompasiana menjadi asik, sangat asik karena terasa kekeluargaannya. Inilah kebaikannya, sisi lain yang muncul kepermukaan setelah mengamati dan ‘meneliti’ gejala hypercommentgraphia. Penyakit aneh lainnya adalah Hypercommentfollower-graphia, adalah kecenderungan untuk mengikuti komentar dari orang lain yang terus menerus tanpa bisa terkendali. Namanya sangat panjang karena memang turunan dari hypercommentgraphia. Hypercommentfollowergraphia adalah kecenderungan untuk menjadi pengikut dan hypercommentgraphia, tahapannya terjadi ketika proses men-dueng keduluan orang lain. Hypercommentfollowergraphia akan menempelkan tanggapannya pada tanggapan sebelumnya. Menempelkan ‘dueng-nya’ pada dueng orang lain seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Gejala ini misalnya ikut nebeng, ikut lapak atau ikut berkomentar di lapak tanggapan orang lain. Sekedar menghangatkan komentar dan sekedar mencari celah agar scroll mouse tidak sampai jauh turun ke bawah. Kebayang kalau anda urutan ke-10000, hitung berapa kali anda merrolling mouse? Selalu ada yang lain, nah yang lain bagi saya tentu saja kebaikannya dari hypercommentfollowergraphia itu sendiri. Kebaikannya adalah keakraban bertambah, teman bertambah dan ide kreatif juga bertambah. Jika semula tanggapan itu hanya antara penulis dan

18

Majalah JejaringKu Mei ‘2010

penanggap pertama, gejala ini memungkinkan penanggap bertambah dalam satu lapak tanggapan. Menjadi lebih rame, menjadi lebih asik, menjadi lebih berwarna dan tentu saja menjadi lebih hidup. Dari ketiga gejala ini saya menyimpulkan sebuah kebaikan dari ketiganya tanpa mengesampingkan dampak negatifnya. Gejala ini membuat siapapun yang masuk lingkarannya menjadi lebih kreatif. Tidak jarang ditemukan ide-ide segar baru yang muncul karena kelebihan energi menulis serta proses saling tanggap menanggapi sebuah tulisan. Lebih kreatif dalam arti juga ‘ngeyel’ atau ngeyeldotcom karena terbukti satu sama lain berlomba mencari jawaban kreatif yang bisa memancing kreatifitas lainnya. Kalau sekali saja, sesudah itu tidak ada tanggapan lagi.. Ah sepi. Secara pribadi penulis menghaturkan terima kasih banyak kepada Mbak Yayat yang sudah menginfeksi, Mbak Rini yang baik selalu menyarankan minta anti virusnya ke Mbak Yayat dan semua kompasianer yang sudah mendukung ‘penelitian’ abal-abal ini. Rencananya akan dipresentasikan pada Forum Ilmiah Abal-abal bersama Panelis Abalabal di sebuah Negeri Abal-abal...


pendapat

ABAD JURNALISME LHER

Oleh NOVIYANTO AJI| Kompasiana, 13 Mei 2010

P

ersaingan media saat ini mendekati titik awal sekaligus akhir bagi para jurnalis. Harga jurnalis kian tidak ada harganya. Seorang jurnalis bahkan rela tidak mendapat upah selama 3-4 bulan selama dia masih sanggup berekspresi dengan kebebasannya. Beberapa media kecil juga gulung kuming menghadapi ketatnya kompetisi di dunia informasi tersebut. Sebagian malah gulung tikar karena tidak mendapat tempat dalam persaingan. Sementara kinerja Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) semakin normatif. Media kita tak lagi menggunakan kodetidak jelas. Bahkan PWI yang sekian periodik kode etik yang ada. Parahnya, mereka hanya menjadi sebuah institusi negara yang sah ini jelas- dimanfaatkan sebagai corong Komisi Pemilihan jelas mengaku adanya ketimpangan dalam tubuh Umum (KPU). Bukan itu saja, kini kedudukan jurnalis kita. Dalam workshop yang digelar oleh PWI media tak ubahnya kacung atau pembantu Jatim dan Masyarakat Pemantau Pemilu (Mapilu) rendahan,” terang Hendra J. Kede yang diamini pada 12 Mei 2010, kemarin, PWI Jatim mengakui oleh Dhimam Abror. kelemahan-kelemahan yang terjadi pada para kuli Selaku perwakilan dari PWI Jatim, Dhimam tinta tersebut. Hadir sebagai pembicara, Dhimam Abror, tak kalah sengit menyampaikan keluh Abror, Ketua PWI Jatim dan Ketua Mapilu, Hendra kesahnya. Bahwa saat ini banyak media yang J. Kede. Dalam workshop bertema “Pendidikan dikuasai oleh kekuasaan modal. Contohnya, politik berbasis jurnalistik berorientasi peningkatan saat ini satu persatu media semakin gencar kesadaran kebangsaan dalam pemilu kada” tersebut, memberitakan kampanye para calon wali (Cawali) masing-masing pembicara dengan lugas dan tegas dengan cara membidik satu pasangan untuk memaparkan betapa krisisnya dunia media saat masuk dalam rubrik pariwara atau iklan. Tentu ini. Media sekarang menjadi corong para penguasa saja informasi yang disampaikan media semakin modal. Lebih parah lagi, mendekati Pemilihan Kepala bias dan (sangat) tidak berimbang. Padahal Daerah (Pilkada) Kota Surabaya, sepak terjang media banyak rakyat yang masih buta mengenai calon kian “menjadi-jadi gilanya”. masing-masing pasangan. Lalu apa yang terjadi? “Sekarang ini media kita telah bergeser dari Media justru malah memberitakan kampanyeMei 2010 Majalah JejaringKu

19


kampanye cawali, pergerakan cawali, dan bukannya program-program atau visi dan misi substansial yang benar-benar dibutuhkan rakyat. Di sinilah kemudian peran serta media dipertanyakan. “Untuk itulah harus ada Komisi Informasi Publik (KIP) yang dapat membentengi dan mengatur beritaberita yang memang diperlukan bagi masyarakat kita. Sehingga media kita ini tidak selalu berbenturan dan semaunya saja dalam memberitakan sebuah informasi. Mengingat fungsi media itu sendiri adalah sebagai pengontrol dan bukannya kacung,” kata Hendra. Benar-benar menyedihkan. Banyaknya ketetapan hukum, tatanan, aturan dan integritas para kuli tinta ini yang tidak lagi ditaati, lalu mau menjadi apa negeri ini. Yang menakjubkan, kini PWI tak lagi sendirian. Beberapa orang yang notabene tak puas dengan kebijakan PWI lantas mendirikan organisasi baru sebagai penyeimbang, pendobrak, pembaharu, dan tandingan. Atau kau boleh menyebutnya: penghibur. Sebut saja Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Wartawan Independen (AWI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI), Asosiasi Wartawan Kota (AWK), Federasi Serikat Pewarta, Gabungan Wartawan Indonesia (GWI), Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI), Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA), Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI), Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI), Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI), Komite Wartawan Indonesia (KWI), Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI), Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI), Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI), Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI), Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI), Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK), Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI), Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI), Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI), Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS), Serikat Wartawan Indonesia (SWI), Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII). Yah, setidaknya kini dunia jurnalis tak lagi sepi. Makin banyak organisasi banyak pula bermunculan orang-orang pintar. Tak ayal, independensi pers

20

Majalah JejaringKu Mei ‘2010

makin liar saja. Optimisme pers mesti harus ada mengingat iklim keterbukaan dan demokratisasi adalah arah yang mesti dituju bangsa ini di hari-hari mendatang. Walau demikian, tentu kemunculan organisasi-organisasi “dadakan” ini semakin mengukuhkan ketidakpedulian PWI terhadap profesi wartawan sebagai institusi negara yang sah. Teman saya seorang jurnalis pernah di-PHK perusahaannya atas kesalahan yang sebenarnya tidak seberapa. Dan ketika dia mengadu pada organisasi-organisasi tersebut di atas, terutama PWI, dia bahkan tidak mendapatkan suatu gerakan apapun. Itulah sebabnya saya berani bilang bahwa organisasi-organisasi pers yang ada sekarang ini dipakai sekedar untuk gagah-gagahan, dan penyatu orang-orang inteletual khususnya mediamedia besar yang memiliki kepentingan. Parahnya ketika PWI dijadikan sebagai modal industri. Memang ada ongkos mahal yang harus dibayar insan pers dewasa ini. Persisnya, semenjak era reformasi digulirkan dan membuahkan kebebasan pers–ketika pers yang sejak Orde Baru jadi “pers industri”. Sementara saat ini insan pers mulai menjadi komoditi yang latah, karena setiap orang bisa menerbitkan koran tanpa izin. Dengan berbekal modal “segunung”, mereka pun tak pernah mempedulikan etika jurnalistik yang ada. Dan, “fenomena amplop” pun semakin mewabah. Istilah jurnalisme “asal-asalan” pun hadir di tengah-tengah masyarakat sekaligus menjadi sesuatu yang bukan fenomenal lagi, yakni sebuah jurnalisme yang mendemontrasikan kesan gampangan, main-main–terutama main sana main sinisikat sana sikat sini, seenaknya (khususnya dalam mengekploitasi kepentingan pribadi demi peruntungan bisnis), memuaskan selera pembaca tanpa mengedepankan substansinya, mengumbar pornografi yang berlebihan demi keuntungan, dan berita bukan lagi menjadi kepatutan tapi sudah


menjadi kebutuhan semata. Sebagian kalangan menyebut: Inilah abad Jurnalisme Lher. Para pendidik pers boleh saja bicara soal filosofi “panggilan hidup” dan “panggilan perut”, juga mereka boleh berbicara mengenai idealisme pers dalam setiap seminar mengenai Etika Jurnalistik. Tetapi, pernahkah terpikir oleh mereka, sudah lama majikan pers selalu mengupah wartawan dengan uang segobang sembari bilang (sengaja maupun tidak): “Carilah tambahannya di luar kantor?” Sementara kode etik jurnalis menyebutkan seorang wartawan dilarang menerima amplop–bukannya saya pro wartawan amplop. Sebab saya melihat banyak teman-teman wartawan yang merasakan penderitaan selama menjadi pekerja pers. Lalu siapa yang patut disalahkan di sini: wartawankah? penguasa modalkah? atau kebijakankah? Memang, kecilnya gaji tak seharusnya menghalalkan wartawan menggadaikan harga diri untuk menerima apalagi meminta “amplop” dan bahkan menyesuaikan berita sesuai dengan penghasilan yang diterimanya. Namun repotnya, di satu sisi wartawan adalah buruh di tepi jalan tapi di lain sisi orang bilang mereka profesional dan idealis. Malah ada yang bilang wartawan termasuk “kelas khusus”. Idealnya, ia adalah pejuang kebenaran, keadilan dan pembela rakyat kecil yang tertindas. Wartawan seharusnya memiliki wawasan luas dengan banyak membaca dan berdiskusi. Itu memang hanya bisa berarti slogan atau harapan kosong belaka. Wartawan sendiri kadang tak menyadari hakhak mereka sebagai (kelas) pekerja alias buruh. Tak berani menggalang solidaritas, apalagi mogok, jika suatu saat hak mereka terabaikan, seperti yang dialami teman-teman saya. Apa boleh buat, karena sejak semula mereka bekerja tanpa perlindungan, tak ada ketentuan standar peng-gajian, apalagi asuransi. Nah, bagaimana jika semua standar kerja dan kode etik sudah diikuti, toh pasien dokter mati atau berita wartawan ternyata salah? Berapa kali para pendidik pers menyuruh wartawan membolakbalik kode etik jurnalis; mengkaji, mempelajari, memahami, tapi toh kode etik tersebut malah semakin menjerumuskan. Apakah dengan mengikuti prosedur standar dan kode etiknya, seorang dokter dan jurnalis dipastikan dapat menyelamatkan manusia untuk hidup bebas? Apakah dokter yang baik pasti menjamin pasiennya takkan mati? Apakah wartawan yang baik pasti menjamin khalayak mendapat informasi yang tak terbantahkan? Belum tentu. Pasien mungkin mati dan informasi bisa

salah. Bagi saya keberadaan PWI hanya menjadi institusi negara yang sah tanpa memiliki substansi kuat di dalamnya. Toh, pada kenyataannya PWI tak pernah pro wartawan. Berapa kali teman-teman jurnalis jatuh bangun dalam tuntutan hukum. Seperti halnya kasus majalah Tempo beberapa waktu silam melawan Tommy Winata. Lalu, dimana peran PWI? Saat ini keagungan pers hanya dikotori oleh tangantangan orang berkepentingan. Bahkan untuk mendaftar keanggotaan PWI, kata teman saya, sekarang ini kita tinggal menyogok maka esoknya kita sudah masuk keanggotaan. Idealisme pers masa kini sudah hilang. Bobrok. Rusak. Hancur. Namun demikian masih banyak orang yang yakin dunia pers (kelak) akan menjadi komunitas yang seperti kata orang benar-benar “kelas khusus”. Media-media yang ditawarkan, suatu hari akan mengarahkan pembaca meninggalkan kesan gampangan tersebut. Kesan yang selama ini melekat pada diri media itu sendiri, yakni lher. Hanya saja kapan, itulah yang sekarang ini masih diperjuangkan temanteman pers. Memang untuk merubah image pers dari kesan gampangan atau jurnalisme lher menjadi lebih baik, tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Dalam hal ini semua pihak harus turun tangan untuk memperjuangkannya. Tidak dalam sehari, sebulan, atau setahun, tetapi butuh waktu lama bahkan bertahuntahun agar idealisme pers kembali dipercaya masyarakat seperti tempo dulu. Dan tentunya perubahan ini juga diharapkan kalangan pers agar dibarengi dengan kesejahteraan setiap personal. Semoga…yah…semoga saja.

Mei 2010 Majalah JejaringKu

21


22

Majalah JejaringKu Mei ‘2010


sastra

Kopi Susu Wanita Bercadar Oleh KALI SIREGAR Kompasiana, 13 Mei 2010

W

ajahmu terbungkus selapis kain hitam yang meyembunyikan halusnya pipimu, betapa sempurnanya lekuk hidung dan bibir meronamu, sayang semua tidak mampu melihat hikmah dibalik mata indahmu. Kau dipahat apik sekali oleh seniman-seniman handal firdaus, bukan hanya wajah, tapi hatimu mungkin. Ah, tapi lekukmu tak sempurna khayal nakalku, semua pesan nafsu itu datang saat banyak sekali layar seleloid yang mengeksposmu, ‘ayat-ayat cinta’, tapi ku tak tau apa dibalik bajumu, karna itu hanya tipu yang dikemas lewat cerita buku. Di depanku saat ini, ada seorang wanita bercadar, bersuami dan beranak. Jauh sekali dari standar sosok wanita tipu, yang dikemas selembar cadar oleh sutradara film. Kau tidak pantas bermain di film yang katanya laris manis itu. Kau bertanya alasan. Sayang wajahmu kasar dan hidungmu juga berlekuk kedalam. Lalu, matamu bergurat letih dan berkantung tanda kau lelah. Sutradara mana yang mau memilihmu, untung saja kau tidak dicampakkan oleh mereka yang katanya punya selera tinggi itu. Tempatmu disini, bersama perempuan manis yang menarik-narik untaian helai jubahmu, dan menemani suamimu tercinta yang mengais rupiah dari kayuhan pedalnya. Bersama gerobak kopi susu yang kau anggap rezeki, cukup katamu. Malam itu, gerobakmu dipenuhi oleh pecinta kopi susu, sibuk. Tanganmu cekatan meraciknya, sekali-kali tangan kirimu mengangkat ubi goreng yang telah masak dari kuali. Lalu tersungginglah senyum puas dari si pecinta kopi susu yang rela mengantri tadi, kau berhasil memeberi kesebahagian bagi orang lain. Saat pelanggan melompong, kau tarik nafas panjang untuk mengembalikan semangatmu, tidak ketinggalan sekaan keringat di kantung mata yang kebetulan tidak tertutup. Puas aku memperhatikan kantung matamu, indah sekali

rasanya. Guratan lelah itu meniupkan aroma keikhlasan, terasa sekali. Namun maaf, aku masih isme pada wanita bercadar, bukan Cuma aku, tapi umat muslim yang lainnya juga. Pandangan pada kantung mata itu pun hanya bagian dari ismeku. Aku bukan menidakkan, bukan juga alergi, tapi aneh mungkin. Aku suka sama wanita berjilbab, suka sekali, tapi cadar masih asing bagiku. Gulatan pikiran ini tiba-tiba menguap. Pelajaran kehidupanpun dimulai. Seorang pria datang membayar dengan uang seratus ribu padahal Cuma makan tiga potong ubi dan satu kopi susu. Kau tolak uang itu dengan menyatukan kedua telapak tangan layaknya bersalaman dengan pria yang tidak muhrim. Terucap maaf dan gerakan penolakan dari kikukmu. “bapak ambil saja uangnya, nanti bapak bayar kalau kesini lagi, kembaliannya tidak ada� suaramu berat namun berkarakter. Perlahan ismeku pada wanita bercadar luntur, ikhlasmu luar biasa sekali, percayamu pada orang yang tidak kau kenal, sangat tidak biasa, walaupun kau tidak tahu apakah amanah itu diletakkan pada orang yang benar. Malam itu kau mengajarkan arti keikhlasan dan tolong menolong sesama manusia padaku. kau mengajarkann bahwa rezeki itu akan datang kapanpun sehingga tidak perlu berusaha mendapatkan rezeki yang tidak diridhoi ALLAH SWT. Kau mengajarkan bagaimana menolong orang lain walau hanya satu sen rupiah. Wanita bercadar ini tidak dipahat aduhai oleh seniman firdaus namun hatinya terpahat menyejukkan kalbu. Mei 2010 Majalah JejaringKu

23


falsafah

Menjadi Nabi dan “Tuhan”, Bukankah Itu Tujuan Hidup Kita?

Oleh KATE RAJ Kompasiana, 10 Mei 2010

P

ercaya kepada Tuhan dan Para Nabi, bukanlah hanya sebatas dalam perkataan semata, tetapi adalah diwujudkan dalam perbuatan seperti sifatsifat Tuhan dan Para Nabi . . .Sebab sifat-sifat kebaikan itu telah ada didalam diri kita ! Seringkali saya mendengar perkataan, tentang Maha Kebaikan dan Maha Kehebatan Tuhan dan segala puja-puji kepada-Nya. Tentunya tanpa digembar-gemborkan pun, Tuhan memang seharusnya Maha Baik dan Maha Hebat. Karena kalau tidak demikian, tentunya tidak pantas disebut sebagai Tuhan. Menurut saya sebenarnya bukan itu yang diharapkan dari Tuhan, hanya sekedar untuk memuja - muji KebaikanNya. Begitu juga puja-puji kepada Para Nabi junjungan kita. Tiada habisnya kita kumandangkan. Berbagai kisah teladan kehidupan Para Nabi dikisahkan dan itu membuat kita begitu mengagungkan dan menjadi kisah yang tak pernah usang . Para junjungan kita disebut Nabi karena memang menjadi pilihan dan sengaja diutus oleh Tuhan untuk membimbing umat manusia. Juga sebagai contoh bagi kita untuk meneladani segala sifat-sifat yang dimiliki Para Nabi agar kita juga bisa seperti demikian . Begitu kita junjung tinggi, sehingga bila ada yang menjelekkan, kita menjadi marah besar dan menghujat orang yang menghina. Padahal walaupun Para Nabi kita dijelek-jelekkan, tidaklah akan mengurangi kebaikannya. Karena tanpa sadar sesungguhnya kita sendiri tak jarang menjelekkan junjungan kita melalui perbuatan dalam keseharian dengan tidak mengikuti apa yang diajarkan. Kemudian saya bertanya-tanya, apakah kita yang mengaku sebagai orang yang menjadi

24 Majalah JejaringKu Mei ‘2010

Bila tidak demikian, rasa percaya yang ada pada kita hanyalah percaya dalam batas perkataan semata, tidak dalam perbuatan. Kasarnya, hanya omong kosong belaka! pengikut dan percaya kepada Para Nabi itu telah sungguh-sungguh pantas untuk disebut sebagai pengikutnya bila mengacu pada keadaan kita saat ini ? Bukankah yang disebut percaya itu adalah selalu meneladani segala kebaikannya dan juga mengikuti ajarannya? Bukan hanya dalam kata-kata “percaya” saja . Sebagai contoh, ketika kita percaya, bahwa makan itu mengenyangkan, satu-satunya jalan supaya bisa kenyang adalah kita harus makan! Bukan hanya sekedar mengatakan “makan” saja lalu bisa menjadi kenyang seketika. Bila tidak demikian, rasa percaya yang ada pada kita hanyalah percaya dalam batas perkataan semata, tidak dalam perbuatan. Kasarnya, hanya omong kosong belaka! Tidak heran, walaupun kita memeluk agama dan menjadi pengikut Para Nabi, belum banyak manfaatnya, karena kenyataannya , perbuatan perbuatan kita belumlah layak sebagai seorang yang percaya dan yakin. Begitu juga ketika kita mengaku percaya kepada Tuhan, bukankah itu berarti kita seharusnya belajar memiliki kembali sifat-sifat Tuhan yang ada pada diri kita ? Karena bukankah Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan bentuk dan rupaNya ? Melalui berbagai cara yang diajarkan dalam Kitab-Kitab Suci, sebenarnya adalah menuntun kita untuk menjadi “Tuhan” sehingga mempunyai kesempatan bertemu Tuhan pada kehidupan saat ini juga. Bukan harus menunggu setelah kematian. Jadi, tugas utama hidup kita saat ini adalah berjalan atau untuk melatih diri menjadi seperti Nabi dan serupa dengan yang menciptakan kita. Hanya sebuah renungan untuk membuka kesadaran . . .


Kreativa

Mutiara-Mutiara Kompasiana Segera Tancap Gas Oleh RAGILE Kompasiana, 13 Mei 2010

S

etelah beredar edisi Januari 2010 jilid 1, 2, 3 dengan sambutan yang sangat menggembirakan. Maka MutiaraMutiara Kompasiana (MMK) saya akan lanjutkan untuk edisi Februari 2010 dst. Kali ini tidak bekerja sendirian tapi kerjasama dengan Kompasianer lain. Mengingat untuk mengumpulkan 99 postingan terpilih dari 99 Kompasianer dalam satu bulan periode postingan memakan banyak waktu. Lagi pula dengan kerja bareng akan lebih kredibel. Gagasan lahirnya Mutiara-Mutiara Kompasiana (MMK) yang saya cetuskan akhir Desember 2009 terdorong niat untuk mengangkat tulisan-tulisan menarik yang lolos dari mata pembaca saking banyaknya postingan, sekaligus memperkenalkan penulis-penulis berbakat dan potensial agar mampu sejajar di kemudian hari dengan yang senior dan yang sudah ngetop. Bisa juga untuk klipping. Belakangan ada berita bahwa ada penerbit yang berminat untuk menerbitkan MutiaraMutiara Kompasiana sebagai buku. Sayapun ijin kepada Kang Pepih Nugraha (admin) via japri

dan mendapat lampu hijau. Namun demikian saya belum berani melangkah lebih jauh. Tokh nantinya kudu ijin dulu kepada para penulis yang postingannya masuk dalam daftar MutiaraMutiara Kompasiana. Untuk sementara soal penerbiatan MMK saya anggap sebagai apresiasi - tak pernah terbetik dalam pikiran sebelumnya akan diterbitkan jadi buku. Informasi ini sekaligus pemanasan sebelum terbit edisi februari 2010 yang banyak ditunggutunggu kawan-kawan, juga menjawab kasakkusuk yang menimbulkan salah paham seolah saya kemaruk memanfaatkan kawan-kawan lalu mengakibatkan pergeseran sikap yang bikin saya geleng-geleng kepala. Betapa mudahnya orang termakan issue. Semua itu karena salah info, rumor dari orang tertentu, tidak konfirmasi langsung kepada saya, atau ulah saya sendiri yang bikin bingung he he he. Santai sajalah‌Setiap perjuangan ada tantangan. We are on the move and never give up!!! Terimakasih banyak kepada kawan-kawan Kompasiner yang kian semangat memposting tulisan-tulisan bermutu sehingga mempermudah pekerjaan kami untuk membundel MMK. Salam Tuljaenak, Ragile, 12-mei-2010

Mei 2010 Majalah JejaringKu

25


  

sex on the net

Perempuan Seksi di Mata Pria Penuh Cinta Oleh MARISKA LUBIS Kompasiana, 10 Mei 2010

B

ukan yang putih, tinggi, dan langsing. Tidak juga yang bergincu dan berambut terurai panjang. Tubuh montok, dada berisi, kaki dan leher jenjang, dan tubuh yang aduhai juga bukan jaminan. Otak encer pun tidak selalu yang menjadi incaran. Kalau memang mau menjadi perempuan seksi yang selalu menggairahkan, harus tahu, dong, caranya!!! Nggak perlu pintar, kok!!! Banyak teman perempuan saya yang menghabiskan banyak waktu untuk pergi ke salon. Okelah, saya juga senang ke salon. Saya juga senang tampil cantik dan menarik. Siapa, sih, yang tidak suka menjadi cantik?! Namun saya ke salon bukan untuk kemudian membuat pria bergairah. Membuat saya tambah percaya diri, itu tujuan utamanya. Lagipula, saya pikir, nggak dandan pun bisa, kok, membuat pria bergairah dan tetap menjadi seksi di matanya. Dulu waktu saya masih lebih muda, dan sampai sekarang, saya sering iri dengan perempuan berkulit cokelat muda. Duh, seksinya!!! Saya sampai pernah terobsesi menggelapkan kulit saya dengan berjemur setiap ada waktu. Malah kalau liburan, saya sengaja pakai lotion sun burn sambil berjemur di mana pun saya bisa berjemur. Mungkin bagi sebagian berpikir, apa-apaan, sih?! Namun buat saya, memiliki warna kulit seperti itu luar biasa sekali rasanya!!! Susah memang, yah! Dasar manusia!!! Nggak pernah ada puasnya!!! Dikasih yang begini kurang, dikasih yang begitu kurang juga. Rumput tetangga selalu saja lebih hijau dari rumput sendiri. Padahal, belum tentu juga tetangga yang punya rumput hijau itu merasa senang dengan rumputnya dan bahkan menganggap rumput kita jauh lebih indah dan menarik. Lucunya lagi, nih, dulu saya juga pernah berpikir bahwa menjadi pintar adalah sesuatu yang bisa membuat para pria terpesona. Yah, soalnya, banyak yang bilang kalau ingin mendapatkan pasangan yang pintar dan juga cerdas. Kalau

26 Majalah JejaringKu Mei ‘2010

tidak pintar, nanti malah nggak nyambung dan tidak tahu pula harus bicara apa. Namun setelah saya pikir-pikir lagi, kalau memang demikian, seharusnya perempuan yang berpendidikan tinggi, lebih mudah mendapatkan pasangan. Kan, jadinya lebih seksi dan menggairahkan?! Kenapa pada kenyataannya, justru terbalik, ya?! Malah ada banyak pria yang berterusterang kepada saya dan mengaku kalau dia takut mendekati saya hanya karena pendidikan saya lebih tinggi darinya. Aneh!!! Sebagai seorang perempuan yang sudah terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri, saya juga pernah dibilang tidak menggairahkan. Alasan pria itu, soalnya, kalau sampai berpasangan dengan saya, maka dia jadi tidak dibutuhkan. Untuk apa ada dia, bila saya tidak membutuhkannya. Aduh!!! Sebal banget, deh!!! Nah, setelah berpikir panjang, introspeksi diri, dan melewati berbagai proses dalam kehidupan, saya pun kemudian mengambil kesimpulan sendiri tentang bagaimana seorang perempuan bisa selalu menjadi seksi di mata pria yang penuh cinta. Yah, nggak harus yang penuh cinta juga, sih, yang mana juga bisa. - Semakin banyak pilihan, semakin baik, bukan?! Hahaha‌. – Yang pastinya, sudah banyak yang mempraktekkannya dan langsung tokcer hasilnya. Mau tahu, kan?! Jauhi dari rasa tinggi hati adalah sebuah kunci utama bila ingin selalu menjadi seksi. Mau pintarnya dan cantiknya selangit pun, bila tinggi hati, jangan harap bisa menggairahkan para pria


itu!!! Apalagi kalau dipadu dengan tinggi hati, mulut “ember”, dan juga nyinyir. Waduh!!!! Saya saja sebagai seorang perempuan, bisa langsung menyingkir, apalagi pria?! Jangan pernah lupa bahwa perempuan adalah perempuan dan pria adalah pria. Sama-sama manusia namun memiliki perbedaan sesuai dengan kodratnya masingmasing. Tidak ada yang lebih ataupun kurang bila bisa saling melengkapi. Semua kelebihan dijadikan manfaat untuk bersama sedangkan kekurangan pun diisi bersama. Saling menghormati dan menghargai apapun dalam segala apapun dan bentuk apapun bisa membuat pria selalu merasa menggairahkan dan juga melihat pasangannya selalu seksi. Enak, kan?! Ini juga berarti tidak memanfaatkan kesempatan, ya?! Duh, saya suka malu sendiri bila melihat perempuan memperlakukan pasangannya seperti seorang sopir pribadi. Sudah jadi sopir, jadi cukong pula. Kasihan betul perempuan seperti ini. Bukan masalah harga dirinya, tetapi apa tidak tahu kalau pria juga tidak sebodoh itu?! Apa yang diberi harus sesuai dengan apa yang diterima, dong?! Mau sampai seberapa lama dan seberapa betah, sih, pria bisa meihat perempuan seperti itu seksi di matanya?! Emang enak “dikerjain” pria?! Hati-hati dengan kemudian jadi terlalu mandiri juga, ya?! Misalnya, biarpun bisa ganti bohlam sendiri, tapi tidak ada salahnya minta tolong dia yang melakukannya. Mintanya pakai manja, deh!!! Pria pasti langsung luluh hatinya. Biarpun ada omelan dan menggerutu, tapi sebetulnya pria senang, kok, dimintai tolong perempuan yang dicintainya. Ini membuatnya merasa dihargai dan diperlukan. Untuk urusan manja, pria juga sebetulnya senang dimanja. Mereka paling senang dirawat dan diperhatikan oleh perempuan yang dicintainya. Awalnya, saya

tidak memperhatikan hal ini. Saya, tuh, paling gemas dengan kuku yang hitam dan kotor. Sejak dulu, saya suka membawa peralatan gunting kuku ke manapun saya pergi agar bila saya melihat kuku pria yang kotor, bisa langsung saya gunting saat itu juga!!! Namun, ternyata, ada sebagian pria-pria itu yang jadi merasa gimana gitu. Saya sampai terkejut sendiri. Niatnya cuma melampiaskan hasrat kegemesan kuku kotor, kok, malah jadi begini?! Hehehe…. Pria memang sangat membutuhkan apa yang seringkali kita sebut sebagai “sentuhan seorang perempuan”. Mereka dilahirkan, tumbuh, dan dibesarkan oleh perempuan. Oleh karena itulah, mereka membutuhkan seorang perempuan sejati, yang tahu bagaimana harus bersikap dan bertingkahlaku selayaknya seorang perempuan yang terhormat. Tahu kapan, saat, dan waktunya menjadi seorang ibu, seorang teman, seorang sahabat, kekasih, dan pasangan bercinta. Bila semua ini bisa dipenuhi, maka perempuan itu akan selalu menjadi seksi di mata pria yang penuh dengan cinta. Kesabaran dan juga kasih sayang yang tulus serta cinta yang sesungguhnya akan memberikan arti serta nilai dan makna yang berbeda dalam kehidupan percintaan. Ini bukan masalah memberi ataupun menerima, tetapi menikmatinya. Menikmati segala keindahan yang ada itu. Semoga bermanfaat!!!

Mei 2010 Majalah JejaringKu

27


28 Majalah JejaringKu Mei ‘2010


komunitas

Berkarya Ala Sunan Gunung Djati

S

unan Gunung Djati merupakan Komunitas Blogger Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung yang sudah bisa diakses mulai 9 Februari 2009 di alamat www.sunangunungdjati.com. Meski tekanannya pada Civitas Akademik UIN SGD Bandung, Sunan Gunung Djati juga diisi para blogger dan jurnalis dalam bingkai Perguruan Tinggi Islam (STAIN, IAIN, UIN). Bermula dari obrolan senja sekaligus Kopdar (Kopi Darat) dua tahun yang lalu (27 Desember 2007) di Sekretariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UIN SGD Bandung. Ibn Ghifarie, saya (Sukron Abdilah), Amin R Iskandar, Jajang dan Zarin Givarian terbentuklah Komunitas Blog Sunan Gunung Djati pada layanan blogspot (www.sunangunungdjati.blogspot.com). Kemudian, pasca penetapan Hari Blogger Nasional (27 Oktober 2007) oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh saat Pesta Blogger 2007, gelombang ngeblog merasuki dunia kampus. Tak terkecuali kampus UIN SGD Bandung. Kendati, jauh sebelum maraknya media online, para pegiat dunia Cyber menginginkan ada satu kumpulan blogger UIN SGD saat Chating. Namun, terhalang pelbagai kendala ikhtiar itu diurungkan kembali. Melalui, pertemuan singkat itu terciptalah Sunan Gunung Djati. Nama Sunan Gunung Djati, diusulkan Ibn Ghifarie. Pasalnya, icon UIN Bandung sekaligus membedakan dengan UIN lainya adalah Sunan Gunung Djati. Selain itu, dengan penamaan tersebut, mengingat kebaikan tokoh Wali Songo dalam mensiarkan Islam yang rahmatan lil alamin. Semoga dengan membudayakan menulis di Sunan Gunung Djati dapat memberikan manfaat bagi dirinya dan halayak banyak. Tak semua dosen, mahasiswa, alumni dan karyawan UIN SGD Bandung akrab dengan blog. Jangankan punya, membaca blog orang saja barangkali belum pernah. Jadi, merupakan langkah maju dan terobosan tak terduga manakala sejumlah civitas akademik UIN SGD Bandung menyatakan diri ingin menjadi bagian dari Sunan Gunung Djati dan bahkan sudah langsung mencurahkan pandangan dan gagasannya. Adalah sebuah keniscayaan bila civitas akademik ikut ngeblog. Perguruan Tinggi lain tengah menyediakan layanan secara cuma-cuma buat civitasnya, mulai dari email sampai blog. Kehadiran Sunan Gunung Djati yang berada di luar struktur UIN

SGD Bandung tak lepas dari pelbagai kendala. Penamaan Sunan Gunung Djati pun sempat menuai protes dari pemangku kebijakan. Ya memang diakui keberadaan Komunitas Blogger ini tak resmi berasal dari kebijakan Kampus UIN SGD Bandung. Namun, keinginan mentradisikan menulis menjadi kekuatan dalam membangun Sunan Gunung Djati. Pasca perbedaan pendapat tersebut, antara dijalur kampus dan di luar kampus, komunitas ini sempat gonta-ganti rumah. Berganti rumah www.sunangunungdjati. multiply.com dan www.sunangunungdjati. wordpress.com www.blog-uinsgd.blogspot. com pula menjadi aktivitas ngeblog kami. Kini, dengan biaya swadaya dari beberapa pihak terkait, komunitas ini resmi mempunyai domain sendiri dengan nama www.sunangunungdjati. com. Sunan Gunung Djati merupakan wahana diskusi dan ruang kuliah berisi gagasan mencerahkan, demokratis, konstruktif, dan bertanggung jawab. Pembaca atau pengunjung diajak urun rembug dengan mengomentari setiap artikel yang masuk. Setiap komentar terbaru para pembaca dengan sendiri akan tampil di halaman muka Sunan Gunung Djati. Pada saat ramadhan juga, komunitas ini mengadakan berbagai kegiatan seperti buka bareng, bedah buku, obrolan seputar filsafat sehari-hari, sampai isu-isu kebebasan beragama. Dengan adanya wadah bagi blogger ini, diharapkan tradisi menulis, diskusi, dan penelaahan masalah sehari-hari bisa disikapi secara dewasa. Sebab, ketika seseorang telah terbiasa menulis di sebuah web komunitas akan terjadi apa yang diistilahkan dengan “interaktivitas� antara penulis (blogger) dan pembaca. Disinilah letak kedewasaan tersebut. Kita ngeblog dengan wawasan kita sendiri, dan pembaca mengomentari dengan wawasan yang dimilikinya juga. Maka, akan terjadi apa yang dinamakan dengan sharing pengetahuan. Sehingga blogger dapat terus menjejali wawasannya dengan pelbagai pengetahuan. Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Mei 2010 Majalah JejaringKu

29


jejaringku

Yuk Ngeblog!!!!!! Oleh SUKRON ABDILAH

S

atu alasan yang bikin saya ketagihan dengan ngeblog. Saya bebas berekspresi. Ketika menulis untuk media cetak, dalam benak saya kerap muncul wajah “beringas” redaktur. Itu kalau pertama kali saya mengirim artikel ke sebuah media. Mungkin sudah menjadi penyakit, ketika saya hendak menulis ke media pengalaman seperti itu terus berulang-ulang. Sekarang penyakit itu hilang. Tepatnya ketika saya sering berinteraksi dengan Ibn Ghifarie – kawan saya di komunitas blogger UIN SGD Bandung – saya diberikan wawasan seputar blogging. Saya pendatang baru di blogosphere. Begitu pun di dunia tulis-menulis. Saya tidak memiliki teurah penulis atau lingkungan yang mendukung saya untuk menjadi penulis. Meskipun ayah saya – katanya seorang guru dan pernah menulis – aset berharga berupa buku ketika beliau wafat, habis diambil teman-temannya. Ya, sedekah ilmu, kata ibu saya ketika ditanya soal buku-buku ayah saya yang menghabiskan satu ruangan untuk menyimpannya. Kalau waktu itu saya berusia belasan tahun, pasti buku-buku itu tidak akan saya berikan begitu saja. Sayangnya, saya baru berusia lima tahun. Sekarang tidak terasa saya sudah mendekati usia kepala tiga. Dan, tradisi membaca, menulis, serta berdiskusi terwariskan kepada saya. Itu kata ibu saya. Selama masih hidup ayah saya sering melakukannya. Sayang, Anda tidak akan mengenalnya karena ayah saya hidup di perkampungan yang dulu dan sekarang masih senjang dari informasi. Salah satunya Koran dan media cetak lainnya. Namun, saya masih ingat bahwa ayah saya selalu menyempatkan membeli Koran dan majalah. Salah satu Koran yang sering dibelinya adalah Harian Pos Kota. Saya sangat menyukai tokoh kartun “Doyok” lengkap dengan pakaian khas jawanya. Sepeninggal ayah saya, Koran itu tetap ada. Itulah kenapa saya tahu ada “Doyok” di Pos Kota. Bukan kebetulan. Saya minggu kemarin pulang ke kampung halaman. Saya mengambil kembali kitab klasik berbahasa Arab milik ayah saya dari seorang kyai kampung. Untuk kepentingan memperkaya referensi menulis buku agama populer. Ketika sampai pada pembahasan syukur, saya terkagetkaget. Ternyata, selain seorang guru, ayah saya piawai menerjamahkan kitab berbahasa arab dan menuliskannya secara runtut. Bahkan lebih sistematis daripada saya. Terjemahannya ditulis pada beberapa

30 Majalah JejaringKu Mei ‘2010

carik kertas yang sekarang warnanya telah menua. Hebat saya bilang dalam hati. Ayah saya ternyata seorang warga Indonesia terdidik dan kritis. Itulah sosok ayah yang saya kenal hanya beberapa tahun saja dalam kehidupan ini. Ia menulis, membaca, dan berdiskusi sampai akhir hayat. Sayangnya, buah pemikiran ayah saya tidak pernah dipublikasikan di media. Sekarang, saya hanya bisa melanjutkan tradisi keilmuannya di ruang dan waktu yang berbeda dengannya. Tradisi yang harus dibiasakan itu adalah blogging. Dengan ngeblog kita bebas berkarya tanpa ada “sensor intelektual” dari sang redaktur sebuah perusahaan media. Meskipun di media cetak jarang melakukan opini publik, di media online dan blog, saya terus menyempatkan menulis apa saja. Tentang catatan kecil yang tidak begitu penting, namun bagi saya adalah ide besar penuh inspiratif. Itulah yang saya lakukan beberapa tahun terakhir ini. Kompasiana – sebagai media online – ternyata mampu menampung ideide yang saya miliki. Blog saya juga dengan sekejap mata, akan bergembira kalau terus diperkaya tulisan-tulisan saya yang bagi media mainstream itu tidak bernilai apaapa. Menjadi intelektual publik bukan hanya mempublikasikan pemikirannya di media cetak saja. Di media online juga, kita bisa menjadi seorang intelektual publik. Sebab, yang saya sukai dari media ini adalah interaktivitasnya. Berbeda dengan media cetak. Ketika kita menulis, soliterisme intelektual terasa sangat melekat. Karena tidak ada yang member komentar. Di sini, di blog atau media online, dalam hitungan menit dan jam, tulisan kita kalau menarik untuk dikomentari akan terjadi suasana diskusi yang hangat. Yuk, mari ngeblog; berkarya untuk kepentingan peradaban umat manusia. Tentunya ngeblog dan ngoment dengan tatacara yang lebih beradab. Karena, blogger itu adalah generasi beradab. Bukan generasi biadab bin haram jadah. Sekian!!!


Mei 2010 Majalah JejaringKu

31



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.